dari apa yang diperjuankan tersebut, Ba’asyir telah merasakan masuk penjara berulangkali, dengan berbagai tuduhan yang ditujukannya.
B. Latar Belakang Pendidikan
Abu Bakar Ba’asyir adalah seorang tokoh keturunan arab yang tinggal di sebuah desa bernama Mojo Agung. Sebelum memulai pendidikannya di Pondok
Modern Gontor, Ponorogo, Ba’asyir membantu keluarganya dengan bekerja selama setahun di perusahaan tenun.
Setelah menamatkan sekolah di Pesantren Gontor atas biaya kakaknya, Ba’asyir melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di Universitas Al-Irsyad,
Surakarta, dengan mengambil jurusan Dakwah pada tahun 1963. Ba’asyir mulai ikut dalam organisasi kemasyarakatan di Gerakan Pemuda
Islam Indonesia GPII tingkat kecamatan, langsung sebagai ketua organisasi pada tahun 1961. Ba’asyir juga menjadi ketua GPII Cabang Pondok Modern Gontor.
Pada tahun 1966 Ba’asyir kembali dipercaya sebagai ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam LDMII cabang Surakarta pada tahun 1966. Keikutsertaan
terakhir Ba’asyir di dalam organisasi kemasyarakatan adalah dengan memegang amanah dalam organisasi Islam sebagai Sekretaris Umum Pemuda Al-Irsyad
cabang Solo. Pada usianya yang menginjak umur 31, bersama Abdullah Sungkar dan
Hasan Basri, Ba’asyir mendirikan sebuah radio dakwah yang diberi nama Radio Dakwah Islamiyah ABC Al-Irsyad Broadcasting Commission pada tahun 1967.
Saat itu rezim Soeharto yang masih kuat berkuasa menutup radio tersebut. Namun Ba’asyir menempuh usaha selanjutnya dengan mendirikan satu lagi pemancar
radio bernama Radio Dakwah Islamiyah Surakarta RADIS pada tahun 1969 masih bersama Abdullah Sungkar.
C. Aktifitas Sosial, Dakwah dan Politik
Ba’asyir sukses berdakwah melalui RADIS, radio tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat sebagai radio dakwah yang berani
menyampaikan kebenaran. Namun perjalanan radio ini juga tidak panjang, karena dianggap menyiarkan dakwah bernada politik, maka tahun 1975 radio itu dilarang
mengudara oleh Laksusda Jawa Tengah. Pada saat itu, ada satu bahasan yang mengkritik tentang Asas Tunggal Pancasila yang dipaksakan sebagai asas dari
organisasi massa dan organisasi politik, menilai pemerintah yang tidak adil dan melanggar Syariat Islam. Dari bahasan ini, aparat melihat bahwa ada usaha dari
ulama untuk ikut masuk ke dunia politik, dan usaha-usaha untuk mengkritik pemerintahan.
Usaha Ba’asyir dalam berdakwah tidak berhenti pada saat itu saja. Pada 10 Maret 1972, Pondok Pesantren Al-Mukmin didirikan oleh Abu Bakar Baasyir
bersama Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdllah Baraja. Pondok Pesantren ini berlokasi di Jalan Gading Kidul 72 A, Desa
Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Menempati areal seluas 8.000 meter persegi persisnya 2,5 kilometer dari Solo. Keberadaan pondok ini semula adalah
kegiatan pengajian kuliah zuhur di Masjid Agung Surakarta. Membajirnya jumlah jamaah membuat para mubalig dan ustadz kemudian bermaksud mengembangkan
pengajian itu menjadi Madrasah Diniyah
62
.
62
“Abu Bakar Baasyir, “Vonis Tak Terlibat Bom Bali,” artikel diakses pada tanggal 3 Juli 2009 dari http:www.tokohindonesia.comensiklopediaabu-bakar-baasyirindex.shtml.
Titik pergerakan Ba’asyir yang lebih berani ditunjukkan Ba’asyir dengan keberaniannya mengkritik pemerintah rezim Orde Baru. Akibatnya, tahun 1982,
Ba’asyir ditangkap oleh rezim Orde Baru untuk pertama kalinya karena dianggap bersikap keras terhadap pemerintahan.
Pada 1982, Baasyir ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar. Ba’asyir dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila karena
menurutnya asas tunggal tersebut hanya suatu rekayasa dari pihak kristen atau katolik untuk menghancurkan semua institusi Islam, Ba’asyir menentang
penghormatan kepada bendera karena menurutnya perbuatan tersebut termasuk sirik. Ba’asyir juga dituduh bagian Hispran Haji Ismail Pranoto - salah satu
tokoh DITII. Di pengadilan ini, keduanya divonis 9 tahun penjara
63
. Pada penahanan itu, Ba’asyir dituduh untuk mengakui telah menjadi
pengikut H. Ismail Pranoto, yang mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Semula Ba’asyir tidak mau mengakui tuduhan tersebut, namun
Ba’asyir melihat kondisi yang dialami oleh Abdullah Sungkar dan Abdullah Baraja yang terlebih dahulu di periksa oleh Komandan Satuan Tugas Intelijen
Satgasin Mayor Yahya Pattu dan dua orang lainnya, Kapten Yopi dam Peltu Sunarso.
Ba’asyir akhirnya dengan terpaksa mengakui telah menjadi pengikut DITII, dengan harapan Ba’asyir dapat memberikan keterangan yang sebenar-
benarnya di dalam proses pengadilan. Sidang juga memberikan tuduhan kepada Abdullah Sungkar yang telah
dibaiat Hispran sebagai Pimpinan Jama’ah Ansharullah daerah Surakarta, dan
63
Muchus Budi, “Baasyir dan 17 Agustus,” artikel diakses pada tanggal 20 Juni 2009 dari http:www.detiknews.comread20080818105844990329608baasyir-dan-17-agustus
Abu Bakar Ba’asyir dibai’at sebagai Wakil Pimpinan Jamaah Ansharullah daerah Surakarta.
