Gambar 5 Histogram Kadar Abu Arang Kulit Akasia.
Gambar 5 menunjukkan bahwa kenaikan suhu tidak menyebabkan kenaikan kadar abu atau sebaliknya, tetapi menghasilkan arang dengan nilai kadar
abu yang fluktuatif. Arang yang dihasilkan dari suhu 600°C mengandung kadar abu tertinggi yaitu sebesar 22,64, sedangkan kadar abu terendah dimiliki oleh
arang yang dikarbonisasi pada suhu 800°C yaitu 19,39 Tabel 2. Analisis sidik ragam Lampiran 1.3 menunjukkan bahwa perlakuan suhu berpengaruh sangat
nyata terhadap kadar abu arang yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 2.3 menunjukkan bahwa antara suhu 0
– 300 °C dengan suhu 700°C, respon kadar abu tidak berbeda nyata. Suhu 500°C hingga 600°C juga
memberikan respon yang tidak berbeda nyata, dan respon pada suhu 400°C berbeda nyata dengan suhu lainnya namun tidak berbeda nyata dengan suhu 700
°C. Hasil uji juga menunjukkan arang yang dihasilkan pada suhu 800°C memiliki kadar abu paling rendah dan berbeda nyata dengan suhu lainnya namun tidak
berbeda nyata dengan respon kadar abu pada suhu 400°C. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu 0°C hingga 300°C tidak mengubah kadar abu, dan
peningkatan suhu menjadi 400°C menurunkan kadar abu arang. Peningkatan suhu diatas 400°C mengubah kadar abu, namun penigkatan suhu dari 500°C hingga 600
°C tidak mempengaruhi perubahan kadar abu arang. Sedangkan peningkatan suhu diatas 600°C menurunkan kadar abu arang.
Menurut Sudrajat 1985 peningkatan kadar abu terjadi karena terbentuknya garam
– garam mineral pada saat proses pengarangan yang bila proses tersebut berlanjut akan membentuk partikel
– partikel halus dari garam –
5 10
15 20
25 30
35 40
200 300
400 500
600 700
800
Suhu °C Kadar
Abu
garam mineral tersebut. Kadar abu dipengaruhi oleh besarnya kadar silikat, semakin besar kadar silikat maka kadar abu yang dihasilkan akan semakin besar
Pari 1996. Selain itu khusus untuk arang aktif kulit akasia, kadar abu yang tinggi disebabkan karena pada dasarnya kulit akasia mengandung mineral silikat yang
cukup tinggi Sjostrom 1995. Secara keseluruhan kadar abu tersebut belum memenuhi persyaratan
Standar Nasional Indonesia Anonim 1995 untuk arang aktif karena lebih dari 10. Besarnya kadar abu ini disebabkan terjadinya oksidasi karbon lebih lanjut
terutama dari partikel yang sangat halus sehingga akan mempengaruhi arang aktif yang akan dibuat Pari 1999. Meskipun demikian, beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa walapun kadar abunya tidak memenuhi syarat namun tetap dapat dibuat arang aktif Komarayati et al. 1998 dan Pari 1999. Oleh karena itu
perlu dilakukan pengayakan untuk abu yang menempel pada permukaan arang dan pembuatan arang aktif dilakukan dengan proses pirolisis slow pyrolisis Pari
et al. 2006.
4.1.4 Kadar karbon terikat
Menurut Hendra dan Winarni 2003, kadar karbon terikat adalah fraksi karbon C yang terikat di dalam arang selain fraksi air, zat menguap dan abu.
Menurut Pari 1996, tinggi rendahnya kadar karbon terikat di dalam arang dipengaruhi oleh nilai kadar abu, kadar zat menguap dan senyawa hidrokarbon
yang masih menempel pada permukaan arang. Dari hasil penelitian diperoleh kadar karbon terikat yang cenderung
meningkat dengan meningkatnya suhu yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sjostrom 1995 yaitu suhu yang semakin tinggi akan meningkatkan
kandungan karbon karena dedehidrasi lebih sempurna dan adanya penghilangan produk-produk yang mudah menguap. Perubahan kadar karbon terikat arang kulit
akasia dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6 Kadar Karbon Terikat Arang Kulit Akasia. Kadar karbon terikat yang tertinggi terdapat di dalam arang yang
dikarbonisasi pada suhu 800°C yaitu 82,33, sedangkan bahan mentah yang tidak dipirolisis memiliki kadar karbon terikat terendah yaitu sebesar 2,16 Tabel 2.
