1. Aturan Penegakkan Dinul Islam………………………. 94 2. Muamalah Golongan Mukmin dan
Muamalah Golongan Kafir……………………………. 96 3. Cara Pelaksanaan Sistem Syariat……………………. 98
C. Usaha Abu Bakar Ba’asyir Dalam Memperjuangkan
Implementasi Syariat Islam Negara Islam…………….101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………… 105 B. Saran-saran………………………………………………….106
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 108 LAMPIRAN………………………………………………………………. 113
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdebatan tentang relasi agama dan negara masih menjadi satu pembahasan panjang sampai saat ini dan belum ada kesepakatan akan hubungan
tersebut. Berbagai teori ditawarkan atas relasi agama dan negara yang ditawarkan masing-masing kelompok, dan mereka akan mempertahankan teori tersebut.
Kelompok-kelompok yang menawarkan konsep ini dibagi menjadi 2 paham kelompok, paham teokrasi serta paham sekuler. Paham teokrasi
berpendapat bahwa negara menyatu dengan agama karena pemerintahan
dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Sedangkan paham
Sekuler berpendapat, norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman Tuhan, meskipun norma-norma tersebut
bertentangan dengan Tuhan. Di dalam lingkup tema Islam sendiri masih terdapat perdebatan tentang
relasi agama, yang dalam hal ini tentang tema Islam dan negara itu sendiri. Berbagai pendapat itu datang dari kalangan tokoh Islam maupun dari tokoh di luar
Islam yang memiliki persepsi tentang hubungan relasi tersebut. Melihat pendapat tokoh Marxis, Maxim Rodinson, seperti yang dikutip
oleh Nurcholish Madjid, bahwa agama Islam menawarkan kepada para pemeluknya suatu proyek kemasyarakatan. Suatu program yang harus diwujudkan
di muka bumi. Jadi Islam tidak bisa disamakan dengan Kristen atau Budhisme, sebab Islam tidak hanya menampilkan dirinya sebagai perhimpunan kaum
beriman yang mempercayai kebenaran yang satu dan sama, melainkan juga sebagai suatu masyarakat yang total
1
. Tokoh Islam seperti Ibnu Khaldun, seperti yang dikutip oleh Munawir
Sjadzali, menawarkan bahwa peraturan-peraturan politik yang mengatur ke- tatanegara-an dapat dilakukan oleh cendekiawan, orang ahli dalam negara
tersebut, tetapi dapat juga berasal dari agama. Menurutnya peraturan yang berasal dari agama melalui utusannya yaitu Rasul-RasulNya dianggap yang terbaik. Oleh
karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia, tetapi juga di akhirat
2
. Melihat dari sisi historis Islam, pada saat Islam dipimpin oleh Nabi
Muhammad, perannya bukan hanya sebagai pemimpin agama melainkan juga pemimpin negara, pendapat Ibnu Taimiyah berbeda. Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran al Kitab bukan sebagai penguasa. Kalaupun ada pemerintahan, itu
hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama. Dengan kata lain, politik atau negara hanyalah sebagai alat bagi agama
bukan suatu ekstensi dari agama
3
. Sedangkan menurut pemikir Islam al-Maududi mempunyai persepsi
sendiri tentang hubungan Islam dan negara dengan disebutnya sistem teo demokrasi. Teo demokrasi, yaitu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi, karena di
1
Nurcholish Madjid, “Kata pengantar” dalam Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstitusi
Jakarta: LP3ES, 1996, h. ix.
2
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara;Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI Press, 1995, h.102.
3
Tim ICCE, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani Jakarta:ICCE UIN, 2003, h. 61.
bawah naunganNya kaum Muslim telah diberi kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan
4
. Pendapat ini adalah gambaran dari banyak perbedaan pendapat lainnya
tentang relasi Islam dan negara, yang terjadi di negara-negara Islam tidak terkecuali di Indonesia. Sejak lengser-nya Soeharto pintu demokrasi terbuka
dalam menjalankan pemerintahan selanjutnya, bagi kalangan Islamis yang melihat hal ini merupakan suatu kesempatan dalam memperjuangkan idenya untuk
membentuk suatu negara Islam. Banyak gerakan bersifat gerakan Islam non politik maupun politik di Indonesia yang mengiginkan konsep negara Islam di
aplikasikan di Indonesia melalui pelaksanaan Syariat Islam di dalam peraturan tata negara Indonesia.
