Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

MITRA MUSIKA LUBIS

087018038/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N A


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MITRA MUSIKA LUBIS

087018038/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN DI SUMATERA UTARA Nama Mahasiswa : Mitra Musika Lubis

Nomor Pokok : 081018038

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Rahmanta, M.Si) Ketua

(Drs. Iskandar Syarif, MA) Anggota

Ketua Program Studi

(Dr. Murni Daulay, SE. M.Si)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. M.Sc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal : 27 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

K e t u a : Dr. Ir. Rahmanta, M.Si

Anggota : 1. Drs. Iskandar Syarief, MA

2. Dr. Murni Daulay, SE. M.Si 3. Rahmad Sumanjaya, SE, M.Si 4. Drs. Rujiman, MA


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

“ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN

TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN DI SUMATERA UTARA”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Juli 2010

Yang membuat pernyataan

Mitra Musika Lubis 081018038/EP


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara, dengan variabel-variabel bebas yaitu jumlah ekspor sektor pertanian, nilai tukar petani, PDRB sektor pertanian, upah minimum provinsi, pengangguran dan variabel terikat yaitu tenaga kerja sektor pertanian.

Data yang digunakan adalah data kurun waktu (time series) antara tahun 1985

2008 dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dan model persamaan yang digunakan adalah model regresi logaritma.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jumlah ekspor sektor pertanian memberikan pengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen, PDRB sektor pertanian memberikan pengaruh positif dan signifikan sedangkan pengangguran memberikan pengaruh negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Variabel nilai tukar petani dan upah minimum provinsi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara.

Kata Kunci: Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Jumlah Ekspor Sektor Pertanian, PDRB Sektor Pertanian, Pengangguran, Nilai Tukar Petani, Upah Minimum Provinsi.


(7)

ABSTRACT

The aim of this study is to analyze the factors which affected employment absorption of agriculture sector in the North Sumatera, with independent variables are export volume of agriculture sector, farmer exchange value, GDP of agriculture sector, local minimum wage rate, unemployment and dependent variable is employment of agriculture sector.

Data used in this study is time series data from 1985 – 2008. The method used is Ordinary Least Square (OLS) and the model used is logarithm regression model.

The result shows that export volume of agriculture sector variable has positively influence and significant in the confidential level 99 percent, GDP of agriculture sector variable has positively influence and significant and unemployment has negatively influence and significant in the confidential level 95 percent to employment absorption of agriculture sector. The farmer exchange value and local minimum wage rate variable has not significant influence to employment absorption of agriculture sector in the North Sumatera.

Keywords: Employment of Agriculture Sector, Export Volume of Agriculture Sector, GDP of Agriculture Sector, Unemployment, Farmer Exchange Value, Local Minimum Wage Rate.


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali diucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai syarat akhir di dalam mengikuti perkuliahan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan, saya mengakui bahwa banyak pihak-pihak yang telah memberi dorongan, motivasi, bimbingan dan bantuannya, oleh karena itu pada kesempatan ini saya dengan hati yang tulus menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Ir. Rahmanta, MSi. selaku Pembimbing I dan Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA selaku Pembimbing II, di mana dengan niat yang tulus dan ikhlas sepenuh hati telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan bimbingan mulai dari proses penyusunan proposal dan penyempurnaan sehingga tesis ini dapat terwujud.


(9)

4. Ibu Dr. Murni Daulay, SE, MSi. selaku Dosen Penguji dan Ketua Program Studi, Bapak Rahmat Sumanjaya, SE, MSi selaku Dosen Penguji dan Sekretaris Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Rujiman, MA selaku Dosen Penguji yang telah memberikan petunjuk dan saran demi penyempurnaan tesis saya ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Penanggung Jawab dan Pengasuh Mata Kuliah pada Program Studi Ekonomi Pembangunan SPs USU yang selama ini dengan niat yang tulus dan ikhlas sepenuh hati telah mencurahkan segala ilmu pengetahuan mereka kepada saya sehingga saya menjadi lebih berpengetahuan saat ini.

6. Ibunda Hj. Mardhiyah Nasution atas do’a-do’anya selama ini dan Ayahanda

Almarhum Surya Dharma Lubis atas semangatnya yang telah mengalir dalam diri saya, serta Kakak dan Adik-adik tersayang yang telah memberikan dukungan kepada saya selama ini.

7. Teristimewa Suamiku Budi Sanjaya, SP dan anakku Ahmad Fariz yang telah memberikan kepercayaan, pengertian, semangat, dukungan penuh dan do’a

kepada saya untuk melanjutkan pendidikan ini.

8. Para pegawai Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan SPs USU yang telah banyak membantu secara administrasi sehingga proses perkuliahan saya menjadi lancar.


(10)

9. Sahabat-sahabat terbaikku se-Angkatan XV dan seluruhnya yang telah banyak memberikan semangat dan dukungan sejak awal perkuliahan sampai akhir penyelesaian tesis saya ini.

10.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya, di mana mereka telah banyak menolong saya dan memberikan dukungan semenjak awal perkuliahan hingga selesai.

Akhirnya, dari dasar hati yang terdalam saya ucapkan do’a agar kiranya Allah

SWT menerima seluruh ibadah dan amalan mereka, Amiin Yaa Rabbal ‘Alamiin

Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Mitra Musika Lubis Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 27 Mei 1975

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Alamat : Jln. Makmur Km 11,2 Medan-Binjai Kompleks Semanggi Indah Blok B-26 Medan

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Nama Orang Tua Laki-laki : Surya Dharma Lubis (Alm) Nama Orang Tua Perempuan : Hj. Mardhiyah Nasution Nama Suami : Budi Sanjaya, SP

Nama Anak : Ahmad Fariz

Pendidikan Formal:

1. Sekolah Dasar Negeri 060834 Medan, Lulus Tahun 1987.

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri XVII Medan, Lulus Tahun 1991. 3. Sekolah Menengah Atas Negeri IV Medan, Lulus Tahun 1994.

4. Universitas Andalas Padang Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis, Lulus Tahun 2000.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Kesempatan Kerja ... 12

2.2. Teori-teori Ketenagakerjaan... 15

2.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja ... 23

2.4. Pertanian dalam Perspektif Ekonomi (Ekonomi Pertanian)... 29

2.5. Kaitan Pembangunan Pertanian dan Penyerapan Tenaga Kerja ... 31


(13)

2.6. Penelitian Sebelumnya ... 37

2.7. Kerangka Pemikiran ... 43

2.8. Hipotesis Penelitian ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 46

3.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 46

3.3. Motode Analisis Data ... 47

3.4. Definisi Operasional... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 54

4.1. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara ... 54

4.2. Analisis Hasil Penelitian ... 66

4.3. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

5.1. Kesimpulan ... 82

5.2. Saran ... 83


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1. Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga

Konstan (1985-2008) ... 55

4.2. Perkembangan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 1985 -2008 ... 57

4.3. Perkembangan Angka Pengangguran Tahun 1985-2008 ... 59

4.4. Perkembangan Nilai Tukar Petani Tahun 1985-2008 ... 61

4.5. Perkembangan Ekspor Sektor Pertanian Tahun 1985-2008 ... 63

4.6. Perkembangan Upah Minimum Provinsi Tahun 1985-2008 ... 65

4.7. Hasil Uji Multikolinieritas ... 78

4.8. Uji Autokorelasi pada Hasil Estimasi ... 79

4.9. Hasil Estimasi Ramsey Test ... 81


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Skema Penduduk dan Tenaga Kerja ... 14

2.2. Penawaran Tenaga Kerja Individu dan Daerah ... 20

2.3. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja ... 21

2.4. Kombinasi Faktor Produksi Modal dan Buruh ... 24

2.5. Kerangka Pemikiran Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Sumatera Utara ... 44

4.1. Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Konstan (1985-2008) ... 56

4.2. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (1985 -2008) ... 58

4.3. Perkembangan Jumlah Pengangguran (1985-2008)... 59

4.4. Perkembangan Nilai Tukar Petani (1985-2008) ... 62

4.5. Perkembangan Ekspor Sektor Pertanian (Ton) (1985-2008) ... 64

4.6. Perkembangan Upah Minimum Provinsi Sumatera Utara Tahun 1985-2008 ... ... 66


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Tabulasi Data Penelitian ... 89

2. Hasil Regresi Estimasi Model ... 90

3. Uji Asumsi Klasik Multikolinearitas ... 91

4. Uji Asumsi Klasik Multikolinearitas ... 92

5. Uji Asumsi Klasik Multikolinearitas ... 93

6. Uji Asumsi Klasik Multikolinearitas ... 94

7. Uji Asumsi Klasik Multikolinearitas ... 95

8. Uji Asumsi Klasik Autokorelasi ... 96

9. Uji Asumsi Klasik Normalitas ... 97


(17)

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara, dengan variabel-variabel bebas yaitu jumlah ekspor sektor pertanian, nilai tukar petani, PDRB sektor pertanian, upah minimum provinsi, pengangguran dan variabel terikat yaitu tenaga kerja sektor pertanian.

Data yang digunakan adalah data kurun waktu (time series) antara tahun 1985

2008 dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dan model persamaan yang digunakan adalah model regresi logaritma.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jumlah ekspor sektor pertanian memberikan pengaruh positif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen, PDRB sektor pertanian memberikan pengaruh positif dan signifikan sedangkan pengangguran memberikan pengaruh negatif dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Variabel nilai tukar petani dan upah minimum provinsi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara.

Kata Kunci: Tenaga Kerja Sektor Pertanian, Jumlah Ekspor Sektor Pertanian, PDRB Sektor Pertanian, Pengangguran, Nilai Tukar Petani, Upah Minimum Provinsi.


