Pemikiran Abu Bakar Baasyir Tentang Negara Islam

Islam yang ruang lingkup kecilnya Ba’asyir sebut dengan Daulah sampai secara menyeluruh yang disebut dengan sistem khilafah.

D. Pemikiran Abu Bakar Baasyir Tentang Negara Islam

Ba’asyir merupakan salah satu tokoh yang bisa dinilai berani dalam menyampaikan idenya dalam memperjuangkan syariat secara utuh sehingga terciptanya suatu negara Islam. Ba’asyir mendasarkan pemikirannya sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah. Setidaknya itulah yang disampaikan Ba’asyir pada wawancara pribadi dengan penulis. Negara Islam bagi Ba’asyir adalah negara yang dimana sistem kekuaasaan yang dijalankan sesuai dengan syariat yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Penerapan syariat di dalam sistem kekuasaan ini telah diatur tata caranya oleh Allah melalui kedua sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah seiring dengan diturunkannya agama Islam itu sendiri, seperti yang dikatakan olehnya: “…jika kita membaca Qur’an dan hadis dapat saya simpulkan disamping Allah menurunkan Islam sebagai konsep hidup yang menyelamatkan ummat, Allah juga menurunkan sistem bagaimana cara mengamalkan Islam. Jadi, konsep dinul Islam itu baru bisa menemui sasarannya itu kalau cara mengamalkannya mengikuti sistem yang ditetapkan oleh Allah. 92 ” Ba’asyir mendasari pemikirannya bahwa manusia harus mengikuti ajaran- Nya termasuk syariat Islam ini dengan mengutip ayat Qur’an surat Al-An’am: berikut: 92 Wawancara pribadi dengan Abu bakar Ba’asyir, Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta, 27 September 2009. “Dan bahwa yang Kami perintahkan ini adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” Menurut Ba’asyir, di dalam kehidupan dunia saat ini belum ada satupun negara yang menerapkan syariat Islam secara utuh, khususnya pada negara-negara yang bermayoritaskan penduduknya beragama Islam. Jika adapun, Ba’asyir melihat bahwa syariat masih dijalankan setengah hati dan ada campur tangan dari pihak pemahaman sekuler atau pemahaman kafir 1. Negara Islam dalam Pandangan Ba’asyir Melihat dinamika yang ada di Indonesia, dimana terjadi tingkat pluralitas yang tidak hanya terkait pada maslah kebudayaan melainkan juga dlaqm hal keyakinan, Ba’asyir tidak menafikan akan kondisi tersebut. Ba’asyir sadar akan kemajemukan budaya dan agama pada saat ini, namun bagi Ba’asyir tidak menjadikan suatu hambatan tersendiri dalam meloloskan ide dalam pembentukan negara Islam. Negara Islam memiliki kemampuan dalam menyatukan kondisi kemajemukan tersebut. Perbedaan nilai-nilai moral kemasyarakatan akan dicocokan dengan nilai-nilai yang terkandung pada syariat Islam. Setiap nilai moral memiliki sifat-sifat kebaikan tersendiri dan hal itulah yang akan diselaraskan dengan syariat Islam dan tetap akan dihormati sebagai suatu budaya berbangsa yang majemuk, seperti apa yang dikatakan Ba’asyir: “ Sandarannya kan syariat, adat dicocokan, dilihat, cocok, dipelihara bahkan menjadi hukum, yang melanggar adat bisa di hukum. Tidak cocok dibuang. 