Jamaah Ansharullah ini juga biasa disebut sebagai Jama’ah Islamiyah, nama yang pada saat ini masih menjadi sorotan dari dunia khususnya Amerika
Serikat dan organisasi PBB. Jamaah Islamiyah inilah yang diciptakan pemerintah Orde Baru.
Pada tahun 1985, Baasyir mendapatkan panggilan sidang dari Pengadilan Negeri untuk mendengarkan putusan kasasi. Banyak kalangan yang dekat dengan
Ba’asyir menyarankan agar Ba’asyir tidak menghadiri persidangan tersebut karena hal ini hanyalah taktik rezim Orde baru untuk menangkapnya kembali.
Atas dasar berbagai pertimbangan, bersama dengan Abdullah Sungkar, Ba’asyir memutuskan untuk meninggalkan Indonesia dengan tujuan Malaysia.
Mereka bersama beberapa sahabat diam-diam berangkat dari Solo menuju Jakarta. Di Jakarta mereka tinggal selama lebih kurang tiga pekan, lalu melanjutkan ke
Lampung, terus ke Medan. Dari Medan dilanjutkan perjalanan menuju Malaysia
64
. Selama di Malaysia, Ba’asyir mengajarkan amalan-amalan Islam sesuai
dengan Al-Quran dan Hadits. Kegiatan ini terbentuk melalui kegiatan talim bulanan. Selain berdakwah, Ba’asyir juga berdagang menjual obat-obatan,
berkebun maupun berternak. Pemerintah Malaysia yang pada saat itu bersikap melindungi setiap
pendatang membuat Ba’asyir hidup tenang selama 14 tahun sampai pada akhirnya dapat mendirikan lembaga pendidikan, Pondok Pesantren Lukmanul Hakim di
64
Fauzan al-Anshari, Hari-Hari Abu Bakar Baasyir di Penjara, h. 7.
Johor. Pada saat itu Mahatir Mohammad sebagai Perdana Menteri tidak menganggap pendatang politik sebagai pendatang haram.
Karena kebebasannya itu, sahabat Ba’asyir, Abu Sungkar dan Abu Jibril Abdurrahman yang juga dipanggil Ustadz Mohammad Iqbal diberikan izin
sebagai pendakwah di Malaysia. Mereka tidak membawa suatu pesan atau misi tertentu dalam berdakwah, melainkan mereka menyampaikan pesan-pesan
kebaikan dari Al-Quran dan Hadits. Jama’ahnya tersebar pesat di wilayah Banting, dan di beberapa Masjid Jami seperti Masjid Puchong, Masjid Jami
Ampang, Masjid Abu Bakar di wilayah Kuala Lumpur. Selain itu Ba’asyir juga sering diundang memberi pengajian di Kedutaan RI, Taman Tun Abdul Razak dan
pengajar tetap di jama’ah pengajian Departemen Keuangan di masa Anwar Ibrahim menjabat sebagai Menteri Keuangan Malaysia
65
. Sampai pada tahun 2002, Ba’asyir dengan kelompok pengajian yang oleh
pemerintah Malaysia diberi nama Kelompok Militan Malaysia, Kumpulan Mujahidin Malaysia, disebut sebagai salah satu jaringan Jamaah Islamiyah.
KMM dituduh telah melatih santrinya untuk melakukan tindakan anarki seperti pemboman tempat-tempat ibadah non-Muslim di Malaysia. KMM juga dituduh
ingin mendirikan sebuah negara Pan-Islam di wilayah Asia Tenggara. Jemaah Islamiyah sebagaimana banyak diberitakan bertujuan mendirikan
pemerintahan Islam di Malaysia, Indonesia, dan Filipina melalui aksi kekerasan. Jemaah Islamiyah juga diisukan punya pendirian, bahwa pemerintah negara yang
ada sekarang adalah tidak Islami dan dipimpin oleh orang-orang kafir
66
.
65
Irfan S Awwas, Menelusuri Jejak Da’wah, Dari Penjara Ke Meja Hijau Yogyakarta: Wihdah Press, 2003, h. 50.
66
Idi Subandy Ibrahim Asep Syamsul M. Romli, Kontroversi Ba’Asyir: Jihad Melawan Opini “fitnah” Global
. Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2003, h. 37.
Puncaknya ketika terjadi peristiwa WTC di New York tahun 2003, KMM menjadi sorotan dengan hasil penagkapan dari para pengikutnya dengan tuduhan
terkait jaringan Al-Qaidah yang menjadi pelaku utama penyerangan gedung WTC, Amerika Serikat. Ba’asyir yang berada di Malaysia mulai tersudut dengan
pernyataan dari Menteri Senior Singapura, Lee Kwan Yew, yang menyebutkan bahwa aktivis KMM dipimpin oleh pemimpin ekstrim Indonesia. Sampai pada
akhirnya, Ba’asyir ditahan oleh Mabes Polri atas tuduhan tambahan terlibat pengeboman malam Natal 2000, rencana pembunuhan Presiden Megawati, dan
terkait dengan kelompok Al-Qaidah. Ba’asyir tidak mengambil sikap diam atas pernyataan dari Lee kwan Yew.
