Percobaan pengoperasian bubu pada zona fotik dan apotik di teluk Palabuhanratu

(1)

PERCOBAAN PENGOPERASIAN BUBU PADA

ZONA FOTIK DAN AFOTIK DI TELUK PALABUHANRATU

Eko Susilo

C54102008

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PERCOBAAN PENGOPERASIAN BUBU PADA ZONA FOTIK DAN AFOTIK DI TELUK PALABUHANRATU

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Mei 2006

Eko Susilo C54102008


(3)

ABSTRAK

EKO SUSILO. C54102008. Percobaan Pengoperasian Bubu pada Zona Fotik dan Afotik di Teluk Palabuhanratu. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO.

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia masih terfokus pada perikanan perairan laut dangkal, sementara itu sangat sedikit kajian yang mengupas dan mengembangkan perikanan laut dalam. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja bubu dan alat bantu penangkapan selama uji coba pengoperasian. Selain itu juga untuk mendapatkan informasi mengenai komposisi dan keragaman hasil tangkapan bubu pada zona fotik dan afotik di perairan Teluk Palabuhanratu.

Bubu laut dalam yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk trapesium memanjang. Rangka terbuat dari bahan besi beton berdimensi 80 cm x 40 cm x 50 cm dan panjang 120 cm. Funnel berjumlah dua buah berukuran 15 cm x 10 cm berbentuk limas terpancung ke arah dalam. Badan jaring terbuat dari polyethilene dengan mesh size 1,91 cm (¾ inci) berwarna hijau tua. Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing, yaitu mengoperasikan bubu pada lokasi pengamatan dengan sistem rawai sebanyak 5 kali pemasangan pada zona fotik dan afotik.

Hasil tangkapan total selama pengoperasian sebanyak 677 ekor yang terdiri dari 8 famili, yaitu Pandalidae, Majidae, Portunidae, Palinuridae, Grapsidae, Ophidiidae, Moridae, dan Synaphobranchidae. Pada zona afotik mulai ditemukan beberapa jenis ikan yang sebelumnya tidak ditemukan di zona fotik.

Keragaman hasil tangkapan rendah dengan dominasi dari rendah sampai tinggi. Spesies yang mendominasi yaitu Heterocarpus hayastii. Ekosistem dalam kondisi tertekan sampai stabil. Tekanan ekologis berupa persaingan dalam mencari makan, tempat tinggal dan berke mbang biak.

Lokasi pemasangan bubu tidak memberikan pengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan Heterocarpus hayastii dan Heterocarpus sp. Pemasangan bubu pada zona fotik memberikan hasil yang lebih baik terhadap Lamoha sp.


(4)

PERCOBAAN PENGOPERASIAN BUBU PADA

ZONA FOTIK DAN AFOTIK DI TELUK PALABUHANRATU

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Eko Susilo C54102008

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(5)

Judul : Percobaan Pengoperasian Bubu pada Zona Fotik dan Afotik di Teluk Palabuhanratu

Nama : Eko Susilo NRP : C54102008

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. NIP. 131 878 934

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 9 September 1983 dari pasangan Suwarno Poncomargono dan Surip Poncomargono. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan penulis diawali dari TK Aisyah Jimbung, Klaten pada tahun 1990. Penulis melanjutkan ke Madrasah Ibtida’iyah Muhammadiyah Jimbung I, Klaten dan dinyatakan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan studi di SLTP Negeri 1 Klaten dan melanjutkan ke SMU Negeri 1 Klaten. Setelah lulus dari SMU Negeri 1 Klaten pada tahun 2002, penulis melanjutkan studi di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).

Selama mengikuti kegiatan belajar di IPB, penulis menjadi asisten beberapa mata kuliah yaitu:

1. Asisten praktikum Statistika Dasar (2003-2004),

2. Asisten praktikum Dasar-Dasar Pengolahan Data Perikanan (2003-2004, 2004-2005)

3. Asisten praktikum Ekologi Perairan (2003-2004, 2004-2005) 4. Asisten praktikum Metode Pemograman (2003-2004)

Penulis memperoleh gelar Sarjana Perikanan setelah dinyatakan lulus dalam sidang ujian sarjana pada tanggal 15 Maret 2006 dengan judul penelitian ”Percobaan Pengoperasian Bubu pada Zona Fotik dan Afotik di Teluk Palabuhanratu”.


(7)

PRAKATA

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai kinerja bubu laut dalam dan kekayaan sumber daya ikan laut dalam di perairan Teluk Palabuhanratu Sukabumi. Penelitian ini terlaksana atas biaya Program Hibah Kompetisi A3 Departemen Pemanfataan Sumberdya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor tahun 2005.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. selaku pembimbing atas arahan dan bimbingannya. 2. Dr. Ir. M Fedi A Sondhita, M.Sc. dan Ir. Wazir Mawardi, M.Si. selaku dosen

penguji atas saran dan masukkannya.

3. Kedua orangtua dan keluarga atas bimbingan dan dukungannya selama ini sehingga penulis dapat memaknai hidup ini dengan benar sesuai dengan petunjuk Allah SWT.

4. Edi Husni, ST, M.Si. atas saran dan bimbingannya selama penelitian.

5. Teknisi Stasiun Lapang Kelautan (SLK) Palabuhanratu dan saudara-saudaraku di Laboratorium TPI (Mochammad Riyanto, S.Pi., Muchyi Chalimi, S.Pi., Adi Susanto dan Dwi Hudayanti) atas bantuannya selama pengamatan di lapangan. 6. Pengelola PHK-A3 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB

dan DIKTI Depertemen Pendidikan Nasional. 7. Semua pihak yang turut membantu penelitian ini.

Kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan tangan terbuka untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat digunakan dan dimanfaatkan dengan sebaiknya -baiknya untuk membangun perikanan Indonesia.

Bogor, Mei 2006


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan Perairan Laut ... ... 4

2.2 Unit Penangkapan Bubu ... 8

2.2.1 Klasifikasi bubu ... ... 8

2.2.2 Deskripsi dan konstruksi bubu ... ... 9

2.2.3 Metode pengoperasian bubu ... ... 10

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... ... 13

3.2 Alat ... ... 13

3.2.1 Unit penangkapan bubu laut dalam ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 18

3.4 Analisis Data ... ... 20

3.4.1 Uji kenormalan ... ... 20

3.4.2 Analisis ragam (ANOVA) ... ... 20

3.4.3 Analisis keanekaragaman ... ... 21

4 HASIL PENELITIAN 4.1 Kinerja Bubu Laut Dalam dan Alat Bantu Penangkapan ... 23

4.2 Komposisi Hasil Tangkapan ... 25

4.3 Keragaman Hasil Tangkapan ... 32

4.4 Pengaruh Lokasi Pemasangan Bubu Terhadap Hasil Tangkapan ... 35

4.4.1 Hasil tangkapan Heterocarpus hayastii ... 35

4.4.2 Hasil tangkapan Lamoha sp. ... 35

4.4.3 Hasil tangkapan Heterocarpus sp. ... 35

4.4.4 Hasil tangkapan ikan lainnya ... 35

5 PEMBAHASAN 5.1 Unit Penangkapan Bubu ... 37


(9)

5.3 Keanekaragaman Hasil Tangkapan ... 41

5.4 Pengaruh Lokasi Pemasangan Bubu Terhadap Hasil Tangkapan ... 42

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... ... 44


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Zonasi perairan laut ... 5 2. Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim tropis dan sedang) ... 7 3. Jenis dan komposisi hasil tangkapan bubu pada masing-masing lokasi


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Zonasi perairan laut ... 4

2. Metode mengoperasian bubu ... 11

3. Konstruksi bubu laut dalam yang digunakan dalam penelitian ... 14

4. Alat tangkap bubu yang digunakan dalam penelitian ... 15

5. Desain kapal yang digunakan dalam penelitian ... 16

6. Desain mechanical line hauler ... 17

7. Mechanical line hauler ... 17

8. Bubu pada saat dioperasikan ... 19

9. Kecepatan penarikan tali utama oleh mechanical line hauler ... 25

10. Komposisi hasil tangkapan dominan pada zona fotik dan afotik ... 27

11. Sebaran panjang Heterocarpus hayastii di zona fotik ... 27

12. Sebaran panjang Heterocarpus hayastii di zona afotik ... 28

13. Sebaran berat Heterocarpus hayastii di zona fotik ... 28

14. Sebaran berat Heterocarpus hayastii di zona afotik ... 28

15. Sebaran panjang Heterocarpus sp. di zona fotik ... 29

16. Sebaran panjang Heterocarpus sp. di zona afotik ... 29

17. Sebaran berat Heterocarpus sp. di zona fotik ... 30

18. Sebaran berat Heterocarpus sp. di zona afotik ... 30

19. Sebaran panjang Lamoha sp. di zona fotik ... 31

20. Sebaran panjang Lamoha sp. di zona afotik ... 31

21. Sebaran berat Lamoha sp. di zona fotik ... 31

22. Sebaran berat Lamoha sp. di zona afotik ... 32

23. Indeks keanekaragaman, dominasi dan keseragaman di zona fotik dan afotik ... 33

24. Indeks keanekaragaman hasil tangkapan bubu berdasarkan kedalaman ... 34

25. Indeks keseragaman hasil tangkapan bubu berdasarkan kedalaman ... 34


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Posisi pemasangan dan pengangkatan bubu ... 47

2. Peta lokasi operasi penangkapan bubu ... 48

3. Hasil tangkapan bubu ... 49

4. Hasil ANOVA untuk hasil tangkapan bubu yang dominan ... 50

5. Dokumentasi penelitian ... 54


(13)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia masih terfokus pada perikanan perairan laut dangkal, sementara itu sangat sedikit kajian yang mengupas dan mengembangkan perikanan laut dalam. Padahal jika diperhatikan sekitar 40% (atau 2,3 juta km2) luas perairan Indonesia berupa laut dalam. Potensi perikanan laut dalam tersebut tersebar mulai dari Samudera Hindia, Laut Banda, Laut Makassar, Laut Halmahera, dan Laut Sulawesi (Indroyono et al. 2003).

Secara teoritis pada habitat laut dalam peluang ditemukannya kehidupan adalah kecil. Hal ini disebabkan rendahnya intensitas cahaya matahari di lapisan bawa h tersebut atau bahkan tidak ada cahaya matahari sama sekali. Pada kondisi yang demikian praktis proses fotosintesis yang berperan dalam penyediaan energi suatu ekosistem tidak dapat berlangsung. Namun berdasarkan penelitian telah banyak ditemukan berbagai jenis sumber daya ikan (ikan, moluska, dan crustacea) pada habitat tersebut. Keberadaan organisme tersebut disebabkan tersedianya bahan organik di dasar akibat rantai atau jejaring makanan yang terjadi di dasar laut (Nybakken, 1982). Penelitian yang dilakukan di Samudera Hindia dan Laut Sulawesi oleh pakar-pakar dari Indonesia dan Jerman pada tahun 1996 hingga 1998 telah berhasil mengangkat kerang-kerangan laut dalam. Hal ini juga didukung dengan penemuan populasi udang laut dalam (krill) yang hidup pada kedalaman 200 – 1.000 m di perairan Laut Antartika sampai selatan Samudera Hindia. Diperkirakan udang laut dalam ini banyak hidup di perairan Indonesia. Hasil penelitian kapal selam riset Challanger milik AS memperlihatkan adanya 1.500 spesies hewan laut yang hidup pada kedalaman 2.000 m (Indroyono et al. 2003).