93 ” Ba’asyir berpendapat bahwa negara Islam merupakan satu-satunya tatananan undang-undang serta tatanan hidup yang terus bertahan dalam berbagai zaman. Dengan hakikat kebenaran murni yang terkandung di dalam Islam, berbagai propaganda politik yang dimainkan Barat tidak akan dapat mampu untuk melenyapkan nilai-nilai positif Islam tersebut 94 . Ba’asyir melandasi pemikirannya ini dengan mengacu kepada Al-Qur’an surat At-Taubah, ayat 9, berikut: “Mereka berkehendak memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut ucapan- ucapan mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” Negara Islam bagi Ba’asyir tidak harus diikuti dengan penyebutan Islam pada nama negara. Suatu negara Islam menjadi suatu yang sia-sia jika di dalam hukum positifnya syariat Islam dijalankan secara setengah-setengah atau yang lebih buruknya lagi tidak diterapkan sama sekali. Oleh karena itu, inti dari negara dapat disebut sebagai negara Islam adalah negara yang di dalamnya menggunakan hukum positif syariat Islam bukan dengan hukum yang lain, bukan juga dengan pemimpin yang beragama Islam atau rakyat yang bermayoritaskan Islam. Dari pandangan Ba’asyir ini dapat dipahamai bahwa Ba’asyir menginginkan suatu posisi agama menyatu kepada politik atau negara seperti pada 64. 93 Wawancara pribadi dengan Abu bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2007. 94 Irfan S Awwas, Dakwah dan Jihad Abu Bakar Ba’asyir Jogjakarta: Wihdah, 2003, h. pemahaman kelompok Teokrasi. Paham Teokrasi memposisikan agama menyatu kedalam lingkup kenegaraan. Agama ikut mengatur tatanan kenegaraan dengan bertujuan untuk terus menjaga moral kemasyarakatan. Ba’asyir menilai bahwa Islam sebagai agama yang sempurna dan memiliki nilai-nilai moral yang serba lengkap sudah seharusnya wajib masuk ke dalam sistem kenegaraan. Islam juga memiliki sistem berpolitik dan tidak ada alasan bagi umat Islam untuk meninggalkan nilai Islam di dalam setiap kehidupannya termasuk bernegara. 2. Kritik terhadap Sistem Sekuler Ba’asyir mengkritik keras negara Turki yang memisahkan agama dari sistem kekuasaan atau negara di lain sisi penduduk Turki adalah mayoritas beragama Islam. Ba’asyir menilai bahwa Turki bukanlah negara Islam melainkan masuk dalam kategori negara sekuler sama dengan negara yang jelas-jelas menganut sistem sekuler, hal ini sesuai dengan pendapat Ba’asyir yang mengatakan: “Sejak Khilafah dihapus oleh musuh Allah Attaturk, itu bukan negara Islam lagi, jadi negara Turki di bawah Kamal Attaturk itu sudah negara kafir karena sudah tidak memakai lagi hukum Islam, tidak didasarkan oleh Islam dan sudah memakai sistem sekuler, meskipun penduduknya bermayoritaskan Islam. Jadi negara Islam itu cirinya Amirnya muslim, dasarnya Qur’an dan sunnah, dan hukum positifnya syariat Islam. Lalu disempurnakan dengan undang-undang buatan manusia tetapi sandarannya didalam membuat undang-undang itu syariat Islam. Maka seperti negara Turki jelas negara sekuler sama dengan negara kafir sampai sekarang. 95 ” Keadilan yang ada di negara-negara sekuler bersifat semu karena keadilan tersebut merupakan suatu kamuflase dari pihak barat untuk terus dapat memegang peran di dalam suatu kedaulatan negara-negara Islam. Sistem sekuler yang 95 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Kantor Ansharut Tauhid, Jakarta, 4 Oktober 2009. diambil oleh negara-negara Islam merupakan suatu ketundukan negara Islam pada kekuasaan negara-negara Barat yang Ba’asyir istilahkan sebagai negara kafir atau Hizbutsyaithon . Pemisahan agama dari negara ini sama sekali tidak dibenarkan di dalam agama dan ini terbukti dengan penerapan sistem sekuler ini posisi agama semakin terpinggirkan, bukan hanya terlepas dari sistem kenegaraan saja, namun menjalar ke ruang publik. Masih ada pelarangan di negara-negara penganut sekuler atas hak-hak seperti hak wanita berjilbab yang tidak boleh