Gugatan balik disampaikan Ba’asyir atas tuduhan tersebut namun hal ini terkendala atas kekebalan yang dimiliki negara atau memiliki imunitas
diplomatik. Konfrensi Wina ihwal praktek hubungan internasional menyebut bahwa sebuah kedutaan besar asing mempunyai status imunitas alias kekebalan
diplomatik, termasuk kebal dalam hal hukum
67
. Dengan adanya keistimewaan yang dimiliki negara ini, hal yang mustahil bagi seorang seperti Ba’asyir untuk
menggugat Menteri Senior Singapura tersebut. Umat muslim di Malaysia yang sempat mengikuti dakwah Ba’asyir juga
tidak percaya atas apa yang dituduhkan berbagai pihak, tentang keterlibatan Ba’asir dalam berbagai aksi terorisme. Mereka tidak mempercayai Ba’asyir
mempunyai sifat yang keras, bahkan mereka mengakui akan kearifan Ba’asyir selama tinggal dengan mereka. Karena sering sholat berjamaah dengan warga di
sekitar dan sahabatnya, Ba’asyir menyulap bangunan di sebelah rumahnya
67
Agung Rulianto, “Sidang Gugatan Abu Bakar Ba’asyir Ditunda”, Tempo, 31 Maret 2002, h. 46.
menjadi surau. Kalaupun ada kesan keras dalam berakwah, sejumlah warga menunjuk Iqbal, warga Indonesia yang sudah puluhan tahun menjadi pendakwah
di Malaysia
68
. Ba’asyir bisa dikatakan sangat kritis terhadap Amerika dan pihak-pihak
yang berpikiran sekuler. Banyak kritikan yang disampaikan oleh Ba’asyir kepada Amerika. Bisa dikatakan Ba’asyir adalah salah satu tokoh Islam di Indonesia yang
sangat vokal dalam hal mengkritik pandangan Amerika terhadap pergerakan Islam di dunia.
Kritikan Ba’asyir terhadap Amerika salah satunya adalah tentang teroris yang dialamatkan kepada pihak Islam saja. Benar yang melakukan adalah orang
yang beragama Islam, namun Amerika menurut penilaian Ba’asyir telah menyalahi istilah teroris yang hanya diarahkan kepada Islam saja. Bagi Amerika,
teroris adalah militan Islam yang menegakkan syariat. Ba’asyir melihat masalah yang sesunguhnya adalah pertentangan antara hak dan bathil, antara Islam dan
kafir. Penyebutan teroris ini adalah usaha dari pihak kafir untuk memadamkan cahaya Islam dengan mengunakan kamuflase penyematan istilah itu.
Penyebutan teroris oleh pihak barat adalah untuk mencegah tegaknya Syariat Islam yang dilakukan oleh mujahidin muslim. Banyak cara yang
dilakukan oleh barat untuk menyudutkan Islam, salah satunya adalah dengan menciptakan peran teroris yang kemudian disematkan sebagai bagian dari
kelompok Islam. Setelah penyematan itu, kemudian untuk lebih memberikan ruang sempit bagi pergerakan Islam, maka diarahkan juga bahwa kelompok-
68
Widjajanto Rommy Fibri, “Jejak Ba’asyir di sungai manggis”, Tempo, 3 November 2002: h. 62 No. 35XXXI
kelompok Islam tersebut dikendalikan oleh tokoh-tokoh Islam yamg kritis dan membahayakan bagi pihak Barat.
Ba’asyir membantah apa yang dituduhkan oleh Amerika. Islam adalah agama yang menjungjung tinggi perdamaian. Memaksa kaum kafir untuk masuk
Islam secara tidak sadar merupakan hal yang dilarang oleh Islam. Aturan dari Islam juga yang memberikan perintah bagi kaum muslim untuk menjaga kaum
non muslim yang tidak memerangi Islam. Rasulullah sendiri mengatakan bahwa seorang muslim yang memerangi kaum kafir adalah sama dengan musuh Nabi
sendiri. Kritik Ba’asyir terhadap sekuler didasarkan atas sikap kaum sekularis
yang melarang Al-Quran dan Hadis sebagai dasar negara, asas maupun sumber hukum negara. Mereka kemudian menggantinya dengan pemikiran sendiri bahkan
tidak sedikit mengadopsi peraturan-peraturan yang berasal dari negara Barat. Mereka tidak secara penuh menempatkan syariat Islam hadir di ruang publik,
hanya sebatas pada lingkup urusan pribadi dan lingkup keluarga yang terbatas. Mereka tidak akan pernah mengizinkan untuk memberlakukan syariat secara
kaffah .
Penegakkan syariat Islam yang diperjuangkan oleh umat muslim, Ba’asyir melihatnya harus dilakukan dengan penegakkan Daulah Islamiyah atau dengan
Khilafah sehingga syariat ini akan dapat diterapkan secara kafah. Pembentukan Dinul Islam ini dapat dilakukan dengan berbagai usaha jihad, sperti melakukan
dakwah agama, melalui pendidikan sampai dengan usaha-usaha sosial. Ba’asyir meyakinkan bahwa perjuangan menegakkan Dinul Islam adalah
lebih mulia dibandingkan dengan menegakkan asas-asas lain seperti, sosialis,
komunis, demokrasi, kapitalis, dan sistem lainnya. Oleh karena itu bagi setiap muslim yang ingin melakukan suatu perjuangan dalam menyebar syariat Islam
haruslah dilakukan dengan sepenuh hati. Selama di Indonesia setelah kembalinya dari Malaysia, Ba’asyir hanya
melakukan beberapa aktifitas, dan itu masih berada di lingkup penyampaian dakwah, seperti mengajar di pondok pesantren Ngruki, berceramah serta
memberikan taujih di Masjid serta Majlis Talim, dan menjadi pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia sampai akhirnya Ba’asyir keluar dari organisasi tersebut.