Analisis sidik ragam Lampiran 1.4 memperlihatkan pengaruh yang sangat nyata dari setiap suhu pengarangan terhadap kadar karbon terikat arang. Hasil uji lanjut
Duncan menunjukkan pada suhu 0°C hingga 300°C respon kadar karbon terikat berbeda nyata, namun pada suhu 400
– 600 °C respon kadar karbon terikat tidak berbeda nyata. Peningkatan suhu 700
– 800 °C juga menyebabkan respon kadar karbon terikat tidak berbeda nyata. Hal ini berarti peningkatan suhu dari 0°C
hingga 300°C mengubah kadar karbon terikat arang. Peningkatan suhu diatas 300 °C meningkatkan kadar karbon terikat, namun peningkatan suhu dari 400°C
hingga 600°C dan peningkatan suhu dari 700°C hingga 800°C tidak mempengaruhi perubahan kadar karbon terikat arang kulit akasia.
Tingginya kadar karbon tersebut menunjukkan bahwa fraksi karbon yang terikat di dalam arang semakin tinggi. Kondisi tersebut diduga mengakibatkan
luas permukaan arang semakin besar dan jumlah pori arang semakin banyak sehingga diduga mempunyai kemampuan menyerap cairan atau gas.
Dari keseluruhan nilai kadar karbon terikat yang telah diperoleh, hanya arang yang dihasilkan pada suhu 700°C dan 800°C saja yang memenuhi
persyaratan Standar Nasional Indonesia Anonim 1995 untuk arang aktif karena lebih dari 65.
10 20
30 40
50 60
70 80
90
200 300 400 500 600 700 800
Suhu °C Kadar
Karbon Terikat
4.1.5 Derajat kristalinitas arang
Penilaian kualitas arang yang akan dijadikan arang aktif sebagai penyerap tidak cukup hanya dengan mengetahui sifat fisika dan kimia arang saja. Hasil
pengujian ini perlu didukung oleh informasi mengenai struktur arang yang ditunjukkan salah satunya dengan derajat kristalinitas arang. Informasi ini
diperoleh melalui analisis struktur arang menggunakan sinar x. Analisis struktur arang dengan menggunakan sinar x X ray
– DiffractometerXRD bertujuan untuk mengetahui struktur kristalit arang,
sehingga dapat diketahui pula perubahan bentuk kristalit sebagai akibat perubahan suhu karbonisasi. Tabel 2 menunjukkan derajat kristalinitas terendah terbentuk
pada suhu 200°C, hal ini mungkin disebabkan serbuk kulit akasia terdekomposisi pada suhu sekitar 200°C. Peningkatan derajat kristalinitas terjadi mulai dari suhu
300°C, dan mencapai nilai maksimum pada suhu karbonisasi 600°C. Peningkatan suhu diatas 600°C justru menurunkan derajat kristalinitas arang. Hasil penelitian
ini belum sesuai dengan yang dikemukakan oleh Saito dan Arima 2002 diacu dalam Pari 2004 yang menyimpulkan bahwa derajat kristalinitas arang akan
meningkat dengan naiknya suhu karbonisasi. Kondisi tersebut terjadi karena kulit kayu akasia sebagian besar mengandung lignin yang struktur dasarnya bersifat
amorf sehingga menyulitkan dalam pembuatan struktur arang, karena meskipun dikarbonisasi hingga suhu 800°C diduga strukturnya tetap amorf yang
ditunjukkan dengan menurunnya derajat kristalinitas pada suhu 700°C dan 800°C. Hal ini juga tidak sesuai dengan hasil penelitian Ota dan Mozammel 2003
bahwa struktur arang yang ideal pada umumnya mengandung derajat kristalinitas yang relatif besar.
Hasil pengujian sifat fisika dan kimia arang kulit akasia yang dikarbonisasi dari suhu 0°C hingga 800°C menunjukkan bahwa secara
keseluruhan kadar air arang memenuhi syarat SNI Anonim 1995 karena tidak lebih dari 15, namun kadar zat menguap arang yang memenuhi parsyaratan
tersebut hanya arang yang dikarbonisasi pada suhu 400°C hingga 800°C karena kurang dari 25. Sedangkan kadar abu arang kulit akasia secara keseluruhan
belum memenuhi syarat SNI Anonim 1995 karena lebih dari 10 dan hanya kadar karbon terikat arang yang dikarbonisasi pada suhu 700
– 800 °C dengan