untuk menerapkan pengetahuan yang sudah mereka dapatkan terlebih dahulu.Kesadaran atas kondisi tersebut serta adanya pengetahuan atas potensi
jernang yang semakin menyusut hasil dari pemetaan potensi sumber daya alam yang dilakukan oleh anggota masyarakat dengan difasilitasi oleh Yayasan Gita
Buana, maka kelompok masyarakat yang dimotori oleh kelompok BKJ mengusulkan kawasan kelola jernang di dalam areal hutan yang telah ditetapkan
sebagai kawasan pencadangan HTR Kabupaten Sarolangun seluas 349. 58 hektar Gambar 15.
Gambar 15 Peta usulan kawasan kelola jernang pada Kawasan pencadangan HTR oleh masyarakat Desa Lamban Sigatal.
Sumber : Yayasan Gita Buana, 2009
Secara teoritis, pembentukan kelompok BKJ dan pengusulan kawasan kelola jernang oleh kelompok tersebut dipicu oleh adanya sistem insentif berupa
proyeksi keuntungan dari pengusahaan budidaya jernang. Tanpa disadari masyarakat Desa Lamban Sigatal telah mulai berupaya untuk membangun
institusi yang mapan ro b
u st in
stitu tio
n s
untuk pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Kelompok BKJ berupaya menegaskan batas kepemilikan
mereka terhadap suatu sumberdaya alam, yaitu kawasan kelola jernang itu sendiri. Menurut Ostrom 2007, kondisi ini juga merupakan pemenuhan terhadap prinsip
disain institusi yang mapan ro b
u st in
stitu tio
n s
.
5.6.3 Inisiasi Agroforestri Karet-Jernang
Kebijakan pemerintah daerah ini dimulai dari kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan didampingi oleh Lembaga Perkumpulan Gita Buana,
salah satu Lembaga swadaya masyarakat LSM lokal di Jambi. Adanya komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah daerah menghasilkan suatu aksi
bersama dalam bentuk penanaman perdana tanaman jernang untuk budidaya. Penanaman dilaksanakan pada tanggal 28 November 2006 yang secara simbolik
dilakukan oleh Bupati, kemudian diperkuat lagi dalam Workshop tanggal 28 Agustus 2008. Workshop dilakukan dengan topik tentang upaya menjadikan desa
Lamban Sigatal sebagai sentra pengembangan jernang di Kabupaten Sarolangun. Hasil dari workshop ini, maka Bupati memberikan rekomendasi untuk
mengembangkan tanaman rotan penghasil jernang ini sebagai komoditi yang dapat menjadi unggulan daerah.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa inisiasi Agroforestri Karet Jernang AK-J di Lamban Sigatal dilatar-belakangi oleh kebiasaan masyarakat
membudidayakan Karet, pemahaman tanaman Jernang memerlukan tanaman pohon untuk rambatan, hasil pengumpulan jernang dari hutan semakin menurun
dan harga jernang yang cukup mahal. Hasil penelitian ini mempunyai kemiripan dengan hasil penelitian Sumarna 2004, pengusahaan budidaya karet telah lama
dilakukan oleh masyarakat di Desa Lamban Sigatal Sarolangun, Jambi. Selain itu dari pemanfataan hasil hutan di lakukan juga pemanfaatan jernang. Hingga saat
ini pengumpulan jernang dari hutan oleh masyarakat tetapi hasil yang didapatkan sudah tidak begitu banyak. Oleh karenanya muncul inisiasi dari masyarakat untuk
dapat membudidayakan rotan jernang sebagai penghasil jernang. Oleh karena budidaya pola AK-J belum ada yang sampai pada produksi,
maka perhitungan kelayakan ekonomi AK-J yang diinisiasi oleh masyarakat dilakukan berdasarkan pada pengalaman dan pemahaman masyarakat tentang
Jernang dan pengalaman masyarakat membudidayakan Karet. Hasil analisis
menunjukkan, apabila 1 ha lahan budidaya tanaman jernang dan tanaman karet sebagai inang dengan jarak tanam 3m x 7m, didapatkan komposisi 476 batang
tanaman karet dan 384 rumpun tanaman jernang Gambar 16. Pada awal panen tahun ke-5, tanaman karet akan memproduksi getah sebanyak 500 kg ha
-1
dan
1000 kg ha
-1
pada panen berikutnya hingga peremajaan pada tahun ke-30 kayunya dijual. Sedangkan pada panen perdana tahun ke-8 diprediksi tanaman
rotan jernang menghasilkan getah jernang sebanyak 59 kg dan 117 kg ha
-1
pada tahun ke 12 dan seterusnya hingga periode produktif 30 tahun.