Sifatnya yang terbuka ditujukan untuk menghindari tuduhan yang dialamatkan kepada Ba’asyir. Ba’asyir membuktikan bahwa tidak ada agenda
yang tersembunyi atau organisasi lainnya selain aktifitas berdakwah beliau. Sebagai seorang juru dakwah, Ba’asyir memang banyak ditemui oleh berbagai
kalangan maupun individu. Ba’asyir dengan terbuka menerima semua yang ingin bertemu dengan menyampaikan dan mengarahkan tamunya untuk terus
memegang dan menjalankan syariat. Dari pesan tersebut tentu yang diharapkan Ba’asyir adalah menumbuhkan benih-benih syariat pada setiap individu.
Karena jiwa dan watak yang sudah ditanam pada kepribadian Ba’asyir, semua propaganda yang dilancarkan oleh Amerika dihadapinya dengan berani.
Secara terbuka, Ba’asyir menyatakan kebencian dan menyatakan permusuhannya secara terbuka terhadap Amerika yang melancarkan kekuasaan politiknya di
wilayah Asia Tenggara. Ba’asyir melihat aksi-aksi pengeboman yang terjadi di Indonesia adalah
skenario Amerika untuk memfitnah Islam dan menghancurkannya secara pelan-
pelan dari dalam, sehingga mereka dapat masuk ke Indonesia dengan dasar memerangi aksi terorisme.
Sikap membenci pemerintah AS yang ditujukan Abu Bakar Ba’asyir, merupakan salah satu alasan yang melatar belakangi mengapa Presiden AS
George W Bush terus menerus memprovokasi serta melakukan tekanan kepada pemerintah Indonesia untuk menangkapnya. Akibat provokasi AS itu, maka
pemerintahan Megawati bergeming untuk meninjau kembali kasus lama tahun 1980-an sebagai suatu test case, dan melihat kemungkinan apakah ia masih bisa
dihukum
69
. Tahun 2002 merupakan tahun ujian tersendiri bagi Abu Bakar Ba’asyir
karena untuk yang kesekian kalinya Ba’asyir harus kembali ke dalam penjara. Pada saat itu, Ba’asyir yang sedang sakit tetap dibawa oleh polisi untuk
dimasukkan lagi ke dalam sel penjara. Ba’asyir sekali lagi dituduh sebagai pemimpin Jamaah Islamiyah. Penangkapan ini dianggap merupakan salah satu
skenario dimana telah terjadi suatu pesanan dari Amerika untuk menangkapnya. Ba’asyir dengan kekonsistenannya tetap membela realisasi syariat tanpa
ada tawar-menawar. Sikap Ba’asyir ini mendapatkan dukungan penuh dari para aktivis Islam dan sikap ini juga yang membuat musuh-musuh Islam seperti kaum
sekularis dan Amerika terus memantau gerak Ba’asyir dengan harapan syariat Islam tidak segera terwujud.
Penangkapan kembali Ba’asyir terjadi di Rumah Sakit Pusat Kesejahteraan Umat RS PKU Muhammadiyah, Surakarta. Penangkapan pada tanggal 28
Oktober 2002 kali ini selain dengan tuduhan sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah
69
Irfan Suryahardy Awwas, Dakwah Jihad Abu Bakar Baasyir,. h. 24.
ditambah atas keterlibatannya pada pengeboman-pengeboman yang ada di Indonesia termasuk pengeboman di Masjid Istiqlal. Tuduhan diperparah lagi
ketika terjadi peledakan bom Bali I, di lain sisi, Ba’asyir pun mengecam aksi pengeboman itu.
Penangkapan Ba’asyir langsung di RS PKU sangat disayangkan karena pada saat itu Ba’asyir dalam perawatan penyakitnya. Pendukung Ba’asyir sempat
terlibat bentrok dengan polisi namun dengan caranya tersendiri Ba’asyir segera menenangkan massa pendukungnya yang sebelumnya telah menunggu di halaman
rumah sakit. Baasyir dipindahkan perawatannya di RS Polri Kramat Jati dan seminggu
setelah Idul Fitri 1423 H, Ba’asyir kemudian dipindahkan ke tahanan Mabes Polri sampai pada persidangan. Pada masa penahanan ini juga, terdapat tuduhan yang
ditujukan kepada pesantren Ngruki, Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir, serta alumni santri Ngruki terlibat langsung dengan jaringan Al-Qaedah dan JI seperti
yang dilaporkan oleh pihak asing. Selama ini, tuduhan yang ditujukan untuk Ba’asyir lebih banyak berasal
dari Barat, sedangkan dari dalam negeri sendiri, pihak polisi terlihat kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti yang dituduhkan barat itu. Untuk mendukung
sangkaannya bahwa Ba’asyir melanggar pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tentang rencana pembunuhan terhadap Megawati Soekarnoputri
dan pengeboman sejumlah gereja pada malam Natal tahun 2000. Berkas perkara
yang dilimpahkan penyidik kepada kejaksaan berapa kali dikembalikan, disertai permohonan untuk dilengkapi dan disempurnakan
70
.