masuk ke dalam area pendidikan atau perkantoran. Negara sekuler pun tidak boleh memisahkan hak beragama seorang di ruang publik, mencampurkan urusan keagamaan terhadap peraturan kenegaraan yang sifatnya umum, hak beragama harus dijadikan jaminan dan merupakan kebebasan individu, jadi masih ada kepentingan politis di kasus tersebut, bisa saja ada ketakutan negara atas eksistensi agama yang mulai tumbuh di negara yang bersistemkan sekuler tersebut. Sekularisme membuka peluang bagi individu terisolasi dari agama yang membentuk karakter religiusnya. Individu hanya menumpuk ilmu kematerialan saja yang membuat keringnya moral agama dan ego personal akan memuncak melebihi kekuasaan Tuhan. Akibatnya manusia akan merasa tingkat keotoritasannya lebih tinggi dan hebat dibandingkan dengan Tuhannya. 3. Kritik Terhadap Sistem Demokrasi Seperti halnya dengan negara sekuler, negara yang menganut sistem demokrasi juga mendapat kritikan dari Ba’asyir. Demokrasi inilah yang sangat bertentangan jauh dengan konsep sistem ke Islam-an. Demokrasi sangat bertolak belakang dengan syariat dikarenakan secara mendasar bisa dilihat perbedaannya, di lain sisi syariah memiliki sumber dari Al-Qur’an dan sunnah sedangkan demokrasi bersumber dari kesepakatan antara manusia. Demokrasi merupakan suatu istilah dari politik Barat yang memiliki arti kedaulatan rakyat, yang memiliki kekuasaan tertinggi tanpa adanya batasan yang tidak bisa disentuh oleh kekuasaan manapun. Kekuasaan ini berupa hak para penguasa dan hak membuat perundang-undangan sesuai dengan kemauan mereka. Dalam hal ini, rakyat mewakili kekuasaannya kepada orang-orang parlemen. Para wakil rakyat inilah yang mewakili mereka dalam menjalankan kekuasaan 96 . Parlemen di sistem demokrasi ini adalah pihak yang mewakili kekuasaan rakyat, melaksanakan kekuasaan dengan atas nama rakyat yang kemudian mengakomdasi suara rakyat sampai dibentuk suatu undang-undang yang mereka buat sendiri. Kritik atas sistem demokrasi ini disampaikannya dengan tegas melalui pernyataan berikut ini: “Saya sudah mengkritik tegaskan bahwa demokrasi ini syirik, dan orang yang mempercayai demokrasi, mengamalkan karena percaya setelah dia diberi tahu dan dia tidak bisa mendapati dalil syar’i, itu murtad. Ini jelas syirik, dimana kedaulatan tertinggi di dalam menentukan undang- undang itu diberikan kepada manusia, padahal itu haknya Allah. Allah itu disebut Rabb, Rabb itu mempunyai dua pengertian, pemilik dan pengatur, maka Allah itu rabbul alamin. 97 ” Demokrasi di Indonesia menurut Ba’asyir juga berkiblat dari pihak barat, dimana semua sistem yang dipakai di Indonesia merupakan adopsi dari Barat. Nasionalisme yang ada di Indonesia juga sama dengan demokrasi dan sekuler, 96 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara; Untuk mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam Depok, Mushaf, 2006, h., 32 97 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2007. artinya sama dengan sistem kafir. Alasan diambilnya sistem nasionalisme ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, etnis maupun ras serta adat istiadat di dalamnya, namun hal ini tidak dapat dijadikan suatu alasan syariat Islam tidak bisa masuk dalam sistem kenegaraan Indonesia. Syariat Islam dapat dicocokan dengan adat istiadat bangsa Indonesia dengan melihat terlebih dahulu nilai-nilai adat yang cocok dengan Islam dapat dipertahankan dan yang tidak cocok dengan syariat harus dibuang karena pada