Sejak berdirinya Indonesia, usaha-usaha untuk mendirikan suatu negara berlandaskan Islam sudah ada. Diawali oleh organisasi yang dinamakan Darul
Islam di Jawa Barat. Gagasan mendirikan Darul Islam, suatu pemerintahan negara Islam murni secara terang-terangan dengan hukum Islam, sudah dicetuskan oleh
sejumlah pemimpin Islam Jawa Barat selama beberapa waktu. Namun demikian, baru setelah Perjanjian Renville yang disponsori PBB ditandatangani pada bulan
Januari 1948, lingkungan memberi angin kepada pelaksanaan praktis gagasan mereka ini
5
. Organisasi ini kemudian masuk ke ruang lingkup politik praktis melalui
Partai Sarekat Islam Indonesia. Namun di dalam partai ini pun terjadi perbedaan pendapat diantara tokoh-tokoh partai yang berimbas pada perpecahan tubuh
4
Abul A’la Al-Maududi, Hukum Konstitusi; Sistem Politik Islam. Terj. Asep Hikmat Bandung: Mizan, 1993, h. 160.
5
George Mc
Turnan Kahin,
Refleksi Pergumulan
Lahirnya Republik
Indonesia;Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj. Nin Bakdi Soemanto Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1995, h 416.
partai, PSII Hijrah yang dipimpin oleh S. M. Kartosuwiryo dan PSII Penyadar yang dipimpin oleh Agus Salim.
Sampai pada saat ini, isu pembentukan negara Islam negara yang didasarkan atas peraturan Islam belum juga hilang di Indonesia. Banyak
organisasi massa yang tetap menginginkan Islam masuk ke dalam ke-tata negara- an Indonesia seperti organisasi Front Pembela Islam FPI, Laskar Jihad, Forum
Komunikasi Ahlussunnah Wal Jama’ah FKAWJ, Hizbut Tahrir Indonesia sampai Majelis Mujahidin Indonesia MMI. Tidak hanya organisasi massa saja
melainkan juga organisasi politik Islam, seperti Partai Bulan Bintang PBB yang secara terang-terangan memperjuangkan syariat Islam pada pemilihan umum 2004
lalu. Gerakan organisasi tersebut memiliki suatu landasan tersendiri. Terdapat
berbagai landasan teologis atau filosofis di balik keputusan para aktivis politik Islam untuk memperjuangkan kaitan formalistik atau legalistik antara Islam dan
negara. Sebagian besar, landasan teologis itu dibentuk dan dipengaruhi oleh pandangan mereka tentang Islam
6
. Beberapa kelompok Islam ada yang merasa perlu Indonesia dibentuk
sebagai negara Islam atas dasar perjuangan kembali tujuh kata pada Piagam Jakarta yaitu “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya.” yang dihapus dari perumusan pancasila.
Salah satu tokoh ulama di Indonesia yang mempunyai cita-cita mendirikan suatu negara Islam adalah KH. Abu Bakar Ba’asyir, pendiri pondok pesantren Al-
Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ba’asyir pernah menjadi pimpinan
6
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia
Jakarta: Paramadina, 1998, h. 177.
atau Amir Majelis Mujahidin Indonesia sebelum mendirikan organisasi sendiri bernama Jamaah Ansharut Tauhid. Banyak usaha yang dilakukan Ba’asyir dalam
menawarkan konsep negara Islam sampai keluar masuk penjara oleh pemerintah sejak zaman Soeharto berkuasa karena dinilai mengingkari konsep Pancasila yang
menjadi ideologi bangsa Indonesia dan kental ketika orde baru berkuasa. Sepak terjang Ba’asyir tidak hanya ditanggapi oleh pemerintah Indonesia
saja melainkan dari luar negeri seperti Amerika yang menuduh Ba’asyir telah mendirikan gerakan radikal Jamaah Islamiyah yang terkait dengan gerakan teroris
Al-Qaeda ketika berada di Malaysia. Abu Bakar Ba’asyir dikenal sangat tajam dalam menyampaikan idenya
tentang negara Islam. Semasa menjadi pimpinan MMI, Ba’asyir dengan kegigihannya terus menghendaki suatu negara Islam. Syariat Islam menjadi suatu
keharusan di dalam formalitas peraturan negara. Hal itu dipahami tidak saja sebagai kewajiban asasi setiap muslim, tapi sekaligus sebagai satu-satunya jalan
untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil
7
. Ba’asyir menolak sistem demokrasi yang dianut oleh negara yang dinilainya tidak sesuai dengan ajaran
Nabi. Namun demokrasi yang sudah diterapkan di Indonesia harus mau tidak mau diikuti oleh masyarakat. Ba’asyir pun tidak memungkiri hal tersebut.