1. Hubungan Ba’asyir dengan Negara Islam Indonesia dan Jamaah Islamiyah. Isu keterlibatan Ba’asyir di organisasi Negara Islam Indonesia dikeluarkan
oleh pernyataan dari pemerintah Amerika menanggapi kejadian peristiwa 11 September 2003 atas penghancuran gedung World Trade Centre di New York. Isu
ini kuat melekat pada diri Abu Bakar Ba’asyir karena kedekatannya dengan Abdullah Sungkar dan tokoh-tokoh radikal Islam lainnya ketika di Malaysia
seperti Hambali dan Ali Ghufron. Istilah Negara Islam Indonesia NII diikuti juga oleh munculnya istilah
Jamaah Islamiyah. Akar dari lahirnya JI dan NII ini berawal dari suatu pengajian yang diadakan di Malaysia dimana pengisi materi dari pengajian ini dibawa oleh
para pendatang dari Indonesia seperti Abdullah Sungkar, Abu Jibril dan Abu Bakar Ba’asyir.
Seperti yang dijelaskan oleh mantan anggota Jamaah Islamiyah, Nasir Abas dalam bukunya, Membongkar Jamaah Islamiyah. Seketika anggota
pengajian ini akan diberangkatkan berjihad ke Afghanistan ada satu baiat untuk mentaati pimpinan yang ketika itu dipegang oleh Abdul Halim tidak lain adalah
Abdullah Sungkar. Alasan pembaiatan ini bertujuan setelah melakukan jihad di Afghanistan, agenda lain adalah untuk berjihad di Indonesia menjadi negara
Islam. NII ini akan meneruskan perjuangan Kartosuwiryo ketika pra kemerdekaan
70
Edi Sudrajat, Dalam Buku, Abu Bakar Ba’asyir, Catatan dari Penjara: Untuk Mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam
Depok: Mushaf, 2006, h. lxxvii.
dahulu. Indonesia ini wajib dijadikan Islam dahulu sebelum yang lain karena sejarah penegakkan Islam ini sudah ada sebelumnya.
Sewaktu di Afghanistan, terjadi perpecahan di dalam tubuh mujahidin pengikut pengajian Abdullah Sungkar. Kelompok ini terdiri dari kelompok
pengikut Abdul Halim dan kelompok pengikut Ajengan Masduki. Kelompok Abdul Halim ini terus bertahan di Afghanistan sedangkan kelompok Ajengan
Masduki kembali ke Malaysia. Di Malaysia, kelompok Ajengan Masduki ini akan mempersiapkan jihadnya di negara Indonesia.
Sejak itu, awal tahun 1993 orang-orang Indonesia yang berada di kamp latihan Towrkham, baik yang mengikuti program Akademi Militer ataupun kursus
singkat hanyalah terdiri dari orang-orang yang memilih Abdul Halim selaku pemimpin mereka yang baru di bawah organisasi Al-Jamaah Al-Islamiyah, baik
siswanya maupun para instrukturnya
71
. Dapat diketahui disini Abu Bakar Ba’asyir mengikuti pergerakan dari
Abdullah Sungkar dalam melakukan dakwahnya di Malaysia. Abdullah Sungkar sendiri adalah sebagai pembawa ajaran NII dari Indonesia. seperti yang
dilaporkan oleh International Crisis Group, bahwa Abdullah Sungkar sebagai ketua dari NII wilayah Jawa Tengah dengan Abu Bakar Ba’asyir sebagai orang
kepercayaannya. Sungkar dan Ba’asyir kemudian berbai’at kepada Ismail Pranoto pada tahun 1976.
Penangkapan Hispran atas keterlibatannya pada pengeboman Gereja Methodis di Medan inilah yang kemudian membawa Ba’asyir ke penjara yang
71
Nasir Abas, Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Ketua JI Jakarta: Grafindo, 2009, h. 86. Cet.VII
kemudian dijatuhi hukuman dengan tuduhan sebagai pengikut Hispran dan ikut dalam mendirikan negara Islam sebagai reaksi terhadap Soeharto yang menutup
cita-cita Islam politik di Indonesia. Penyangkalan Ba’asyir atas masih aktifnya di NII didasari oleh peristiwa
lepasnya Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dari NII ketika di Afghanistan yang kemudian mendirikan organisasi baru yaitu Jamaah Islamiyah dimana organisasi
ini juga diisukan memiliki jaringan dengan Al-Qaedah pimpinan Usamah bin Ladin. Abu Bakar Ba’asyir juga sudah lepas komunikasi dengan NII ketika
hijrahnya ke Malaysia. Alasan lepasnya Ba’asyir ini karena tujuan Ba’asyir sendiri yang menginginkan sifat ke universalan dari Islam itu sendiri
dibandingkan dengan NII yang hanya sebatas wilayah regional saja. Ini termasuk cita-cita Ba’asyir dalam menegakkan negara Islam yang tidak hanya sebatas
nasional saja melainkan transnasional. Setelah mendirikan organisasi baru di Afghanistan dengan Jamaah
Islamiyah-nya, mereka kemudian kembali ke Malaysia. Di Malaysia inilah Ba’asyir dan Abdullah Sungkar mendirikan Madrasah Lukmanul Hakim yang
kemudian di madrasah ini juga Ba’asyir bertemu dengan Azahari dan Noordin M Top sebagai muridnya.
Pada masa ini Ba’asyir kemudian diangkat menjadi amir JI baru karena meninggalnya Abdullah Sungkar. Dampak dari wafatnya Abdullah Sungkar ini
menimbulkan banyak anggota JI yang kemudian memisahkan diri untuk menonaktifkan dari kegiatan JI walau tanpa ada pernyataan tertulis bahwa mereka
resmi keluar dari JI. Ada di antara senior dan anggota Al-Jamaah Al-Islamiyah
ditingkat pimpinan pada waktu itu yang kurang setuju dengan pengangkatan Abu Bakar Ba’asyir selaku Amir
72
. Pertentangan lainnya ketika Abu Bakar Ba’asyir kemudian maju sebagai
Amir Majelis Mujahidin Indonesia MMI pada bulan Agustus 2004. Ada
pertentangan pendapat diantara pemimpin JI antara pihak yang setuju dengan terlibatnya Ba’asyir di MMI dengan pihak yang tidak setuju.
