di mana: RSS = Jumlah Kuadrat Regresi
TSS = Jumlah Kuadrat Total Tidak tepatnya keberadaan titik-titik pada garis regresi disebabkan adanya
faktor- faktor lain yang berpengaruh terhadap variabel bebas. Jika tidak ada penyimpangan tentu tidak akan ada error. bila itu terjadi, maka ESS = 0, yang
berarti RSS = TSS atau R
2
= 1. Dengan kata lain, semua titik observasi berada tepat di garis regresi. Jadi, TSS sesungguhnya adalah variasi dari data, sedangkan
RSS adalah variasi dari garis regresi yang dibuat.
3.6. Uji Pelanggaran Asumsi
Uji pelanggaran asumsi dilakukan dalam rangka menghasilkan model yang efisien, visibel dan konsisten. Uji pelanggaran asumsi dilakukan dengan
mendeteksi gangguan waktu time-related disturbance, gangguan antara individu atau antar sektor ekonomi, dan gangguan akibat keduanya.
3.6.1. Multikolinearitas
Multikolinearitas terjadi jika pada suatu model regresi tak satu pun variabel bebas mempunyai koefisien regresi dari OLS Ordinary Least Square
yang signifikan secara statistik, walaupun nilai R
2
tinggi. Indikasi multikolinearitas tercermin dari nilai t dan F statistik hasil regresi. Jika banyak
koefisien parameter dari t statistik diduga tidak signifikan sementara F hitungnya signifikan, maka patut diduga ada Multikolinearitas. Multikolinearitas dapat
diatasi dengan memberi perlakuan cross section weights, sehingga t-statistik maupun F-hitung menjadi signifikan Gujarati, 2003.
3.6.2. Autokorelasi
Autokorelasi atau korelasi serial adalah suatu keadaan di mana kesalahan pengganggu dalam periode tertentu berkorelasi dengan kesalahan pengangu dari
periode lainnya. Menurut Pyndick 1991 autokorelasi dapat mempengaruhi efisensi estimatornya. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi atau korelasi serial
adalah dengan melihat nilai Durbin Watson DW dalam Eviews. Menurut Juanda 2009 untuk mengetahui selang nilai statistik Durbin-Watson serta keputusannya
dapat digunakan ketentuan sebagai berikut :
Tabel 3.1 Selang Nilai Statistik Durbin-Watson serta Keputusannya
Nilai DW Keputusan
4 – d
L
DW 4 Terdapat autokorelasi negatif
4 – d
U
DW 4 – d
L
Hasil t idak dapat ditentukan 2
DW 4 – d
U
Tidak ada autokore lasi d
U
DW 2 Tidak ada autokore lasi
D
L
DW d
U
Hasil t idak dapat ditentukan 0 DW d
L
Terdapat autokorelasi positif
Sumber : Winarno 2007
3.6.3. Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan di mana varian dari suatu kesalahan pengganggu tidak konstan untuk semua variabel bebas, yaitu:
EX
i, i
≠ 0 ……………………………………3.15 Sehingga
Var
i
≠
2
………..………………………….3.16 Hal ini merupakan pelanggaran salah satu asumsi tentang model regresi linear
berdasarkan metode kuadrat terkecil. Salah satu asumsi yang digunakan dalam regresi adalah bahwa Var
i
=
2
, untuk semua , artinya untuk semua kesalahan pengganggu variannya sama. Pada umumnya heteroskedastisitas terjadi di dalam
analisis data cross section, yaitu data yang menggambarkan keadaan pada suatu waktu tertentu. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas, maka model
menjadi tidak efisien meskipun ada masalah heteroskedastisitas maka hasil regresi akan menjadi misleading Gujarati, 2003.
Pendeteksian terhadap pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dilakukan dengan White Heteroscedasticity dalam program Eviews. Dengan uji White,
dibandingkan Obs R-Squared dengan X Chi-Squared tabel. Jika nilai Obs
R- Squared lebih kecil daripada X Chi-Squared tabel, maka tidak ada
heteroskedastisitas pada model data panel dalam Eviews. Pengolahan data panel dalam Eviews 6.1 yang menggunakan metode
General Least Square cross section weights untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weight
Statistic dengan Sum Squared Resid Unweighted Statistic. Jika Sum Square Resid Weighted Statistic Sum Squared Resid Unweighted Statistic maka tidak terjadi
heteroskedastisitas. Perlakuan
yang diberikan
untuk menghilangkan
heteroskedastisitas adalah
dengan mengestimasi
GLS dengan
White Heteroskedasticity Widarjono, 2007.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia
Menurut Laporan Perekonomian Indonesia dari Bank Indonesia 2003- 2007 perekonomian ekonomi Indonesia pada tahun 2003 hingga 2007 mengalami
pasang surut. Di tinjau dari PDB per kapita, selalu terjadi kenaikan pada kurun waktu tersebut. Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi yang mencapai 4,7 persen
masih belum memadai untuk menyerap tambahan tenaga kerja sehingga pengangguran malah mengalami peningkatan yang semula di tahun 2002 sebesar
9,1 persen, pada tahun 2003 meningkat menjadi 9,5 persen. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh masih banyaknya permasalahan struktural yang belum
terselesaikan, dampak negatif tragedi bom di Bali, dan perekonomian dunia yang masih lesu, terutama pada tengah tahun pertama.
Kinerja perekonomian pada tahun 2004 secara umum menunjukkan perbaikan dari tahun 2003. Pertumbuhan ekonomi meningkat hingga mencapai 5
persen, inflasi IHK terkendali, nilai tukar rupiah relatif stabil, dan suku bunga masih cenderung menurun. perbaikan ini didukung oleh kondusifnya
perekonomian global, optimisme pelaku usaha terhadap membaiknya kondisi perekonomian secara fundamental dan stabilnya kondisi makroekonomi.
Walaupun demikian, jika dilihat dari sisi ketenagakerjaan, pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum juga memadai untuk meningkatkan penyerapan angkatan kerja
tambahan sehingga tingkat pengangguran relatif tidak berubah.