Menegakkan dan Mendakwahkan Dinul Islam

merupakan syariat itu sendiri. Jadi negara Islam adalah termasuk syariat Islam yang dilaksanakan menyeluruh atau berjamaah. Jika kita ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam semua sektor kehidupan kita maka mau tidak mau harus memformalkan syariat Allah yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah dalam bentuk Undang-undang UU, dan sebuah UU tidak akan berjalan jika tidak dipayungi oleh sebuah pemerintahan daulah.

E. Menegakkan dan Mendakwahkan Dinul Islam

Kritik keras Abu Bakar Ba’asyir terhadap sistem kafir seperti sekuler, demokrasi dan nasionalis seperti di Indonesia adalah bertujuan untuk mengembalikan tata cara hidup masyarkat sesuai dengan tuntutan Qur’an dan sunnah. Selama ini umat sudah jauh meninggalkan kedua pedoman hukum Allah tersebut yang berakibat kepada konflik internal yang berkepanjangan dan lemahnya kedudukan umat Islam terhadap pergerakan pihak sekuler barat. Keadaan ini akan terus terjadi dan akan memberi dampak semakin buruk terhadap posisi umat Islam yang terus mengikuti arus politik barat dan secara tidak sadar akan melepaskan kita sepenuhnya dari Al-Qur’an dan sunnah. Menegakkan Dinul Islam adalah suatu kewajiban yang paling utama bagi umat Islam. Menyelamatkan negara dari sistem yang sirik harus didahulukan dari perdebatan-perdebatan kecil tentang akhlak atau syirik kecil. Tegaknya Dinul Islam ialah adanya kekuasaan Daulah Islamiyah atau khilafah, sehingga syariat Islam dapat diamalkan secara terpimpin rapi, dan secara kaffah serta bersih. Dinul Islam dapat ditegakkan dengan usaha-usaha dakwah, tabligh, pendidikan, usaha-usaha sosial dan jihad fisabilillah untuk memerangi orang-orang yang menghalangi tegaknya Islam atau khilafah 102 . Sedangkan pengertian mendakwahkan Dinul Islam adalah menyebarkan Islam secara luas di berbagai tempat, tetapi hanya diamalkan secara perorangan atau berkelompok-kelompok. Dalam hal ini Islam tidak dipimpin kekuasaan Daulah Islamiyah atau khilafah, syariat tidak dapat diamalkan secara menyeluruh karena masih ada tekanan dari pihak Barat yang terus mengganggu. Namun Dinul Islam masih dapat disebarkan melalui cara dakwah, tabligh, pendidikan dan usaha-usaha sosial 103 . 1. Aturan Penegakkan Dinul Islam Agar umat Islam dapat terlepas dari belenggu pemahaman barat yang sudah mencengkram kuat ini maka hal yang paling utama ada memperjuangkan kembali syariat hadir di dalam suatu sistem kekuasaan di negeri yang mayoritas umatnya adalah muslim. Syariat dapat diterapkan jika aturan dalam pendirian Dinul Islam ini dilakukan secara benar. Aturan-aturan tersebut ialah Islam diamalkan secara prinsip, Islam diamalkan secara kaffah, dan Islam harus diamalkan secara berjamaah atau berada di dalam kekuasaan 104 . Pertama, Islam diamalkan secara prinsip. Prinsip disini adalah bersih dari ajaran bid’ah yaitu harus sesuai dengan apa yang berpedoman pada Al-Qur’an dan sunnah, tidak boleh melalui ijtihad sendiri atau pemahaman sendiri. Islam juga tidak boleh ada pengaruh dari sistem yang dibentuk oleh orang kafir seperti 102 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara. h., 220. 103 Ibid., h. 220 104 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2009. pemahaman demokrasi saat ini dimana kedaulatan berada pada tangan rakyat bukan pada Allah, hal ini adalah suatu dogma yang datangnya dari pihak kafir. Islam juga harus bersih dari kafir dalam arti orang Islam tidak boleh dipimpin oleh orang kafir. Inilah yang disebut Islam bebas dari sifat kemusyrikan. Kedua, Islam diamalkan secara kaffah. Islam harus dilaksanakan secara menyeluruh dari moral sampai kemasyarakatan, tidak ada satupun syariat yang boleh ditinggalkan terkecuali belum mampu melaksanakan seluruhnya. Berjalannya syariat ini dari wilayah terkecil yang disebut dengan daulah sampai dalam wilayah transnasional yang disebut dengan istilah khilafah. Ketiga, Islam harus diamalkan secara berjamaah atau harus masuk dalam kekuasaan. Masuk dalam kekuaasaan disini adalah syariat Islam harus ada di dalam sistem kekuasaan dalam bentuk perundang-undangan, ikut masuk ke dalam jalannya pemerintahan. Syariat Islam tidak boleh ada diluar sistem kekuasaan, lebih buruknya lagi dipisahkan dari kekuasaan. Dengan mengikuti ketiga aturan pengamalan Islam tersebut maka jaminan untuk keselamatan Islam akan didapatkan. Islam tidak akan dicampuri oleh pihak kafir atau pihak Barat karena pengamalan tersebut akan membentuk suatu karakter yang kuat di dalam lingkungan umat Islam itu. Jadi, Islam tidak boleh hidup di bawah sistem kenegaraan kafir terkecuali dengan situasi tertentu seperti berobat, berniaga, mencari ilmu umum serta berdakwah. Ba’asyir menekankan juga bahwa umat yang yang meningalkan atau menolak negara Islam hukumnya murtad karena meninggalkan negara Islam dengan syariatnya sama dengan meninggalkan ibadah keimanan seperti solat yang juga bagian dari syariat. Di Indonesia inilah yang disayangkan Ba’asyir karena terus mengikuti sistem barat bahkan memiliki ideologi sendiri dengan ideologi nasionalisnya. Negara Islam bukanlah suatu negara yang dibatasi oleh wilayah kenegaraan melainkan sifatnya yang transnasional atau tidak terbatas pada wilayah suatu negara sendiri-sendiri. Keharusan Islam masuk ke dalam sistem kenegaraan dapat dilihat dari pernyataan Ba’asyir berikut ini: “Jadi mengamalkan Islam dalam sistem kekuasaan baik dalam masa tahap Daulah sampai ke dalam tahap yang sempurna, yaitu khilafah, itu konsepnya Allah bukan pemikiran saya, jadi orang yang menolak terwujudnya kekuasaan Islam baik itu namanya negara Islam orang itu bisa murtad, karena apa? Dia menolak konsepnya Allah, Jadi jangan main- main dengan persoalan ini. Jadi Islam harus dalam sistem kekuasaan, tidak boleh Islam itu di bawah kekuasaan 105 .” 2. Muamalah Golongan Mukmin dan Muamalah Golongan Kafir Ba’asyir membagi dua kelompok manusia menurut keagamaannya yang menurutnya sesuai dengan apa yang dikelompokan oleh Al-Qur’an dan sunnah. Kelompok pertama adalah golongan mukmim atau hisbullah, yakni kelompok pengikut agama Allah, dan yang kedua adalah golongan kafir atau non mukmin atau hizbutsyaithon, yaitu kelompok pengikut setan dan sekaligus menjadi musuh Allah dan musuh kaum muslimin. Golongan kafir juga mempunyai ciri mengingkari Allah, mengimani adanya Allah, tetapi menyukutukanNya dengan makhluk-Nya, serta orang-orang yang mengimani adanya Allah dan Rasul, kecuali nabi Muhammad yang mereka ingkari sebagai Rasul Allah 106 . Muamalah dari golongan tersebut adalah dalam hal pergaulan, dimana hubungan antara golongan mukmin dan kafir adalah hubungan permusuhan, tidak bisa berdamai kecuali dengan aturan tertentu namun pada hakikatnya tetap menjadi musuh. Orang-orang mukmin wajib bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tegas 105 Ibid . 106 Ibid. menyatakan kebathilan tentang kepercayaan agama orang kafir dan menyatakan terlepas diri dari kepercayaan mereka. Berbeda dengan hubungan antara golongan sesama mukmin, dimana mukmin tinggal tanpa ada batasan waktu, jarak, atau tempat seorang mukmin tetaplah menjadi saudara diantara mukmin yang lain. Orang-orang mukmin juga wajib mengangkat pemimpin hanya sesama orang beriman. Hubungan sesama mukmin dan kafir sebatas dalam hubungan sosial atau urusan keduniaan saja. Orang muslim dapat berbuat baik, adil terhadap orang kafir yang tidak memerangi Islam dan kaum muslimin dalam urusan dunia. Orang mukmin dapat menikahi wanita kafir ahli kitab Yahudi atau Nasrani walau sebagian ulama masih ada yang mengharamkan, tidak boleh menyerupai orang kafir baik dalam pakaian atau perilaku, dan juga orang mukmin tidak boleh memintakan ampun dosa-dosa orang-orang kafir, baik yang masih hidup ataupun setelah mati 107 . Muamalah ini sayangnya telah tercampur oleh pengaruh pihak Barat yang pada akhirnya dilanggar juga oleh umat Islam sendiri. Pengaruh ini datang dari pemahaman sekuler seperti paham demokrasi, nasionalisme dan sebagainya. Di Indonesia, paham ini sengaja dibawa masuk oleh pihak Barat yang kemudian dilanjutkan oleh orang Islam yang mendukung ide ini. Syariat pada saat ini kemudian makin terpuruk akibat adanya pengaruh paham plural dan liberal yang juga dibawa oleh pihak Barat. Yang disampaikan diatas bermaksud memberi ruang toleransi golongan mukmin terhadap golongan kafir. Mukmin tidak boleh berada pada pengaruh kafir 107 Abu Bakar Ba’asyir, Catatan Dari Penjara. h., 95 bahkan dikuasai oleh kafir. Pada konteks kenegaraan, negara yang mayoritas umatnya adalah mukmin tidak boleh berada di dalam pengaruh golongan kafir. Sistem negara yang bermayoritaskan Islam tidak boleh menggunakan sistem yang dipakai oleh pihak kafir dalam hal ini adalah pihak barat dengan demokrasi dan semacamnya diluar sistem syariat. Sudah seharusnya bagi negara bermayoritaskan Islam harus menggunakan sistem yang berdasarkan syariah tanpa terkecuali. Bagi siapapun yang menolak atau tidak dijalankan secara utuh maka orang tersebut tidak lain masuk kedalam gologan kafir. 3. Cara Pelaksanaan Sistem Syariat Ba’asyir selain menjelaskan tentang cara menegakkan Islam seperti yang dijelaskan diatas, dijelaskan juga tentang bagaimana sistem Islam ini dijalankan sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad terdahulu. Sistem ini adalah sistem sunnah Nabi yang bertolak belakang jauh dengan sistem yang Ba’asyir sebut dengan sunnah yahudi demokrasi. Sistem ini berkaitan kepada peran amir atau pemimpin, karena sistem sunnah yang pernah di contohkan pada saat ke khalifahan Islam terdahulu adalah dimana pemimpin sebagai pengambil keputusan yang didasakan kepada Al-Quran dan sunnah 108 . Pertama, Amir, tidak perlu diganti secara periodik. Pemimpin selama masih memiliki kemampuan, sehat lahir serta batin, mau menjalankan kewajibannya dan tidak melanggar syariat sampai tindakan murtad, tidak dibenarkan untuk diganti. Jika ada permasalahan pribadinya bukan secara melembaga, kita hanya bisa bersikap sabar serta mendoakan pemimpin tersebut 108 Wawancara pribadi dengan Abu Bakar Ba’asyir, Surakarta, 27 September 2009. tanpa harus diturunkan karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau opini yang tidak baik. Kedua, taat selalu kepada amir atau pemimpin selama tidak ada maksiat. Artinya, keputusan akhir ada di pemimpin, walau secara pribadi tidak setuju namun selama keputusan itu tidak melanggar syariat, wajib untuk ditaati dan dijalankan. Jika hal ini dapat berjalan maka sesungguhnya umat Islam akan lebih taat daripada taatnya militer dikarenakan adanya hukum ketegasan di dalam syariat itu. Berbeda pada praktik sistem sunnah yahudi demokrasi jika meminjam istilah Ba’asyir. Pada sistem Yahudi, taat itu ada pada Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga ADART. Kepemimpinan di dalam sistem ini disebut sebagai kepemimpinan yang kolektif dimana Presiden terkait dengan undang- undang serta Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Di dalam Islam amir mempunyai majelis syura tersendiri yang terdiri dari ulama-ulama serta para ahli di bidang masing-masing, sehingga jika amir kesulitan dalam menentukan suatu keputusan, maka dapat dirundingkan dengan majelis syura yang ada. Hasil dari perundingan itu kemudian diputuskan melalui amir dengan bersandar kembali kepada syariat. Ketiga, keputusan musyawarah kembali lagi kepada amir. Suatu keputusan yang diambil oleh pemimpin harus dijalankan oleh warga negara walau ada peluang keputusan keliru namun masih dalam koridor syariat. Kekeliruan pasti ada karena itu adalah fitrah manusia sebagai makhluk Allah. Masyarakat yang ingin menyampaikan kritiknya dapat menyampaikannya melalui dewan syuro serta dapat juga secara langsung, sehingga di dalam Islam masyarakat dapat juga mengawasi serta mengkritik pemerintah serta pemimpin negara. Hal ini telah dicontohkan ketika masa Nabi Muhammad serta pada masa khulafaur Rasyidin. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam menawarkan sistem yang praktis, murah dan efeknya luar biasa. Oleh karena itu, mengamalkan Islam harus dalam sistem kekuasaan yang sifatnya transnasional. Jika sistem Islam sudah bisa berjalan dan sudah masuk ke dalam sistem kenegaraan dalam arti sudah dapat berkuasa, maka suatu kewajiban untuk berdakwah ke negeri kafir atau non muslim dengan ditawari berbagai pilihan yaitu masuk Islam, tidak masuk Islam namun membayar pajak, dan terakhir jika tidak mau tunduk sama sekali maka sikap keras harus dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mencegah gangguan dari pihak non muslim untuk mengacak-acak kembali negara Islam yang sudah berdiri selain agama Islam sendiri adalah agama misi. Ba’asyir mendasari pemahaman ini berdasarkan pemahaman bahwa orang kafir boleh hidup namun tidak boleh berkuasa atas Islam untuk tegaknya keadilan dan keamanan. Ba’asyir memberikan rangkuman tentang ciri dari negara yang dikategorikan sebagai negara Islam, yaitu pemimpin negara harus beragama Islam, dasar negara harus berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah, serta hukum positifnya adalah syariat Islam. Tegaknya Islam di dunia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara dakwah dan jihad. Dakwah digunakan untuk memberikan pemahaman secara dialogis kepada umat akan pentingnya syariat dijalankan demi terwujudnya keamanan dan memberikan perlindungan. Dakwah sebagai jalan utama untuk memberikan doktrin akan pemahaman syariat yang benar sampai terwujudnya negara Islam secara utuh. Jihad digunakan jika cara dakwah tidak efektif untuk memberikan pemahaman tentang syariat. Jihad disini memiliki dua arti, yang pertama adalah jihad secara bahasa dimana bersungguh-sungguh dalam berdakwah. Yang kedua adalah jihad secara istilah, yaitu dengan menggunakan senjata di wilayah konflik. Jihad secara istilah inilah sebagai gerbang terakhir untuk menanamkan syariat di dalam sistem negara.

F. Usaha Abu Bakar Ba’asyir dalam Memperjuangkan Implementasi Syariat Islam dan Negara Islam.