Pada saat itu terjadi perselisihan antara pemimpin JI. Pada dasarnya Abu Bakar Ba’asyir bersedia meletakkan pimpinan JI, namun di antara pimpinan dan
senior tidak menginginkan Abu Bakar Ba’asyir meletakkan jabatannya tersebut, sehinga sempat mengancam akan keluar dan tidak aktif di dalam Al-Jamaah Al-
Islamiyah seandainya Abu Bakar Ba’asyir dihentikan jabatannya
73
. Untuk menjaga keutuhan dari organisasi JI maka Ba’asyir mengambil
sikap untuk memangku dua jabatan, sebagai Amir MMI dan JI. Akibatnya, Ba’asyir mengalami kesulitan dalam menangani dua organisasi besar tersebut
sampai pada akhirnya Ba’asyir menunjuk Zulkarnain sebagai Pelaksana Tugas Amir Al-Jamaah Al-Islamiyah. dengan Amir masih dipegang oleh Ba’asyir
sampai terpilihnya Amir yang baru. Dengan bubarnya para pengikut JI ini, maka konsentrasi dari organisasi ini
akhirnya terpecah selain karena diantara JI sendiri ada bagian-bagian penanggung jawab operasi wilayah dimana mereka tidak mengetahui penanggung jawab
wilayah lain dikarenakan sifat dari JI ini yang juga tertutup walau sesama anggota. Pengikut JI yang keluar juga masih dapat mengakui keanggotaannya
72
Ibid., h. 304.
73
Ibid., h. 305
dikarenakan tidak ada pembuktian bahwa mereka keluar secara resmi. Hal ini membuat kebingungan antar sesama anggota dan tingkat pimpinan.
Kebingungan dan kemarahan dari angota Al-Jamaah Al-Islamiyah baik dari tingkat pimpinan hingga ketingkat bawahan kembali terjadi ketika peristiwa
bom pada malam Natal tahun 2000
74
. Hal ini kemudian diikuti dengan aksi lain seperti, bom Bali tahun 2002, Agustus 2003 bom Marriott, September 2004 bom
di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dan Oktober 2005 bom bunuh diri di Jimbaran dan Kuti di Pulau Bali
75
. Banyak diantara pelaku bom malam Natal ini adalah anggota JI dan NII
yang direkrut oleh Hambali. Hambali ini membuat kelompok baru dalam aksinya tersebut, hal ini membuat kebingungan dari anggota dan pemimpin JI karena
Hambali melakukan sendiri aksinya diluar dari batas tujuan JI sendiri. Mulai dari sinilah sistem perjuangan JI semakin tidak jelas dan keluar dari platform awal
yang bertujuan untuk menyebar ke Islaman sesuai tuntutan Rasulullah. Penolakan Ba’asyir atas tuduhan yang diarahkannya terkait keterlibatan
dengan organisasi NII dan JI ini ada beberapa alasan. Pertama dalam kasus NII, Ba’asyir hanya menjadi orang kepercayaan Abdullah Sungkar, Ba’asyir kemudian
tetap aktif dalam kegiatan mengajar di pondok pesantrennya. Sedangkan Abdullah Sungkar terus melakukan dakwah di berbagai tempat.
74
Ibid., h. 307.
75
“Terorisme di Indonesia,” artikel diakses pada tanggal 28 Oktober 2009 dari www.crisisgroup.orghomeindex.cfm?id=3630l=1
Kedekatan Abu Bakar Ba’asyir dengan Abdullah Sungkar dapat dilihat dengan persamaan visinya dalam mewujudkan cita-cita negara Islam yang dimana
sistem kenegaraannya dilandasi oleh syariat khususnya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran Abdullah Sungkar kritik kerasnya terhadap paham
nasionalis. Meyakini bahwa negara Indonesia adalah milik bangsa Indonesia berarti telah merusak Tauhid Rububiyah seorang Mu’min, sebab pada hakekatnya
Allah lah pemilik segala makhluk, termasuk negara Indonesia dan penghuninya
76
. Kedekatan dengan Abdullah Sungkar ini kemudian diperkuat dengan
memiliki cita-cita yang sama bahwa kepemimpinan negara yang benar itu adalah kepemimpinan yang sudah di contohkan pada sistem Khilafah terdahulu.
Persamaan visi ini merupakan cerminan dengan visi yang di jalankan Ba’asyir pada saat ini.
Penolakan Ba’asyir atas keterlibatan di JI dalam salah satu persidangannya bisa jadi karena ada alasan tertentu sehingga Ba’asyir dengan tegas menolak
keterlibatannya langsung di tubuh JI. Ba’asyir beralasan bahwa JI yang telah dilaporkan oleh pihak ICG merupakan hasil dari rekayasa Barat hanya untuk
menjeratnya di dalam penjara. Penjelasan tentang JI yang dilaporkan dinilai tidak berimbang dan berdasar. Dalam kasus ini memang masih menjadi suatu
perdebatan tersendiri tentang bagaimana bentuk utuh Jamaah Islamiyah itu ditambah para anggota JI yang memiliki tingkat solidaritas sendiri untuk menutupi
76
Muh. NurSalim, “Pemikiran politik Ustadz Abdullah Sungkar,” artikel diakses pada tanggal 28 Oktober
2009 dari
http:www.msi- uii.netbaca.asp?katagori=rubrikmenu=Millahbaca=artikelid=266.
pergerakannya sejalan dengan sifat organisasi JI sendiri sebagai Tanzim Sirri dengan kata lain merupakan suatu organisasi rahasia baik secara ideologis serta
dalam hal pergerakan. Karena situasi inilah Ba’asyir beberapa kali keluar-masuk penjara tanpa ada kejelasan bukti bahwa Ba’asyir secara nyata adalah sebagai
salah satu tokoh penting di tubuh JI. 2. Ba’asyir Bergabung dengan Majelis Mujahidin Indonesia MMI
Selain telah melalui pengalaman keluar masuk penjara, Ba’asyir juga bergabung dengan Majelis Mujahiddin Indonesia. Pada kongres yang pertama di
Yogyakarta, Ba’asyir terpilih sebagai amir Mujahiddin pada tanggal 5-7 Agustus 2000 untuk periode 2000-2009. MMI adalah salah satu ormas Islam yang agenda
utamanya adalah perjuangan syariat Islam. Menurut Ba’asyir, MMI yang dipimpinnya menggunakan cara perjuangan
Rasulullah, menyampaikan dakwah secara jelas kepada semua umat tentang syariat. Penyampaian syariat ini tidaklah dengan melakukan gerakan-gerakan
yang radikal. MMI sangat vokal dalam membela kepentingan umat Islam dan berani mangambil sikap terhadap lawannya pada saat itu yaitu Presiden Amerika
Serikat, George W Bush serta Perdana Menteri Ariel Sharon untuk dibawa ke Mahkamah Internasional dalam hal sebagai teroris.
MMI secara eksplisit menyatakan tidak ingin mendirikan negara Islam, meskipun berniat menegakkan syariat Islam di Indonesia
77
. MMI menggunakan cara yang terbaik untuk mengaplikasikan syariat Islam di Indonesia tanpa harus
berhadapan dan bertentangan dengan pemerintah. Hal ini juga merupakan satu agenda dalam kongres MMI yang pertama.
77
Idi Subandy Ibrahim Asep Syamsul M. Romli, Kontroversi Ba’asyir. h. 39
Dalam tujuan menegakkan syariat Islam, MMI telah memprogramkan perjuangannya yang telah disetujui dan disahkan dalam kongres Mujahidin I di
Yogyakarta pada 5 Agustus 2000. Program politik MMI diantaranya; 1. Menuntut agar Pemerintah melaksanakan syari’ah Islam secara kaffah dalam kehidupan
berpolitik dan bernegara, 2. Membangun kekuatan politik Islam dengan mendesak partai-partai Islam untuk bersatu padu memperjuangkan tegaknya syari’ah Islam,
3. Menciptakan Pemerintahan yang menjamin pelaksanaan Syari’ah Islam bagi pemeluknya-pemeluknya, dengan tetap memberi kemerdekaan bagi umat
beragama lain untuk melaksanakan ajaran agamanya, 4. Memiliki media massa untuk menyebarluaskan program-program mujahidin
78
. Untuk memperjuangkan kesepakatan tersebut maka MMI membentuk
perwakilan atau Laskar Mujahidin di setiap wilayah. Segala pokok permasalahan yang melanda kaum muslimin bangsa Indonesia dari masa awal kemerdekaan baik
berupa tragedi politik maupun kemanusiaan adalah belum berlakunya syari’ah Islam. Selama ini politik di Indonesia berada pada tangan orang yang salah yang
tidak mau melaksanakan syariat secara utuh di dalam formalisasi kenegaraan. MMI yang dipimpin Ba’asyir ini memiliki alasan mengapa satu tema besar
yang diperjuangkannya yaitu penegakkan syariat terus diperjuangkan adalah, pertama,
alasan akidah ideologis, dimana setiap muslim yang lurus akidahnya pasti menginginkan berlakunya syariat Islam sebagai konsekuensi logis dari
pengakuan sebagai muslim, sehingga mereka terhindar dari bencana. Kedua, alasan historis siroh, dimana perjalanan sejarah umat Islam sejak zaman
Rasulullah Saw, hingga khulafaur rosyidin dan khilafah sesudahnya, yang mereka
78
Irfan S Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syari’ah Islam Yogyakarta: Wihdah Press, 2001, h., 145.
itu para tabi’in dan solafus sholeh hingga akhir runtuhnya khilafah Utsmaniyah di bawah Sukthan Abdul Hamid II tahun 1924 M, mereka semua hidup dalam satu
sistem Islam, yaitu sistem khilafah dengan tetap menjaga wildatul ummah dan wildatul imamah
. Ketiga, berkenaan dengan realitas masa kini dengan munculnya era globalisasi yang justru diwarnai dengan krisis dimensional yang
berkepanjangan, saatnya umat Islam dituntut untuk lebih berani dalam
menawarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan tanpa ragu dan minder demi mengatasi segala macam problema yang menimpa umat manusia
79
. Dengan alasan tersebut, MMI beralasan bahwa tegaknya syariat Islam sangat mendesak.
Perhatian Ba’asyir dengan MMI juga dapat dilihat dari sikap penolakan terhadap pengangkatan Megawati sebagai presiden. Sikap kepemimpinan perempuan
menjadi perdebatan khusus sendiri bagi kelompok Islam. Di dalam Islam politik kepemimpinan perempuan ini sah dikarenakan adanya alasan darurat walau
memiliki kesan adanya kepentingan politik yang kemudian munculah paradigma tersebut. MMI memiliki sikap sendiri, MMI menyatakan alasan darurat
sebagaimana dijadikan dasar partai politik tersebut tidak dapat dibenarkan dalam Islam. Sebab, pengertian darurat dalam Islam menyangkut masalah hidup dan
mati, di samping itu realitas di Indonesia masih terdapat banyak alternatif presiden yang bervisi Islam dan memiliki kemampuan
80
.