prinsipnya adat- istiadat itu juga berisi norma-norma kebaikan sama halnya dengan syariat, namun karena adat istiadat ini dibuat oleh tangan manusia maka suatu kekurangan itu pasti ada, oleh sebab itu pentingnya untuk diserasikan oleh hukum syariat juga. Ba’asyir melihat bahwa ide nasionalisme ini justru akan menyempitkan umat Islam secara global yang hanya dilandasi dengan wilayah, berbeda pada negara Islam dengan khilafahnya dimana umat Islam tidak terpisahkan oleh wilayah melainkan hanya dibatasi dari sifat keagamaan manusia. Syariat Islam di Aceh menurut Ba’asyir belum murni diaplikasikan. Syariat yang diterapkan adalah tidak lain sebagai permainan politik pihak kafir untuk menghentikan perlawanan orang-orang Aceh yang memiliki tujuan menegakkan syariat Islam di wilayahnya. Oleh karena itu, maka diberikanlah status wilayah keistimewaan di Aceh namun tetap berada di bawah sistem negara demokrasi, ini sama halnya syariat masih berada di bawah sistem kafir. Negara Islam tidak boleh berada di bawah kekuasaan sistem kafir, baik itu demokrasi ataupun nasionalis. Syariat tidak boleh di stir oleh sistem kafir, karena syariat adalah Islam, Islam adalah agama Allah, oleh karena itu Allah tidak boleh berada di bawah sistem lainnya, terlebih itu demokrasi dimana rakyat berada di atas segalanya, Allah tidak boleh dibawah rakyat. Itulah kritik Ba’asyir atas penerapan syari’ah di Aceh 98 . Alasan sistem demokrasi sebagai sistem yang sirik juga diarahkan pada terdapatnya parpol-parpol atau perwakilan rakyat di pemerintahan dimana kedaulatan tertinggi dari suatu keputusan hukum berupa undang-undang didasarkan atas persetujuan rakyat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem syariah dimana kedaulatan Allah berada pada segalanya. Partai-partai Islam yang ada belum bisa dikatakan sebagai partai Islam murni. Seluruh partai Islam masih bertoleransi kepada demokrasi, belum ada yang secara jelas memiliki semangat untuk mentanamkan syariat. Menanamkan syariat di dalam sistem kenegaraan tidak perlu melalui persetujuan rakyat lagi bahkan masih ada yang harus berunding kepada pihak non-muslim, partai Islam yang ada masih menjadikan demokrasi sebagai acuan ideologinya. Ciri tersebut bukanlah sebagai ciri partai Islam melainkan masih menggunakan cara kafir atau non muslim. Syariat tidak boleh dirundingkan, karena syariat dengan sendirinya akan membawa keamanan untuk non-muslim sekalipun. Di sistem demokrasi ini, dalam hal pengambilan keputusan selalu berada pada rakyat dalam arti meminta persetujuan dari rakyat melalui parlemen. Hal inilah yang disebut sebagai kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada diatas segalanya. Cara tersebut sangat tidak dibenarkan di dalam Islam, kedaulatan tersebut bisa dikatakan sebagai kedaulatan yang menyekutukan kedaulatan Allah. Di dalam kedaulatan Islam yang menggunakan syariat, segala keputusan ada di tangan amir atau pemimpin melalui musyawarah dari majelis syuro atau dewan 98 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Jakarta, 1 Oktober 2009. ahli serta berpedoman kembali kepada Qur’an dan sunnah, selama masih ada dalam koridor dua sumber hukum tersebut, keputusan amir harus diikuti serta dijalankan. Pemimpin selalu dijadikan sebagai peran akhir dari pengambilan keputusan. Inilah bagaimana suatu keputusan diambil di dalam syariat Islam. Dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah agama yang berdiri sendiri dengan pemegang kedaulatan adalah rakyat, jelas ajaran ini bertentangan dengan Dinul Islam yang menegaskan bahwa pemegang kedaulatan adalah Allah SWT 99 . 