Nybakken (1982) mengatakan bahwa zona mesopelagik, yaitu bagian laut dalam pada kedalaman antara 200 m sampai 1.000 m, dihuni oleh sebagian besar organisme laut dalam. Zona ini membentang pada kedalaman 700 m sampai 1.000 m dari batas bawah zona fotik ke arah dasar perairan.


(14)

Keragaman hayati merupakan salah satu komponen suatu komunitas organisme. Keragaman menunjukkan kekayaan jenis dan penyebaran organisme yang menghuni suatu perairan. Ada beberapa hipotesis yang mencoba menjelaskan tingginya keragaman organisme perairan laut dalam yaitu hipotesis stabilitas waktu, teori permanen dan hipotesis luas. Hipotesis stabilitas waktu menyatakan bahwa keragaman yang tinggi terjadi karena kondisi lingkungan yang sangat stabil telah berlangsung lama sekali di laut dalam sehingga memungkinkan spesies-spesies berevolusi hingga sangat berspesialisasi untuk dapat menghuni mikrohabitat atau memanfaatkan pakan tertentu. Teori permanen menyatakan bahwa keragaman yang tinggi disebabkan oleh pemangsaan yang sangat intensif oleh semua tingkatan hewan laut dalam yang memungkinkan sejumlah besar spesies dapat bertahan. Hipotesis luas dapat memberikan penjelasan yang memadai tentang meningkatnya keragaman dengan meningkatnya kedalaman. Hipotesis luas menyatakan bahwa keragaman jenis akan meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman (Nybakken, 1982). Untuk membuktikan teori tersebut maka diperlukan penelitian untuk mendapatkan informasi tentang keragaman (kekayaan jenis dan penyebaran) sumber daya ikan laut dalam di perairan Teluk Palabuhanratu pada zona yang berbeda yaitu zona fotik dan zona afotik.

Selama ini kegiatan penangkapan sumberdaya ikan laut dalam menggunakan trawl laut dalam. Penggunaan bubu sebagai alat tangkap untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan laut dalam telah diujicoba (bentuk bubu trapesium, bubu lipat dan bubu silinder) di wilayah Indonesia Timur dan memberikan hasil yang cukup baik. Pemilihan bubu dalam penelitian ini karena bubu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan alat tangkap yang lain. Bubu dapat dioperasikan di tempat yang alat lain tidak dapat dioperasikan. Konstruksi bubu cukup sederhana serta mudah dan murah di dalam proses pembuatannya. Hasil tangkapan dalam kondisi hid up sehingga tidak menurunkan kualitasnya. Pengoperasian bubu yang pasif yaitu menghadang dan menunggu ikan memasuki bubu, sehingga tingkat kerusakan lingkungan akibat alat ini rendah. Selain itu ukuran mata jaring (mesh size) dinding bubu dapat disesuaikan dengan ukuran ikan target sehingga memungkinkan ikan yang berukuran


(15)

lebih kecil dapat meloloskan diri. Dengan demikian kelestarian sumber daya ikan di perairan dapat terjaga.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

(1) Mendeskripsikan kinerja bubu dan alat bantu penangkapan mechanical line hauler selama uji coba pengoperasian.

(2) Mendapatkan informasi mengenai komposisi hasil tangkapan bubu pada zona fotik dan afotik.

(3) Mendapatkan informasi mengenai keragaman hasil tangkapan bubu pada zona fotik dan afotik.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang metode pengoperasian bubu laut dalam dan sumber daya ikan laut dalam di Teluk Palabuhanratu yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan usaha perikanan bubu laut dalam di Indonesia.


(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lingkungan Perairan Laut

Nybakken (1982) mendeskripsikan pembagian (zonasi) perairan laut didasarkan pada beberapa hal, yaitu komunitas organisme yang menghuni perairan dan kemampuan penetrasi cahaya matahari. Zonasi perairan laut berdasarkan pada komunitas organisme meliputi zona pelagik dan zona bentik. Zona pelagik merupakan bagian laut yang berasosiasi dengan perairan terbuka, sedangkan zona bentik adalah bagian laut yang berasosiasi dengan dasar laut. Carol (1993) menambahkan bahwa zona pelagik merupakan kolom perairan yang membentang dari permukaan sampai dasar perairan dan zona bentik meliputi wilayah litoral, intertidal, terumbu karang dan laut dalam.

Zonasi perairan laut berdasarkan pada kemampuan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan meliputi zona fotik dan zona afotik. Zona fotik merupakan bagian dari lingkungan bahari yang dapat diterangi oleh cahaya matahari. Kedalaman zona fotik berbeda-beda untuk masing- masing laut di berbagai tempat, tetapi secara umum mencapai kedalaman 200 m. Zona afotik merupakan bagian dari lingkungan bahari yang terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi cahaya matahari di laut terbuka dan lebih dalam dari paparan-paparan benua, yaitu lebih dari 200 m (Gambar 1). Wilayah ini dikenal dengan istilah laut dalam (Nybakken, 1982).


(17)

Tabel 1 Zonasi perairan laut Cahaya Zona

Pelagik

Kisaran Kedalaman Zona Bentik

Kisaran Kedalaman

Ada (fotik)

Epipelagik 0 – 200 m Paparan benua

0 – 200 m

Tidak ada (afotik)

Mesopelagik 200 – 1.000 m (?) Batial 200 – 4.000 m (?) Batipelagik (?) 1.000 – 4.000 m (?)

Abisalpelagik (?) 4.000 – 6.000 m (?) Abisal 4.000 – 6.000 m Hadalpelagik 6.000 – 1.0000 m Hadal 6.000 – 1.000 m (?) Sumber Nybakken (1982); catatan (?) = berubah- ubah

Ada beberapa faktor fisika kimia lingkungan yang menjadi faktor pembatas pada perairan laut dalam sekaligus membedakan karakteristik fisika kimia antara zona fotik dan zona afotik. Faktor- faktor lingkungan tersebut berpengaruh terhadap keanekaragaman dan penyebaran organisme laut. Berikut faktor fisika kimia lingkungan yang dimaksud (Nybakken, 1982):

(1) Cahaya matahari

Keberadaan cahaya matahari sangat penting dalam suatu ekosistem termasuk lautan. Cahaya matahari bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses fotosintesis. Di wilayah perairan laut dalam memiliki intensitas cahaya matahari yang sangat rendah sehingga produktivitas primer tidak terjadi. Selain itu juga berpengaruh terhadap penyebaran suhu secara vertikal di dalam perairan.

(2) Tekanan hidrostatik

Tekanan hidrostatik erat kaitannya dengan kedalaman perairan. Bertambahnya kedalaman perairan tiap-tiap 10 m akan mengakibatkan meningkatnya tekanan hidrostatik sebesar 1 atm. Tekanan hidrostatik pada lingkungan perairan laut dalam yaitu berkisar 20 – 1.000 atm. Tekanan memiliki pengaruh yang besar terhadap distribusi vertikal ikan laut dalam.

(3) Salinitas

Salinitas merupakan besaran yang menyatakan konsentrasi seluruh garam yang terlarut dalam satu liter air laut (Hutabarat et al. 1985). Salinitas pada kedalaman 100 m pertama dapat dikatakan konstan. Dengan bergesernya kedalaman terdapat


(18)

sedikit perbedaan tetapi tidak mempengaruhi ekologi secara nyata. Salinitas perairan Teluk Palabuhanratu pada kedalaman 200 m berkisar antara 34,7 – 34,9 psu (Jaya et al. 2005).

(4) Suhu

Dalam ekosistem laut dikenal adanya lapisan termoklin, yaitu suatu daerah dimana terjadi penurunan suhu secara tajam. Lapisan ini terletak pada kedalama n 200 sampai 1.000 m. Di perairan Teluk Palabuhanratu lapisan termoklin terjadi pada kedalaman 125 m. Suhu perairan pada kedalaman 180 sampai 200 m mencapai 13oC (Jaya et al. 2005).

(5) Kadar oksigen

Sebagian besar oksigen yang berada pada zona fotik berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis. Pada perairan laut dalam kandungan oksigen berasal dari oksigen yang terlarut dalam air permukaan yang berasal dari Laut Artik dan Laut Antartik.

(6) Ketersediaan makanan

Proses fotosintesis yang tidak berlangsung menyebabkan jumlah makanan di perairan laut dalam sangat sedikit. Sumber makanan di perairan laut dalam berupa jenis ikan lain atau bangkai ikan yang mati dan tenggelam dari permukaan. Sumber makanan di laut dalam menurut Nontji (1987) diacu dalam Guntara (2004) berupa:

a) Hujan planton dan pertikel organik lainnya yang jatuh ke bawah.

b) Jatuhan bangkai hewan hewan besar atau potongan tumbhan yang dengan cepat dapat tenggelam ke dasar sebelum habis terurai oleh bakteri pemakan bangkai.

c) Bakteri.


(19)

Tabel 2 Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim sedang dan tropis)

Karakteristik Zona

Epipelagis (0-100 m atau 200 m)

Mesopelagis (100 m atau 200 – 1.000 m)

Batipelagis dan lebih dalam (1.000 m sampai dasar)

Bentik dangkal Bentik dalam

Intensitas cahaya Cukup untuk fotosintesis

Zona cahaya redup Zona tidak ada cahaya

Ada bagian yang dapat cahaya

Secara esensial tidak ada cahaya dari atas Persedian makanan Terjadi produktivitas

primer

Sedikit atau tidak ada produktivitas primer, organisme migrasi untuk mencari makanan atau menunggu makanan jatuh

Sedikit atau tidak ada produktivitas primer, organisme migrasi untuk mencari makanan atau menunggu makanan jatuh Terjadi produktivitas primer Tidak terjadi produktivitas primer kecuali kemosintesis, organisme menunggu makanan jatuh dari atasnya

Suhu Biasanya sekitar 28oC sampai 10oC, kadang-kadang mendekati 0oC di musim dingin

Biasanya sekitar 15 – 5oC

Biasanya antara 15oC

dan -2oC dan turun sampai 1oC atau

kurang di bawah 4.000 m

Biasanya sekitar 30oC

sampai sekitar 10oC

Biasanya antara 15oC

dan -2oC dan turun sampai 1oC atau

kurang di bawah 4.000 m

Salinitas Biasanya sekitar 37-32o/oo

Biasanya sekitar 35-34.5°/oo; air tengah

dari lintang tinggi memiliki salinitas lebih kecil

Biasanya sekitar 35-34.5o/oo; dan sekitar

34.52o/oo di bawah

4.000 m

Biasanya antara 40 – 30o/oo

dengan runoff air tawar

Biasanya sekitar 35-34.5o/oo; dan sekitar

34.52o/oo di bawah

4.000 m Kandungan oksigen Biasanya sekitar

7-3.5o/oo

Biasanya sekitar 5- 4

o

/oo dengan nilai le bih

kecil dari oksigen minimum

Biasanya sekitar 6-5

o

/oo

Biasanya sekitar 7-3.5°/oo

dengan beberapa supersaturasi dan daerah anoksik

Biasanya sekitar 6-4°/oo dengan

mendekati kondisi anoksik pada daerah oksigen minimum di basin terisolasi Kandungan nutris i

(fosfat di

lingkungan pelagis dan karbon organik untuk lingkungan bentik)

Biasanya sekitar 0-30 mg/m3; tinggi di

daerah upwelling

Biasanya sekitar 30 -90 mg/m3; tinggi di

daerah upwelling

Biasanya sekitar 90 mg/m3

Biasanya tinggi di sendimen bentik dangkal

Biasanya rendah di sendimen bentik dalam, tapi tinggi di bawah daerah

upweling


(20)

Keberadaan organisme laut dalam tidak terlepas dari kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap kondisi fisika kimia lingkungan yang ekstrim. Beberapa bentuk adaptasi organisme laut dalam yaitu: memiliki mata dan mulut yang besar, bentuk mata tubular, pewarnaan tubuh dan kemampuan bioluminensis. Bentuk mata tubular dan berukuran besar memungkinkan organisme laut dalam dapat menangkap semua cahaya yang masuk ke dalam perairan pada kondisi intensitas cahaya yang sangat rendah. Pada kondisi yang miskin bahan pakan, mulut ikan didesain untuk mampu menangkap mangsa walaupun ukurannya lebih besar dari ukuran tubuhnya sendiri. Mulut ini juga dilengkapi dengan gigi yang panjang dan melengkung ke arah tengkorak sehingga mangsa yang tertangkap tidak mudah terlepas. Pada beberapa ikan memiliki pewarnaan abu-abu keperakan atau hitam, sedangkan pada jenis crustacea cenderung merah cerah (Nybakken, 1982).

