Permasalahan dalam Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Daya

5.10 Desain Pengembangan Institusi Pengelolaan Sumber Daya Hutan Desa Lamban Sigatal

Pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri di desa Lamban Sigatal didasarkan atas akar permasalahan yang menyebabkan belum mapannya institusi pengelolaan sumberdaya hutan Lamban Sigatal. Berdasarkan kriteria evaluasi pengembangan institusi dapat diketahui akar permasalahan atas pengelolaan sumberdaya hutan Lamban Sigatal pada kawasan pencadangan HTR, terdiri atas: 1 kebijakan pembangunan HTR belum memperhatikan karakteristik fisik sumberdaya hutan di tingkat lokal; 2 belum terwujudnya akses terhadap lahan yang sempurna; 3 rendahnya kapasitas masyarakat; dan 4 tata niaga unit sumberdaya jernang belum efisien. Kebijakan pembangunan HTR belum memperhatikan karakteristik fisik sumberdaya hutan ditingkat lokal. Padahal dalam upaya pengelolaan sumberdaya sumberdaya hutan yang ada di Lamban Sigatal perlu diperhatikan bahwa hutan merupakan sebuah sistem sumberdaya yang mengandung berbagai jenis sumberdaya sebagai unit sumberdaya, seperti Jernang dan Karet yang telah menjadi sumber penghidupan masyarakat. Hal ini berarti bahwa pengaturan pengelolaan sumberdaya dengan memperhatikan karakteristiknya merupakan sebuah keharusan, sehingga kebijakan yang dibuat sesuai dengan potensi sumberdaya lokal. Selanjutnya, akses terhadap lahan secara sempurna belum dapat terwujud, yang dibuktikan oleh belum terealisasikannya penerbitan IUPHHK-HTR. Padahal pemberian IUPHHK HTR kepada masyarakat merupakan cara untuk memperjelas akses terhadap pengelolaan lahan sehingga masyarakat memiliki legalitas dalam pemanfaatan sumber daya hutan yang kemudian dapat menimbulkan rasa aman dalam berusaha. Oleh karenanya, terwujudknya akses yang sempurna terhadap lahan dalam bentuk IUPHHK HTR melalui kemudahan pengurusan izin menjadi sangat diperlukan. Di sisi lain, terdapat permasalahan rendahnya kapasitas masyarakat desa Lamban Sigatal yang berakibat pada lemahnya kemampuan masyarakat untuk mengakses sumberdaya lahan dalam kawasan pencadangan HTR. Hal ini berarti perwujudan akses yang sempurna melalui kemudahan pemberian izin dan pengingkatan kapasitas masyarakat patut dilakukan oleh pemerintah. Pemberian izin yang diberikan merupakan usulan pribadi atau kelompok, apabila nantinya diberikan izin maka sumberdaya akan menjadi kepemilikan individu. Kondisi yang demikian dapat berakibat tidak lahirnya aksi bersama. Padahal jika izin yang diberikan terkait dengan pengelolaan jernang pada kawasan kelola tertentu, maka sangat dibutuhkan aksi bersama dalam rangka mencapai keberhasilannya. Adanya kelompok lokal yang sudah dibentuk dengan anggota masyarakat petani jernang menjadi dasar bagi dapat terwujudnya aksi bersama tersebut, namun demikian kelompok ini masih butuh penguatan. Untuk penguatan kelompok diperlukan upaya asistensi teknis dan asistensi permodalan yang membutuhkan peran pemerintah di daerah. Kelompok ini nantinya dapat dikembangkan sebagai kelompok pemasaran hasil produksi yang diusahakan oleh masyarakat. Pengusulan kawasan kelola jernang dan pembentukan kelompok oleh masyarakat pemanfaat jernang mengacu pada pendapat Agrawal 2001 merupakan usaha untuk memenuhi prinsip disain institusi. Kawasan kelola yang jelas peta dan luasannya memenuhi prinsip batasan sumber daya yang didefinisikan dengan baik, kelompok yang kecil dan adanya ketergantungan antara anggota kelompok dengan sumber daya, adanya aturan dan penerapan sangsi dengan dibuatnya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga kelompok. Dilihat dari sisi efisiensi mekanisme pasar dapat dibuktikan bahwa tata niaga Jernang di Lamban Sigatal belum efisien, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya margin yang diperoleh oleh masyarakat pengumpul Jernang atau margin terbesar diperoleh oleh pendagang pengumpul di tingkat Kabupaten. Implikasi dari hal sebagaimana di atas adalah aturan informal yang masih berlaku dalam tata niaga Jernang belumlah mapan, baik dari segi alur perdagangan dan peningkatan akses pemodalan. Peran tauke sebagai penyedia modal dalam melakukan usaha pencarian dan sebagai pedagang yang memasarkan hasil sumberdaya tidaklah dapat ditinggalkan begitu saja. Oleh karenanya, tauke haruslah dirangkul dalam satu kesatuan bersama masyarakat untuk dapat mencapai tujuan bersama yang diharapkan yaitu peningkatan pendapatan yang akhirnya bisa memunculkan kesejahteraan bersama. Memperhatikan seluruh uraian di atas dan berdasarkan hasil FGD dan sintesis yang dilakukan Lampiran 9, desain institusi yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1 Kepastian akses terhadap lahan a Menyederhanakan peraturan persyaratan untuk mendapatkan izin agar lebih mudah diakses masyarakat. b Asistensi teknis dan permodalan untuk pembangunan HTR yang lebih mudah diakses oleh masyarakat untuk mendapatkan IUPHHK-HTR maupun pembangunannya. c Menjadikan usulan kawasan kelola dan agroforestri karet jernang AK-J sebagai pola yang dapat dikembangkan dalam pembangunan HTR. 2 Kesesuaian Kapasitas Lembaga Penguatan kelompok lokal sebagai organisasi yang akan mengusulkan kawasan kelola dan usaha untuk mendapatkan IUPHHK-HTR melalui pembinaan dan pendampingan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah daerah dan dibantu dengan lembaga swadaya masyarakat. 3 Efisiensi Mekanisme Pasar Membentuk kelompok pemasaran jernang dengan memfasilitasi keanggotaan tauke jernang dalam kelompokkoperasi dari penguatan dan pengembangan kelompok di masyarakat. Hal tersebut diatas belumlah cukup untuk dapat menjadikan pembangunan HTR berhasil apabila tidak didukung oleh Pemerintah di daerah. Stakeholders penting bagi keberhasilan kebijakan pembangunan HTR yang ditujukkan bagi peningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah Bupati Sarolangun, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sarolangun, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sarolangun, Bappeda Kabupaten Sarolangun, Kepala Desa Lamban Sigatal, Camat Pauh, Badan Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah II dan BP2HP Wil. IV. Selain itu, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, dan Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Sarolangun dan Yayasan Gita Buana LSM, menjadi stakeholder yang dapat mendukung keberhasilan pembangunan HTR.