4. Kritik Terhadap HAM Mengenai permasalahan hak-hak umat Islam, Ba’asyir juga memandang bahwa semua peraturan perundangan yang terdiri dari hak-hak terhadap umat Islam belum dapat terakomodir dengan baik, masih berada di luar sistem ke- Islaman secara murni. Ba’asyir sudah mencontohkan tadi tentang pengambilan suatu keputusan, di sistem syariah Islam tidak ada suatu keputusan pun yang di musyawarahkan oleh rakyat, semua keputusan tidak boleh berada pada tangan rakyat. Keputusan harus dirundingkan melalui yang dinamakan dewan syura atau para ahli dengan berprinsip pada Al-Qur’an dan sunnah, serta akhir dari suatu keputusan ditentukan oleh pemimpin atau amir. Begitulah Islam mengatur tata cara dalam pengambilan keputusan. Contoh lainnya yaitu tentang tata cara pemilihan pemimpin. Ba’asyir mengkritik proses demokrasi saat ini tentang cara pemilihan dewan atau pemimpin yang mengunakan cara yang disebut pemilu. Bagi Ba’asyir, cara ini 99 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara, h., 40 jelas-jelas mengadopsi cara barat dan sangat merugikan negara. Dana yang besar dikeluarkan setiap pelaksanaan pemilu yang diadakan secara periodik, hal ini tidak efektif dalam proses jalannya pemerintahan. Di dalam Islam, pemimpin tidak boleh diganti. Selama pemimpin masih bisa memegang amanah, terus berada di dalam jalur syariat dan masih mampu dalam memimpin, maka sangat dilarang pemimpin itu untuk digantikan. Sedangkan untuk dewan syura dipilih oleh pemimpin sesuai dengan keahlian ilmu masing-masing. Dengan pelaksanaan tata cara seperti ini, pada sendirinya negara akan berjalan lebih efektif dan tidak memakan dana yang terlampau besar. Hak-hak yang bersifat kesosialan juga masih dicampuri oleh pengaruh tata cara barat. Contoh dalam hal pernikahan, yang memiliki syarat-syarat tertentu seperti ada syarat umur seorang pasangan atau wanita dapat dinikahi, atau bagi seseorang yang ingin menikah lebih dari satu kali harus melalui izin dari istri atau pihak pemerintah seperti Kantor Urusan Agama KUA. Di dalam Islam hal ini tidak ada. Seseorang dapat menikahi siapapun tanpa ada batasan umur atau tanpa izin siapapun asalkan dapat dijalankan secara adil dan dapat bertanggung jawab akan keputusannya itu. Hak yang paling utama yang umat Islam belum dapat selama ini adalah menjalankan kehidupannya sesuai dengan syariat. Umat yang menginginkan syariat diberlakukan dianggap sebagai musuh negara selama ini, hal ini adalah keliru karena yang sesungguhnya pihak penentang syariat adalah musuh negara sebenarnya karena akan membawa dampak perpecahan negara. Sudah seharusnya untuk wilayah yang mayoritasnya umat Islam harus diberikan peraturan daerah tentang pelaksanaan syariat, begitu juga untuk agama lainnya seperti ada wilayah yang mayoritasnya adalah agama Nasrani, perlu dibuat peraturan daerah khusus agama Nasrani. Ba’asyir mencontohkan jika orang kristen wajib ke gereja pada hari minggu maka perlu perda yang berisi kewajiban untuk ke gereja pada hari minggu. Untuk Islam misal diwajibkan bagi perempuan Islam menggunakan jilbab, maka harus dibuat perda tentang wajibnya perempuan Islam untuk menggunakan jilbab 100 . Sekarang ini belum ada perda-perda seperti itu diberlakukan khususnya di Indonesia. Hal inilah yang membuat ada kerancuan dalam kehidupan bermasyarakat