(18)

ABSTRACT

The aim of this study is to analyze the factors which affected employment absorption of agriculture sector in the North Sumatera, with independent variables are export volume of agriculture sector, farmer exchange value, GDP of agriculture sector, local minimum wage rate, unemployment and dependent variable is employment of agriculture sector.

Data used in this study is time series data from 1985 – 2008. The method used is Ordinary Least Square (OLS) and the model used is logarithm regression model.

The result shows that export volume of agriculture sector variable has positively influence and significant in the confidential level 99 percent, GDP of agriculture sector variable has positively influence and significant and unemployment has negatively influence and significant in the confidential level 95 percent to employment absorption of agriculture sector. The farmer exchange value and local minimum wage rate variable has not significant influence to employment absorption of agriculture sector in the North Sumatera.

Keywords: Employment of Agriculture Sector, Export Volume of Agriculture Sector, GDP of Agriculture Sector, Unemployment, Farmer Exchange Value, Local Minimum Wage Rate.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan pada hakikatnya adalah membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat sesuatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan nasional yang berlandaskan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis merupakan isi dari trilogi pembangunan di mana di dalamnya juga terdapat unsur kesempatan kerja yang merupakan salah satu unsur dari pemerataan pembangunan dalam rangka mewujudkan kondisi perekonomian yang mantap dan dinamis.

Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan perekonomian nasional dan patut menjadi sektor andalan dan mesin penggerak pertumbuhan ekonomi karena sektor pertanian menjadi tumpuan hidup (pekerjaan primer) bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Sektor pertanian juga menjadi sumber pangan publik, menempati posisi penting sebagai penyumbang devisa yang relatif besar dan cukup lentur dalam menghadapi gejolak moneter dan krisis ekonomi, oleh karena produksinya berbasis pada sumber daya domestik maka ekspor produk pertanian relatif lebih tangguh dan relatif stabil dengan penerimaan ekspor yang meningkat pada saat terjadi krisis ekonomi. Lebih dari itu sektor pertanian memiliki keunggulan khas dari sektor-sektor lain dalam perekonomian, antara lain, produksi


(20)

pertanian berbasis pada sumber daya domestik, kandungan impornya rendah dan relatif lebih tangguh menghadapi gejolak perekonomian eksternal dengan demikian upaya mempertahankan dan meningkatkan peranan sektor pertanian merupakan cara yang efektif untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Hal ini terbukti dari fakta empiris, disaat Indonesia menghadapi krisis dan secara nasional mengalami laju pertumbuhan ekonomi negatif, hanya sektor pertanian yang tumbuh positif yaitu 5,32% pada triwulan I tahun 1998 (Solahuddin, 2009).

Selain pertimbangan diatas sektor pertanian perlu mendapat prioritas utama karena sektor ini merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri. Namun dalam pelaksanaannya ada persepsi yang salah bahwa kemajuan suatu bangsa tidak mungkin dicapai melalui pemberdayaan sektor pertanian, oleh karena itu strategi industrialisasi sering digunakan untuk mencapai kesejahteraan. Tetapi proses industrialisasi tersebut belum dapat mengkait kebelakang (backward linkage) ke sektor pertanian, dengan kata lain sektor pertanian tidak mendapat perhatian yang cukup seimbang dibandingkan sektor industri. Ini berakibat pada tertinggalnya sektor pertanian dari sektor industri, terutama dalam struktur masyarakatnya, di mana sampai saat ini masyarakat yang hidup di sektor pertanian (petani) kurang sejahtera dibandingkan masyarakat yang hidup di sektor industri (Solahuddin, 2009).

Ada beberapa faktor yang bisa diungkapkan bahwa sektor pertanian menjadi penting dalam proses pembangunan, yaitu:

1. Sektor pertanian menghasilkan produk yang diperlukan sebagai input sektor lain, terutama sektor industri (agroindustri).


(21)

2. Sebagai negara agraris populasi di sektor pertanian (pedesaan) membentuk proporsi yang sangat besar. Hal ini menjadi pasar yang sangat besar bagi produk-produk dalam negeri terutama produk pangan. Sejalan dengan itu ketahanan pangan yang terjamin merupakan prasyarat kestabilan sosial dan politik.

3. Sektor pertanian mampu menghasilkan produk-produk pertanian yang memiliki keunggulan komperatif, baik untuk kepentingan ekspor maupun substitusi impor (Tambunan, 2006).

Pembangunan sektor pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan nasional semakin penting dan strategis. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik sumbangan langsung dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, menyediakan sumber pangan dan bahan baku industri/biofuel, pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan, perolehan devisa, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain.

Dengan demikian, sektor pertanian masih tetap akan berperan besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi yang dihadapi saat ini, sudah selayaknya sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional. Sektor pertanian haruslah diposisikan sebagai sektor andalan perekonomian nasional. Hal ini sejalan dengan


(22)

prioritas pembangunan ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, di mana salah satunya adalah Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan.

Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan, secara garis besar ditujukan untuk: (a) meningkatkan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional, (b) menciptakan lapangan kerja berkualitas di pedesaan, khususnya lapangan kerja non-pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah terbuka, dan (c) meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat pedesaan, yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian (Munif, 2009).

Pencapaian hasil sektor pertanian dibuktikan dengan angka Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian tahun 2007 s/d 2008 mengalami pertumbuhan yang mengesankan yaitu sekitar 4.41 persen. Selain itu berdasarkan data kemiskinan tahun 2005-2008, kesejahteraan penduduk perdesaan dan perkotaan membaik secara berkelanjutan. Berbagai hasil penelitian, menyimpulkan bahwa yang paling besar kontribusinya dalam penurunan jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian dalam menurunkan jumlah penduduk miskin mencapai 66%, dengan rincian 74% di pedesaan dan 55% di perkotaan (Munif, 2009).

Sementara itu, Provinsi Daerah Sumatera Utara yang terdiri dari 18 kabupaten dan 7 kota memiliki luas 71.680,68 km2, dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi yang besar bagi pengembangan sektor pertanian, di mana beberapa komoditi yang dihasilkan daerah ini adalah merupakan komoditi ekspor. Keunggulan sektor


(23)

pertanian di Sumatera Utara dapat dilihat dari perbandingan kontribusi sektor pertanian dan sektor industri terhadap PDRB Sumatera Utara. Pada tahun 2007 kontribusi sektor pertanian dan industri terhadap PDRB berimbang yaitu 23%. Bila dilihat dari rata-ratanya kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Sumatera Utara cukup besar yaitu 28,54% sedangkan sektor industri 23,12%. Oleh sebab itu investasi baik yang berasal dari dalam negeri maupun asing sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi di sektor pertanian (BPS, 2007).

Besaran PDRB Sumatera Utara pada tahun 2009 atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 236,35 Triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 111,56 Triliun. Pencapaian pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara tahun 2009 sebesar 5,07% didukung oleh sektor pertanian yang memberi sumbangan sebesar 1,15%, disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,00%, sektor pengangkutan dan komunikasi 0,70%, sektor jasa-jasa 0,66%, sektor industri pengolahan 0,63% dan sisanya oleh keempat sektor lain (BPS, 2009).

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, Nilai tukar petani (NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani secara konsisten mengalami peningkatan selama periode tahun 2006-2008 dengan pertumbuhan sebesar 2,52 persen per tahun. Dengan kinerja yang kondusif seperti itu, neraca perdagangan komoditas pertanian mengalami peningkatan secara konsisten selama periode 2005-2008 dengan rata-rata pertumbuhan 29,29 persen per tahun. Selain itu, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian 1,56%/tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan total angkatan kerja (1,24%/tahun) dan tenaga kerja non pertanian yang hanya sekitar


(24)

0,98%/tahun. Melihat kondisi tersebut mengakibatkan. Rata-rata pertumbuhan nilai investasi sektor pertanian tahun 2005-2007 mencapai 172,8%/tahun, lebih tinggi dibanding sektor lain (Munif, 2009).

Beberapa tahun belakangan ini, NTP di Sumatera Utara justru berfluktuasi yang membuat tingkat kesejahteraan petani menjadi tidak stabil. Menurut data BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka NTP merosot dari 94,71%. Pada Desember 2005, NTP tercatat 92,72% (BPS, 2005). Artinya, indeks harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa petani tekor atau pendapatannya menurun.

Akan tetapi Nilai Tukar Petani diakhir tahun 2009 mengalami perkembangan yang membaik di mana NTP Provinsi Sumatera Utara tercatat sebesar 102,84 atau mengalami kenaikan sebesar 1.02% bila dibandingkan dengan NTP November 2009 sebesar 101,80. sedangkan NTP per subsektor masing-masing tercatat sebesar 97,64 untuk subsektor padi dan palawija (NTTP); 115,03 untuk subsektor hortikultura (NTPH); 105,13 untuk subsektor tanaman perkebunan rakyat (NTPR); 103,35 untuk subsektor peternakan (NTPT); dan 100,46 untuk subsektor perikanan (NTN) (BPS, 2009).

Adapun target pembangunan perekonomian Indonesia didasarkan pada Triple

Track Strategy yang dicanangkan Presiden RI periode tahun 2004-2009, yaitu:

1. Pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada peningkatan ekspor dan peningkatan investasi baik dalam negeri maupun luar negeri,


(25)

3. Revitalisasi pertanian dan pedesaan untuk mengurangi kemiskinan (Priyarsono, 2005).

Dengan terciptanya lapangan pekerjaan ini diharapkan selain mampu menciptakan sumber-sumber pertumbuhan baru juga mampu mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan yang selama ini melekat di wilayah pedesaan.

Kemiskinan yang terjadi di pertanian disebabkan oleh rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan yang terakhir ini erat kaitannya dengan distribusi lahan pertanian yang sangat timpang; walaupun Indonesia punya Undang-undang Agraris yang mengatur pembagian lahan secara adil. Di dalam literatur mengenai respons suplai di pertanian dikatakan bahwa petani yang positif responsnya terhadap kenaikan harga dan insentif-insentif produksi lainnya hanya jika petani mempunyai akses sepenuhnya terhadap faktor-faktor produksi seperti tanah, irigasi (air), modal, sumber daya manusia dan input-input krusial lainnya (Tambunan, 2006).

Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan IPTEK mutakhir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komperatif pada sektor ekonomi yang berbasis IPTEK dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititik beratkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumber daya alam, padat tenaga kerja dan berorientasi pada pasar domestik. Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan.


(26)

Fenomena-fenomena yang terjadi di dalam pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian adalah:

a. Pertumbuhan ekonomi masih didorong oleh faktor konsumsi dari pada investasi.

b. Berdasarkan penelitian secara empiris bahwa sektor pertanian sangat berperan sebagai katup penyelamat perekonomian Indonesia ketika terjadi krisis atau lebih tahan menghadapi guncangan (shock) dibanding sektor-sektor lain. c. Pemerintah lebih menitikberatkan investasi di sektor-sektor lain daripada

di sektor pertanian akibatnya produktivitas pertanian semakin rendah.

d. Walaupun investasi di sektor pertanian lebih rendah dari pada sektor lain, akan tetapi kenyataannya sektor pertanian lebih banyak menyerap tenaga kerja.

e. Investasi dianggap kurang memberikan keuntungan bagi target pendapatan pemerintah maupun swasta domestik dan asing sehingga investasi di sektor pertanian mengalami penurunan tiap tahun.

f. Banyaknya jumlah penduduk yang urbanisasi menyebabkan semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja di perkotaan.

g. Sumbangan sektor manufaktur terhadap perekonomian lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya, akan tetapi di sektor ini tenaga kerja yang terserap relatif kecil dibandingkan tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian.


(27)

Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional tersebut sudah seharusnya kebijakan-kebijakan negara berupa kebijakan fiskal, kebijakan moneter, serta kebijakan perdagangan tidak mengabaikan potensi sektor pertanian. Bahkan dalam beberapa kesempatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pentingnya sektor pertanian untuk memulihkan dan membangun kembali ekonomi Indonesia. Salah satu tantangan utama dalam menggerakkan kinerja dan memanfaatkan sektor pertanian ini adalah modal atau investasi. Pengembangan investasi di sektor pertanian diperlukan untuk dapat memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani, serta pengembangan wilayah khususnya pedesaan.

Kondisi ekonomi Indonesia masih menyisakan bekas yang belum pulih sampai sekarang, ditambah lagi dengan terjadinya ketidakseimbangan struktur pertumbuhan yang lebih bergantung pada sektor konsumsi, bukan pada investasi. Dengan demikian persoalannya sekarang adalah pada kebijakan pemerintah, mau tak mau harus lebih besar menyerap tenaga kerja untuk tumbuh dan berkembang, sehingga prestasi berupa pertumbuhan ekonomi yang meningkat dapat secara signifikan dalam memperbesar penyerapan tenaga kerja. Sebab akan percuma saja pertumbuhan meningkat, tetapi pengangguran malah bertambah.

Untuk melihat pengaruh fundamental ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja, maka penulis ingin mengajukan suatu penelitian yang berjudul “Analisis

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Sumatera Utara”.


(28)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan masalah di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Apakah ada pengaruh jumlah ekspor sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara?

2. Apakah ada pengaruh nilai tukar petani terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara?

3. Apakah ada pengaruh PDRB sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara?

4. Apakah ada pengaruh upah minimum provinsi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara?

5. Apakah ada pengaruh pengangguran terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menganalisis pengaruh jumlah ekspor sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara.

2. Untuk menganalisis pengaruh nilai tukar petani terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara.

3. Untuk menganalisis pengaruh PDRB sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara.


(29)

4. Untuk menganalisis pengaruh upah minimum provinsi terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara.

5. Untuk menganalisis pengaruh pengangguran terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan pelatihan intelektual (intellectual exercise) yang diharapkan dapat mempertajam daya pikir ilmiah serta meningkatkan kompetensi keilmuan dalam disiplin ilmu yang digeluti.

2. Bagi masyarakat ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kemajuan dan pengembangan ilmu khususnya tentang pengetahuan pembangunan ekonomi pertanian di masa yang akan datang dan sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut.

3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam penentuan kebijakan pembangunan ekonomi khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor ekonomi makro terhadap pembangunan ekonomi pertanian.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Kesempatan Kerja

Pertumbuhan penduduk adalah merupakan keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan mengurangi jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk diakibatkan oleh beberapa komponen yaitu: kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), migrasi masuk dan migrasi keluar. Selisih antara kelahiran dan kematian disebut pertumbuhan alamiah (natural increase), sedangkan selisih antara migrasi masuk dan migrasi keluar disebut migrasi netto.

Adanya pengaruh positif pertumbuhan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi di mana kondisi dan kemajuan penduduk sangat erat terkait dengan tumbuh dan berkembangnya usaha ekonomi. Penduduk disatu pihak dapat menjadi pelaku atau sumber daya bagi faktor produksi, pada sisi lain dapat menjadi sasaran atau konsumen bagi produk yang dihasilkan. Kondisi-kondisi kependudukan, data dan informasi kependudukan akan sangat berguna dalam memperhitungkan berapa banyak tenaga kerja akan terserap serta kualifikasi tertentu yang dibutuhkan dan jenis-jenis teknologi yang akan dipergunakan untuk memproduksi barang atau jasa. Dipihak lain pengetahuan tentang struktur penduduk dan kondisi sosial ekonomi pada wilayah tertentu, akan sangat bermanfaat dalam memperhitungkan berapa banyak penduduk yang dapat memanfaatkan peluang dan hasil pembangunan atau seberapa luas pangsa pasar bagi suatu produk usaha tertentu (Todaro, 2003).


(31)

Di era globalisasi dan perdagangan bebas, besarnya jumlah penduduk dan kekuatan ekonomi masyarakat menjadi potensi sekaligus sasaran pembangunan sosial ekonomi, baik untuk skala nasional maupun internasional. Berdasarkan hal ini pengembangan sumber daya manusia perlu terus ditingkatkan agar kualitas penduduk sebagai pelaku ekonomi dapat meningkat sesuai dengan permintaan dan kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang.

Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka laju pertumbuhan angkatan kerjanya pun cukup tinggi. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 1990 sekitar 73,9 juta orang dan bertambah menjadi sekitar 96,5 juta tahun 2000. Ini berarti bahwa pertumbuhan rata-rata angkatan kerja 2,7 persen per tahun dalam periode 1990-2000. Permasalahan yang ditimbulkan oleh besarnya jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja tersebut, disatu pihak menuntut kesempatan kerja yang lebih besar dan di pihak lain menuntut pembinaan angkatan kerja itu sendiri agar mampu menghasilkan keluaran yang lebih tinggi sebagai prasyarat untuk menuju tahap tinggal landas.

Dari uraian dan pengertian tentang penduduk, tenaga kerja, angkatan kerja, bukan angkatan kerja, bekerja atau mencari pekerjaan dan pengangguran dapat lebih jelas dilihat dari Gambar 2.1 berikut ini:


(32)

Sumber: BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara, 2000)

Gambar 2.1. Skema Penduduk dan Tenaga Kerja

PENDUDUK

PENDUDUK USIA KERJA PENDUDUK DILUAR

USIA KERJA

ANGKATAN KERJA BUKAN ANGKATAN

KERJA SETENGAH PENGANGGUR TIDAK KENTARA SETENGAH PENGANGGUR MENURUT PENDAPATAN LAIN-LAINNYA SETENGAH PENGANGGUR MENURUT PRODUKTIVITAS SETENGAH PENGANGGUR KENTARA SETENGAH PENGANGGUR MENURUT PENDIDIKAN DAN JENIS PEKERJAAN

BEKERJA MENCARI PEKERJAAN

(MENGANGGUR)

BEKERJA PENUH SETENGAH


(33)

2.2. Teori-teori Ketenagakerjaan

2.2.1. Teori Klasik Adam Smith

Menurut Mulyadi (2003), teori klasik menganggap bahwa manusialah sebagai faktor produksi utama yang menentukan kemakmuran bangsa-bangsa. Alasannya, alam (tanah) tidak ada artinya kalau tidak ada sumber daya manusia yang pandai mengolahnya sehingga bermanfaat bagi kehidupan. Dalam hal ini teori klasik Adam Smith (1729-1790) juga melihat bahwa alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai dibutuhkan untuk menjaga agar ekonomi tumbuh. Dengan kata lain, alokasi sumber daya manusia yang efektif merupakan syarat perlu (necessary

condition) bagi pertumbuhan ekonomi. 2.2.2. Teori Malthus

Sesudah Adam Smith, Thomas Robert Malthus (1766-1834) dianggap sebagai pemikir klasik yang sangat berjasa dalam pengembangan pemikiran-pemikiran ekonomi. Buku Malthus yang dikenal paling luas adalah Principles of Population. Menurut Mulyadi (2003), dari buku tersebut akan dilihat bahwa meskipun Malthus termasuk salah seorang pengikut Adam Smith, tidak semua pemikirannya sejalan dengan pemikiran Smith. Disatu pihak Smith optimis bahwa kesejahteraan umat manusia akan selalu meningkat sebagai dampak positif dari pembagian kerja dan spesialisasi. Sebaliknya, Malthus justru pesimis tentang masa depan umat manusia. Kenyataan bahwa tanah sebagai salah satu faktor produksi utama tetap jumlahnya. Dalam banyak hal justru luas tanah untuk pertanian berkurang karena sebagian


(34)

digunakan untuk membangun perumahan, pabrik-pabrik dan bangunan lain serta pembuatan jalan. Menurut Malthus manusia berkembang jauh labih cepat dibandingkan dengan produksi hasil-hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Malthus tidak percaya bahwa teknologi mampu berkembang lebih cepat dari jumlah penduduk sehingga perlu dilakukan pembatasan dalam jumlah penduduk. Pembatasan ini disebut Malthus sebagai pembatasan moral.

2.2.3. Teori Keynes

Kaum klasik percaya bahwa perekonomian yang dilandaskan pada kekuatan mekanisme pasar akan selalu menuju keseimbangan (equilibrium). Dalam posisi keseimbangan semua sumber daya, termasuk tenaga kerja, akan digunakan secara penuh (full-employed). Dengan demikian di bawah sistem yang didasarkan pada mekanisme pasar tidak ada pengangguran. Kalau tidak ada yang bekerja, daripada tidak memperoleh pendapatan sama sekali, maka mereka bersedia bekerja dengan tingkat upah yang lebih rendah. Kesediaan untuk bekerja dengan tingkat upah lebih rendah ini akan menarik perusahaan untuk memperkerjakan mereka lebih banyak.

Kritikan Jhon Maynard Keynes (1883-1946) terhadap sistem klasik salah satunya adalah tentang pendapatnya yang mengatakan bahwa tidak ada mekanisme penyesuaian (adjustment) otomatis yang menjamin bahwa perekonomian akan mencapai keseimbangan pada tingkat penggunaan kerja penuh. Dalam kenyataan pasar tenaga kerja tidak bekerja sesuai dengan pandangan klasik di atas. Di manapun para pekerja mempunyai semacam serikat kerja (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan pekerja dari penurunan tingkat upah. Kalaupun tingkat


(35)

upah diturunkan maka boleh jadi tingkat pendapatan masyarakat akan turun. Turunnya pendapatan sebagian anggota masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan menyebabkan konsumsi secara keseluruhan akan berkurang. Berkurangnya daya beli masyarakat akan mendorong turunnya harga-harga.

Kalau harga-harga turun, maka kurva nilai produktivitas marjinal tenaga kerja (marginal value of productivity of labor), yang dijadikan sebagai patokan oleh pengusaha dalam memperkerjakan tenaga kerja akan turun. Jika penurunan dalam harga-harga tidak begitu besar, maka kurva nilai produktivitasnya hanya turun sedikit. Meskipun demikian jumlah tenaga kerja yang bertambah tetap saja lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang ditawarkan. Lebih parah lagi kalau harga-harga turun drastis maka kurva nilai produktivitas marginal dari tenaga kerja juga turun drastis dimana jumlah tenaga kerja yang tertampung menjadi semakin kecil dan pengangguran menjadi semakin bertambah luas (Mulyadi, 2003).

2.2.4. Teori Harrod-Domar

Teori Harrod-Domar dikenal sebagai teori pertumbuhan. Menurut teori ini

dalam Mulyadi (2003), investasi tidak hanya menciptakan permintaan, tetapi juga

memperbesar kapasitas produksi. Peran modal fisik di dalam model pertumbuhan sangat penting, akan tetapi kapasitas produksi hanya dapat meningkat bila sumber daya lain (modal fisik) membesar. Di samping itu dalam model pertumbuhan, jumlah penduduk yang besar tidak mengurangi pendapatan per kapita asalkan modal fisiknya meningkat. Model yang sama juga dikemukakan oleh model Solow di mana dalam


(36)

model ini dipakai suatu fungsi produksi Cobb-Douglas. Angkatan kerja diasumsikan tumbuh secara geometris dan full employment selalu tercapai. Tetapi, dalam model ini pekerja sudah diperluaskan secara jelas sebagai salah satu faktor produksi, dan bukan sekedar pembagi (untuk memperoleh output pekerja). Dalam model ini juga dilihat substitusi antara modal fisik dan pekerja.

2.2.5. Teori Ester Boserup

Boserup berpendapat bahwa pertumbuhan penduduk justru menyebabkan dipakainya sistem pertanian yang lebih intensif disuatu masyarakat dan meningkatnya

output di sektor pertanian. Boserup juga berpendapat bahwa pertambahan penduduk

berakibat dipilihnya sistem teknologi pertanian pada tingkatan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, inovasi (teknologi) ada lebih dahulu. Inovasi itu hanya menguntungkan bila jumlah penduduk lebih banyak. Inovasi menurut Boserup dapat meningkatkan output pekerja, tetapi hanya dilakukan bila jumlah pekerjanya banyak. Pertumbuhan penduduk justru mendorong diterapkannya suatu inovasi (teknologi) baru (Mulyadi, 2003).

Dari keseluruhan teori tenaga kerja dan pertumbuhan yang mendominasi sebagian besar teori-teori pembangunan pada tahun 1950-an dan 1960-an dan pada awal tahun 1980-an dikenal bentuk aliran ekonomi sisi penawaran atau supply-side

economics, yang memfokuskan pada kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan output

nasional melalui akumulasi modal. Karena model ini menghubungkan tingkat penyediaan kesempatan kerja dengan tingkat pertumbuhan GNP, artinya dengan memaksimumkan penyerapan tenaga kerja, untuk memaksimumkan pertumbuhan


(37)

GNP dan kesempatan kerja dengan cara memaksimumkan tingkat tabungan dan investasi.

2.2.6. Teori Pasar Tenaga Kerja

Solmon (1980) dalam Sinaga (2005) menjelaskan, bahwa pasar tenaga kerja adalah tempat aktivitas dari bertemunya pelaku-pelaku, pencari kerja dan pemberi lowongan kerja. Proses bertemunya pencari kerja dan pemberi lowongan kerja dapat terjadi sebentar saja namun dapat pula memakan waktu yang lama, masalah yang dihadapi oleh kedua belah pihak di pasar yaitu: setiap perusahaan yang menawarkan lowongan kerja maka menginginkan kualitas serta keahlian pekerja berbeda-beda sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat upah. Sedangkan pencari kerja memiliki keahlian juga berbeda-beda sehingga pekerja menginginkan tingkat upah yang juga berbeda-beda pula. Di mana letak masalah dari kedua belah pihak adalah keterbatasan informasi.

2.2.6.1. Teori penawaran dan permintaan tenaga kerja

Suparmoko dan Maria (2000) dalam Sinaga (2005) menjelaskan bahwa pada prinsipnya teori penawaran tenaga kerja dan teori permintaan tenaga kerja merupakan fungsi dari tingkat upah, di mana pendapat dari kaum klasik menyatakan, jika semakin tinggi tingkat upah yang diminta oleh kaum pekerja maka akan semakin sedikit jumlah penawaran tenaga kerja (lowongan kerja) yang dapat diberikan dan akan berlaku sebaliknya. Dalam memahami mekanisme pasar tenaga kerja harus dilihat bagaimana individu pekerja terdapat perbedaan, maka untuk menentukan kuva penawaran tenaga kerja pada suatu daerah adalah dengan menjumlahkan kurva-kurva


(38)

penawaran dari setiap individu, oleh sebab itu kurva dari penawaran tenaga kerja berbentuk melengkung kebelakang (backward bending curve), hal ini dapat dijelaskan dari gambar di bawah ini:

Keterangan: X dan X’ = Jumlah Pekerja/Jam Kerja Sumber: Sinaga (2005)

Gambar 2.2. Penawaran Tenaga Kerja Individu dan Daerah

Menurut Gambar 2.2 terlihat bahwa ketika tingkat upah secara keseluruhan naik, maka individu-individu pekerja akan berupaya mengurangi waktu istirahatnya (leisure time) dan menambah waktu kerjanya, hal ini ditunjukkan dari ketiga bentuk kurva penawaran tenaga kerja bergerak lurus menyamping ke kanan atas (A, B, C), namun ketika tingkat upah dinaikkan lagi sampai kepada suatu titik tertentu (D, E, F), maka pekerja justru bersikap mengurangi waktu kerjanya, dengan ketentuan total

Tingkat upah Tingkat upah

Y K1 K2 K3

C B A

D E F

W3 W2 W1

W1 W2 W3

A’B’C’

D’E’F’

O

Y

O

X X’


(39)

upah yang diterima oleh pekerja tidak turun dari tingkat upah yang diterima semula dalam kondisi jam kerja normal. Selanjutnya kumpulan-kumpulan kurva penawaran tenaga kerja individu membentuk kurva penawaran daerah, yaitu (A’, B’, C’, D’, E’,

dan F’) sehingga kurva penawaran daerah lebih besar berbentuk melengkung ke

belakang.

2.2.6.2. Teori keseimbangan permintaan dan penawaran tenaga kerja

Keseimbangan permintaan dan penawaran tenaga kerja dapat terjadi jikalau pencari kerja dan pemberi lowongan kerja telah sepakat atas tingkat upah, sehingga kesepakatan tersebut disebut sebagai keseimbangan (equilibrium), hal ini dimaksud dapat dijelaskan pada gambar di bawah ini:

Tingkat upah

L0 penyerapan tenaga kerja

Gambar 2.3. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja (Nicholson, 2002)

Pada Gambar 2.3 memperlihatkan keseimbangan di pasar tenaga kerja tercapai pada saat jumlah tenaga kerja yang ditawarkan oleh individu (di pasar tenaga kerja, SL) sama besarnya dengan yang diminta (DL) oleh perusahaan, yaitu pada tingkat upah ekuilibrium (W0). Pada tingkat upah yang lebih tinggi (W2) penawaran

Kelebihan penawaran tenaga kerja

Kelebihan permintaan tenaga kerja W1

W0 1 W2

DL DL

SL


(40)

tenaga kerja melebihi permintaan tenaga kerja sehingga persaingan diantara individu dalam rangka mendapatkan pekerjaan akan mendorong turunnya tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekuilibrium (W0). Sebaliknya pada tingkat upah yang lebih rendah (W1) jumlah total tenaga kerja yang diminta oleh para produsen melebihi kuantitas penawaran yang ada, sehingga terjadi persaingan diantara pengguna tenaga kerja dalam memiliki tenaga kerja. Hal ini akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekuilibrium (Nicholson, 2002).

Pada titik W0 jumlah kesempatan kerja yang diukur pada sumbu horisontal adalah sebesar L0. Secara definitif, pada titik L0 inilah tercipta kesempatan kerja atau penyerapan tenaga kerja secara penuh (full employment). Artinya pada tingkat upah ekuilibrium tersebut semua orang menginginkan pekerjaan atau memperoleh pekerjaan, atau dengan kata lain sama sekali tidak terdapat pengangguran, kecuali pengangguran sukarela.

Todaro (2003) menyatakan bahwa dalam pasar persaingan sempurna (perfect

competition), di mana tidak ada satupun produsen dan konsumen yang mempunyai

pengaruh atau kekuatan yang cukup besar untuk mendikte harga-harga input maupun

output, tingkat penyerapan tenaga kerja (level of employment) dan harganya (tingkat

upah) ditentukan secara bersamaan oleh segenap harga-harga output dan faktor-faktor produksi selain tenaga kerja.


(41)

2.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja

Lincolyn (1992) dalam Sinaga (2005) menjelaskan pendapat Robert Sollow dan Trevor Swan mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Di mana teori ini telah memperoleh hadiah nobel bidang ekonomi tahun 1987. Swan berpendapat pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan kualitas dan kuantitas faktor produksi. Teori ini mendukung pendapat teori kaum neo klasik, yaitu perekonomian dalam full employment jikalau faktor produksi senantiasa berkembang secara harmonis. Selanjutnya dijelaskan, Capital Output Ratio (COR) dapat berubah-ubah atau dengan kata lain untuk memproduksi sejumlah barang/jasa, maka jumlah modal yang digunakan dapat berbeda-beda misalnya untuk memproduksi barang/jasa sejumlah A, diperlukan buruh sebesar L1 dan modal sebesar K1. Jika terjadi perubahan target produksi bertambah 2 kali hal ini diperoleh dari alternatif pemakaian teknologi dalam produksi, maka perlu tambahan modal sebesar K2 dan penyerapan buruh berkurang sebanyak L1/2. Kombinasi kedua faktor produksi tersebut pada gambar di bawah ini:


(42)

Sumber: Lincolyn, (1992)

Gambar 2.4. Kombinasi Faktor Produksi Modal dan Buruh

Gambar 2.4 menunjukkan fungsi produksi oleh kurva produksi 1 dan 2 di mana diawali dari usaha untuk memproduksi sejumlah barang diperlukan modal minimal sebesar K1 dan diserap buruh maksimal L1. Masalahnya dengan modal sebesar K1 tidak cukup untuk membeli teknologi maka untuk meningkatkan produksi kepada kurva P2, terlihat garis tidak akan bersinggungan dengan kurva P2, meskipun sampai kepada titik infinity (∞) jikalau modal tetap sebesar K1, maka kombinasi

produksi dalam menyerap buruh hanyalah A, B, C dengan konsistensi mengurangi jumlah produksi atau buruh. Untuk modal sebesar K2 maka dapat dipilih kombinasi tingkat produksi sebesar A” atau B’ ataupun C’ di mana diperoleh kombinasi buruh sebanyak L4. Kesimpulannya dari kurva ini semakin banyak modal diinvestasikan maka semakin sedikit buruh yang dapat diperkerjakan untuk memproduksi barang

Modal

P1 P2

A’

B B’

C C’

A K3

K2 K1

O L4 L3 L2 L1

Tenaga Kerja


(43)

atau jasa ini terlihat dari berkurangnya jumlah buruh dari L3 kepada L4 untuk memproduksi sejumlah B atau B’.

Dari Gambar 2.4 tersebut Sollow dan Swan membuat fungsi persamaan sebagai berikut:

Di mana notasi persamaan ini adalah: Qt = Tingkat produksi pada tahun t Kt = Jumlah stok barang modal tahun t Lt = Jumlah tenaga kerja tahun t

a = Penambahan output yang diciptakan oleh penambahan 1 unit modal b = Penambahan output yang diciptakan oleh penambahan 1 unit pekerja

Dari persamaan Sollow dan Swan nilai a, b, dapat diestimasi secara empiris di mana nilai dari a+b = 1, berarti nilai a dan b adalah sama dengan batas kapasitas produksi, atau nilai a dan b adalah terpulang kepada pilihan pengusaha yaitu investasi padat modal atau padat karya, teori ini disebut teori pembangunan negara berkembang (Lincolyn, 1992).

Kenaikan produktivitas tenaga kerja mengakibatkan naiknya rasio modal –

tenaga kerja. Rasio modal-tenaga kerja yang tinggi yaitu dengan metode-metode produksi yang lebih padat modal, akan menghasilkan laba yang lebih besar, sehingga tingkat tabungan yang optimal yakni akan menghasilkan pertumbuhan output maksimum. Di sini jelas bahwa tujuan mencapai pertumbuhan output maksimum dan


(44)

peningkatan kesempatan kerja maksimum merupakan dua hal yang saling bertentangan dan tidak bisa dicapai secara serentak.

Ada dua teori yang mendasar dalam ketenagakerjaan yakni pertama teori Lewis (Todaro, 2003) tentang surplus tenaga kerja dua sektor:

1. Sektor tradisional: sektor pedesaan yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marginal tenaga kerja sama dengan nol, maksudnya kelebihan tenaga kerja sektor pertanian dialihkan ke sektor lain, namun sektor pertanian tersebut tidak kehilangan output sedikit pun.

2. Sektor industri perkotaan; proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan

output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor industri modern.

Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada sektor tersebut, perluasan tersebut dimungkinkan adanya peningkatan investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri didasarkan pada kelebihan keuntungan sektor industri dari selisih upah, dengan asumsi bahwa menanamkan kembali seluruh keuntungannya tersebut. Untuk tingkat upah di sektor industri perkotaan diasumsikan konstan, dan ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor tradisional (pertanian), dengan maksud memaksa para pekerja pindah dari desa ke kota.

Teori yang kedua adalah teori Fei-Ranis dalam Mulyadi (2003), yang berkaitan dengan negara berkembang yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: kelebihan buruh, sumber daya alamnya belum optimal dalam pemanfaatannya,


(45)

sebagian besar penduduknya bergerak di sektor pertanian, banyak pengangguran dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Menurut Fei-Ranis selanjutnya ada tiga tahap pembangunan ekonomi dalam kondisi kelebihan tenaga kerja. Pertama, di mana para penganggur semu (yang tidak menambah output pertanian) dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama. Kedua, tahap dimana pekerja pertanian menambah output tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh, dialihkan pula ke sektor industri. Ketiga, tahap ditandai awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan output lebih besar daripada perolehan upah institusional. Dalam hal ini kelebihan pekerja terserap ke sektor jasa dan industri yang meningkat terus menerus sejalan dengan pertambahan output dan perluasan usahanya.

Sejalan dengan hal itu indikasi keberhasilan pembangunan suatu negara atau wilayah yang banyak digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diukur dari tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk lingkup nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk lingkup wilayah. Selain dipengaruhi faktor internal, pertumbuhan ekonomi suatu negara juga dipengaruhi faktor eksternal, terutama setelah era ekonomi yang semakin mengglobal. Secara internal, tiga komponen utama yang menentukan pertumbuhan ekonomi tersebut adalah pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Ketiga komponen tersebut sebaiknya berkedudukan sejajar dalam mengelola sumberdaya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya (Riasa, 2002). Dalam prakteknya, selain bergerak dalam sektor produksi barang dan jasa, pemerintah lebih banyak berperan dalam


(46)

sektor regulasi dan fasilitasi, termasuk mengendalikan dan mengantisipasi pengaruh eksternal yang bersifat negatif. Besaran dan arah peran pemerintah tersebut sangat menentukan peran dunia usaha dan masyarakat berpartispasi dalam pembangunan yang pada akhirnya menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Permasalahannya adalah menggunakan pertumbuhan PDB sebagai indikator kesejahteraan sifatnya masih sangat makro.

Nilai PDB menggambarkan aktivitas produksi dari suatu negara. Perhitungan PDB dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu sisi penawaran berdasarkan lapangan usaha menurut sektor dan sisi permintaan atau penggunaan yaitu untuk konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor. Hal itu berarti, jika terjadi pertumbuhan PDB menunjukkan bahwa penggunaan sumberdaya yang tersedia untuk kegiatan berproduksi mengalami peningkatan, perkembangan dan penggunaan teknologi mengalami peningkatan, penyerapan tenaga kerja menjadi lebih banyak sehingga mengurangi pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hubungan antara pertumbuhan PDB dengan angka pengangguran dikenal sebagai Hukum Okun, yaitu setiap peningkatan satu persen pengangguran akan menurunkan PDB 2,5 persen (Lipsey, 1992). Dengan demikian jika PDB meningkat seharusnya pengangguran menurun. Jika pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, namun kesejahteraan masyarakat secara umum tidak meningkat berarti ada ketidakseimbangan baik antar sektor maupun antar wilayah dalam pelaksanaan


(47)

pembangunan. Untuk itu, selain pertumbuhan ekonomi, diperlukan juga indikator yang lebih mikro untuk melihat dinamika kesejahteraan masyarakat.

Tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat akan muncul secara otomatis berkat adanya pemupukan dan pengerahan tabungan domestik dan cadangan devisa untuk melakukan investasi secara besar-besaran sektor industri. Dorongan besar (big push) kearah industrialisasi yang cepat telah merupakan kalimat sakti dalam model ini, bagi berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dan tercapainya keberhasilan pembangunan nasional (Todaro, 2003).

