Interaksi Masyarakat dengan Sumber Daya Hutan

Berdasarkan hasil wawancara dengan pencari jernang Lampiran 1 dapat dinyatakan hal-hal sebagai berikut: 1 Pencarian buah rotan jernang biasanya dilakukan berkelompok. Jumlah anggota satu kelompok umumnya terdiri dari 3 sampai 7 orang. Jumlah setiap kelompok selalu ganjil, aturan ini merupakan kebiasaan karena bila kelompok dalam jumlah genap dipercayai akan selalu mendapat halangan seperti musibah atau sakit. 2 Waktu pencaharian Jernang berkisar antara 1 sampai 2 minggu. Pencaharian Jernang biasanya dilakukan 2 kali dalam setahun, yaitu pada saat panen besar antara bulan Juli sampai September dan panen sela antara bulan Desember dan Januari. Di luar musim tersebut, setiap bulan masih ada saja kelompok yang mencari jernang walaupun mendapatkan hasil yang terbatas. 3 Jernang yang diperoleh dari hutan tidak langsung, tetapi diolah terlebih dahulu. Tahap pengolahan pascapanen tersebut dilakukan secara sederhana, yakni buah jernang dipotong dan dipisahkan dari rangkaian tandan buah, selanjutnya dimasukan ke dalam karung plastik dan di lakukan penjemuran hingga kulit buah kering Gambar 12. Tahap selanjutnya, dengan cara menggoyang dalam tapisan akan diperoleh jernang dalam bentuk tepung Gambar 13. Agar getah jernang tidak mudah terhambur, melalui sedikit pemanasan dalam wadah tertentu akan diperoleh produk getah jernang dalam bentuk lempengan yang mudah untuk dikemas Gambar 14. Kualitas getah jernang dibedakan dalam dua kualitas yakni jernang kualitas 1 dan jernang kualitas 2. Jernang kualitas 1 merupakan ekstraksi murni dari buah jernang dengan bahan campuran kurang dari 30. Sementara itu, Jernang kualitas 2 adalah ekstraksi serbuk Jernang dari buah Jernang yang telah dicampur dengan daging buah Jernang yang ditumbuk halus ataupun dengan damar batu kucing atau dengan campuran antara 30 - 50. Gambar 12 Buah jernang Gambar 13 Tepung buah jernang berwarna merah Gambar 14 Tepung jernang dalam kemasan. 4 Semakin langkanya jernang dan semakin jauhnya wilayah jelajah pencaharian Jernang Gambar 9 telah menyebabkan biaya operasional untuk pencarian jernang semakin besar. Biaya operasional tersebut bersumber dari anggota masyarakat yang berprofesi sebagai pembeli jernang para pengumpul jernang dan disebut sebagai seorang tauke. Lingkup pembelian jernang mereka tidak hanya Desa Lamban Sigatal namun juga mencapai desa-desa sekitarnya, yaitu Desa Lubuk Napal dan Desa Sepintun. Saat ini, di Desa Lamban Sigatal terdapat 4 empat orang yang berprofesi sebagai tauke. Tiga diantaranya memiliki anggota atau pengumpul jernang tetap sedangkan seorang lagi tidak memiliki anggota pengumpul jernang. Bagi kelompok pejernang yang dinaungi tauke maka pembiayaan kelompok untuk mencari jernang akan dibiayai tauke. Besarnya pembiayaan berkisar antara Rp1 350 000 sampai Rp1 500 000 bagi setiap individu pengumpul jernang. Dari nominal tersebut, individu pengumpul jernang akan membaginya untuk beberapa keperluan dengan persentase sebagai berikut: a Uang untuk keluarga yang ditinggalkan b Bahan makanan untuk keluarga c Biaya transportasi ke lokasi ; dan d Bahan makanan selama pengumpulan jernang di lapangan. Uang tunai yang diserahkan tauke kepada para pengumpul jernang hanyalah uang untuk keluarga dan biaya transportasi ke lokasi. Adapun bahan makanan, baik untuk dibawa ke lapangan maupun untuk keluarga yang ditinggalkan, tidak dibeli secara tunai oleh pengumpul jernang melainkan sudah disediakan oleh tauke. 5 Banyaknya bagian bagi anggota kelompok dihitung berdasarkan rata-rata pendapatan Jernang. Kesepakatan ini disebut dalam seloko adat yaitu “tere n d ¥ m ¦ ¥ m o b ¥¦ ¥ h § te ¨ ¥ m p ¥ i ¦ ¥ m o ke rin g ”, artinya bila ada hasil maka sama-sama mendapatkan dan bila tidak ada hasil maka sama-sama pula tidak mendapatkannya. Dalam hal ini toleransi antar anggota dalam kelompok menjadi hal yang utama.

5.6 Respon Pemerintah Daerah dan Masyarakat Terhadap Kebijakan

Hutan Tanaman Rakyat dan Inisiasi Agroforestri Karet Jernang

5.6.1 Respon pemerintah daerah terhadap kebijakan HTR

Khusus pada Kabupaten Sarolangun, pemerintah daerah telah memohonkan izin pencadangan kawasan di eks. HPH PT. Pitco. Kawasan hutan ini, sebagaimana telah diuraikan pada bagian di awal, merupakan hutan dataran rendah yang menjadi salah satu daerah sentra produksi penghasil jernang. Berdasarkan wawancara dengan kepala dinas kehutanan maupun kepala daerahBupati Lampiran 4, diketahui bahwa kebijakan izin pencadangan kawasan eks HPH PT. Pitco bagi pembangunan HTR di Kabupaten Sarolangun tidak terlepas dari pertimbangan terhadap 3 tiga hal berikut: a Adanya kepentingan penyelamatan sumber daya hutan yang cukup berpotensi untuk dimanfaatkan dan dikelola dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakatnya yang baik secara berkelanjutan. Hal ini dikuatkan oleh laporan KKI 2010 pada tahun 2007 diperkirakan kerusakan hutan telah mencapai 94 665 hektar. Sumber kerusakan utama adalah adanya perambahan kawasan hutan tanaman industri pertukangan HTI pertukangan dan kawasan eks-HPH hak pengelolaan hutan yang telah ditinggalkan oleh pemegang izin pengelolaannya. b Adanya fakta bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Sarolangun hingga kini belum juga dapat meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat di sekitar sumber daya alam tersebut. Pada tahun 2010, indeks persentase penduduk miskin daerah Kabupaten Sarolangun sebesar 1.15 menunjukan kemiskinan yang relatif masih tinggi dibandingkan dengan rata-rata tingkat kemiskinan masyarakat kabupatenkota di Provinsi Jambi secara keseluruhan IPPMD sebesar 1.01. Dari sisi pemerintah, nilai indeks ruang fiskal daerah IRFD Kabupaten Sarolangun sebesar 0.83 kategori sedang juga menunjukan pemanfaatan potensi sumber daya hutan yang besar tersebut belum cukup mampu menopang perekonomian daerah secara mandiri. Jumlah penduduk miskin yang ada di Kabupaten Sarolangun berjumlah 8 102 kepala keluarga Bappeda Sarolangun, 2009, sehingga ada ‘program 8102’ untuk pengentasan masyarakat miskin tersebut. c Adanya fakta bahwa kawasan hutan sebagian besar telah diokupasi oleh rakyat sebagai lahan perkebunan rakyat. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sarolangun membuahkan hasil dengan ditetapkannya kawasan eks PT. Pitco sebagai areal pencadangan HTR. Penetapan tersebut didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 386KPTS-II2008 tanggal 7 November 2008 dengan luas atreal 18 840 ha, yang penyerahan surat keputusannya dilaksanakan pada tanggal 27 Maret 2009 oleh Menteri Kehutanan. Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pencadangan areal HTR, seperti Menteri Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan saat ini Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Gubernur dan BupatiWalikota, Dinas Provinsi dan Dinas KabupatenKota yang membidangi Kehutanan, UPT Departemen Kehutanan khususnya Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi BPPHP dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH telah melakukan tindakan bersama untuk terealisasinya areal pencadangan HTR di Kabupaten Sarolangun.

5.6.2 Inisiasi Pengusulan Kawasan Kelola Jernang

Masyarakat mempunyai persepsi yang baik terhadap program HTR, seperti tercantum pada Tabel 19. Sebanyak 78 dari total anggota masyarakat 50 orang setuju dengan adanya kebijakan HTR, dengan 26 dari masyarakat tersebut berharap dari HTR akan mendapatkan izin untuk pengelolaan kawasan hutan. Hanya 22 11 orang dari total anggota masyarakat yang memanfaatkan jernang dari kawasan hutan dan kebun-kebun karet yang belum mengetahui tujuan dari program pemerintah tersebut. Selebihnya telah memahami tujuan dari program pengembangan HTR jernang tersebut. Harapan mereka dari sisi sistem sumberdaya alam adalah adanya kepastian hak pengelolaan sedangkan dari sisi unit sumberdaya alam komoditas adalah adanya kestabilan atau bahkan peningkatan nilai jual jernang. Sebanyak 64 masyarakat mengharapkan adanya pengelolaan yang dilakukan sendiri oleh mereka, dan 28 sistem pengelolaan membudidayakan tanaman karet dan jernang. Pembudidayaan jernang ini akan dilakukan masyarakat karena 40 masyarakat menyatakan bahwa jernang memiliki nilai jual yang tinggi. Tabel 19 Persepsi masyarakat terhadap kebijakan HTR No. Persepsi Masyarakat Jumlah Orang Persentase 1. Persepsi terhadap kebijakan HTR a. setuju b. tidak setuju c. tidak tahu 39 11 78 22 2. Persepsi terhadap Jernang a. tradisi keluarga b. bernilai jual tinggi c. sumber keuangan d. tidak tahu 7 20 5 18 14 40 1 36 3. Harapan adanya HTR a. adanya legalitas lahan b. status lahan kelola jelas c. adanya izin kelola d. Hutan produksi yang dikelola masyarakat terselamatkan e. diubah jadi Area Penggunaan Lain f. masyarakat tenang dalam menanam karet g. tidak tahu 8 9 13 5 3 4 8 16 18 26 10 6 8 16 4. Harapan budi daya jernang a. kenaikan harga dari pemerintah b. perbaikan harga dari toke c. ada aturan jelas tentang standar harga d. ada kejelasan pasar e. tidak tahu 17 2 5 1 25 34 4 10 2 50 5. Pengelolaan kawasan HTR a. dikelola sendiri oleh masy b. dikelola secara kelompok c. dikelola dengan dibantu LSM d. dikelola pemerintah e. tidak tahu 32 4 2 1 11 64 8 4 2 22 6. Sistem pengelolaan jernang a. jernang dan karet b. jernang dan tanaman hutan c. jernang dan buah-buahan d. dikembangkan dengan HTR e. tidak tahu 21 2 6 1 20 42 4 12 2 40 Jumlah responden n=50 50 100 Sumber : Data primer, diolah 2010. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan HTR memberikan peluang dan harapan bagi masyarakat untuk dapat melakukan pengelolaan terhadap lahan di kawasan hutan dengan mendapatkan izin pengelolaan. Tetapi masyarakat juga berharap untuk dapat menentukan sendiri pengelolaan lahan tersebut berdasarkan pengetahuan lokal mereka, sehingga masyarakat lebih mudah