di suatu negara seperti adanya konflik-konflik sosial. Bisa dilihat bagaimana kasus Ahmadiyah yang belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah karena alasan demokrasi ini bertoleransi terhadap kasus-kasus seperti tersebut. Syariah membatasi dengan tegas antara hak dan bathil, antara mukmin dan kafir. Islam yang ada di Indonesia bukanlah Islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan sunnah melainkan Islam yang mengikuti pola non muslim. Maka dari itu syariat adalah harga mati untuk ada pada masyarakat yang bermayoritaskan Islam ini tanpa terkecuali dan sepenuhnya dilaksanakan. Islam sudah memikirkan bagaimana hak-hak diberikan sebelum adanya hak yang lahir oleh masyarakat Barat. Islam memiliki nilai keadilan yang tinggi dalam memberikan antara hak serta kewajiban tidak saja terbatas pada umat Islam saja melainkan kepada non muslim. Contoh hak yang diberikan kepada orang non muslim yang berada di negeri Islam. Contohnya seperti, memberikan keamanan baik harta dan jiwa dan harus terus dijaga, berhak diperlakukan dengan baik dan tidak boleh dipaksa 100 Wawancara dengan Abu Bakar Ba’asyir, “Syariat Islam Harga Mati,” artikel diakses pada tanggal 5 Agustus 2009 dari http:www.youtube.comwatch?v=faoHc6xMyjkfeature=related. untuk masuk Islam, namun hanya boleh untuk didakwahi, serta haknya untuk menjalani keyakinannya namun berkewajiban membayar pajak pada umumnya. Kalangan non muslim juga tidak boleh memperluas keyakinannya karena akan ada undang-undang bagi umat Islam yang murtad diberikan hukuman berupa hukuman mati. Kaum non muslim juga berhak duduk di dewan ahli atau yang disebut menteri sesuai dengan keahlian masing-masing namun tetap tidak boleh menjadi seorang pemimpin. Non muslim harus tunduk terhadap kekuasaan Islam. Non muslim juga ikut dalam hukum Islam yang bersifat umum seperti undang- undang kriminalitas pidana maupun perdata dan terpisah hukumnya jika menyangkut masalah ibadah.Semua hak ini harus diikuti dan dipatuhi oleh setiap muslim maupun non muslim 101 . Hak Perempuan juga diakomodir oleh Islam, bahkan perempuan ditinggikan derajatnya serta dilindungi. Hal ini berkaitan dengan kewajiban memakai jilbab, hal ini dikarenakan tidak lain sebagai alat untuk melindungi dari serangan fitnah dan keamanan dari wanita itu sendiri, juga sebagai tanda yang memisahkan batas antara golongan mukmin dengan golongan kafir. Perempuan juga dapat berkarir dan menduduki posisi-posisi di dalam suatu karir yang digelutinya namun tidak boleh duduk di posisi sebagai pemimpin. Ba’asyir menambahkan bahwa siapapun yang menolak akan kehadiran syariah atau menjalankan secara setengah-setengah maka mereka secara prinsip masuk ke dalam golongan kafir, dan bagi yang meninggalkannya sama dengan murtad. Sikap tegas Ba’asyir ini dikarenakan telah menilai bahwa meninggalkan syariat sama dengan meninggalkan kewajiban solat, kewajiban solat juga 101 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2009. merupakan syariat itu sendiri. Jadi negara Islam adalah termasuk syariat Islam yang dilaksanakan menyeluruh atau berjamaah. Jika kita ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam semua sektor kehidupan kita maka mau tidak mau harus memformalkan syariat Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah dalam bentuk Undang-undang UU, dan sebuah UU tidak akan berjalan jika tidak dipayungi oleh sebuah pemerintahan daulah.

E. Menegakkan dan Mendakwahkan Dinul Islam