Gambar 16 Komposisi budidaya tanaman karet dan jernang. Berdasarkan hasil analisis kelayakan finansial HTR pola AK-J diperoleh
NPV dengan df 12 sebesar Rp 36 378 459 serta IRR sebesar 15.06 . Dari perhitungan tersebut diketahui NPV Rp 36 378 459 0 dan IRR 15.06
tingkat bunga berlaku 12.00, hal ini berarti usaha tersebut layak secara finansial Lampiran 5. Menurut Waldiyono dkk 1996, Net Present Value NPV
sering diterjemahkan sebagai nilai tunai bersih sekarang suatu proyek dikurangi dengan biaya sekarang proyek tersebut. Jika present value benefit lebih besar
dari present value cost, berarti proyek tersebut layak untuk dilaksanakan atau menguntungkan. Dengan perkataan lain, apabila NPV 0 berarti proyek tersebut
menguntungkan, dan sebaliknya jika NPV 0 maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Selanjutnya menurut Soekartawi 1995 apabila IRR lebih
besar dari nilai tingkat bunga yang berlaku maka usahatani layak untuk diusahakan.
Kebutuhan hidup layaknya KHL petani dengan jumlah KK 5 orang di desa Lamban Sigatal adalah sebesar Rp 32 000 000,-. Perhitungan Kebutuhan
Hidup Layak KHL masyarakat disekitar hutan di Desa Lamban Sigatal selengkapnya tertera pada Tabel 20.
Tabel 20 Kebutuhan hidup layak KHL masyarakat disekitar hutan
1
Jenis Pengeluaran
Kg Beras
Harga Beras Rp kg
-1 2
Pengeluaran Rp orang
-1
th
-1
Jumlah Keluarga
3
Kebutuhan Rp KK
-1
th
-1
KHM 100
320 8 000
2 560 000 5
12 800 000 Pendidikan
50 160
8 000 1 280 000
5 6 400 000
Kesehatan 50
160 8 000
1 280 000 5
6 400 000 SosialTabungan
50 160
8 000 1 280 000
5 6 400 000
KHL 6 400 000
32 000 000
Sumber : Hasil Survey,diolah 2010
1
dimodifikasi dari Monde 2008
2
rata-rata harga beras di Kabupaten Sarolangun pada saat penelitian
3
diasumsikan jumlah anggota keluarga 5 orang
4
KHM Kebutuhan Hidup Minimum
5
KLH Kebutuhan Hidup Layak
Ini berarti bahwa untuk mendapatkan kehidupan yang layak maka masyarakat haruslah memiliki pendapatan sebesar Rp.32 000 000 dan minimal
sebesar Rp.12 800 000 setiap tahunnya. Apabila pendapatan masyarakat kurang dari nilai KHM maka dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut tergolong
kepada masyarakat yang miskin. Secara rinci sistem insentif diketahui dari perhitungan arus kas budidaya
jernang yang dikombinasikan dengan karet sebagai tanaman rambat atau pola agroforestri karet jernang AK-J. Usaha ini memberikan pendapatan bersih rata-
rata per hektar per tahun pola AK-J adalah Rp 31 237 635, sedangkan KHL per KK per tahun adalah sebesar Rp 32 000 000. Hal ini berdasarkan perhitungan
berarti dengan mengusahakan AK-J 1.03 ha telah dapat memenuhi kebutuhan hidup layak petani. Mengacu kepada pendapat Soekartawi 1995 dan Sinukaban
2007 maka usaha budidaya Agroforestry Karet-Jernang AK-J layak untuk diusahakan dan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat.
Pengusulan kawasan kelola untuk budidaya jernang dan diusahakannya pola agroforestri karet jernang diharapkan dapat dijadikan sebagai kawasan
konservasi. Menurut Maydell 1986 salah satu tujuan agroforestri yaitu untuk memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan dan jasa lingkungan
setempat dengan bentuk mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati, sebagai pohon pelindung dan pengelolaan
sumber air secara baik.