3. Keluar dari Majelis Mujahidin Indonesia Pada tahun 2008, Abu Bakar Ba’asyir keluar dari MMI dengan alasan
sistem kepemimpinan dan tata keorganisasian majelis ini sudah tidak mengikuti
79
Ibid ., h. 193
80
Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia Jakarta: LP3ES, 2008, h. 288.
aturan Islam lagi. Ba’asyir mengkritik seharusnya perintah dan keputusan berada di Amir bukan di Lajnah Tanfidziah. Kedudukan Amir di dalam Islam berada di
tempat yang paling tinggi, oleh karena itu sudah seharusnya di taati dan didengar. Pengunduran diri Ustad Baasyir tersebut juga murni kemauannya sendiri, dan
tidak ada tekanan dari luar. Menurutnya, selama ini Abu Bakar Baasyir sebenarnya telah melakukan dakwah di internal MMI. Kendati demikian banyak
anggota MMI yang tidak menyetujui pelurusan yang ditanamkan Abu Bakar
81
. Setelah keluar dari MMI, Ba’asyir kemudian mendirikan organisasi baru
yang mengklaim menggunakan sistem jamaah atau imamah. Organisasi ini kemudian diberi nama Jamaah Ansharut Tauhid yang menjawab kebutuhan umat
akan adanya jamaah yang menjadi wadah bagi umat yang masih memiliki Ghirah semangat untuk menegakkan kalimah Allah dengan jalan Dakwah dan Jihad fi
sabilillah di muka bumi, dan merupakan sebagai sarana menuju tegaknya kesatuan umat Islam di bawah kepemimpinan yang satu, yaitu khilafah Islamiyah,
mengingat membangun kesatuan umat yang besar ini membutuhkan sebuah proses bertingkat dan bertahap, dimana jama’atul muslimin jama’ah Umat Islam
takkan bisa di tegakkan kecuali dengan melewati masa membangun jamaah min ba’dhil Muslimin
jama’ah sebagian Umat Islam dengan cara-cara yang sesuai ajaran Sunnah Nabi saw
82
. Konsep organisasi Islam berbeda dengan konsep yang organisasi
demokratis yang banyak dipakai pada zaman ini, menyangkut masalah amir atau
81
Novel, “Mundur dari MMI, Bulan Ramadhan Ustad Ba’asyir Bentuk Organisasi Baru,” artikel diakses pada 26 Agustus 2009 dari http:www.eramuslim.comberitanasionalmundur-
dari-mmi-bulan-ramadhan-ustad-ba-039-asyir-bentuk-organisasi-baru.htm.
82
“Mengenal Jamaah Ansharut Tauhid,” artikel diakses pada 9 Agustus 2009 dari http:www.ansharuttauhid.comjamaahmengenal-jat.html.
pemimpin. Amir dalam konsep jamaah-imamah tidak dipilih secara periodik melainkan ia dipilih hanya sekali, dan tetap akan menjadi amir selama masih ada
kemampuan dan tidak melanggar syariat. Ba’asyir mengkritik konsep pengangkatan pemimpin dalam sistem demokrasi saat ini karena pengangkatan
amir hanya menghabiskan dana yang tidak sedikit. Walau sikap Ba’asyir ini mendapatkan kritikan, Ba’asyir tetap dengan
pendiriannya membentuk organisasi yang visi misinya ingin menegakkan sistem Imamah. Banyaknya organisasi Islam yang berkembang dianggap wajar dalam
pandangan Ba’asyir karena selama Khilafah Islam belum terbentuk maka selama itu organisasi-organisasi Islam ada untuk memperjuangkan cita-cita tersebut.
Ba’asyir mengajak semua jamaah yang ada untuk bersatu padu memperjuangkan syariat Islam. Abu Bakar Ba’asyir juga mengajak setiap jamaah yang ada untuk
membenahi diri sehingga layak dikatakan sebagai thaifah manshurah atau kelompok yang mendapat kemenangan dari Allah SWT.
Mengenai masalah kepemimpinan dan perjuangan menuju khilafah, di tekankan juga pada deklarasi Ansharut Tauhid pada tanggal 17 September 2008.
Penekanan itu terletak pada poin tentang kepemimpinan yang tertulis bahwa amir dapat memimpin jika masih ada kekuatan dalam menjalankan amanah dan tujuan
perjuangannya adalah untuk menegakkan Daulah atau Khilafah Islamiyyah. Jadi, tidak perlu adanya penggantian Amir secara periodik dalam suatu kongres, seperti
yang dilaksanakan oleh ormas-ormas yang mengikuti sunnah Yahudi
83
.
83
Abu Bakar Ba’asyir, “Taujih AM, Amir Jama’ah Ansharut Tauhid,” artikel diakses pada 7 Agustus 2009 dari http:www.ansharuttauhid.comjamaahsistem-organisasi.html.
Syariat Islam memang merupakan harga mati menurut Abu Bakar Ba’asyir. Menurutnya, justru karena Indonesia adalah bermayoritaskan pemeluk
Islam, maka usaha menegakkan syariah ini diharuskan. Kelompok-kelompok yang mempunyai cita-cita menegakkan syariat Islam bukanlah musuh negara,
melainkan orang-orang yang menghalangi tegaknya syariat adalah musuh negara yang sebenarnya karena negara tidak menghalangi umat beragama menjalankan
agamanya masing-masing
84
.
D. Hasil Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir