Latar Belakang Studi sebaran titik panas (Hotspot) sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Jambi tahun 2000 - 2004

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 19821983, 1994 dan tahun 19971998 telah menyebabkan kerugian besar, baik secara ekonomi maupun ekologi. Namun, kebakaran hutan sulit untuk dihindari, terbukti bencana tersebut terulang kembali pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Untuk mengatasi terjadinya kebakaran yang tidak diinginkan, maka dibutuhkan suatu tindakan manajemen kebakaran yang terpadu dan terarah, meliputi kegiatan sebelum, saat dan pasca terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan sebelum kebakaran hutan bertujuan untuk mencegah kebakaran hutan, pada saat kebakaran hutan untuk mencegah api menjalar lebih luas sedangkan pada saat pasca kebakaran hutan bertujuan untuk merehabilitasi lahan bekas terbakar. Deteksi kebakaran hutan merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam rangka pengendalian kebakaran hutan. Salah satu adalah deteksi keberadaan titik panas hotspot lapangan. Cara deteksi Titik panas hotspot dapat dideteksi dengan satelit NOAA National Oceanic and Atmospheric Administration , yang dilengkapi dengan sensor AVHRR Advanced Very High Resolution Radiometer . Sensor ini bekerja berdasarkan pancaran energi termal dari obyek yang diamati. Suatu areal yang bersuhu 42 o C, dapat mengindikasikan adanya titik panas hotspot Sumaryati dan Harjono, 1997. Adanya titik panas hotspot belum tentu ada kebakaran, namun jika ada kebakaran, pasti ada titik panas. Suhu awal kebakaran berkisar antara 300 – 350 o C, suhu ini sekaligus merupakan suhu penyulutan dalam kebakaran hutan Sumaryati dan Harjono,1997. Sebaran titik panas bulanan merupakan kumpulan titik panas yang terpantau dalam satu bulan. Satelit NOAA melakukan pemantauan satu hingga tiga kali dalam sehari dan terbagi dalam tiga wilayah, yaitu untuk pemantauan seluruh wilayah Sumatera dan Kalimantan, hanya wilayah Sumatera dan hanya wilayah Kalimantan Forest Fire Prevention and Management Project, 2003. Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan.

B. Tujuan Penelitian

Dokumen yang terkait

Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Samosir

1 46 75

Determinasi Tingkat Kebakaran Hutan dan Lahan Melalui Studi Sebaran Data Titik Panas dan Bentuk Penggunaan Lahan Dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu

1 35 110

Studi Tentang Sebaran Titik Panas (Hotspot) Bulanan Sebagai Penduga Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2001 dan 2002

0 8 92

Hubungan Antara Curah Hujan Dengan Titik Panas (Hotspot) Sebagai Indikator Terjadinya Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Kabupaten Pontianak Propinsi Kalimantan Barat

0 13 104

Studi tentang sebaran titik panas (HOTSPOT) sebagai penduga kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun 2004

3 26 78

Pola Sebaran Titik panas (hotspot) dan Keterkaitannya dengan Perubahan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Provinsi Kalimantan Barat)

3 8 176

Spatial Clustering Berbasis Densitas untuk Persebaran Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera

0 4 116

Analisis Pola Sebaran Titik Panas dan Pemodelan Spasial Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah

0 6 52

Hubungan Curah Hujan dan Titik Panas (Hotspot) dalam Kaitannya dengan Terjadinya Kebakaran di Provinsi Riau Tahun 2013

0 9 24

Studi Tentang Sebaran Titik Panas (Hotspot) Bulanan Sebagai Penduga Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2001 dan Tahun 2002

0 4 80