Ada bebarapa hipotesis yang menjelaskan keragaman biota laut dalam, salah satunya yaitu ”hipotesis luas”. Hipotesis ini memberikan penjelasan tentang meningkatnya keragaman biota dengan meningkatnya kedalaman. Hal ini didasari adanya korelasi positif antara jumlah spesies dengan luas. Keragaman laut dalam tertinggi karena laut dalam merupakan habitat bahari yang paling luas. Namun hal ini hanya berlaku di Laut Atlantik, sedangkan di Laut Pasifik tidak demikian. Di Laut Pasifik kedua komponen keragaman (kepadatan spesies dan kelimpahan nisbi) terdapat paling tinggi di kedalaman pertengahan zona batial.

2.2 Unit Penangkapan Bubu 2.2.1 Klasifikasi bubu

Bubu digolongkan ke dalam static gear, yaitu alat penangkap ikan yang pengoperasiannya bersifat pasif (Sainsbury, 1996). Menurut von Brandt (1984) bubu termasuk ke dalam kelompok perangkap, yaitu alat penangkap ikan yang menghadang arah ruaya ikan.

Berdasarkan cara pengoperasiannya dikenal tiga macam bubu, yaitu bubu dasar (stationary fish pots), bubu apung (floating fish pots) dan bubu hanyut (drifting fish pots) (Subani dan Barus, 1989). Sainsbury (1996), membagi bubu ke dalam dua


(21)

kelompok yaitu: inshore potting dan offshore potting. Inshore potting biasanya dioperasikan di daerah estuaria, teluk hingga perairan dengan kedalaman 75 m. Offshore potting merupakan bubu yang dioperasikan untuk perairan dalam hingga mencapai kedalaman 730 m.

2.2.2 Deskripsi dan konstruksi bubu

Bubu adalah alat penangkap ikan yang didesain untuk menangkap berbagai jenis ikan dan crustacea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan. Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya dioperasikan di dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai. Dalam pengoperasiannya bisa diberi umpan atau tidak. Bubu dilengkapi dengan tali pelampung untuk menghubungkan bubu dengan pelampung. Pelampung berfungsi untuk menunjukkan posisi pemasangan bubu (Nédéléc et al. 1990).

Bentuk bubu bermacam- macam, masing-masing daerah memiliki bentuk yang berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan kondisi perairan tempat bubu dioperasikan dan target tangkapan yang diinginkan. Bentuk bubu yang ada antara lain: bujur sangkar (cages), segi banyak, silinder (cylindrical), bulat setengah lingkaran, dan segitiga memanjang (Subani dan Barus, 1989).

Pada umumnya bubu disusun oleh rangka (frame), badan (body), dan mulut (funel). Rangka biasanya terbuat dari bahan yang kuat seperti lempengan besi, besi behel, bambu atau kayu yang bentuknya disesuaikan dengan konstruksi bubu yang diinginkan. Rangka berfungsi untuk mempertahankan bentuk bubu selama pengoperasian di laut. Badan adalah bagian bubu yang berbentuk rongga tempat ikan terkurung yang biasanya terbuat dari bahan anyaman kawat, jaring atau bambu. Mulut merupakan lubang tempat masuknya ikan ke dalam bubu. Jumlah mulut, ukuran, dan bentuk mulut bubu bervariasi disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Bentuk konstruksi mulut bubu pada umumnya mengecil ke arah dalam. Konstruksi mulut yang demikian akan menyebabkan ikan yang sudah berada di dalam badan tidak dapat keluar dari bubu (Subani dan Barus, 1989). Pada beberapa bubu terkadang juga dilengkapi dengan pintu dan tempat umpan.


(22)

2.2.3 Metode pengoperasian bubu

Prinsip pengoperasian bubu yaitu dipasang secara pasif menghadang dan memerangkap ikan. Hal-hal yang membuat ikan tertarik pada bubu khususnya pada bubu yang tidak menggunakan umpan antara lain (FernÖ et al. 1994):

(1) Pergerakan acak ikan,

(2) Menganggap bubu sebagai tempat istirahat dan berlindung, (3) Tingkah laku sosial interspesies,

(4) Pemangsaan,

(5) Mencari pasangan (reproduksi).

Martasuganda (2003) menambahkan bahwa secara umum ikan masuk ke dalam bubu karena faktor- faktor berikut:

(1) Mencari makan,

(2) Mencari tempat berlindung, (3) Mencari tempat beristirahat, (4) Sifat thigmotaxis ikan.

Dalam pengoperasiannya bubu ada yang menggunakan umpan ataupun tanpa umpan. Penggunaan umpan pada bubu bertujuan untuk menarik perhatian ikan sehingga ikan terangsang memasuki bubu untuk mencari makan. Umpan yang baik bersifat: efektif menarik perhatian ikan (warna, bentuk, bau atau aspek lainnya), mudah dipasang di dalam bubu, tahan lama di dalam air, harganya terjangkau, dan mudah diperoleh.

Metode pengoperasian bubu ada dua cara yaitu sistem tunggal dan sistem rawai (Gambar 2). Masing- masing cara disesuaikan dengan kedalaman pemasangan, jarak pemasangan, dan lokasi pemasangan (Sainsbury, 1996). Pada metode pengoperasian bubu sistem tunggal pada tali utama (main line) hanya dipasang satu bubu, sedangkan pada sistem rawai, satu tali utama dapat dipasang dua atau lebih bubu.


(23)

Gambar 2 Metode pengoperasian bubu (a) sistem tunggal dan (b) sistem rawai

Adapun tahapan dalam pengoperasian bubu secara umum ada 4 tahap yaitu sebagai berikut (Sainsbury, 1996):

(1) Pemasangan umpan

Pada perikanan bubu yang menggunakan umpan, sebelum bubu dipasang ke dalam perairan (fishing ground) umpan harus dipasang terlebih dahulu dalam bubu. Posisi umpan harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu menarik perhatian ikan baik dari bau maupun bentuknya. Biasanya umpan dipasang di tengah-tengah bubu, digantungkan dengan tali atau tempat umpan.

(2) Pemasangan bubu (setting)

Bubu yang telah siap diturunkan satu demi satu sesuai dengan metode yang digunakan (sistem rawai atau tunggal), baik dengan tangan maupun alat bantu berupa mechanical line hauler. Sebagai penanda posisi pemasangan pada bubu dilengkapi dengan pelampung. Hal ini akan memudahkan nelayan dalam menemukan kembali bubunya.

(3) Perendaman bubu (soaking)

Lama perendaman bubu bervariasi tergantung dari jenis dan tingkah laku dari ikan yang akan ditangkap. Lama perendaman bubu berkisar antara beberapa jam sampai beberapa hari.


(24)

(4) Pengangkatan bubu (hauling)

Proses hauling pada bubu dapat dilakukan dengan tangan atau alat bantu (disesuaikan dengan ukuran bubu dan kedalaman pemasangan). Penggunaan alat bantu akan mempercepat dan mengefisienkan tenaga selama proses hauling. Setelah bubu sampai di atas kapal, ikan dikeluarkan dan dilakukan penanganan, misalnya disimpan di tempat penyimpanan.


(25)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Pembuatan alat tangkap bubu laut dalam dan mechanical line hauler dilakukan di Laboratorium Teknologi Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB pada bulan Juli 2005. Pengoperasian bubu dan pengambilan data dilaksanakan di Teluk Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat yang dimulai dari bulan Juli hingga Agustus 2005.

3.2 Alat

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan bubu laut dalam yaitu: gergaji besi, mesin las, alat pembengkok besi, meteran, palu dan penggaris siku. Peralatan penelitian selama di lapangan antara lain: unit penangkapan bubu laut dalam, mechanical line hauler, peta laut Teluk Palabuhanratu, penggaris, timbangan, GPS, fish finder dan alat dokumentasi.

3.2.1 Unit penangkapan bubu laut dalam (1) Alat tangkap bubu laut dalam

Proses pembuatan alat tangkap bubu laut dalam (Gambar 3) dibagi menjadi beberapa tahapan pengerjaan yaitu:

a) Tahap pembuatan desain bubu laut dalam

Tahap pembuatan desain meliputi beberapa aspek yaitu menentukan tipe bubu, ukuran, baha n rangka, bahan jaring (jenis, ukuran, warna, dan lain- lain), tali temali (tali utama, tali cabang), spesifikasi pemberat dan pelampung. Bubu laut dalam yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk trapesium berukuran 80 cm x 40 cm x 50 cm dengan panjang 120 cm. Bubu dilengkapi dengan dua buah funnel berukuran 15 cm x 10 cm serta pintu berukuran 40 cm x 30 cm. Pintu berfungsi untuk mengeluarkan hasil tangkapan dari dalam bubu. Rangka terbuat dari bahan besi beton berdiameter 10 mm. Bahan badan jaring adalah polyethilene (PE) dengan mesh size 1,91 cm ( ¾ inci ) berwarna hijau tua.


(26)

b) Tahap pembuatan rangka

Penyambungan antar bagian rangka dilakukan dengan pengelasan. Hal ini dimaksudkan agar bubu dalam kondisi yang kuat dan tidak mudah mengalami kerusakan. Untuk menghindari proses pengkaratan rangka bubu dicat dengan warna hitam.

c) Tahap pemasangan jaring pada badan dan funnel

Pemasangan jaring ke dalam rangka diawali dengan memasang jaring pada badan kemudian pemasangan pada bagian funnel. Untuk mengikatkan badan jaring pada rangka digunakan tali polyamida (PA) multifilamen.

d) Tahap pemasangan pelampung dan tempat umpan

Pemasangan pelampung diletakkan di masing- masing sudut bubu. Sedangkan tempat umpan dibuat dari bahan jaring PE dengan ukuran 20 x 15 cm yang dipasang di bagian bawah pintu (di tengah-tengah bubu). Bubu hasil rancangan yang telah siap digunakan seperti ditunjukkan pada Gambar 4.


(27)

Gambar 4 Alat tangkap bubu yang digunakan dalam penelitian

(2) Kapal

Kapal motor yang digunakan dalam operasi penangkapan terbuat dari kayu dengan dimensi sebagai berikut: LOA = 11 m, B = 2,3 m dan d = 1,5 m (Gambar 5).

Kapal tersebut termasuk inboard engine, dengan mesin berkekuatan 33 PK berbahan bakar solar. Kapal ini merupakan kapal transpor yang digunakan nelayan bagan untuk pulang pergi mengangkut hasil tangkapan bagan.


(28)

Gambar 5 Desain kapal yang digunakan dalam penelitian

(c) Alat bantu penangkapan

Alat bantu penangkapan yang digunakan selama penelitian yaitu mechanical line hauler (Gambar 7). Alat ini digunakan untuk membantu proses pengoperasian bubu. Komponen alat terdiri atas mesin penggerak, pereduksi putaran, dan penarik tali. Sebagai mesin penggerak digunakan motor berkekuatan 5,5 PK yang berbahan bakar bensin. Pereduksi putaran berfungsi untuk mengubah jumlah putaran yang dihasilkan mesin pengerak sesuai dengan yang dikehendaki. Bagian ini tersusun atas empat buah gear (roda bergigi) yang memiliki jumlah mata gigi yang berbeda-beda (Gambar 6). Bagian penarik tali merupakan bagian alat dimana tali nantinya akan tertarik. Arah tertariknya tali berlawanan dengan arah perputaran jarum jam.


(29)

Gambar 6 Desain mechanical line hauler


(30)

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah experimental fishing yaitu mengoperasikan secara langsung unit penangkapan bubu pada beberapa lokasi penangkapan yang telah ditentukan (Lampiran 1). Pengoperasian bubu dengan sistem rawai, yaitu pada tali utama dipasang 5 bubu sekaligus, dimana jarak antara satu bubu dengan bubu lainnya 40 m (Gambar 8). Penentuan posisi setting dilakukan secara acak pada kedalaman pengoperasian 150 – 250 m yang mewakili zona fotik dan zona afotik. Zona fotik merupakan bagian dari lingkungan bahari yang dapat diterangi oleh cahaya matahari yang mencapai kedalaman 200 m. Zona afotik merupakan bagian dari lingkungan bahari yang terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi cahaya matahari di laut terbuka dan lebih dalam dari paparan-paparan benua, yaitu lebih dari 200 m. Pemasangan bubu dilakukan sebanyak 5 kali ulangan untuk masing- masing zona fotik dan afotik dengan rincian sebagai berikut:

1. Trip ke-1, melakukan setting pada lokasi penempatan bubu.

2. Trip ke-2, melakukan hauling dan setting kembali pada masing- masing lokasi. 3. Trip ke-3, melakukan hauling dan setting kembali pada masing- masing lokasi. 4. Trip ke-4, melakukan hauling dan setting kembali pada masing- masing lokasi. 5. Trip ke-5, melakukan hauling dan setting kembali pada masing- masing lokasi. 6. Trip ke-6, melakukan hauling pada semua lokasi penempatan bubu.

Adapun tahapan pengoperasian bubu terdiri dari persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, pemasangan bubu, perendaman, dan pengangkatan bubu. Persiapan meliputi pembelian umpan dan perbekalan yang diperlukan. Umpan yang digunakan dalam penelitian yaitu ikan pari (Trygone sephen) dan cucut (Carcharhinus limbatus). Pemberian umpan bertujuan untuk menarik perhatian ikan memasuki bubu. Pemasangan bubu dimulai dengan penurunan pemberat (batu/jangkar), bubu dan pelampung tanda. Selama pemasangan kapal bergerak ke arah darat dengan kecepatan 4 knots. Bubu yang dipasang pagi hari dilakukan pengangkatan sore harinya sebaliknya bubu yang dipasang sore hari akan diangkat pada pagi hari berikutnya. Setelah hasil tangkapan dikeluarkan dan umpan telah diganti, bubu siap dipasang kembali.


(31)

Gambar 8 Bubu pada saat dioperasikan

Pengambilan data primer dikelompokkan berdasarkan lokasi pemasangan bubu (zona fotik dan zona afotik) yang meliputi:

(1) Jenis dan jumlah hasil tangkapan bubu (2) Panjang dan berat hasil tangkapan bubu

(3) Kinerja bubu dan alat bantu penangkapan selama pengoperasian a) Kondisi bubu saat setting, di dasar dan hauling

b) Kecepatan setting dan hauling Data sekunder meliputi:

(1) Kondisi dan karakteristik perairan Teluk Palabuhanratu (2) Data lain yang menunjang penelitian

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Sumber daya ikan menyebar merata


(32)

3.4 Analisis Data 3.4.1 Uji kenormalan

Uji kenormalan yang digunakan adalah Uji Kolmogorov -Smirnov. Uji kenormalan bertujuan untuk melihat distribusi data hasil tangkapan.

Dasar pengambilan keputusan Uji Kolmogorov-Smirnov adalah :

(1) Jika nilai signifikansi < 0,05 maka tolak Ho, artinya distribusi data hasil tangkapan bubu menyebar tidak normal.

(2) Jika nilai signifikansi > 0,05 maka gagal tolak Ho, artinya distribusi data hasil tangkapan bubu menyebar normal.

3.4.2 Analisis ragam (ANOVA)

Analisis ragam ya ng digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Boer (2001) menyatakan RAL merupakan salah satu teknik penyidikan keragaman data penelitian dengan memperhatikan data klasifikasi (satu faktor) yang diamati. Faktor ini sering disebut perlakuan atau atribut. Dalam penelitian ini analisis ragam bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan lokasi pemasangan bubu (zona fotik dan zona afotik) terhadap hasil tangkapan.

Model RAL sebagai berikut: Yij =µ+τ iij ; i=1,2,...,p; j=1,2,...,ni

dengan Yij : nilai pengamatan hasil tangkapan bubu pada perlakuan ke-i ulangan

ke-j

µ

: pengaruh rata-rata umum

t

i : pengaruh perlakuan lokasi pemasangan bubu ke- i terhadap hasil

tangkapan bubu

e

ij : galat percobaan pada perlakuan ke- i ulangan ke-j

Asumsi yang harus dipenuhi oleh model di atas adalah: (1) µ bersifat tetap (konstan)

(2) e11,e12,…,epn terjadi secara acak dan bebas satu sama lain

(3) Nilai tengah e11,e12,…,epn sama dengan 0, konsekuensi dari asumsi


(33)

Hipotesis yang akan diuji melalui ANOVA tersebut dinyatakan sebagai berikut:

H0 :

t

1 =

t

2 = 0; artinya bahwa perlakuan lokasi pemasangan bubu tidak

memberikan perbedaan pengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan bubu H1 : sedikitnya ada satu

t

i ? 0; artinya perlakuan lokasi pemasangan bubu

memberikan perbedaan pengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan bubu Kaidah keputusan yang harus diambil adalah sebagai berikut:

(1) Jika F > Ftabel ; maka tolak H0

(2) Jika F < Ftabel; maka gagal tolak H0

atau

(1) Jika nilai signifikansi < 0,05; maka tolak H0

(2) Jika nilai signifikansi > 0,05; maka gagal tolak H0

3.4.3 Analisis keanekaragaman

Menurut Krebs (1989) indeks yang menggambarkan keseimbangan komunitas dalam suatu ekosistem adalah indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominasi (C).

(1) Indeks keanekaragaman (Shanon-Winener Index)

Indeks keanekaragaman adalah ukuran yang menunjukkan kekayaan jenis komunitas organisme dilihat dari jumlah spesies dalam suatu area beserta jumlah individu dalam setiap spesiesnya.

Persa maan indeks keanekaragaman sebagai berikut:

= = s i pi pi H 1 ln '

dengan H’ : indeks keanekaragaman s : jumlah spesies yang ditemukan

pi : proporsi jumlah individu pada spesies tersebut Kriteria indeks keanekaragaman adalah:

H’ = 2 : keanekaragaman rendah 2 < H’ < 3 : keanekaragaman sedang H’ = 3 : keanekaragaman tinggi


(34)

(2) Indeks keseragaman (Evennes Index)

Indeks keseragaman menunjukkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas.

Persamaan indeks keseragaman sebagai berikut:

s H E ln ' =

dengan E : indeks keseragaman

s : jumlah spesies yang ditemukan Kriteria indeks keseragaman adalah:

0 = E < 0,5 : komunitas tertekan 0,5 = E < 0,75 : komuniats labil 0,75 = E < 1 : komunitas stabil

(3) Indeks dominasi (Simpson’s Index)

Indeks dominasi menunjukkan ada tidaknya spesies yang mendominasi ekosistem. Terdapat hubungan yang erat antara keseragaman dan dominasi. Apabila nilai indeks keseragaman kecil menandakan adanya dominasi.

Persamaan indeks dominasi sebagai berikut:

= = s i pi C 1 2

dengan C : indeks dominasi

s : jumlah spesies yang ditemukan Kriteria indeks dominasi adalah:

0 = C < 0,5 : dominasi rendah 0,5 = C < 0,75 : dominasi sedang 0,75 = C < 1 : dominasi tinggi


(35)

4 HASIL PENELITIAN

Kinerja Bubu Laut Dalam dan Alat Bantu Penangkapan

Alat tangkap bubu terdiri dari rangka (frame), badan (body), mulut (funnel), pintu dan tempat umpan. Bubu yang digunakan berbentuk trapesium memanjang berdimensi 80 cm x 40 cm x 50 cm dan panjang 120 cm. Bubu dilengkapi kaki pada keempat sudutnya dengan panjang 5 cm. Bentuk konstruksi bubu yang demikian bertujuan agar pengaruh arus dan gelombang dapat dikurangi. Teluk Palabuhanratu merupakan bagian dari Samudera Hindia yang memiliki arus dan gelombang yang besar. Pengaruh arus dan gelombang dapat mengakibatkan bubu tidak stabil sehingga dimungkinkan posisi bubu pada saat menyentuh dan berada di dasar perairan tidak sempurna. Rangka bubu terbuat dari besi beton dimaksudkan selain memberikan kekuatan dan bentuk bubu juga berfungsi sebagai pemberat. Bentuk bubu ini kurang efisien, karena ukurannya yang cukup besar dan permanen sehingga memakan banyak tempat di atas dek kapal (Lampiran 5.d). Akibatnya nelayan tidak dapat membawa bubu dalam jumlah banyak.

Mulut bubu merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan ikan dapat tertangkap. Tipe mulut yang digunakan berbentuk limas terpancung ke arah dalam dengan ukuran 15 cm x 10 cm. Bentuk mulut yang demikian mengakibatkan ikan dan udang yang sudah masuk ke dalam bubu tidak dapat meloloskan diri. Pintu yang berukuran 40 cm x 30 cm berfungsi untuk mengeluarkan hasil tangkapan dari dalam bubu.

Umpan harus dibungkus agar posisinya tetap ditengah-tengah bubu saat pemasangan maupun selama perendaman dan tidak mudah habis. Penggunaan umpan dimaksudkan untuk memikat ikan dan udang memasuki bubu. Jenis umpan yang digunakan yaitu ikan pari (Trygone sephen) dan cucut (Carcharhinus limbatus). Kedua jenis ikan ini diperkirakan memiliki kandungan zat kimia yang mampu memikat ikan dan mudah dijumpai di tempat pelelangan ikan (TPI).

Bubu dilengkapi dengan pelampung yang ditempatkan pada keempat sudut bubu agar posisi bubu stabil pada saat proses pemasangan dan tidak terbalik saat


(36)

mencapai dasar perairan. Pelampung ini terbuat dari bahan PVC yang memiliki harga relatif murah dan mudah didapat. Pada saat penelitian pelampung mengalami pengerutan, hal ini menunjukkan bahwa tekanan yang dialami pelampung di dasar perairan sangat besar. Pelampung tanda berfungsi untuk memudahkan di dalam pencarian bubu pada saat pengangkatan.

Pengoperasian bubu secara rawai lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan sistem tunggal. Pada sistem rawai bubu dapat dirangkai dalam jumlah tertentu untuk setiap pemasangan sehingga dapat menghemat pemakaian tali utama. Disamping itu juga dapat menghemat waktu baik pada saat pemasangan maupun pengangkatan. Namun konsekuensinya beban saat pengangkatan akan lebih berat. Berat rangkaian (rawai) bubu untuk pengoperasian di zona fotik sebesar 72,96 kgf (di udara 209 kgf) dan untuk pengoperasian di zona afotik sebesar 72,10 kgf (di udara 208 kgf). Masing-masing unit bubu memiliki berat 20 kg. Biasanya kapal akan dilengkapi dengan alat bantu untuk meringankan proses pengangkatan bubu.

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pemasangan bubu berkisar 5 – 15 menit. Selama pemasangan, kapal berjalan dengan kecepatan 4 knots yang bertujuan agar posisi bubu saat mencapai dasar perairan tidak saling tumpang tindih. Proses pengangkatan bubu memerlukan waktu berkisar 20 – 30 menit dengan alat bantu. Kecepatan penarikan tali utama oleh mechanical line hauler semakin meningkat seiring dengan berkurangnya beban bubu yang ditarik. Kecepatan tertinggi pada penarikan bubu ke-3 menuju bubu ke-5 (Gambar 9). Kecepatan tarikan pada zona afotik cenderung sama pada setiap urutan bubu. Kecepatan rata-rata pada masing-masing urutan bubu yaitu 0,22 m/s dari bubu ke-1 menuju bubu ke-2, 0,21 m/s dari bubu ke-2 menuju bubu ke-3 dan dari bubu ke-3 menuju ke-4, serta 0,30 m/s dari bubu ke-4 menuju bubu ke-5.

Pemakaian alat bantu memiliki beberapa keuntungan yaitu efisiensi waktu dan biaya operasi. Pengangkatan bubu dengan cara manual memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 2,5 jam dan membutuhkan tenaga delapan orang nelayan. Biaya operasi dapat ditekan dengan pengurangan tenaga nelayan. Pengoperasian bubu dengan mechanical line hauler membutuhkan tiga orang nelayan yang


(37)

masing-masing bertugas mengangkat dan menurunkan bubu, mengoperasikan mechanical line hauler dan merapikan tali utama (mengeluarkan hasil tangkapan). Konsumsi bensin untuk setiap trip sekitar 2 liter. Kendala yang dialami selama penelitian yaitu rusaknya sistem pengapian mesin penggerak.

0 0.1 0.2 0.3 0.4

I - II II - III III - IV IV - V

Urutan Bubu

Kecepatan tarikan (m/s)

zona fotik zona afotik

Gambar 9 Kecepatan penarikan tali utama dengan mechanical line hauler bedasarkan urutan bubu

Komposisi Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan total selama pengoperasian berjumlah 677 ekor yang terdiri dari delapan famili, yaitu Pandalidae, Majidae, Portunidae, Palinuridae, Grapsidae, Ophidiidae, Moridae, dan Synaphobranchidae. Selain itu juga ditemukan jenis ikan yang belum teridentifikasi. Komposisi hasil tangkapan dapat dilihat pada Tabel 3. Jenis yang banyak tertangkap adalah Heterocarpus hayastii yaitu 417 ekor dari 677 ekor total hasil tangkapan (60,6 %). Lamoha sp. tertangkap sebanyak 164 ekor atau sekitar 24,22 % dari total hasil tangkapan. Heterocarpus sp. tertangkap sebanyak 55 ekor atau sekitar 8,12 %. Selain itu juga ditemukan 41 ekor dari berbagai jenis udang dan ikan lainnya dengan komposisi 6,06 %.


(38)

Tabel 3 Jenis dan komposisi hasil tangkapan bubu pada masing-masing lokasi pemasangan bubu.

No. Nama Latin

Zona fotik Zona afotik Jumlah (ekor) Presentasi (%) Jumlah (ekor) Presentasi (%)

1 Heterocarpus hayastii 176 47,96 241 77,74

2 Heterocarpus sp. 30 8,17 25 8,06

3 Lamoha sp. 148 40,33 16 5,16

4 Plesionika sp. 9 2,45 12 3,87

5 Synaphobranchus kaupii 2 0,54 6 1,94

6 Macrocheira sp. 0 0,00 2 0,65

7 Gadella sp. 1 0,27 2 0,65

8 Grapsidae 1 0,27 2 0,65 9 Palinuridae 0 0,00 1 0,32 10 Ophidiidae 0 0,00 1 0,32 11 Ikan merah 0 0,00 1 0,32 12 Portunidae 0 0,00 1 0,32

Total 367 100,00 310 100 ,00

Hasil tangkapan bubu yang dioperasikan di zona fotik sebanyak 367 ekor. Heterocarpus hayastii merupakan jumlah terbanyak yang tertangkap oleh bubu, yaitu 176 ekor, sedangkan Lamoha sp. yang tertangkap sebanyak 148 ekor. Komposisi masing-masing jenis yaitu Heterocarpus hayastii (47,96 %), Lamoha sp. (40,33 %), Heterocarpus sp (8,17 %), dan ikan lainya sebesar 3,54 %.

Hasil tangkapan bubu pada zona afotik didominasi oleh Heterocarpus hayastii dengan jumlah 241 ekor dari 310 ekor total hasil tangkapa n bubu. Komposisi masing-masing jenis yaitu Heterocarpus hayastii sebesar 77,74 %, Heterocarpus sp. sebesar 8,06 %, Lamoha sp.sebesar 5,16 % dan sisanya 9,03 % terdiri atas hasil tangkapan lainnya. Pada zona afotik ditemukan beberapa jenis ikan yang sebelumnya tidak ditemukan di zona fotik.


(39)

0 50 100 150 200 250 300

Heterocarpus hayastii

Heterocarpus sp. Lamoha sp. lainnya

Jenis hasil tangkapan

Jumlah (ekor)

zona fotik zona afotik

Gambar 10 Komposisi hasil tangkapan dominan pada zona fotik dan afotik

Pengukuran panjang terhadap Heterocarpus hayastii pada zona fotik diperoleh kisaran panjang 9,6 – 10,6 cm dengan rata-rata 10,2 cm. Sebanyak 58 ekor jenis ini tertangkap dengan berat berkisar 8,4 – 10,3 g dan rata-rata 8,4 g. Ukuran jenis ini yang tertangkap baik pada zona fotik maupun afotik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Heterocarpus hayastii yang tertangkap pada zona afotik memilik i panjang 9,8 – 11,2 cm. Sebaran panjang jenis ini menyebar dengan rata-rata 10,1 cm. Panjang maksimum yang tertangkap yaitu 15 cm. Adapun beratnya berkisar 6,3 – 9,2 g dengan rata-rata 8,6 g.

0 20 40 60 80 100

4.1-5.1 5.2-6.2 6.3-7.3 7.4-8.4 8.5-9.59.6-10.610.7-11.711.8-12.812.9-13.9

Selang panjang (cm)

Jumlah individu (ekor)


(40)

0 20 40 60 80 100 120 140

2.3-3.7 3.8-5.2 5.3-6.7 6.8-8.2 8.3-9.7 9.8-11.211.3-12.712.8-14.214.3-15.7

Selang panjang (cm)

Jumlah individu (ekor)

Gambar 12 Sebaran panjang Heterocarpus hayastii di zona afotik

0 2 0 4 0 6 0 8 0

0.4-2.3 2.4-4.3 4.4-6.3 6.4-8.3 8.4-10.310.4-12.312.4-14.314.4-16.316.4-18.3

Selang berat (g)

Jumlah individu (ekor)

Gambar 13 Sebaran berat Heterocarpus hayastii di zona fotik

0 20 40 60 80 100

0.3-3.2 3.3-6.2 6.3-9.2 9.3-12.212.3-15.215.3-18.2

18.3-21.2321.3-24.224.3-27.2

Selang berat (g)

Jumlah individu (ekor)


(41)

Pada zona fotik Heterocarpus sp. paling banyak terta ngkap pada selang panjang 9,4 – 10,4 cm. Panjang maksimum yang tertangkap mencapai 11,5 cm dengan rata-rata 9,3 cm. Jenis ini memiliki berat berkisar 3,9 – 5,6 g dengan rata-rata-rata-rata 5,8 g. Sebanyak 14 ekor jenis Heterocarpus sp. yang tertangkap pada zona afotik memiliki panjang 10,5 – 11,2 cm dengan berat berkisar 7,3 – 11,3 g. Panjang dan berat rata-ratanya yaitu 10,9 cm dan 9,6 g. Ukuran jenis ini yang tertangkap pada zona fotik lebih kecil dibandingkan dengan yang tertangkap pada zona afotik.

0 2 4 6 8 1 0 1 2 1 4 1 6 1 8

5 - 6

6.1 - 7.1 7.2 - 8.2 8.3 - 9.3 9.4 -10.4 10.5 - 11.5

Selang panjang (cm)

Jumlah individu (ekor)

Gambar 15 Sebaran panjang Heterocarpus sp. di zona fotik

0 2 4 6 8 10 12 14 16

9.7-10.4 10.5-11.2 11.3-12 12.1-12.8 12.9-13.6 13.7-14.4

Selang panjang (cm)

Jumlah individu (ekor)


(42)

0 2 4 6 8 10

0.3-2 2.1-3.8 3.9-5.6 5.7-7.4 7.5-9.2 9.3-11

Selang berat (g)

Jumlah individu (ekor)

Gambar 17 Sebaran berat Heterocarpus sp. di zona fotik

0 2 4 6 8 10 12 14 16

3.2-7.2 7.3-11.3 11.4-15.4 15.5-19.5 19.6-23.6 23.7-27.7

Selang berat (g)

Jumlah individu (ekor)

Gambar 18 Sebaran berat Heterocarpus sp. di zona afotik

Sebaran panjang Lamoha sp. pada zona fotik menyebar hampir seragam. Sebanyak 31 ekor tertangkap dengan panjang 5,1 – 5,6 cm. Jenis ini memiliki berat berkisar 1,8 – 16,1 g. Rata-rata panjang dan berat Lamoha sp. adalah 4,3 cm dan 42,3 g. Pengukuran terhadap Lamoha sp. pada zona afotik memperlihatkan paling banyak tertangkap dengan panjang 2 – 2,7 cm dan berat 2,1 – 20,9 g. Adapun rata-rata panjang dan beratnya adalah 3,7 cm dan 34,4 g. Ukuran jenis ini yang tertangkap di zona fotik lebih besar dibandingkan yang tertangkap di zona afotik.


(43)

0 5 10 15 20 25 30 35

1.5-2 2.1-2.6 2.7-3.2 3.3-3.8 3.9-4.4 4.5-5 5.1-5.6 5.7-6.2 6.3-6.8 Selang panjang (cm)

Jumlah individu (ekor)

Gambar 19 Sebaran panjang Lamohasp. di zona fotik

0 1 2 3 4 5 6 7 8

2-2.7 2.8-3.5 3.6-4.3 4.4-5.1 5.2-5.9

Selang panjang (cm)

Jumlah individu (ekor)

Gambar 20 Sebaran panjang Lamohasp. di zona afotik

0 10 20 30 40 50

1.8-16.116.2-30.530.6-44.9 45-59.359.4-73.773.8-88.188.2-102.5102.6-116.9117-131.3 Selang berat (g)

Jumlah individu (ekor)


(44)

0 2 4 6 8 1 0 1 2

2.1-20.9 21-39.8 39.9-58.7 58.8-77.6 77.7-96.5

Selang berat (g)

Jumlah individu (ekor)

Gambar 22 Sebaran berat Lamoha sp. di zona afotik

4.3 Keragaman Hasil Tangkapan

Pengamatan keragaman dilakukan untuk melihat kekayaan jenis yang ditemukan dilihat dari jumlah spesies yang ditemukan, kestabilan komunitas dan dominasi antar spesies. Analisis keragaman yang meliputi indeks keanekaragaman (H’), keseragama n (E) dan dominasi (C) dapat dilihat pada Gambar 23.

Hasil tangkapan pada zona fotik lebih beragam dibandingkan dengan zona afotik. Keanekaragaman hasil tangkapan pada zona fotik rendah, yaitu 1,07. Keanekaragaman jenis menunjukkan penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman pemasangan bubu. Keanekaragaman tertinggi pada kedalaman 148 m. Pada zona afotik indeks keanekaragaman sebesar 0,93 dan berfluktuasi berdasarkan kedalaman. Keanekaragaman hasil tangkapan mengalami penurunan pada kedalaman 230 m da n mulai meningkat pada kedalaman 250 m. Beberapa jenis ikan laut dalam mulai tertangkap bubu pada kedalaman 210 m. Jenis-jenis ikan ini belum tertangkap pada zona fotik. Diperkirakan terjadi trend kenaikan keanekaragaman pada kedalaman 150-200 m. Daerah ini merupakan wilayah peralihan antara zona fotik dan afotik, yaitu pada kedalaman 200 m.

Hasil tangkapan pada zona fotik lebih seragam dibandingkan zona afotik. Keseragaman hasil tangkapan baik pada zona fotik maupun afotik termasuk kategori sedang dan rendah dengan masing-masing sebesar 0,55 dan 0,37. Keseragaman


(45)

terendah pada zona fotik ditemukan pada kedalaman 150 m, dimana hasil tangkapan didominasi oleh Heterocarpus hayastii sebanyak 86 ekor. Dominasi jenis ini mengakibatkan ekosistem mengalami tekana n ekologis. Keseragaman pada zona afotik mengalami fluktuasi berdasarkan kedalaman. Keseragaman tertinggi terjadi pada kedalaman pemasangan bubu 230 m. Heterocarpus hayastii juga mendominasi hasil tangkapan di zona afotik.

Spesies yang mendominasi hasil tangkapan yaitu Heterocarpus hayastii masing-masing sebesar 0,40 pada zona fotik dan 0,60 pada zona afotik. Dominasi pada zona fotik termasuk rendah sedangkan pada zona afotik termasuk kategori sedang. Indeks dominasi berbanding terbalik dengan indeks keseragaman. Keseragaman yang tinggi cenderung menunjukkan kecilnya peluang jenis tertentu mendominasi hasil tangkapan.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

H' C E

Aspek keragaman

Indeks

zona fotik zona afotik

Keterangan:

H’ : indeks keanekaragaman C : indeks dominasi

E : indeks keseragaman

Gambar 23 Indeks keanekaragaman, dominasi dan keseragaman hasil tangkapan bubu di zona fotik dan afotik


(46)

Kedalaman zona fotik (m) 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

145 148 150 160 170 210 220 230 240 250

Kedalaman zona afotik (m)

Indeks

Gamber 24 Indeks keanekaragaman hasil tangkapan bubu berdasarkan kedalaman

Kedalaman zona fotik (m) 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

145 148 150 160 170 210 220 230 240 250

Kedalaman zona afotik (m)

Indeks

Gamber 25 Indeks keseragaman hasil tangkapan bubu berdasarkan kedalaman

Kedalaman zona fotik (m) 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

145 148 150 160 170 210 220 230 240 250

Kedalaman zona afotik (m)

Indeks

Gamber 26 Indeks dominasi hasil tangkapan bubu berdasarkan kedalaman


(47)

4.4 Pengaruh Lokasi Pemasangan Bubu Terhadap Hasil Tangkapan 4.4.1 Hasil tangkapan Heterocarpus hayastii

Hasil uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov terhadap hasil tangkapan Heterocarpus hayastii menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,053. Hal ini berarti hasil tangkapan Heterocarpus hayastii menyebar normal. Hasil uji ANOVA memberikan nilai F lebih kecil dari Fcrit (5,32) yaitu sebesar 0,07. Hal ini berarti pengaruh lokasi pemasangan bubu terhadap hasil tangkapan Heterocarpus hayastii tidak ada perbedaan nyata.

4.4.2 Hasil tangkapan Lamoha sp.

Hasil uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov terhadap hasil tangkapan Lamoha sp. menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,061. Hal ini hasil tangkapan Lamoha sp. menyebar normal. Hasil uji ANOVA memberikan nilai F lebih besar dari Fcrit (5,32) yaitu sebesar 14,12. Hal ini berarti pengaruh lokasi pemasangan bubu terhadap hasil tangkapan Lamoha sp berbeda nyata. Pemasangan bubu pada zona fotik memberikan jumlah hasil tangkapan yang lebih besar.

4.4.3 Hasil tangkapan Heterocarpus sp.

Hasil uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov terhadap hasil tangkapan Heterocarpus sp. menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,20. Hal ini berarti berarti hasil tangkapan Heterocarpus sp. menyebar normal. Hasil uji ANOVA memberikan nilai F lebih kecil dari Fcrit (5,32) yaitu sebesar 0,07. Hal ini berarti pengaruh lokasi pemasangan bubu terhadap hasil tangkapan Heterocarpus sp. tidak berbeda nyata.

4.4.4 Hasil tangkapan ikan lainnya

Hasil tangkapan ikan lainnya tidak dilakukan uji kenormalan karena terdiri dari beberapa jenis ikan yang berbeda. Masing- masing ikan memiliki perbedaan bentuk dan ukuran tubuh serta karakteristik khusus lainnya. Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa pengaruh lokasi pemasangan bubu terhadap hasil tangkapan ikan lainnya tidak berbeda nyata. Keputusan yang diambil yaitu gagal tolak Ho.


(48)

Hasil uji statistik menunjukkan nilai F yang lebih kecil dari Fcrit (5,32) yaitu sebesar 0,33.


(49)

5 PEMBAHASAN

5.1 Unit Penangkapan Bubu

Selama penelitian bubu menunjukkan kinerja yang baik. Namun bentuk bubu yang permanen dan berukuran besar mengakibatkan terbatasnya jumlah bubu yang dapat dioperasikan oleh nelayan. Masih dimungkinkan dilakukan modifikasi bubu yaitu dengan memperkecil ukurannya mengingat sebagian besar hasil tangkapannya adalah jenis udang dan kepiting. Jenis ini tidak memerlukan ukuran badan bubu (body) yang besar untuk menampung hasil tangkapan tersebut. Pengurangan ukuran bubu memungkinkan penambahan jumlah bubu pada setiap rangkaian atau sistem rawai sehingga dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih luas. Selain itu dapat meningkatkan efisiensi biaya pembuatan. Biaya dapat ditekan dengan berkurangnya kebutuhan material pembuat bubu.

Pada saat hauling tali cabang terbelit pada tali utama. Hal ini disebabkan adanya beban yang besar berasal dari bubu dan pengaruh arus air. Kondisi demikian memungkinkan putusnya tali cabang atau tali utama. Kecepatan tarikan harus disesuaikan dengan kondisi tegangan tali utama sehingga peluang putusnya tali dapat dikurangi.

Penggunaan umpan sangat efektif dalam memikat ikan atau udang memasuki bubu. Pengoperasian bubu tanpa umpan memberikan hasil tangkapan yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada ikan ya ng tertangkap. Kandungan zat kimia yang terdapat dalam umpan baik ikan pari (Trygone sephen) maupun cucut (Carcharhinus limbatus) yang diduga memikat ikan yaitu lemak atau protein. Selama perendaman terjadi proses penguraian oleh bakteri sehingga menimbulkan zat kimia yang mampu terlarut dan menyebar di dalam air. Penggunaan umpan lebih efektif dengan adanya pengaruh arus air. Daya sebar zat kimia tersebut dapat menjangkau wilayah yang lebih luas dengan bantuan arus.

Berdasarkan Gambar 9 terjadi perubahan kecepatan tarikan oleh mechanical line hauler. Kecepatan tarikan bertambah seiring dengan berkurangnya beban tarikan. Selain beban dari bubu, arus juga memberikan pengaruh terhadap kecepatan tarikan.


(50)

Kecepatan arus yang lebih besar memberikan penambahan beban pada pengangkatan bubu. Hal ini dapat dilihat bahwa kecepatan tarikan bubu yang dioperasikan di zona afotik tidak menunjukkan perbedaan pada setiap urutan penarikan bubu.

Alat ini memiliki kelebihan dimana kecepatan putaran mesin dapat diatur untuk selanjutnya direduksi oleh bagian pereduksi. Perubahan kecepatan tersebut disesuaikan dengan kondisi tegangan tali utama. Pada saat beban bertambah akibat pengaruh arus putaran dikurangi untuk meminimalisasi putusnya tali utama.

Kendala yang terjadi dapat ditanggulangi dengan melakukan perawatan rutin baik bagian mesin penggerak maupun pereduksi putaran. Perawatan mesin penggerak dapat dilakukan seperti halnya perawatan pada mesin berbahan bakar bensin lainnya seperti pengecekan karburator, sistem perapian, dan penggantian oli mesin. Pemberian pelumas pada bagian pereduksi putaran terutama gear akan mengurangi gesekan, memperlancar putaran gear dan memperlambat proses keausan.

5.2 Komposisi Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan bubu laut dalam sebagian besar memiliki nilai ekonomis yang tinggi diantaranya dari famili Pandalidae dan Palinuridae untuk jenis udang dan lobster laut dalam, sedangkan untuk jenis ikan termasuk kelompok famili Ophidiidae, Moridae dan Synaphobranchidae. Beberapa jenis udang dari famili Pandalidae telah dikomersialisasikan dan dikonsumsi di Jepang (Sumino dan Iskandar,1993).

Penyebaran udang laut dalam sangat erat kaitannya dengan kedalaman suatu perairan. Setiap jenis menyenangi dan hidup pada kisaran kedalaman tertentu. Pada kedalaman kurang dari 400 m banyak dihuni oleh jenis udang yang berukuran kecil seperti Parapandalus serratitrons dan Plesionika longirostis. Jenis Heterocarpus leavigatus banyak tertangkap pada kedalaman lebih dari 400 m, sedangkan pada kedalaman lebih dari 500 m dihuni oleh jenis Heterocarpus gibbosus (King, 1986 diacu dalam Sumiono dan Isakandar, 1993). Hal ini memungkinkan terjadiya interaksi satu jenis udang dengan jenis lainnya, sehingga pada setiap lapisan kedalaman dihuni oleh beberapa jenis udang. Interkasi tersebut berupa fenomena migrasi vertikal organisme pada saat malam hari. Jenis Heterocarpus hayastii lebih


(51)

sering ditangkap oleh bubu yang direndam pada malam hari. Begitu juga halnya untuk ikan, lebih sering tertangkap pada pengangkatan bubu di pagi hari.

Heterocarpus hayastii ditemukan pada setiap kedalaman pemasangan bubu, yaitu 150 – 250 m. Jenis ini paling banyak ditemukan dan mendominasi ekosistem perairan Teluk Palabuhanratu. Keberadaan jenis ini dimungkinkan karena kondisi fisika kimia perairan masih mendukung untuk kehidupannya. Ketersediaan pakan dari wilayah di atasnya akan sangat mempengaruhi keberadaan organisme di suatu perairan, khususnya perairan laut dalam dimana sumber makanan berasal dari materi organik yang berasal dari kolom perairan di atasnya (Tyler, 2003). Ketersediaan pangan yang melimpah di wilayah ini mengakibatkan Heterocarpus hayastii dapat melangsungkan kehidupannya. Masuknya jenis udang ini ke dalam bubu untuk mencari makanan. Begitu juga halnya dengan jenis lainnya yaitu Heterocarpus sp. dan Plesionika sp. walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit. Jenis udang ini banyak ditemukan di beberapa laut dalam di dunia seperti Malaysia, Singapura, Australia dan perairan wilayah Indonesia timur (Lovett, 1981; Sumiono dan Iskandar,1993).

Famili Pandalidae merupakan jenis udang yang banyak hidup di perairan pantai yang bersubstrat lumpur atau berbatu. Selama masa perkembangan hidup di dasar perairan yang kaya akan makanan yaitu pada kedalaman 70 – 90 m. Heterocarpus sp. yang tertangkap oleh bubu pada zona fotik memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan pada zona afotik. Pada fase perkembangan dibutuhkan persedian makanan yang mencukupi. Jenis ini termasuk hewan karnivora yang memakan cacing polikaeta dan krus tasea lainnya.

Sistem reproduksinya famili ini hermaprodit protandri, yaitu organisme yang di dalam tubuhnya mempunyai gonad sehingga dapat mengadakan proses diferensiasi dari fase jantan ke fase betina. Proses diferensiasi gonad terjadi pada ukuran 90 - 120 mm. Pada udang jantan panjang maksimum mencapai 152 mm dan 192 mm untuk udang betina. Hasil tangkapan yang tertangkap masih dalam proses diferenisasi gonad. Sebagian besar udang yang tertangkap masih belum bertelur, hanya beberapa udang betina yang sedang bertelur tertangkap bubu.


(52)

Lamoha sp. lebih banyak tertangkap pada kedalaman pemasangan 160 – 170 m (zona fotik). Hal ini dimungkinkan kemampuan adaptasi terhadap tekanan hidrostatiknya sempit sehingga wilayah penyebarannya terbatas. Tertangkapnya Lamoha sp. pada zona afotik dimungkinkan merupakan proses menghindari pemangsa dengan berada pada lapisan yang lebih dalam. Jenis kepiting ini kurang ekonomis karena memiliki kandungan daging yang sangat sedikit. Namun belum ada informasi yang jelas mengenai kandungan kimia dan bahan aktif dari spesies ini yang dapat dimanfaatkan dalam bidang farmasi.

Synapobranchus kaupii (Kaup’s arrowtooth eel) yang termasuk ke dalam famili Synaphobranchidae merupakan jenis ikan yang paling banyak ditemukan selama penelitian. Famili ini banyak hidup pada wilayah batidemersal dengan kedalaman 236 – 3.200 m. Panjang maksimum yang dapat dicapai yaitu 100 cm. Jenis ini merupakan pemangsa bagi decapoda, natantia, amphiopoda, ikan kecil dan cephalopoda (Johnson, 1862). Jenis ini banyak ditemukan dalam bubu pada zona afotik yang diangkat pada pagi hari. Masuknya jenis ini ke dalam bubu adalah untuk mencari makan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukanya beberapa ekor udang di dalam perutnya. Kondisi ini sesuai dengan sifat famili Synaphobranchidae yang aktif mencari makan pada malam hari dengan jenis ini berperan sebagai predator di dalam ekosistem laut dalam (Johnson, 1862).

Pada zona afotik mulai ditemukan jenis ikan yang sebelumnya tidak ditemukan di zona fotik. Walaup un jumlahnya sangat sedikit tetapi mengindikasikan keberadaan sumberdaya ikan laut dalam di perairan Teluk Palabuhanratu. Hal ini selaras dengan penelitian sebelumnya di perairan Indonesia timur (perairan Tanimbar dan Laut Timor). Famili Ophidiidae paling sering tertangkap di perairan ini dan memiliki toleransi terhadap kedalaman hingga 1.000 m. Penyebaran sumberdaya ikan laut dalam di perairan tersebut tertinggi pada kedalaman 400 – 600 m, sedangkan terendah pada kedalaman 200 – 300 m (Junus et al. 1993). Famili Moridae menghuni wilayah perairan benthopelagis pada kedalaman 200 sampai 800 m dan agak melimpah pada bagian atas paparan (Vaillant, 1888). Selain itu masih ditemukan beberapa jenis kepiting dan lobster.


(53)

Heterocarpus hayastii sebagian besar tertangkap oleh bubu yang diangkat pada pagi hari. Hal ini dimungkinkan terjadinya pergerakan atau migrasi vertikal jenis ini ke daerah yang lebih dangkal. Hal serupa juga dijumpai pada jenis Lamoha sp. Pergerakan ini dilakukan oleh organisme laut dalam untuk mencari makanan. Jenis udang dan kepiting adalah hewan nokturnal yang aktif pada malam hari. Menjelang pagi akan kembali menuju lapisan yang lebih dalam untuk menghindari pemangsa.

5.3 Keanekaragaman Hasil Tangkapan

Keanekaragaman hasil tangkapan baik pada zona fotik maupun afotik rendah. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungannya tidak mendukung organisme untuk bertahan hidup. Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi keberadaan organisme adalah tekanan hidrostatik dan ketersediaan makanan. Organisme yang mampu menyesuaikan diri dan memiliki pola adaptasi khusus terhadap kondisi ekstrim tersebut yang dapat bertahan. Bentuk adaptasi yang dimiliki oleh organisme yang tertangkap selama penelitian antara lain pewarnaan tubuh dan ukuran mata. Jenis udang dan kepiting memiliki pewarnaan merah cerah sedangkan jenis ikan berwarna gelap. Selain itu juga ditemukan ikan yang berwarna merah cerah.

Hubungan yang terjadi antara indeks dominasi dan keseragaman adalah terbalik. Hal ini sesuai dengan konsep keanekaragaman, yang menyatakan dominasi suatu jenis dalam ekosistem mengindikasikan bahwa jumlah individu menyebar tidak seragam. Hasil tangkapan didominasi oleh Heterocarpus hayastii. Keseragaman organisme yang rendah menunjukkan ekosistem dalam kondisi tertekan. Tekanan dapat berupa tekanan ekologis yaitu persaingan dalam mendapatkan makanan, tempat tinggal dan berkembang biak.

Keragaman organisme di peraiaran Teluk Palabuhanratu tidak sesuai dengan teori ”Hipotesis Luas” yang menyatakan bahwa semakin dalam perairan maka keragaman akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan dasar perairannya yang memiliki bathimetri yang kompleks, berupa daerah-daerah yang curam. Keanekaragaman hasil tangkapan berfluktuasi dan cenderung meningkat pada kedalaman 150 – 220 m. Dimungkinkan pada daerah itu merupakan daerah peralihan


(54)

dari zona fotik ke zona afotik dimana masih terjadi interaksi antara organisme dari kedua zona tersebut.

5.4 Pengaruh Lokasi Pemasangan Bubu Terhadap Hasil Tangkapan

Hasil uji ANOVA terhadap hasil tangkapan Heterocarpus hayastii pada kedua perlakuan kedalaman pemasangan bubu menunjukkan tidak ada perbedaan secara nyata baik terhadap biomassa maupun jumlah individu yang tertangkap. Hal ini dikarenakan jenis ini memiliki penyebaran yang luas dan memiliki toleransi terhadap faktor lingkungan yang luas. Faktor lingkungan tersebut antara lain tekanan hidrostatik, suhu dan intensitas cahaya.

Perbedaan kedalaman pemasangan bubu menunjukkan pengaruh secara nyata terhadap biomassa dan jumlah individu yang tertangkap oleh bubu. Bubu yang dipasang pada zona fotik memberikan hasil tangkapan yang lebih baik terhadap hasil tangkapan Lamoha sp. Jenis yang tertangkap memiliki ukuran bervariasi yang menunjukkan tingkah laku bergerombol. Kondisi demikian akan memudahkan organisme dalam mencari makanan dan perlindungan diri. Jenis ini menghuni wilayah perairan sampai pada kedalaman kurang dari 200 m.

Hasil analisis ANOVA terhadap Heterocarpus sp. menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara nyata perlakuan kedalaman hasil tangkapan bubu. Jumlah individu yang ditemukan hampir sama antara zona fotik dan afotik. Kondisi ini diakibatkan adanya tekanan ekologis dari dalam ekosistem sehingga jenis ini belum berkembang dengan baik.


(55)

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

(1) Tipe bubu berbentuk trapesium memberikan kekuatan dan kestabilan selama dioperasikan di perairan. Konstruksi yang permanen menyebabkan jumlah bubu yang dioperasikan terbatas.

(2) Kinerja alat bantu mechanical line hauler sangat efektif dalam membantu proses pengangkatan bubu yaitu dengan meningkatkan efisiensi waktu dan biaya operasi penangkapan.

(3) Hasil tangkapan bubu laut dalam termasuk jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi diantaranya famili Pandalidae, Ophidiidae, Palinuridae, Moridae dan Synaphobranchidae. Hasil tangkapan dominan yaitu Heterocarpus hayastii, Heterocarpus sp. dan Lamoha sp.

(4) Keanekaragaman hasil tangkapan baik pada zona fotik maupun afotik rendah, namum di zona fotik menunjukkan nilai yang lebih tinggi. Kisaran indeks dominasi menunjukkan nilai rendah hingga sedang. Heterocarpus hayastii mendominasi hasil tangkapan bubu.

(5) Perbedaaan lokasi pemasangan bubu pada zona fotik dan afotik, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu, baik Heterocarpus hayastii maupun Heterocarpus sp. Pemasangan bubu pada zona fotik memberikan hasil tangkapan Lamoha sp. yanglebih baik.

6.2 Saran

(1) Perlu dilakukan modifikasi bubu dengan memperkecil ukuran bubu.

(2) Pemetaan dasar perairan Teluk Palabuhanratu untuk menentukkan lokasi pengoperasian bubu yang efektif.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Boer, M. 2001. Perancangan Percobaan. Edisi 1. Bogor: Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Carol, M.L. and T.R. Parsons. 1993. Biological Oceanography: An Introduction. London: Buherwret-Heiromann Ltd.

Fernö, A. and S. Olsen. 1994. Marine Fish Behaviour in Capture and Abundance Estimation. London: Fishing News Books.

Guntara, A. 2004. Struktur Komunitas Ikan Laut Dalam Secara Vertikal di Perairan Sebelah Selatan Cilacap Samudera Hindia. Skripsi (tidak dipublikasikan). Bogor: Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Jaya, I.; T. Hestirianoto dan A. Purbayanto. 2005. Pengembangan Teknik dan Metode Penangkapan Ikan Demersal Laut Dalam (Deep Sea). Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Johnson.1862. Synaphobranchus kaupii. http://www.fishbase.org/. [13 Febuari 2006 ]

Junus, S.; R. Rustam dan M. Badrudin. 1993. Penyebaran Potensi Sumberdaya Ikan Demersal Laut Dalam di Perairan Tanimbar dan Laut Timor. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 77. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut.

Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper Collins Publisher.

Lovett, D.L. 1981. A Guide to Shrimps, Prawns, Lobsters and Crabs of Malaysia and Singapore. Malaysia: Faculty of Fisheries and Marine Science. Universiti Pertanian Malaysia.

Martasuganda, S. 2003. Bubu (Traps). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Nédéléc, C. and J. Prodo. 1990. Definition and Classification of Fishing Gear Categories. Rome: FAO.


(57)

Nelson, J.S. 1994. Ophidiidae. http://www.filamen.ifm- geomar.de/. [13 Febuari 2006].

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Jambatan.

Nybakken, J.W. 1982. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh H.M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukarjo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pipkin, B.W.; D.S. Gorsline; R.E. Casey dan D.E. Hammond. 1987. Laboratory Exercise in Oceanography, 2nd Edition. New York: W.H. Freeman and Company.

Sainsbury, J.C. 1996. Commercial Fishing Methods. An Introduction to Vessel and Gears. 3ed Edition. London: Fishing News Books.

Soesilo, I. dan Budiman. 2003. Laut Indonesia: Teknologi dan Pemanfaatannya. Jakarta: LISPI.

Subani, W. dan H.R. Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Departe men Pertanian.

Sumino, B. dan B. Iskandar. 1993. Penyebaran dan Kepadatan Stok Udang Laut Dalam di Perairan Tanimbar dan Laut Timor. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 77. Jakarta: Balai Riset Perikanan Laut.

Tyler, P.A. 2003. Ecosystems of The Deep Oceans. United Kingdom: School of Oceans and Earth Science. Southampton Oceanography Centre.

Vaillant. 1888. Gadella imbersis.

http://www.fishbase.org/Summary/SpeciesSummary.cfm?id=2010. [13 Febuari 2006].

Von Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of The World. London: Fishing News Books.


(58)

(59)

Lampiran 1 Posisi setting dan hauling bubu

Ulangan Posisi Kedalaman (m) Lama

Setting Hauling Setting Hauling Soaking

Zona Fotik

I 06o59'50,8"S ;106o27'59,5"T 06o59'42,2"S; 106o28'05,1"T 145 10' 51'' 28' 39'' 6 II 06o59'47,2"S;106o28'05,2"T 06o59'41,8"S; 106o27'59,7"T 148 13' 33'' 23' 06'' 9 III 06o59'47"S;106o28'08,1"T 06o59'44,3"S; 106o28'01,5"T 150 13' 37'' 28' 51'' 16 IV 06o59'58,6"S; 106o28'12”T 06o59'52,9"S; 106o27'57"T 160 25' 01'' 31' 11'' 24 V 07o00'09,9" S;106o28'03,9"T 07o00'09"S; 106o27'52,3"T 170 09' 06'' 32' 49'' 14 Kisaran 145 - 170 14' 25'' 28' 55'' 6 - 24

Zona Afotik

I 07o00'10,8"S;106o27'54,9"T 07o00'09,9"S;106o27'40,2"T 210 8' 25'' 34' 51'' 11 II 07o00'00"S;106o28'00"T 07o00'03,3"S;106o27'26,8"T 220 17' 47'' 27' 36'' 5 III 07o00'14"S; 106o28'13,0"T 07o00'08,9"S;106o28'08,9"T 230 6' 12'' 30' 24'' 14 IV 07o00'23,3"S;106o28'02,6"T 07o00'15,5"S;106o28'10,6"T 240 5' 21'' 21' 03'' 8

V 07o00'24,25"S;106o28'10,5"T 07o00'19,9"S;106o28'13,0"T 250 11' 48'' 28' 03'' 7 Kisaran 210 - 250 9' 55'' 28' 24'' 5 - 14


(60)

(61)

Lampiran 3 Hasil tangkapan bubu

No. Nama Latin

Jumlah Individu (ekor)

Zona Fotik Zona Afotik

Total

I II III IV V I II III IV V

1 Heterocarpus hayastii 22 3 86 55 8 46 15 107 7 66 417

2 Heterocarpus sp. 7 5 4 0 14 1 0 13 0 11 55

3 Lamoha sp. 3 1 11 54 79 1 10 0 2 3 164

4 Plesionika sp. 0 6 1 0 2 5 2 0 5 0 21

5 Synaphobranchus kaupii 0 1 0 1 0 6 0 0 0 0 8

6 Macrocheira sp. 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 2

7 Gadella sp. 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 3

8 Grapsidae 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 6

9 Palinuridae 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

10 Ophidiidae 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1

11 Ikan merah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

12 Portunidae 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1

Total 677


(62)

Lampiran 4 Hasil ANOVA untuk hasil tangkapan bubu yang dominan

Heterocarpus hayastii

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

.049 335 .053 .990 335 .019

Nilai Signifikansi = 0,053 ( > 0,05 )

Keputusan: gagal tolak Ho artinya bahwa data bobot Heterocarpus hayastii menyebar normal

Ulangan Perlakuan Fotik Afotik

1 146.1 257

2 16.5 56.5

3 654.8 745

4 415.2 50.3

5 63.5 420.2

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

Zona Fotik 5 1296.1 259.22 72707.19

Zona Afotik 5 1529 305.8 83949.05

ANOVA

Sumber keragaman JK db KT F P-value F tabel

Perlakuan 5424.241 1 5424.241 0.0693 0.7991 5.3176

Sisa 626624.9 8 78328.12


(63)

Lampiran 4 (lanjutan)

Lamoha sp.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

0,078 125 0,061 0,956 125 0,000

Nilai Signifikansi = 0,061 ( > 0,05 )

Keputusan: gagal tolak Ho artinya bahwa data bobot Lamoha sp. menyebar normal

Ulangan Perlakuan Fotik Afotik

1 786,6 88,6

2 163 161,8

3 1186,1 0

4 1370,2 96,5

5 1414,4 156,3

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

Zona Fotik 5 4902.3 984.06 272061.7

Zona Afotik 5 503.2 100.64 4282.273

ANOVA

Sumber keragaman JK db KT F P-value F tabel

Perlakuan 1951077 1 1951077 14.1207 0.0056 5.3176

Sisa 1105376 8 138172


(64)

Lampiran 4 (lanjutan)

Heterocarpus sp.

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

.085 50 .200 .975 50 .380

Nilai Signifikansi = 0,2 ( > 0,05 )

Keputusan: gagal tolak Ho artinya bahwa data bobot Heterocarpus sp. menyebar normal

Ulangan Perlakuan Fotik Afotik

1 42.1 3.2

2 32.7 0

3 13.7 121

4 0 0

5 85 87.7

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

Zona Fotik 5 173.5 34.7 1058.485

Zona Afotik 5 211.9 42.38 3340.552

ANOVA

Sumber keragaman JK db KT F P-value F tabel

Perlakuan 147.456 1 147.456 0.0670 0.8022 5.3176

Sisa 17596.15 8 2199.519


(65)

Lampiran 4 (lanjutan)

Ikan Lainya

Ulangan Perlakuan Fotik Afotik

1 155 955

2 464.9 4.8

3 3.4 239.6

4 260 20.7

5 0 219

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

Zona Fotik 5 883.3 176.66 37931.2

Zona Afotik 5 1439.1 287.82 150911

ANOVA

Sumber keragaman JK db KT F P-value F tabel

Perlakuan 30891.364 1 30891.36 0.3272 0.5830 5.3176

Sisa 755368.72 8 94421.09


(66)

Lampiran 5 Dokumentasi penelitian

(a) Pembuatan rangka bubu laut dalam


(67)

Lampiran 5 (lanjutan)

(c) Kapal yang digunakan dalam penelitian


(68)

Lampiran 5 (lanjutan)

(e) Proses pemasangan bubu


(69)

Lampiran 5 (lanjutan)

(g) Posisi bubu dalam air


(70)

Lampiran 5 (lanjutan)

(i) Jangkar


(71)

Lampiran 5 (lanjutan)

(k) Tali utama


(72)

Lampiran 6 Identifikasi hasil tangkapan bubu

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Section : Caridea Famili : Pandalidae Genus : Heterocarpus

Spesies : Heterocarpus hayastii

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Section : Caridea Famili : Pandalidae Genus : Heterocarpus Spesies : Heterocarpus sp.


(1)

60 Lampiran 6 Identifikasi hasil tangkapan bubu

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Section : Caridea Famili : Pandalidae Genus : Heterocarpus

Spesies : Heterocarpus hayastii

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Section : Caridea Famili : Pandalidae Genus : Heterocarpus Spesies : Heterocarpus sp.


(2)

Lampiran 6 (lanjutan)

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Section : Caridea Famili : Pandalidae Genus : Plesionika Spesies : Plesionika sp.

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Section : Macrucra Famili : Palinuridae


(3)

62 Lampiran 6 (lanjutan)

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Majidae Genus : Lamoha Spesies : Lamoha sp.

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Majidae Genus : Macrocheira Spesies : Macrocheira sp.


(4)

Lampiran 6 (lanjutan)

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : Crustacea

Subkelas : Malcostraca Ordo : Decapoda Section : Brachyura Famili : Grapsidae

Klasifikasi menurut Johnson (1862) Kelas : Actinopterygii

Ordo : Anguilliformes

Famili : Synaphobranchidae Genus : Synaphobranchus


(5)

64 Lampiran 6 (lanjutan)

Klasifikasi menurut (Nelson, 1994) Kelas : Actinopterygii

Ordo : Ophidiformes Famili : Ophidiidae

Klasifikasi menurut Vaillant (1888) Kelas : Actinopterygii

Ordo : Gadiformes Famili : Moridae Genus : Gadella


(6)

Lampiran 6 (lanjutan)

Ikan merah

Belum teridentifikasi

Klasifikasi menurut Lovett (1981) Kelas : C rustacea

Subkelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae