Kadar karbon terikat Sifat Fisika dan Kimia Arang Kulit Akasia

4.1.5 Derajat kristalinitas arang

Penilaian kualitas arang yang akan dijadikan arang aktif sebagai penyerap tidak cukup hanya dengan mengetahui sifat fisika dan kimia arang saja. Hasil pengujian ini perlu didukung oleh informasi mengenai struktur arang yang ditunjukkan salah satunya dengan derajat kristalinitas arang. Informasi ini diperoleh melalui analisis struktur arang menggunakan sinar x. Analisis struktur arang dengan menggunakan sinar x X ray – DiffractometerXRD bertujuan untuk mengetahui struktur kristalit arang, sehingga dapat diketahui pula perubahan bentuk kristalit sebagai akibat perubahan suhu karbonisasi. Tabel 2 menunjukkan derajat kristalinitas terendah terbentuk pada suhu 200°C, hal ini mungkin disebabkan serbuk kulit akasia terdekomposisi pada suhu sekitar 200°C. Peningkatan derajat kristalinitas terjadi mulai dari suhu 300°C, dan mencapai nilai maksimum pada suhu karbonisasi 600°C. Peningkatan suhu diatas 600°C justru menurunkan derajat kristalinitas arang. Hasil penelitian ini belum sesuai dengan yang dikemukakan oleh Saito dan Arima 2002 diacu dalam Pari 2004 yang menyimpulkan bahwa derajat kristalinitas arang akan meningkat dengan naiknya suhu karbonisasi. Kondisi tersebut terjadi karena kulit kayu akasia sebagian besar mengandung lignin yang struktur dasarnya bersifat amorf sehingga menyulitkan dalam pembuatan struktur arang, karena meskipun dikarbonisasi hingga suhu 800°C diduga strukturnya tetap amorf yang ditunjukkan dengan menurunnya derajat kristalinitas pada suhu 700°C dan 800°C. Hal ini juga tidak sesuai dengan hasil penelitian Ota dan Mozammel 2003 bahwa struktur arang yang ideal pada umumnya mengandung derajat kristalinitas yang relatif besar. Hasil pengujian sifat fisika dan kimia arang kulit akasia yang dikarbonisasi dari suhu 0°C hingga 800°C menunjukkan bahwa secara keseluruhan kadar air arang memenuhi syarat SNI Anonim 1995 karena tidak lebih dari 15, namun kadar zat menguap arang yang memenuhi parsyaratan tersebut hanya arang yang dikarbonisasi pada suhu 400°C hingga 800°C karena kurang dari 25. Sedangkan kadar abu arang kulit akasia secara keseluruhan belum memenuhi syarat SNI Anonim 1995 karena lebih dari 10 dan hanya kadar karbon terikat arang yang dikarbonisasi pada suhu 700 – 800 °C dengan nilai lebih dari 65 dapat memenuhi persyaratan tersebut. Arang kulit akasia yang dihasilkan pada suhu 600 – 800 °C memiliki derajat kristalinitas cukup besar dengan nilai yang tidak berbeda, sehingga diperkirakan memiliki struktur arang yang cukup ideal sebagai bahan penyerap. Berdasarkan penjelasan diatas suhu 700 – 800 °C dinilai sebagai suhu optimum untuk aktivasi dalam pembuatan arang aktif yang akan digunakan sebagai bahan penyerap.

4.2 Sifat Fisika dan Kimia Arang Aktif Kulit Akasia dan Arang Aktif Komersial

Sifat – sifat arang pada suhu 700°C dan 800°C tidak berbeda nyata, sehingga pembuatan arang aktif dilakukan dengan suhu 750°C. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Pari et al. 2008, bahwa kondisi optimum untuk membuat arang aktif dengan kualitas terbaik dihasilkan dari arang yang diaktivasi pada suhu 750°C selama 90 menit. Berikut ini hasil pengujian sifat fisika dan kimia arang aktif kulit akasia yang dibandingkan dengan arang aktif komersial yaitu arang aktif yang telah banyak dikonsumsi sebagai penyerap adsorben. Tabel.3 Sifat Fisika dan Kimia Arang Aktif Kulit Akasia serta Arang Aktif Komersial Contoh uji Kadar Air Kadar Zat Kadar Kadar Karbon Derajat Menguap Abu Terikat Kristalinitas Arang aktif 1,37 8,05 11,81 80,12 66,20 kulit akasia Arang aktif 7,09 13,51 12,60 73,87 27,79 komersial

4.2.1 Kadar air

Berdasarkan Tabel 3 arang aktif kulit akasia memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan dengan arang aktif komersial dan memenuhi Standar Nasional Indonesia SNI 06 –3730-1995, karena tidak melebihi 15. Rendahnya kadar air ini diduga karena permukaan arang aktifnya lebih sedikit mengandung gugus fungsi yang bersifat polar dibandingkan arang aktif komersial sehingga interaksi antara uap air yang bersifat polar juga sedikit Pari et al. 2008. Rendahnya kadar air ini juga menunjukkan bahwa zat menguap dan senyawa lainnya di dalam arang aktif kulit akasia lebih mudah dikeluarkan, sehingga luas permukaan arang aktif semakin besar dan pori – pori arang semakin banyak. Dari kondisi ini dapat dimungkinkan bahwa arang aktif kulit akasia memiliki kinerja sebagai penyerap yang cukup baik.

4.2.2 Kadar zat menguap

Tujuan penetapan kadar zat menguap yaitu untuk mengetahui besarnya kandungan senyawa volatile di dalam arang aktif sebagai hasil dari interaksi antara karbon dengan uap air. Dari hasil pengujian kadar zat menguap arang aktif komersial lebih tinggi dibandingkan arang aktif kulit akasia, dan keduanya memenuhi persyaratan SNI karena tidak melebihi 25. Tinggi rendahnya kadar zat menguap yang dihasilkan menunjukkan bahwa permukaan arang aktif masih ditutupi oleh senyawa non karbon sehingga mempengaruhi daya serapnya Pari et al. 2006. Kadar zat menguap arang aktif kulit akasia yang rendah disebabkan tidak sempurnanya penguraian senyawa non karbon pada waktu proses pengarangan. Menurut Kuriyama 1961 kehadiran senyawa volatile pada arang aktif dapat mengganggu proses penyerapan karena menutupi pori arang. Rendahnya kadar zat menguap menunjukkan banyaknya zat volatile yang terdesak keluar, sehingga mengakibatkan sobekan yang menghasilkan banyak pori pada permukaan arang aktif. Dengan demikian arang aktif yang memiliki kadar zat menguap lebih rendah diduga berpotensi memiliki daya serap yang cukup baik.

4.2.3 Kadar abu

Tujuan penetapan kadar abu adalah untuk mengetahui kandungan oksida logam dalam arang aktif. Baik arang aktif kulit akasia maupun arang aktif komersial memiliki kadar abu yang tidak memenuhi persyaratan SNI karena melebihi 10. Kadar abu arang aktif komersial sebesar 12,60, lebih tinggi dibandingkan arang aktif yaitu 11,81. Kadar abu yang tinggi disebabkan oleh adanya proses oksidasi terutama dari partikel halus pada saat karbonisasi dan berlanjut pada saat aktivasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sudrajat 1985 bahwa tingginya kadar abu terjadi karena terbentuknya garam – garam mineral pada saat proses pengarangan yang jika proses tersebut berlanjut akan membentuk partikel – partikel halus dari garam – garam mineral tersebut. Selain itu khusus untuk arang aktif kulit akasia, kadar abu yang tinggi disebabkan karena pada