32
penduduk tersebut. Hal ini diasumsikan bahwa penurunan persentase pengeluaran untuk pangan terhadap kenaikan pendapatan merupakan gambaran membaiknya
tingkat perekonomian masyarakat. Beberapa hasil analisis terhadap data pendapatan dan pengeluaran komoditi pangan dan nonpangan hasil Susenas 2008
akan diuraian berikut ini.
4.1. Pola Konsumsi Rumah Tangga
Pengeluaran rumah tangga khusunya untuk konsumsi, pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Beberapa faktor kuantitatif yang diyakini mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga diantaranya adalah tingkat pendapatan yang diterima. Pada kondisi
pendapatan yang terbatas, pemenuhan pangan akan menjadi prioritas utama, sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa
sebagian besar pendapatannya digunakan untuk membeli pangan. Seiring dengan peningkatan pendapatan maka lambat laun akan terjadi pergeseran pola
pengeluaran, yaitu penurunan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dan peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk nonpangan.
Pada tabel yang terdapat pada Lampiran 1 memperlihatkan data nominal mengenai pengeluaran rata-rata perkapita sebulan menurut kelompok komoditi
pangan maupun nonpangan dan golongan pendapatan yang terjadi di daerah perdesaan maupun perkotaan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2008.
Sedangkan untuk data persentasenya dapat dilihat pada Tabel 4.1. di bawah ini. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa persentase pengeluaran untuk pangan
33
khususnya komoditi padi-padian dan umbi-umbian cenderung menurun dengan penurunan yang semakin curam untuk golongan pendapatan yang semakin besar.
Hal ini terjadi baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Misalnya untuk golongan pendapatan kurang dari Rp 100.000 perbulan di daerah perdesaan,
pengeluaran konsumsi komoditi padi-padian dan umbi-umbian mencapai sebesar 33,27 persen, namun pada golongan pendapatan di atas Rp 1.000.000 perbulan
menjadi hanya sebesar 2,82 persen. Sedangkan untuk daerah perkotaan penurunannya lebih tajam lagi, yaitu dari sebesar 34,77 persen pada golongan
pendapatan kurang dari Rp 100.000 perbulan menjadi hanya sebesar 2,16 persen Tabel 4.1. Persentase Pengeluaran Rata-rata Perkapita Sebulan menurut
Kelompok Barang dan Golongan Pendapatan Perkapita Sebulan Tahun 2008
Golongan Pendapatan
KB Pr
SB Ol
TP Rm
BJ Pk
BL TN
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
100 000 1
33,27 5,40
9,07 5,60 69,72 15,70
9,51 3,55 0,76 30,28
2 34,78
4,27 7,74
8,12 71,84 14,46 9,59 3,04
0,36 28,16 100 000 -
149 999 1
27,60 7,04
8,71 7,09 68,81 15,19 10,03 3,82
1,22 31,19 2
24,20 5,74
7,61 9,98 65,29 17,44 11,62 3,96
0,87 34,71 150 000-
199 999 1
24,46 8,49
9,13 8,65 70,96 13,26
9,55 3,35 1,75 29,04
2 18,66
7,15 7,20
11,63 62,72 18,44 12,86 3,80 1,20 37,28
200 000- 299 999
1 17,81
9,49 8,38
9,96 64,57 15,11 12,00 3,70 3,20 35,43
2 13,96
9,03 7,43
13,62 62,28 17,88 12,80 3,31 2,23 37,72
300 000- 499 999
1 12,42
10,44 7,79
10,22 57,93 16,11 14,00 3,74 6,29 42,07
2 8,97
9,72 6,33
13,57 53,24 21,40 16,52 3,32 3,75 46,76
500 000- 749 999
1 7,95
10,31 6,79
9,82 48,74 16,51 15,58 3,44 12,56 51,26 2
5,79 9,82
5,55 13,49 45,86 23,74 19,20 3,32
5,53 54,14 750 000-
999 999 1
5,54 9,66
6,10 9,20 41,96 17,13 17,29 3,47 15,40 58,04
2 4,11
8,91 4,80
13,39 40,01 24,42 21,94 3,19 7,13 59,99
1 000 000 1
2,82 5,95
3,67 6,67 25,51 12,63 24,14 2,27 26,55 74,49
2 2,16
6,37 3,31
10,38 27,20 27,16 25,20 3,02 11,35 72,80
Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas 2008
Keterangan : 1
: Desa 2
: Kota KB : Padi-padian dan umbi-umbian
Rm : Perumahan dan fasilitas rumah tangga Pr
: Ikan, daging, telur dan susu BJ
: Aneka barang dan jasa SB
: Sayur-sayuran dan buah-buahan Pk : Pakaian, alas kaki dan tutup kepala
Ol : Makanan dan minuman jadi
BL : Barang-barang tahan lama.
TP : Total makanan
TN : Total bukan makanan
34
pada golongan pendapatan di atas Rp 1.000.000. Pada komoditi selain padi-padian dan umbi-umbian pada kelompok
pengeluaran konsumsi pangan seperti ikan, daging, telur, susu, sayur-sayuran, buah-buahan serta makanan dan minuman jadi mempunyai kecenderungan yang
menurun juga seperti komoditi padi-padian seiring dengan meningkatnya tingkat pendapatan, namun pada awalnya sedikit mengalami kenaikan persentasenya. Hal
ini terjadi baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, meskipun perubahannya tidak begitu mencolok seperti pada komoditi padi-padian dan umbi-umbian.
Misalnya untuk pengeluaran konsumsi komoditi ikan, daging, telur dan susu di daerah perdesaan dari 5,40 persen pada pendapatan kurang dari Rp 100.000
menjadi 10,45 persen pada tingkat pendapatan antara Rp 300.000 sampai Rp 500.000 perbulan, namun pada tingkat pendapatan di atas Rp 1.000.000 menjadi
hanya sebesar 5,94 persen. Pengeluaran konsumsi komoditi total makanan terlihat lebih banyak
dibandingkan dengan pengeluaran komoditi total bukan makanan pada tingkat pendapatan kurang dari Rp 500.000, yaitu masih di atas 50 persen. Pada tingkat
pendapatan di atas Rp 500.000, pengeluaran konsumsi komoditi total makanan lebih rendah dibandingkan dengan komoditi total bukan makanan, bahkan
cenderung menurun terus di bawah 50 persen, sebaliknya untuk total bukan makanan cenderung meningkat di atas 50 persen dari total pengeluaran konsumsi.
Kejadian ini menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan yang diterima seseorang maka akan semakin besar keinginan untuk meningkatkan
pemenuhan asupan gizi atau meningkatkan kecukupan kualitas atas makanan yang
35
dikonsumsinya. Namun pada tingkat pendapatan tertentu, konsumsi akan komoditi makanan akan mencapai tingkat jenuh, artinya asupan makanan yang
dikonsumsi sudah mencukupi kebutuhan. Sehingga penambahan pendapatan akan dialihkan untuk memperoleh komoditi bukan makanan.
Meskipun persentasenya menunjukan penurunan namun pada tabel angka nominalnya, seperti yang terlihat dalam Lampiran 1, menunjukan peningkatan
mengikuti kenaikan tingkat pendapatan, meskipun kenaikannya tidak sebesar pada kelompok komoditi bukan makanan. Hal ini diduga bahwa masyarakat
mempunyai keinginan untuk meningkatkan kualitas dari makanan yang mereka konsumsi, seperti tercukupinya gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Semakin
tercukupinya gizi, diharapkan kesejahteraan mereka semakin meningkat. Namun terkadang hanya karena ingin memuaskan seleranya saja atau bahkan karena ingin
mengikuti budaya maupun gaya hidup yang lagi semarak. Perubahan pada angka nominal yang cukup besar pada kelompok pangan antar golongan tingkat
pendapatan adalah komoditi makanan dan minuman jadi di daerah perkotaan, yaitu dari Rp 7.376 rata-rata perkapita sebulan pada golongan tingkat pendapatan
kurang dari Rp 100.000 perbulan menjadi sebesar Rp 168.387 rata-rata perkapita sebulan pada golongan tingkat pendapatan Rp 1.000.000 keatas. Hal ini
kemungkinan karena banyak dari kalangan orang yang berpendapatan tinggi tidak mempunyai banyak waktu atau tidak cukup waktu luang untuk membuat masakan
sendiri, atau mungkin karena waktu mereka lebih banyak digunakan diluar rumah. Lain halnya dengan komoditi padi-padian dan umbi-umbian di daerah
perkotaan yang kelihatan relatif tidak berubah. Dimana kenaikan tingkat
36
pendapatan relatif tidak merubah jumlah pengeluaran konsumsi perkapita untuk komoditi tersebut, yaitu berkisar diantara tiga puluhan ribu rupiah. Hal ini justru
relatif lebih tinggi jumlah pengeluaran konsumsi perkapita di daerah perdesaan pada tingkat pendapatan yang sama. Jika data ini benar, kemungkinan
pengeluaran konsumsi komoditi padi-padian dan umbi-umbian di daerah perkotaan telah mencapai titik jenuh pada kisaran tiga puluh ribuan rupiah.
Disamping itu pada tingkat pendapatan di atas Rp 750.000 untuk daerah perdesaan dan di atas Rp 1.000.000 untuk daerah perkotaan terjadi penurunan
pengeluaran konsumsi padi-padian dan umbi-umbian yang masing-masing sebesar satu persen dan 0,6 persen. Hal ini diduga bahwa mereka mulai mengurangi
konsumsi karbohidrat, namun barangkali mereka juga mulai beralih ke makanan- makanan jadi yang dapat dibeli di warung atau rumah makan atau mulai
mengurangi memasak nasi sendiri. Keadaan di atas jika dibandingkan dengan pengeluaran konsumsi untuk
kelompok komoditi nonpangan menunjukan kecenderungan yang berbeda. Misalnya untuk komoditi perumakan dan fasilitas rumah tangga, kecenderungan
persentasenya semakin meningkat seiring dengan bertambahnya tingkat pendapatan yang diterima. Pada tingkat pendapatan kurang dari Rp 100.000
perbulan di daerah perkotaan, pengeluaran untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga sebesar 14,46 persen, sedangkan pada tingkat pendapatan di atas Rp
1.000.000 mencapai sebesar 27,16 persen. Komoditi barang dan jasa baik di daerah perdesaan maupun perkotaan
mempunyai kecenderungan meningkat persentase pengeluaran konsumsinya
37
mengikuti naiknya tingkat pendapatan yang diterima. Misalnya di daerah perkotaan pada tingkat pendapatan kurang dari Rp 100.000 perbulan, pengeluaran
untuk komoditi barang dan jasa hanya sebesar 9,59 persen, namun pada tingkat pendapatan di atas Rp 1.000.000 peningkatannya relatif besar yaitu menjadi
sebesar 25,20 persen. Begitu pula untuk komoditi barang-barang tahan lama baik di daerah perdesaan maupun perkotaan mempunyai kecenderungan yang sama,
yaitu akan semakin banyak porsi dari pendapatan yang digunakan untuk memperoleh komoditi tersebut seiring dengan meningkatnya tingkat pendapatan
yang diterimanya. Sedangkan untuk komoditi pakaian, alas kaki dan tutup kepala mempunyai
kecenderungan yang berbeda, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan, dimana terjadinya peningkatan pendapatan tidak menyebabkan perubahan
pengeluaran konsumsi relatif yaitu hanya berkisar antara tiga persen saja dari pendapatan yang diperolehnya. Hal ini berarti bahwa kebutuhan akan konsumsi
barang-barang yang termasuk sandang rata-rata sebesar tiga persen dari jumlah pendapatan yang diperolehnya baik di daerah perdesaan maupun perkotaan.
Berdasarkan gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa dari beberapa komoditi yang mempunyai persentase pengeluaran konsumsi terbesar untuk
kelompok pangan dan nonpangan menunjukan bahwa semakin bertambahnya pendapatan yang diterima maka persentase pengeluaran untuk komoditi kelompok
pangan sebagian besar mempunyai kecenderungan yang semakin menurun, sedangkan untuk komoditi kelompok nonpangan rata-rata mempunyai
kecenderungan yang semakin meningkat seiring dengan bertambahnya tingkat
38
pendapatan yang diterimanya, baik untuk daerah perkotaan maupun perdesaan, kecuali pada komoditi pakaian, alas kaki dan tutup kepala. Hal ini diduga bahwa
kebutuhan menusia akan makanan pada dasarnya mempunyai titik jenuh.
4.2. Analisis Engel