Ruang Lingkup Penelitian Produksi Gula Pereduksi Melalui Rekayasa Proses Pra-perlakuan Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f))

2 PENGARUH KONSENTRASI INOKULUM DAN WAKTU INKUBASI PADA PRA-PERLAKUAN BIOLOGIS TERHADAP PERUBAHAN KARAKTERISTIK PADA BAMBU BETUNG

2.1 Pendahuluan

Peningkatan perhatian terhadap dampak lingkungan mendorong pengembangan pendekatan pra-perlakuan yang memiliki input energi rendah, kondisi proses yang lunak, tanpa konsumsi bahan kimia dan kebutuhan prosedur dan peralatan yang sederhana Sun dan Cheng 2002. Pra-perlakuan biologis merupakan teknik yang menjanjikan yang menggunakan mikroorganisme yang menghilangkan lignin secara efisien dari dinding sel tanaman Hakala et al. 2005; Eriksson et al. 1990. Jamur pelapuk putih merupakan famili “basidiomycetes” yang dapat digunakan untuk pra-perlakuan biologis bahan berlignoselulosa Sun dan Cheng 2002; Hakala et al. 2005; Eriksson et al. 1990. Jamur ini mengeluarkan enzim pendegradasi ligninolitik seperti lignin peroxidase LiP, laccase, mangan peroxidase MnP dan versatile peroxidase untuk berpenetrasi dalam dinding sel tanaman yang kemudian melakukan aktivitas degradasi bahan berlignoselulosa Messner dan Srebotnik 1994. Proses degradasi biologis lignoselulosa merupakan proses yang kompleks dimana jenis jamur, kondisi kultur, mekanisme oksidatif dan sekresi enzimatis jamur mempengaruhi hasil yang diperoleh Guillen et al. 2000; Wan dan Li 2010. Faktor ini dapat mempengaruhi selektifitas delignifikasi yang akan mendorong peningkatan rendemen gula dari hidrolisis enzimatis jika nilai selektifitasnya lebih besar dari dua Giles et al. 2011. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa aplikasi jamur TV pada bambu betung menunjukkan kadar lignin sisa yang lebih rendah daripada aplikasi jamur Pleurotus ostreatus PO dan Phanerochaete chrysosporium PC Fatriasari et al. 2011; Falah et al. 2011. Bambu merupakan tanaman yang termasuk dalam kelompok rumput- rumputan yang memiliki kemampuan fotosintesa yang efisien yang ditunjukkan oleh produktivitas biomasa yang tinggi 20-40 tonhatahun. Lebih lanjut, dibandingkan dengan bahan sumber bioenergi lain poplar, switchgrass, miscanthus, common reed, dan bagas tebu Shathitsuksanoh et al. 2010; Zhang 2008, produksi biomasa bambu tergolong unggul. Tanaman bambu ini meliputi 1 luas hutan dunia Kant 2010 dan 65 dari populasinya terdapat di Asia. Produksi bambu Indonesia menduduki rangking ketiga 5 setelah India 30 dan China 14 Lobovikov et al. 2007. Bambu mudah dan cepat diproduksi Scurlock et al. 2000; Gratani et al. 2008. Bambu betung merupakan jenis bambu yang sangat penting di Indonesia Dransfield dan Widjaja 1995 dan merupakan kultivar endemik Indonesia. Studi secara mendalam terhadap perubahan struktur karbohidrat dan lignin setelah pra-perlakuan pada biomasa non kayu bambu yang berasal dari Indonesia masih jarang dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini menitikberatkan pada evaluasi perubahan struktur selulosa dan lignin setelah pra-perlakuan biologis pada bambu betung menggunakan jamur pelapuk putih, TV. Dalam penelitian ini, substrat diberikan perlakuan waktu inkubasi dan konsentrasi inokulum TV karena perlakuan ini kemungkinan dapat mempengaruhi kinerja hidrolisis. 2.2 Bahan dan Metode 2.2.1 Bahan Bambu betung Dendrocalamus asper segar tanpa kulit yang berumur kurang lebih 2 tahun dari kebun bambu Puslit Biomaterial LIPI, Cibinong, Indonesia digunakan dalam penelitian ini. Bambu tersebut dikuliti, dicacah dan dibuat serpih dengan drum chipper, ring flaker, hammermill dan selanjutnya dibuat serbuk dengan disk mill dan disaring untuk memperoleh ukuran 40-60 mesh. Serbuk ini selanjutnya akan digunakan dalam proses pra-perlakuan. 2.2.2 Metode 2.2.2.1 Pra-perlakuan Biologis Serbuk bambu 40-60 mesh diberi air dengan perbandingan 1:4 sambil diaduk hingga rata. Serbuk bambu yang telah basah kemudian dimasukkan ke dalam botol selai dan dikukus selama 30 menit pada suhu ± 100 °C. Setelah dingin, botol selai yang berisi serbuk yang telah dikukus tersebut disterilisasi dengan autoclaf selama 20 menit pada suhu 121 C dengan tekanan 1 atm. Biakan jamur pelapuk putih, TV yang diperoleh dari Puslit Kimia LIPI Serpong dikultur pada medium slant Malt Extract Agar MEA 8.875 g MEA dilarutkan ke dalam 250 ml aquades selama 7-14 hari. Sebanyak 5 ml medium JIS Japan Industrial Standard Broth dimasukkan ke dalam setiap slant, jamur kemudian dirontokkan dengan ose. Suspensi tersebut kemudian dituangkan ke dalam 95 ml medium JIS Broth dalam 1 L aquades ditambahkan 3 g KH 2 PO 4 , 2 g MgSO 4 .7H 2 O, 25 g glukosa, 5 g pepton, dan 10 g malt extract dan diinkubasi selama 7-8 hari dalam kondisi stasioner. Sebanyak 10 g corn steep liquor CSL dituangkan ke dalam 100 ml inokulum, kemudian dihomogenkan dengan waring blender model HGB TWT tegangan 240 VAC, frekuensi 50-60 Hz, arus 3.6 A pada kecepatan tinggi 22.000 RPM selama dua kali 20 detik. Campuran homogen ini digunakan sebagai stok inokulum. Serbuk bambu sebanyak 15 g yang telah dikukus dan disterilisasi, kemudian didinginkan dan media siap diinokulasi dengan variasi inokulum sebesar 5 dan 10 wv. Media bambu kemudian diinkubasi pada suhu 27 C dalam inkubator selama 15, 30 dan 45 hari. 2.2.2.2 Perubahan Karakteristik Selulosa dan Lignin 2.2.2.2.1 Penentuan Komponen Kimia Penentuan komponen kimia bambu dilakukan sebelum dan setelah pra- perlakuan untuk membandingkan perubahan sifat tersebut. Kadar air bambu diukur sebelum pengukuran komponen kimia berdasarkan TAPPI T12 os-75. Sebelum penentuntuan komponen struktural dinding sel, serbuk bambu diekstrak dengan etanol-benzene 1:2, kemudian serbuk bebas ekstraktif ditentukan kadar lignin tidak larut asam TAPPI T13 os-54, holoselulosa TAPPI T9m-54. Sampel hasil holoselulosa selanjutnya dianalisis kadar alfa selulosa dengan Mokushitsu Kagaku Jiken Manual 2000. Hemiselulosa diperoleh sebagai hasil pengurangan holoselulosa dengan alfa selulosa. Penentuan kehilangan berat mengacu pada Pandey dan Pitman 2003, sedangkan selektifitas delignifikasi dihitung sebagai nisbah kehilangan lignin terhadap kehilangan selulosa Yu et al. 2009. Komposisi komponen kimia dihitung berdasarkan persamaan 2.1, sedangkan kehilangan berat komponen kimia dihitung dengan memperhatikan kehilangan berat setelah pra-perlakuan sebagai faktor pengurang persamaan 2.2. Komponen kimia akhir = 2.1 Kehilangan komponen kimia = 2.2

2.2.2.2.2 Perubahan Struktur Selulosa dan Lignin

Perubahan struktur selulosa dan lignin bambu diobservasi melalui analisis gugus fungsional dari spektra infra merah yang diambil dengan Fourier Transform Infrared Spectrometry FTIR ABB MB 300. Serbuk bambu kering sebanyak 4 mg dicampur dengan 200 mg KBr Kalium Bromida grade spektroskopi, dan dibentuk pellet dengan tekanan 6 ton sehingga menjadi pelet berdiameter sekitar 1.3 cm dan tebal sekitar 0.5 cm. Pola spektrum inframerahnya dianalisis pada 5 pemindaian dengan resolusi 16 cm -1 . Spektrum dicatat dalam modus absorpsi dalam kisaran 3500-700 cm -1 .

2.2.2.2.3 Penentuan Indeks Kristalinitas Bahan

Sampel berukuran 40-60 mesh diletakkan di atas pegangan gelas sampel dan dianalisis di bawah kondisi ruang X-ray diffraction XRD direkam dengan seri Shimadzu XRD-700 MaximaX. Radiasi NI disaring dengan CuK α pada bilangan gelombang 0.1542 nm. Sinar X dioperasikan pada voltase 40 kV dan 30 mA. Scan sudut 2Ɵ sebesar10-40 o setiap 2 o per menit. Penghitungan indeks kristalinitas CI bahan berdasarkan formula Zao et al.2005 dan Foscher et al.2001 yang dihitung dari data intensitas difraksi dengan rumus berikut: CI= 2.3 Dimana Fc merupakan daerah kristalin, dan Fa merupakan daerah non kristalinamorf. Intensitas total dihitung menggunakan software yang terdapat dalam Shimadzu MaximaX diffractometer.

2.2.2.2.4 Penentuan Struktur Kristal Selulosa Alomorf

Penentuan fungsi Z-diskriminan mengikuti formula yang dikembangkan oleh Wada et al.2001 untuk membedakan struktur kristalin selulosa monoklinik dan triklinik. Fungsi Z-diskriminan digunakan dengan memisahkan selulosa I α dan I β dengan menggunakan jarak d yang diperoleh dari analisis X-ray dua