2.4. Pertanian dalam Perspektif Ekonomi (Ekonomi Pertanian)

Sektor pertanian adalah meliputi kegiatan pengusaha dan pemanfaatan benda-benda biologis (hidup) yang diperoleh dari alam dengan tujuan untuk konsumsi. Berdasarkan definisi ini sektor pertanian dapat diperinci lagi atas beberapa subsektor: 1) Sektor tanaman bahan makanan (farm food cores); 2) Tanaman perkebunan; 3) Peternakan; 4) Kehutanan; dan 5) Perikanan.

Agar berhasil suatu pembangunan pertanian diperlukan beberapa syarat atau prakondisi. Prakondisi ini meliputi bidang-bidang teknis, ekonomis, sosial budaya dan lainnya. Menurut Mosher dalam Soekartawi (2004), syarat agar berhasilnya pembangunan pertanian diperlukan syarat mutlak dan syarat pelancar. Syarat mutlak antara lain adalah adanya pasar untuk hasil usaha tani, teknologi yang berkembang, tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, adanya perangsang produksi bagi petani tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontiniu. Syarat


(48)

pelancar adalah pendidikan pembangunan, kredit produksi, kegotong-royongan petani, perbaikan dan perluasan tanah pertanian, perencanaan nasional daripada pembangunan pertanian.

Secara konseptual dalam perspektif ekonomi, peran sektor pertanian dapat dilihat dalam dua perspektif analisis yang tidak dapat terpisahkan yaitu perspektif mikroekonomi dan makroekonomi. Secara khusus, dalam perspektif mikroekonomi analisis sektor pertanian dipisahkan dalam analisis sisi permintaan dan penawaran. Sementara itu, dalam perspektif makroekonomi peran sektor pertanian dianalisis dalam perpektif umum yaitu peran sektor pertanian dalam mendukung kinerja makroekonomi. Peran sektor pertanian dalam perspektif makroekonomi dibedakan menjadi dua aspek penting. Aspek pertama adalah peran sektor pertanian dalam mendukung kinerja makroekonomi serta peran sektor pertanian dalam mengentaskan kemiskinan. Peran sektor pertanian dalam mendukung kinerja makroekonomi didekati melalui tiga indikator penting dalam makroekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran. Tiga indikator tersebut merupakan ukuran kinerja suatu perekonomian (Mankiw, 2003).

Indikator pertumbuhan ekonomi merupakan indikator kinerja pembangunan ekonomi dalam suatu perekonomian tertentu. Meskipun demikian, definisi pembangunan telah berkembang luas. Dalam perspektif modern pembangunan tidak sebatas pertumbuhan ekonomi namun mencakup aspek yang lebih luas. Pembangunan ekonomi diukur oleh indikator yang dikembangkan oleh United


(49)

manusia yang meliputi aspek pendapatan (PDB dan PDB perkapita), aspek angka harapan hidup dan lama menempuh pendidikan dasar. Perspektif mikroekonomi dan makroekonomi bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertanian sebagai salah satu sektor penyusun struktur ekonomi juga berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peran tersebut berupa ketersediaan jumlah produksi pertanian yang memadai bagi konsumen, serta peningkatan pendapatan bagi produsen. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian serta kestabilan harga-harga umum yang disumbangkan oleh sektor pertanian menjadi indikator ekonomi peran sektor pertanian. Keterkaitan antara konsep-konsep ekonomi dengan konsep-konsep pertanian melahirkan suatu sub kajian bidang ilmu baru yang selanjutnya disebut dengan ekonomi pertanian.

2.5. Kaitan Pembangunan Pertanian dan Penyerapan Tenaga Kerja

Pertumbuhan ekonomi ada dua bentuk: extensively resources yaitu dengan penggunaan banyak sumberdaya (seperti fisik, manusia atau natural capital) atau

intensively resources yaitu dengan penggunaan sejumlah sumberdaya yang lebih

efisien (lebih produktif). Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat.


(50)

Pada saat krisis, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB mengalami peningkatan paling besar dibanding sektor lainnya. Dari segi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2003 sektor pertanian mampu menyerap sekitar 46 persen, paling tinggi di antara sektor-sektor lain. Kesemua upaya dalam membangun pertanian dalam menggerakkan sektor lainnya dan peran pemerintah yang pada akhirnya secara bersama-sama mampu menjadi penggerak dalam pertumbuhan ekonomi, digambarkan secara baik oleh Yudhoyono (2004) dalam disertasinya dengan menggunakan Model Ekonomi-Politik Perekonomian Indonesia. Dari hasil simulasi terhadap kebijakan yang dilakukan (melalui kebijakan fiskal) terkait dengan masalah pertanian, diperoleh hasil bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pertanian sebesar 15% akan meningkatkan PDB, kemudian direspon dengan peningkatan permintaan tenaga kerja sehingga proporsi pengangguran dapat ditekan sebesar 4,9%. Pada gilirannya peningkatan PDB dan pengurangan pengangguran ini akan menurunkan angka kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Kedepan diperlukan investasi yang serentak di sektor pertanian dan sektor industri dalam perekonomian. Untuk pertumbuhan berimbang dapat digambarkan dengan model perekonomian dual (The dual economy model) yang dikemukakan Fei dan Ranis (Hayami, 2001).

Model Fei-Ranis merupakan suatu kondisi ideal bagaimana permintaan dan penawaran pada sektor industri dan sektor pertanian saling menyesuaikan sehingga selalu berada pada kondisi pertumbuhan berimbang. Tentu saja model Fei-Ranis ini tidak terlepas dari kritik karena dalam model tersebut belum mempertimbangkan


(51)

bahwa persediaan tanah tidak tetap, upah institusional tidak di atas MPP (Produktivitas fisik marjinal), upah institusional di sektor pertanian tidak konstan di atas MPP, model tertutup, komersialisasi sektor pertanian menjurus ke inflasi dan MPP tidak sama dengan nol.

Suatu strategi pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh sektor pertanian dan lapangan kerja menurut Mellor (2007) mempunyai tiga unsur. Pertama, laju pertumbuhan pertanian harus dipercepat meskipun luas tanah yang tersedia tetap. Dengan perubahan teknologi dalam pertanian maka masalah tersebut akan dapat diatasi. Kedua, permintaan domestik akan hasil pertanian harus tumbuh cepat meskipun permintaan itu tidak elastis. Ketiga, permintaan akan barang dan jasa yang ditimbulkan oleh proses-proses padat modal yang masih rendah harus dinaikkan. Ketiga unsur dimaksud secara terus menerus akan saling berinteraksi dan bersinergi sehingga strategi pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada pertanian akan mencapai tujuan dan sasarannya.

Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan dalam keberhasilan pembangunan nasional, seperti dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, perolehan devisa melalui ekspor dan penekanan inflasi (Simatupang, P. 1992); di mana gerakannya diantisipasi dan diselaraskan searah dengan dinamika pembangunan yang terjadi. Sejak pelita VI orientasi pembangunan pertanian beralih dari fokus peningkatan produksi semata ke arah orientasi pendapatan (kesejahteraan) masyarakat pertanian, terutama pertanian di pedesaan. Untuk itu pengembangan agribisnis telah menempati posisi sentral


(52)

pembangunan pertanian. Sebagai relevansinya adalah upaya memberi masukan bagi pelaksanaan pembangunan pertanian selanjutnya dengan mengkaji dampak kebijaksanaan tersebut di tingkat mikro dan makro terhadap perbaikan kesejahteraan kaum petani. Untuk melihat dinamika tingkat kesejahteraan petani, salah satu alat bantu ukurnya adalah NTP (Nilai Tukar Petani) dan NTKP (Nilai Tukar Komoditas Pertanian), di mana peningkatan nilai tukar tersebut diharapkan mampu mengindikasikan peningkatkan kesejahteraan masyarakat pertanian maupun keadaan sebaliknya. NTP berkaitan dengan kemampuan dan daya beli petani dalam membiayai hidup rumah tangganya. NTKP berkaitan dengan kekuatan dari daya tukar ataupun daya beli dari suatu komoditas pertanian terhadap komoditas/produksi lain yang dipertukarkan.

Keberhasilan pembangunan pertanian yang pernah dicapai tidak dapat dipungkiri, telah diikuti pula oleh perubahan secara struktural pada sektor perekonomian nasional, yang mana peran sektor pertanian semakin menurun digeser oleh peran sektor industri; di mana tersirat pula adanya beban berat dari sektor pertanian. Hal ini terutama berkaitan dengan semakin melebarnya kesenjangan antara sektor pertanian dengan sektor di luar pertanian, serta penurunan nilai tukar pertanian yang disebabkan penurunan nilai tukar komoditas pertanian.

Krisis moneter yang turut memicu krisis ekonomi berpengaruh negatif yang salah satu dampaknya terlihat dengan meningkatnya pengangguran (yang umumnya berasal dari tenaga kerja pedesaan) dan jumlah penduduk miskin. Pengaruh positif dengan salah satu dampaknya terlihat pada meningkatnya harga komoditas pertanian


(53)

baik harga produk maupun harga beli input oleh petani. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya nilai tukar mata uang asing (US dollar). Indikasinya adalah adanya peningkatan nilai ekspor sektor pertanian.

Apabila daya beli petani karena pendapatan yang diterima dari kenaikan harga produksi pertanian yang dihasilkan, lebih besar dari kenaikan harga barang yang dibeli, maka hal ini mengindikasikan bahwa daya dan kemampuan petani lebih baik atau tingkat pendapatan petani lebih meningkat. Alat ukur daya beli petani selintas dapat menunjukkan tingkat kesejahteraannya dirumuskan dalam bentuk Nilai Tukar Petani (NTP) yang terbentuk oleh keterkaitan yang kompleks dari suatu sistem pembentuk harga, baik yang harga yang diterima maupun harga yang dibayar petani.

Dengan kata lain, nilai tukar petani dapat didefinisikan sebagai nisbah antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar oleh petani, sehingga merupakan ukuran kemampuan daya tukar produk yang dihasilkan terhadap produk dan jasa yang mampu dibeli rumah tangga petani, baik untuk biaya input usahatani maupun biaya konsumsi rumah tangga petani (BPS, 2009).

Berbagai fenomena perubahan situasi (gejolak) yang terjadi baik yang bersifat alami (seperti gejolak produksi pertanian) maupun gejolak yang terjadi akibat adanya distorsi pasar (seperti penerapan kebijaksanaan yang disengaja, baik di sektor pertanian dan non-pertanian, di tingkat mikro maupun makro), akan mempengaruhi harga-harga, yang pada gilirannya akan mempengaruhi nilai tukar petani, akan menjadi masukan penting bagi penyusunan program kebijaksanaan ke arah pembentukan nilai tukar yang diinginkan. Keadaan ini dapat mengindikasikan bahwa


(54)

kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dari awal yang terkait dengan input produksi usahatani sampai pada pemasaran hasil produk pertanian (antara lain: kejaksanaan harga input dan output, subsidi, modal/perkreditan dan lainnya) akan mempengaruhi nilai tukar petani secara langsung maupun tidak langsung.

Fluktuasi nilai tukar petani akan menunjukkan fluktuasi kemampuan pembayaran ataupun tingkat pendapatan riil petani. Menurut Killick (1983), Timmer

et al. (1983), kegiatan pertanian tentu saja tidak lepas dari kegiatan di luar sektor

pertanian, dengan demikian nilai tukar petani juga dipengaruhi oleh peran dan perilaku di luar sektor pertanian. Perbaikan dan peningkatan nilai tukar petani yang mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani akan terkait dengan kegairahan petani untuk berproduksi. Hal ini akan berdampak ganda (Supriyati, 2000) tidak saja dalam peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian dalam menggairahkan perekonomian pedesaan, penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan dan menumbuhkan permintaan produk non-pertanian; tetapi juga diharapkan akan mampu mengurangi perbedaan (menciptakan keseimbangan) pembangunan antar daerah (desa-kota), maupun antar wilayah serta optimalisasi sumberdaya nasional.

Keragaman penerimaan, pengeluaran dan nilai tukar petani antar daerah dan waktu dipengaruhi oleh mekanisme pembentukan dalam sistem nilai tukar petani yang berbeda antar daerah dan antar waktu sebagai akibat dari keragaman sistem pembentukan penawaran dan penerimaan. Dari sisi penerimaan petani, keragaman antar daerah dan waktu terjadi berkaitan dengan keragaman sumberdaya dan komoditas yang diusahainya serta diversivikasi sumber pendapatan lain. Keragaman


(55)

pengeluaran petani terkait dengan keragaman pola konsumsi petani antar daerah dan waktu (Supriyati, 2000).

2.6. Penelitian Sebelumnya

Roosgandha (2000) melakukan penelitian dengan judul “Peran Nilai Tukar

Petani dan Nilai Tukar Komoditas dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani”

dapat disimpulkan bahwa pengaruh negatip di satu sisi dari krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis moneter terhadap pertanian dan pedesaan antara lain seperti: meningkatkan pengangguran dan jumlah penduduk miskin; pengaruh positif di sisi lain adalah peningkatan harga komoditas pertanian karena meningkatnya nilai tukar mata uang asing. Kenaikan harga produk yang dihasilkan petani lebih besar dari kenaikan harga barang yang dibeli, maka daya beli petani akan meningkat (mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani) yang diformulasikan dalam bentuk nilai tukar petani. Kebijaksanaan pemerintah di sektor pertanian (kebijaksanaan harga, subsidi, perkreditan dan lainnya) mulai dari kegiatan usahatani sampai pemasaran hasil secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi nilai tukar petani. Peningkatan/perbaikan nilai tukar petani berkaitan erat dengan kegairahan petani berproduksi, dengan dampak ganda yaitu peningkatan partisipasi petani dan produksi pertanian serta menghidupkan perekonomian pedesaan, penciptaan lapangan perkerjaan di pedesaan, yang berarti akan menciptakan sedikitnya keseimbangan pembangunan antar daerah dan antar wilayah serta optimalisasi sumberdaya nasional.


(56)

Saktynu (2000) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Penentuan

Indikator Utama Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia”. Pendekatan Analisis Komponen Utama dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan indikator utama pembangunan pertanian di tingkat makro (nasional) dan mikro (petani) sebanyak 8 indikator yaitu: (1) pertumbuhan luas lahan irigasi (%/tahun); (2) rasio tenaga kerja desa/kota di sektor pertanian; (3) rasio tenaga kerja desa/kota di sektor non pertanian; (4) pertumbuhan Indeks Ketahanan Pangan (energi dan protein); (5) pertumbuhan PDRB sektor pertanian (%/tahun); (6) pangsa PDRB sektor pertanian (%/tahun); (7) penggunaan sarana produksi (bibit, pupuk dan pestisida) dan (8) produktivitas usahatani. Delapan indikator utama tersebut telah mencerminkan 38 indikator pembangunan pertanian. Ini memberikan implikasi bahwa untuk mengetahui kondisi 52 indikator tersebut, hanya dibutuhkan pengukuran terhadap delapan indikator utama di atas. Untuk itu, disarankan agar kedelapan indikator utama tersebut dapat dijadikan sebagai indikator kinerja pembangunan pertanian. Sasaran pembangunan pertanian lima tahun ke depan adalah peningkatan ketahanan pangan, daya saing dan pendapatan petani. Berdasarkan hasil penelitian ini, ternyata tingkat pendapatan petani dan daya saing komoditas pertanian (diukur dari pertumbuhan ekspor dan impor) bukanlah indikator utama pembangunan pertanian. Oleh karena itu, sasaran pembangunan pertanian bukanlah untuk meningkatkan pendapatan petani, tetapi untuk meningkatkan produktivitas usahatani melalui peningkatan penggunaan sarana produksi.


(57)

Agus (2001), melakukan penelitian dengan judul “Analisis Struktural

Kesempatan Kerja di Indonesia Sebelum dan Setelah Krisis Moneter”, dengan

menggunakan beberapa model linear ekonomi makro dari teori tenaga kerja yang dianalisa melalui maximum likelihood method. Penelitian ini menggunakan data skunder deret waktu (time series), yaitu mulai tahun 1993 sampai tahun 1999. Hasil dari penelitian ini adalah pertumbuhan sektor-sektor ekonomi nasional yang mempunyai elastisitas kesempatan kerja yang tinggi yaitu sektor konstruksi, jasa dan transportasi/komunikasi, sedangkan pada sektor pertanian menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap kesempatan kerja akibat permintaan barang/jasa mengalami penurunan. Turunnya permintaan (konsumsi) berdampak kepada aktivitas perusahaan mengalami stagnasi atau penurunan, bersamaan dengan itu penawaran tenaga kerja mengalami peningkatan, yaitu baik yang disebabkan karena penambahan penduduk maupun dari tenaga kerja yang terpaksa menganggur karena turunnya aktivitas produksi. Sektor pertanian boleh jadi sering mengalami turunnya aktivitas produksi misalkan akibat dari sulitnya sarana produksi, peningkatan teknologi pertanian, rendahnya nilai tukar atau harga yang diterima atau karena adanya alih fungsi lahan.

Pudji (2002), melakukan penelitian dengan judul “Kesempatan Kerja dan

Pertumbuhan Ekonomi, dengan Menggunakan Model Linear Ekonomi Makro”, diperoleh hasil bahwa dampak pengangguran yang bersifat multidimensi mengharuskan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang tepat dalam mengatasi pengangguran. Dikatakan harus tepat karena tersedianya resources, baik berupa


(58)

tanah, modal dan teknologi, maka pemahaman akan model kesempatan kerja akan meminimalisir kesalahan dalam pembuatan kebijakan. Pengembangan simulasi model, akan memberikan masukan atau gambaran mengenai dampak suatu kebijakan terhadap kesempatan kerja nasional.

Sektor pertanian masih merupakan tumpuan penyediaan kesempatan kerja secara nasional. Pada periode tahun 1990 – 1996, proporsi kesempatan kerja sektor pertanian mengalami penurunan, tetapi masih tetap merupakan penyumbang kesempatan kerja dominan secara nasional. Penyebab penurunan ini adalah kesempatan kerja di pedesaan masih terbatas sementara terjadi peningkatan kualitas pendidikan juga ditemui perbedaan tingkat upah diantara desa dan kota serta peluang mendapatkan pekerjaan di kota lebih besar. Selain itu secara rata-rata pendapatan masyarakat pedesaan atas tiga daerah penelitian mengalami penurunan dibandingkan perkotaan.

Sumarto, dkk (2004), melakukan penelitian dengan judul “The Role of Agricultural Growth in Poverty Reduction in Indonesia”, memakai data sekunder untuk periode 1982-1998, hasil regresi menunjukkan bahwa diantara tiga sektor, pertanian ternyata merupakan sektor yang memiliki hubungan paling kuat dan signifikan antara pertumbuhan output sektoral dan penurunan kemiskinan, dibandingkan pertumbuhan output di sektor industri dan sektor perdagangan.

Hasil penelitian mereka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan output di industri dan perdagangan tidak penting bagi pengurangan kemiskinan. Sebaliknya dan khususnya pertumbuhan sektor industri selama Orde Baru sudah terbukti sangat


(59)

berperan dalam keberhasilan Indonesia mengurangi kemiskinan dengan menyerap banyak tenaga kerja berpendidikan rendah termasuk yang datang dari pertanian (pedesaan). Namun demikian, seperti telah ditunjukkan sebelumnya, pertanian adalah sektor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Studi terakhir dari Sumarto, dkk. (2004) menunjukkan lebih dari 50% dari penurunan kemiskinan di tingkat propinsi dalam periode 1984-1996 adalah sumbangan dari pertumbuhan

output di pertanian. Sedangkan sumbangan dari pertumbuhan output di industri

terhadap penurunan kemiskinan di perkotaan hanya marjinal.

Rusastra (2004) melakukan penelitian dengan judul “Ekonomi Tenaga Kerja

Pertanian dan Implikasinya dalam Meningkatkan Produksi dan Kesejahteraan Buruh Tani” dapat disimpulkan bahwa tingkat upah (NTP = Nilai Tukar Petani) berdampak

negatif inelastis terhadap keuntungan dan penawaran pada usaha tani padi. Elastisitas tenaga kerja terhadap produksi padi adalah yang tertinggi (0,13) dibandingkan faktor produksi lainnya (<0,04). Kontribusi tenaga kerja dinilai menentukan kinerja usaha tani yang bersifat padat tenaga kerja.

Sinaga (2005) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kesempatan

Kerja Sektoral di Provinsi Sumatera Utara”, menunjukkan hasil bahwa secara umum struktur lapangan pekerjaan terbesar didominasi oleh sektor pertanian, kemudian diikuti oleh sektor industri dan selanjutnya oleh sektor jasa. Dari hasil estimasi model yaitu Method of Ordinary Least Squares (OLS) menjelaskan bahwa masing-masing variabel memberikan pengaruh positif terhadap kesempatan kerja sektoral di Sumatera Utara. PDRB Provinsi Sumatera Utara terhadap pertumbuhan Tenaga


(1)

penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai tukar petani dan Upah Minimum Provinsi memberikan pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan 90%, ceteris paribus.

5.2. Saran

Dari hasil analisis yang dilakukan maka ada beberapa saran dan implikasi kebijakan sebagai masukan bagi pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang terkait dan bagi peneliti-peneliti selanjutnya antara lain:

1. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara harus lebih serius dalam memperhatikan perkembangan jumlah ekspor sektor pertanian baik dalam bentuk bahan mentah ataupun barang setengah jadi karena apabila produk pertanian yang akan diekspor diolah terlebih dahulu menjadi barang setengah jadi akan dapat memberikan nilai tambah bagi para pelaku usaha ataupun petani.

2. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara juga dapat meningkatkan nilai PDRB sektor pertanian karena memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja karena dengan meningkatnya nilai PDRB ataupun jumlah ekspor sektor pertanian akan lebih membuka peluang pekerjaan pada sektor ini.

3. Bagi peneliti-peneliti selanjutnya disarankan dapat menemukan variabel-variabel lain yang pengaruhnya lebih nyata dalam menyerap tenaga kerja


(2)

sektor pertanian selain variabel yang sudah diujikan, agar nilai-nilai signifikansi menjadi lebih baik dan spesifikasi model mendekati kenyataan yang sebenarnya.

4. Sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi masih diperlukan penelitian dan kajian lanjutan sejalan dengan keadaan dan perkembangan pembangunan ekonomi di masa yang akan datang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2001. Analisis Struktural Kesempatan Kerja di Indonesia sebelum dan sesudah

Krisis Moneter. Makalah Ilmiah Falsafah Sains, Program Pascasarjana

Program Doktoral Ilmu Ekonomi. IPB. Bogor.

Badan Pusat Statistik. Sumatera Utara dalam Angka Tahun 1985 - 2009. Medan. ________. 2010. Berita Statistik. Nomor Realese : No. 12/02/12/Th.XIII, l0 Februari

2010; Nomor Realese : No. 07/02/12/Th.XIII, 01 Februari 20l0; Nomor Realese : No. 04/01/l2/Th.XIII, 04 Januari 2010; Nomor Realese : No. 01/01/l2/Th.XIII, 4 Januari 2010. Medan.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sumatera Utara. 2002. Studi dan

Proyeksi Persediaan dan Kebutuhan Tenaga Kerja untuk Program Pembangunan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2000-2004.

Depnakertrans. 2004. Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009. http: //www. Nakertrans.go.id.

Gujarati, D.N., 1989. Basic Econometrics, 2nd ed., McGraw-Hill Company. New York.

Hayami, Yujiro. 200l. Development Economics. From The Poverty to The Wealth of Nations. Second Edition. Oxford University Press Inc. New York.

Killick, T. 1981. Policy Economics. A Textbook of Applied Economics on Developing Countries. The English Language Book Society.

Lincolyn, Arsyad. 1992. Ekonomi Pembangunan. Edisi Kedua. Cetakan I Universitas Gadjah Mada. Bahagian Penerbitan Sekolah Tinggi ilmu Ekonomi YKPN. Yogyakarta.

Lipsey, R.G., P.N. Courant, D.D. Purvis, and P.O. Steiner. 1992. Economics. Harper Collins College Publisher. New York.

Mankiw, N. Gregory. 2003. Mauoeconomics. 4th Ed.Worth. New York.

Mellor, Jhon W. 2007. Mengkaji Ulang Strategi-strategi Pembangunan. Penerbit UI. Jakarta.


(4)

Mulyadi, S. 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Dalam Perspektif Pembangunan. Cetakan Kedua. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Munif, Abdul. 2009. Strategi dan Pencapaian Swasembada Pangan di Indonesia,

Seminar on Agricultural Sciences 2009 tanggal 22 Pebruari 2009 di Tokyo University of Agriculture. Tokyo. diselenggarakan oleh Kedutaan Besar RI-

Tokyo dan Indonesian Agricultural Sciences Association (IASA).

Nachrowi, Djalal. Nachrowi dan Usman, Hardius. 2002. Penggunaan Teknik

Ekonometrika. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Nicholson, Walter. 2002. Intermediate Microeconemic. Erlangga. Jakarta.

Pudji, Astuti Utami. 2002. Kesempatan Kerja dan Pertumbuhan Ekonomi. Program

Pascasarjana. IPB. Bogor.

Priyarsono, D.S. 2005. Revitalisasi Pertanian: Mulai dari Mana?. Indonesia Terkini

Series, No. 3-04. Brighten Institute, Bogor.

Riasa, P., Antonaria, A. Saepudin, A.A. Risadi, M. Ruslan, dan Wilopo. 2002. Buku

Pedoman Safeguarding: Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Dalam

Negeri, Jakarta.

Rusastra, I Wayan dan M. Suryadi. 2004. Ekonomi Tenaga Kerja Pertanian dan Implikasinya dalam Meningkatkan Kesejahteraan Buruh Tani. Jurnal

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Vol. 23 (3). Bogor.

Roosgandha, Elizabeth dan Valeriana Darwis. 2000. Peran Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas dalam (Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kedelai (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur). Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Vol. 18 (3). Bogor.

Sektyanu, K. Darmoredjo dan Khairina Noekman. 2000. Analisis Penentuan Indikator Utama Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia. Pendekatan Analisis Komponen Utama. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Pertanian. Vol. 18 (3). Bogor.

Simatupang, P. 1999. Toward Sustainable Food Security: The Need For A New

Pardigm. In: Indonesia's Economic Crisis: Efficts on Agriculture and Policy Response. P. Simatupang, S. Pasaribu, S. Bahri and R. Stringer (Editors).

Published for CASER by Centre fo International Economic Studies, University of Adelaide.


(5)

Sinaga, Azvir. 2005. Analisis Kesempatan Kerja Sehoral di Provinsi Sumatera Utara. Program Pascasarjana Megister Ekonomi Pembangunan. USU. Medan.

Simanjuntak, Djisman S. Analisis Ekonomi. httplliwrn rv.kompas. com.

Siregar, H. dan Tatan Sukwika. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pasar Tenaga Kerja dan Implikasi Kebijakannya terhadap Sektor Pertanian di Kabupaten Bogor. Jurnal PWD. IPB. Bogor.

Soekartawi. 2004. Petani Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Global.

Universitas Brawijaya. Malang.

Supriyati, M. Rachmat, K.S Indraningsih, Tj. Nurasa. Roosgandha Elizabeth, R. Sajuti. 2000. LHP. Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Vol. 18 (3). Bogor.

Solmon C. Lewis. 1980. Economics. First Edition Second Printing, Addison Wesley Published & Co. pages.

Solahuddin. 2009. Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Ekonomi. Bogor. Sumarto, Sudarno dan Asep Suryahadi. 2004. The Role of Agricultural Growth in

Poverty Reduction in Indonesia. Mimeo, February. Jakarta: The SMERU

Puslit Sos.Ek. Pertanian. Bogor.

Suparmoko, M. Irawan. 1996. Ekonomiks Pembangunan. Edisi 5, BPFE. Yogyakarta. Tambunan, Tulus. 2006. Apakah Pertumbuhan di Sektor Pertanian sangat Krusial

bagi Pengentasan Kemiskinan di Indonesia ?. Kadin Indonesia-Jetro (2006).

http://kadin-indonesia.or.id.’

Timmer, C. Peter. 2004. "The Road to Pro-Poor Growth: The Indonesian Experience

in Regional Perspective", Working Paper No. 38, April, Washington DC:

Center for Global Development.

Todaro, Michael., P. 2003. Economic Development. Eight Edition. Pearson Education Limited. Eidenburg Gate, Harlow, Essex, England.

Widodo. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lapangan Kerja Sektoral di Sumatera Utara. Tesis. Program Pascasarjana Magister Ekonomi Pembangunan USU. Medan.


(6)

Yudhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. Ringkasan Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.