Menyadari kondisi tersebut, dalam seruannya ketika Ba’asyir berstatus sebagai tahanan di Rutan Salemba untuk menghadapi pelaksanaan pemilu tahun
2004, Ba’asyir menyatakan perlunya umat Islam memilih partai yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Seruan ini dikeluarkan oleh Ba’asyir dan
Habib Moh. Rizieq Syihab dalam bentuk selebaran, intinya menyerukan “wajib
7
Jamhari Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 68.
bagi umat Islam untuk memanfaatkan Pemilu secara optimal bagi pemenangan Syariat Islam, dengan memilih parpol Islam, memilih Presiden dan Wakil
Presiden yang memiliki komitmen terhadap pemberlakuan Syariat Islam. Untuk itu, haram memberikan suara kepada partai yang anti penegakkan Syariat Islam”
8
. Syariat Islam sangat diperlukan untuk diterapkan di negara yang penduduknya
mayoritas Islam, karena Syariat Islam yang diterapkan secara kaffah di masyarakat dapat meneguhkan kedudukan dienul Islam dan kaum muslimin,
membuahkan keamanan bagi rakyat umum, memurnikan pengamalan tauhid, menjaga kebersihan harta dari barang haram, menjaga keamanan harta, menjaga
kesehatan akal sehingga tidak terjadi kerusakan akhlak, menjaga kemurnian keturunan sehingga tidak terjadi kelahiran anak yang tidak jelas ayahnya,
mencegah adanya pemaksaan untuk masuk Islam, orang-orang kafir non muslim, yang tidak menghalangi berlakunya syari’at Islam secara kaffah
mendapat perlakuan baik dan adil, mencegah permutadan dari Dinul Islam, menjaga keamanan jiwa dan menumbuhkan kemakmuran ekonomi yang
membawa ketentraman dan perbaikan moral
9
. Di dalam praktiknya, Ba’asyir juga tidak menggunakan cara-cara yang
radikal seperti dengan cara pemberontakan, intimidasi dengan fisik atau sejenisnya, walaupun di mata Barat khususnya Amerika menilai bahwa Ustadz
Ba’asyir merupakan aktor utama atas tindakan kekerasan yang terjadi di Indonesia contoh terhadap pengeboman di Bali yang mereka sebut teroris itu. Pada
akhirnya Ba’asyir menolak tuduhan tersebut dan dengan tegas mengatakan bahwa
8
Irfan S. Awwas, “Nasihat Politik Abu Bakar Baasyir,” Sabili, No. 16, Th XI, 27 Februari 2004, h. 32.
9
Irfan S Awwas, Dakwah Jihad Abu Bakar Ba’asyir Jogjakarta: Wihdah Press, 2003, h. 60.
penggunaan senjata di wilayah yang aman dan bukan di medan perang adalah tidak dibenarkan.
Ba’asyir memang memiliki cita-cita menegakkan Dinul Islam. Sebab, ia merupakan perjuangan untuk menegakkan al haq kebenaran, keadilan,
kebebasan, kemerdekaan, keselamatan, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Semua bentuk perjuangan di luar itu adalah bathil, menyia-siakan umur,
waktu, tenaga pikiran dan harta
10
. Dari pemikiran Ba’asir tersebut untuk mewujudkan cita-citanya tidaklah
mudah, Indonesia memiliki berbagai macam agama, suku dan kebudayaan yang masing-masing memiliki identitas tersendiri. Namun, Ba’asyir tetap memiliki
idealisme dan harapan yang tinggi dengan memanfaatkan situasi di alam demokrasi ini negara Islam akan dapat terwujud, walau dari kalangan yang kontra
dengan pembentukan negara Islam seperti tokoh Jaringan Islam Liberal JIL, Ulil Abshar Abdalla mengkritik Ba’asyir yang justru menikmati alam demokrasi di
Indonesia sebagai peluang untuk merealisasikan cita-citanya itu. Berdasarkan dari latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengangkat
skiripsi dengan judul “Islam dan Negara: Pemikiran Abu Bakar Ba’asyir Tentang Negara Islam”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah