Kadar air Sifat Fisika dan Kimia Arang Aktif Kulit Akasia dan Arang Aktif Komersial

dasarnya kulit mangium mengandung mineral silikat yang cukup tinggi Sjostrom 1995. Menurut Manivanna et al. 1999 kadar abu yang tinggi dapat mengurangi daya jerap arang aktif terhadap gas dan larutan, karena mineral seperti kalsium, kalium, magnesium dan natrium menyebar dalam kisi arang aktif dan mempengaruhi pembentukan lebar lapisan kristalit, sehingga diperkirakan kinerja arang aktif kulit akasia serta arang aktif komersial sebagai penyerap menjadi berkurang. Meskipun demikian, keduanya masih dapat digunakan sebagai penyerap dengan mengurangi kadar abunya melalui cara mencuci arang aktif dengan larutan asam klorida HCl.

4.2.4 Kadar karbon terikat

Kadar karbon arang aktif kulit akasia yang dihasilkan sebesar 80,12, sedangkan arang aktif komersial memiliki kadar karbon yang lebih rendah yaitu 73,87. Keduanya memiliki kadar karbon yang memenuhi Standar Nasional Indonesia Anonim 1995 karena lebih dari 65. Besar kecilnya kadar karbon terikat yang dihasilkan, selain dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar zat menguap dan kadar abu juga dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan lignin bahan yang dapat dikonversi menjadi atom karbon Pari 2004. Kadar karbon yang cukup tinggi ini menunjukkan sedikitnya atom karbon yang bereaksi dengan uap air menghasilkan gas CO sehingga atom karbon tertata kembali membentuk struktur heksagonal yang cukup banyak. Kondisi ini mengindikasikan arang aktif kulit akasia dan arang aktif komersial mempunyai daya serap yang cukup tinggi.

4.2.5 Derajat kristalinitas arang aktif kulit akasia dan arang aktif komersial

Berdasarkan hasil analisis menggunakan sinar x, derajat kristalinitas arang aktif komersial sebesar 27,79, sedangkan arang aktif kulit akasia sebesar 66,20 Tabel 3. Perbedaan derajat kristalinitas ini disebabkan cara pembuatan arang aktif yang berbeda, arang aktif kulit akasia diaktivasi hanya menggunakan uap air sedangkan arang aktif komersial dengan menggunakan bahan – bahan kimia Anonim 2008. Rendahnya derajat kristalinitas arang aktif komersial ini menunjukkan adanya celah antar kristalit yang lebih lebar dan pori yang terbentuk lebih besar Pari 2004. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa arang aktif kulit akasia mempunyai daya serap yang lebih rendah dibandingkan arang aktif komersial.

4.3 Daya Serap Arang Aktif Kulit Kayu Akasia dan Arang Aktif Komersial

Kemungkinan arang aktif kulit akasia dapat dijadikan sebagai bahan penyerap, tidak cukup hanya diduga melalui hasil pengujian sifat kimia dan fisika arang aktif serta derajat kristalinitasnya saja. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian lanjutan yaitu pengujian daya serap arang aktif kulit akasia terhadap beberapa jenis senyawa yang dibandingkan dengan arang aktif komersial. Tabel 4 Daya Serap Arang Aktif Kulit Akasia dan Arang Aktif Komersial Jenis contoh uji Daya serap Daya serap Daya serap terhadap yodium terhadap kloroform terhadap benzena mgg Arang aktif 177,35 5,06 6,96 kulit akasia Arang aktif 225,29 6,88 7,66 komersial

4.3.1 Daya serap terhadap yodium

Penetapan daya serap arang aktif terhadap yodium merupakan persyaratan umum untuk menilai kualitas arang aktif. Besarnya daya serap yodium arang aktif kulit akasia tidak jauh berbeda dengan arang aktif komersial Tabel 4. Baik arang aktif kulit akasia maupun arang aktif komersial, keduanya mempunyai daya serap yang belum memenuhi Standar Nasional Indonesia Anonim 1995 karena kurang dari 750 mgg. Hasil pengujian daya serap yodium ini berbeda nyata dengan hasil penelitian Pari 2000 yang menyimpulkan daya serap terhadap yodium antara 667,16 – 866,23 mgg. Hal ini disebabkan perbedaan cara pembuatan arang aktif dan suhu aktivasi yaitu cara kimia dengan suhu aktivasi 900°C. Menurut Pari et al. 2006, tinggi rendahnya daya serap arang aktif terhadap yodium menunjukkan banyaknya dimeter pori arang aktif yang berukuran 10 Ǻ. Rendahnya daya serap arang aktif ini dapat disebabkan oleh kerusakan atau erosi dinding pori karbon dan juga menggambarkan sedikitnya struktur mikropori yang terbentuk dan kurang dalam Pari et al. 2000.