Periode tahun 1970 – 2007 Aturan yang digunakan dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hutan
Pada periode ini, terjadi penurunan kualitas sumber daya hutan. Kinerja institusi yang rendah pada periode ini dapat diketahui melalui beberapa hal sebagai
berikut: a Akses pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat terhadap kawasan hutan sudah
tidak lagi berdasarkan pengelolaan yang dilakukan oleh adat. Pada prinsipnya hak masyarakat untuk mengelola hutan sudah dibatasi oleh adanya perusahaan yang
mendapatkan izin pemanfaatan oleh negara. Masyarakat tidak lagi dengan leluasa dapat memanfaatkan sumber daya hutan kayu, tetapi masih dapat memanfaatkan
sumber daya hasil hutan lain seperti jernang, madu dan tanaman obat serta hewan buruan yang terdapat di hutan.
b Wilayah “Guguk Larangan” tinggal 2 hektar. Akibatnya, terjadinya kelangkaan kayu bulian yang ditunjukan oleh semakin tingginya harga jual kayu tersebut
hingga mencapai sekitar Rp 5 juta per meter kubik. Kelangkaan disamping banyak dicari orang juga karena proses permudaan alami di hutan bekas tebangan
umumnya kurang berjalan dengan baik. Perkecambahan biji kayu bulian membutuhkan waktu cukup lama sekitar 6-12 bulan dengan persentase
keberhasilan relatif rendah, produksi buah tiap pohon umumnya juga sedikit. c Menurunnya produktivitas hutan ditinjau dari hasil kayu. Hal ini diketahui dari
sudah tidak banyaknya tegakan kayu yang besar setelah tidak lagi beroperasinya perusahaan-perusahaan yang sebelumnya memegang izin konsesi hutan. Pada
akhirnya kawasan hutan tersebut beralih fungsi menjadi areal perkebunan. d Menurunnya produktivitas hutan ditinjau dari hasil hutan bukan kayu. Hal ini
diketahui dari langkanya pohon sialang dan ruang jelajah masyarakat untuk mencari jernang yang semakin jauh dari pemukiman. Hasil survey menunjukkan
areal pencarian jernang tersebut sudah mencapai kawasan hutan PT REKI, yang bergerak pada upaya restorasi hutan, dengan jarak tempuh 12 jam berjalan kaki
dan pada wilayah eks. HPH PT. Asialog Gambar 9.
77 Gambar 9 Daerah pengumpulan jernang masyarakat Desa Lamban Sigatal Sumber: Yayasan Gita Buana 2010
Beberapa kebijakan pemerintah merupakan pemicu terjadinya hal tersebut dan dari sudut pandang institusi adalah: 1 di bidang kehutanan, kebijakan
pemerintah yang memberikan konsesi pengelolaan hutan Desa Lamban Sigatal kepada perusahaan-perusahaan yang telah disebutkan menunjukan pengalihan hak
kepemilikan atau institusi pengelolaan hutan dari masyarakat adat kepada perusahaan-perusahaan tersebut; 2 di luar bidang kehutanan, kegagalan
pelaksanaan instrumen kebijakan pengusahaan hutan alam produksi juga terjadi pada pengusahaan hutan alam produksi di hutan Desa Lamban Sigatal. Pada
wilayah ini muncul kebijakan pemerintah berupa pemberian izin perkebunan pada areal hutan eks. HPH dipadu dengan pembukaan unit-unit satuan pemukiman
USP transmigrasi di sekitar hutan. Dimungkinkannya kebijakan-kebijakan ini menandakan adanya penurunan tingkat produktivitas sumber daya hutan, dilihat
dari potensi tegakan, sehingga tidak dapat lagi masuk ke dalam kategori hutan alam produksi; 3 kebijakan pemerintah lainnya yang turut berkontribusi
terhadap rusaknya tatanan institusi pengelolaan sumber daya hutan adalah pemberlakuan Undang-Undang No.5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Diberlakukannya peraturan perundangan ini telah berakibat beralihnya institusi pemerintahan desa dari “pasirahan” yang dipimpin oleh seorang depati atau
kepala marga menjadi desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa dan didampingi oleh lembaga-lembaga formal yang mewakili berbagai elemen
masyarakat di desa. Kewenangan institusi pemerintahan desa yang baru ini tidak seluas institusi pemerintahan desa yang lama, karena sebatas pada urusan
administrasi kependudukan. Disamping itu, institusi pemerintahan desa ini juga tidak lagi berdasarkan nilai-nilai lokal yang kuat sesuai lingkungan fisik dan
sosial masyarakat. Akibatnya, terjadi pengabaian kearifan lokal yang sebelumnya sudah terbangun sejak lama.