BAB III ABU BAKAR BA’ASYIR
DAN GERAKAN NEGARA ISLAM
A. Riwayat Hidup
Abu Bakar yang bernama lengkap Abu Bakar bin Abud Baamualim Ba’asyir dilahirkan pada tanggal 12 Dzulhijjah 1356, bertepatan dengan tanggal
17 Agustus 1938 di Mojoagung, kota kecil yang masuk dalam kabupaten Jombang, Jawa Timur. Ayah dan kakeknya asli Hadramaut, Yaman, yang telah
menetap dan menjadi warga negara Indonesia. Ibunda Abu Bakar juga keturunan arab, sedang neneknya orang Jawa asli
59
. Abu Bakar Ba’asyir sepanjang masa kecilnya hidup di dalam lingkungan
yang sangat agamis. Ba’asyir sudah ditinggal oleh ayahnya sekitar umur sepuluh tahun. Sepeninggal ayahnya, Ba’asyir diasuh ibundanya dengan menanamkan
nilai-nilai agama
60
. Sang Ibu tidak bersekolah formal, tetapi pandai mengaji. Maka berbekal
ilmu agama itulah dia membimbing dan menanamkan nilai-nilai al-Qur’an kepada putra-putrinya dengan penuh kasih sayang
61
. Ibunya meninggal dunia pada tahun 1980 ketika diberi kabar sewaktu Ba’asyir berada di penjara pada saat rezim
Soeharto berkuasa.
59
Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Ba’asyir di Penjara. Saya Difitnah Jakarta: Qalammas, 2006, h. 3. Cet V
60
Ibid., h. 3
61
Irfan Suryahardy Awwas, ed., Dakwah Jihad Abu Bakar Baasyir Jogjakarta: Wihdah Press. 2003, h. 5.
Abu Bakar Ba’asyir manjalani hidupnya penuh dengan dinamika, ini dikarenakan
Ba’asyir dengan
karakternya mempelajari Islam
serta mengaplikasikan melalui gerakan dan pemikiran dalam perspektifnya. Ba’asyir
terlihat berani dalam menghadapi serangan dari pihak-pihak yang tidak sepaham dengannya, sekalipun itu datangnya dari pihak luar negeri. Seperti contohnya
serangan yang datangnya dari presiden Amerika, George Walker Bush, mengatakan bahwa Ba’asyir merupakan tokoh teroris internasional, hal itu tidak
mengendurkan semangat Ba’asyir dalam memperjuangkan Islam. Setiap orang memiliki karakter sendiri yang memang terkadang tidak
dapat orang lain pahami tentang ideologi, prinsip, maupun cita-cita yang melandasi seseorang memilih jalan hidupnya. Ba’asyir sampai pada usia senja
menempati rumah dinas yang dimiliki oleh pesantren Al-Mukmin dikarenakan Ba’asyir sebagai pendiri selain mengajar di lembaga pendidikan tersebut.
Pada tahun 1971, Ba’asyir menikah dengan Aisyah binti Abdurrahman Baraja, seorang santri Mu’allimat Al-Irsyad, Solo. Aisyah adalah adik salah satu
sahabat Ba’asyir bernama Abdullah Baraja. Aisyah terkesan dengan pribadi Ba’asyir yang sepanjang hidupnya selalu berada pada kekonsistenannya
mendakwahkan Islam. Dari hasil pernikahan ini, Baasyir memiliki tiga orang anak bernama Zulfa, Abdul Rasyid, dan Abdurrahim.
Demi dakwah
yang dijalankannya,
Ba’asyir terlihat
tidak mengkhawatirkan akan akibat yang diperjuangkannya, hal ini terlihat dari apa
yang dilakukannya dalam mengkritik pemerintah yang menurutnya telah menghalangi syariat Islam diterapkan dalam ruang legalitas kenegaraan, akibat
dari apa yang diperjuankan tersebut, Ba’asyir telah merasakan masuk penjara berulangkali, dengan berbagai tuduhan yang ditujukannya.
B. Latar Belakang Pendidikan