Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum

(1)

SKRIPSI

PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGHUM

Oleh : ARVI FELICIA

F24102102

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Arvi Felicia. F24102102. Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum. Di bawah bimbingan : Ir. Sutrisno Koswara, MSi. 2006.

RINGKASAN

Sorghum bicolor (L.) Moench merupakan tanaman serealia yang tergolong dalam famili Graminae. Tanaman lain yang tergolong famili Graminae antara lain padi, jagung, tebu, gandum, dan barley. Sorghum memiliki istilah yang berbeda-beda tiap daerah. Sebagai contoh, sorghum dikenal dengan nama ’cantel’ di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ’jagung cantrik’ di daerah Jawa Barat, dan ’batara tojeng’ di Sulawesi Selatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan produk sereal sarapan berbasis sorghum dalam rangka turut mendukung program diversifikasi pangan Sasaran dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi sereal sarapan pagi berbasis sorghum yang paling disukai konsumen sehingga dapat dijadikan suatu model untuk pengembangan produk pangan non-beras/ non-gandum di Indonesia. Bentuk sereal sarapan yang akan dikembangkan adalah minuman sereal sarapan siap santap.

Penelitian ini terdiri dari empat tahap. Tahap pertama adalah pembuatan sorghum flakes. Proses pembuatan sorghum flakes yang paling efektif dan efisien berdasarkan penelitian adalah sebagai berikut : sorghum dicuci bersih lalu ditambah air dengan perbandingan air : sorghum sebesar 2 : 1, lalu sorghum dimasak menggunakan retort selama 15 menit dengan suhu 120 oC. Setelah itu sorghum didinginkan selama kurang lebih 15-20 menit, kemudian dikeringkan menggunakan drum drier dengan jarak roller sekitar 0.5 mm. Sorghum kering hasil drum drier dikecilkan ukurannya menggunakan dry blender sehingga didapat serpihan-serpihan (flakes) sorghum.

Tahap kedua adalah pembuatan formula untuk sereal sarapan sorghum. Komposisi sereal sarapan yang akan diuji adalah gula, creamer, coklat bubuk, vanila, garam, CMC, dan sorghum flakes. Semua bahan-bahan dicampur dalam keadaan kering (dry mixing). Formula yang akan diuji berjumlah enam formula dengan 2 peubah, yaitu persentase jumlah gula dan coklat bubuk. Persentase gula terdiri dari tiga tingkat, yaitu 6%, 8%, dan 10%, sedangkan coklat bubuk terdiri dari dua tingkat, yaitu 0.5%, dan 0.75%.

Tahap ketiga adalah pemilihan formula paling optimum dilihat dari segi organoleptik menggunakan uji hedonik serta uji rangking. Sampel target yang digunakan adalah produk sejenis yang sudah ada dipasaran. Formula paling optimum yang didapat setelah uji organoleptik adalah formula dengan persentase gula 10 % dan coklat bubuk 0.5%.

Tahap keempat adalah analisis kimia dari produk paling optimum yang didapat dari tahap ketiga. Dari analisis ini terdeteksi bahwa produk memiliki kadar air 5.42%, kadar abu 1.73%, kadar protein 4.14%, kadar lemak 1.69%, kadar serat kasar 0.87%, total kalori 113.95 kkal serta total komponen polifenol yang larut dalam metanol sebesar 0.42 mg ATE (Asam Tanat Ekivalen) per gram sampel.


(3)

PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGHUM

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh ARVI FELICIA

F24102102

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGEMBANGAN PRODUK SEREAL SARAPAN SIAP SANTAP BERBASIS SORGHUM

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh ARVI FELICIA

F24102102

Dilahirkan pada tanggal 15 Desember 1984 di Bekasi

Tanggal lulus: 29 Mei 2006

Menyetujui, Bogor, Juni 2006

Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(5)

BIODATA PENULIS

Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Howardi Somali dan Noviriyani, dilahirkan di Bekasi, 15 Desember 1984. Penulis memiliki seorang adik perempuan bernama Marvelna Vidicia yang dilahirkan lima tahun kemudian. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Santo Markus Jakarta (1990-1996), SLTP Marsudirini Jakarta (1996-1999), SMU Kristen 1 BPK PENABUR KPS Jakarta (1999-2002), dan melalui jalur SPMB, penulis melanjutkan perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor - Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2002-2006). Selain pendidikan formal, penulis juga mengikuti pendidikan non-formal dalam bidang musik, bahasa, olahraga, teknologi informatika, serta desain grafis.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif menjadi pengurus di Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB - Komisi Literatur dan Persekutuan Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis juga turut mewakili IPB dalam kejuaraan tenis meja tingkat nasional “ITB Open” tahun 2004. Untuk menunjang pendidikan formal, penulis mengikuti berbagai seminar serta pelatihan yang diadakan di kampus maupun di luar kampus.

Pada bulan Juli sampai Agustus 2005 penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang (PL) selama 40 hari di Laboratorium School of Public Health - Curtin University of Technology – Perth, Western Australia, sebagai researcher assistant. Hasil praktek lapang tersebut dipublikasikan dalam bentuk laporan Praktek Lapang dengan judul “Mempelajari Isolasi Protein dari Canola Meal di Laboratorium School Of Public Health – Curtin University Of Technology”.


(6)

KATA PENGANTAR

Skripsi yang berjudul “Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum” merupakan tugas akhir yang disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu daan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penekanan karya tulis ini terletak pada aspek pengembangan produk dari sorghum sehingga dapat mendukung diversifikasi pangan yang merupakan program pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan terhadap aspek penerimaan konsumen terhadap produk yang dapat dilihat dari uji organoleptik.

Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi mahasiswa maupun pihak industri dalam mengembangkan produk sorghum. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menerima semua kritik dan saran dari pembaca. Kritik dan saran tersebut dapat dikirimkan melalui e-mail penulis, yaitu [email protected]. Akhir kata, penulis mengharapkan agar karya tulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2006


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah Bapa di surga atas kasih, anugerah, dan penyertaanNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ir. Sutrisno Koswara, MSi, sebagai Dosen Pembimbing, yang telah mendampingi serta membimbing penulis selama menempuh pendidikan sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan – Institut Pertanian Bogor. Terima kasih pula kepada Dr. Ir. M. Arpah, MSi dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr, selaku dosen penguji. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak Iyas serta bapak Sobirin yang telah banyak membantu penulis sewaktu bekerja di Pilot Plant Seafast Center dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada keluargaku tersayang (Papa, Mama, dan Vici) atas segala doa dan dukungannya, baik moral maupun materiil. Terima kasih pula atas doa dan dukungannya kepada oma, opa, semua oom dan tante, serta saudara-saudara sepupu. Begitu pula kepada Christian atas kesabaran, semangat, serta kasih sayangnya kepada penulis.

Tak lupa penulis mengucapakan terima kasih kepada koko Tata, LEADER, FAITH, para panelis, Joseph, Fajar, mba Santi, Yessica, Inggrid, Ratry, Hanna, Anita, Randy, Anissa, Pretty, Shinta, Ribka, dan seluruh teman-teman ITP ’39, atas kesediaannya berbagi suka duka bersama penulis serta membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis skripsi ini.

Bogor, Mei 2006


(8)

DAFTAR ISI

BIODATA PENULIS ...iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. SORGHUM ... 4

1. Botani Sorghum ... 4

2. Struktur Biji ... 6

3. Sifat dan Komposisi Kimia Biji Sorghum ... 7

4. Potensi Sorghum Sebagai Sumber Pangan ... 9

5. Pemanfaatan Biji Sorghum Non-Pangan ... 12

B. SEREAL SARAPAN (BREAKFAST CEREAL)... 12

C. TEKNOLOGI PEMBUATAN SEREAL SARAPAN... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN... 16

A. BAHAN DAN ALAT ... 16

B. METODE PENELITIAN... 16

1. Pendahuluan... 16

a. Pembuatan Sorghum Flakes... 16

b. Perhitungan Daya Serap Air ... 17

c. Perhitungan Waktu Rehidrasi... 18

d. Persiapan Bahan-Bahan Lain ... 18


(9)

3. Pengujian Organoleptik... 18

4. Analisis Kimia ... 19

a. Kadar Air... 19

b. Kadar Abu ... 19

c. Kadar Protein... 20

d. Kadar Lemak ... 20

e. Kadar Karbohidrat ... 21

f. Kadar Serat Kasar ... 21

g. Total Fenol ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 23

A. METODE PRODUKSI SORGHUM FLAKES... 23

B. PENETAPAN FORMULA ... 28

C. UJI ORGANOLEPTIK ... 29

D. ANALISIS KIMIA ... 32

1. Kadar Air... 33

2. Kadar Abu ... 34

3. Kadar Protein... 34

4. Kadar Lemak ... 34

5. Kadar Karbohidrat ... 35

6. Kadar Serat Kasar ... 35

7. Total Fenol ... 35

E. PERBANDINGAN PRODUK "S" DAN SAMPEL TARGET... 37

V. KESIMPULAN ... 40

A. KESIMPULAN ... 40

B. SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai jenis serealia... 7

Tabel 2. Perbandingan hasil flakes metode A, B, dan C... 28

Tabel 3. Formula produk sereal sarapan sorghum... 29

Tabel 4. Hasil analisis kimia produk “s” dan sampel target ... 33

Tabel 5. Informasi nilai gizi pada label sampel target ... 33


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penampang melintang biji sorgum ... 6

Gambar 2. Pembuatan sorghum flakes metode A... 23

Gambar 3. Hasil sorghum flakes metode A ... 24

Gambar 4. Pembuatan sorghum flakes metode B dan C... 25

Gambar 5. Hasil sorghum flakes metode B... 26

Gambar 6. Hasil sorghum flakes metode C... 27

Gambar 7. Mekanisme antioksidan fenolik... 36


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekapitulasi data uji hedonik atribut aroma... 46

Lampiran 2. Hasil uji hedonik formula terhadap atribut aroma ... 47

Lampiran 3. Rekapitulasi data uji hedonik atribut rasa ... 48

Lampiran 4. Hasil uji hedonik formula terhadap atribut rasa ... 49

Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik secara keseluruhan (overall)... 50

Lampiran 6. Hasil uji hedonik formula secara keseluruhan (overall) ... 51

Lampiran 7. Data rekapitulasi hasil uji ranking secara overall... 52

Lampiran 8. Hasil uji ranking formula secara keseluruhan (overall) ... 53

Lampiran 9. Formulir kuesioner uji hedonik ... 54

Lampiran 10. Formulir kuesioner uji ranking ... 55

Lampiran 11. Hasil analisis kimia produk “s” dan sampel target ... 56

Lampiran 12. Data daya serap air dan waktu rehidrasi... 57


(13)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi terpenuhinya pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik dalam jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau (Winarno, 2003). Ketahanan pangan harus dijaga dan diperjuangkan karena hal ini merupakan salah satu bagian dari ketahanan nasional yang memiliki peranan sangat penting. Salah satu cara untuk memperkokoh ketahanan pangan nasional adalah dengan diversifikasi pangan.

Partisipasi aktif dari pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia diperlukan untuk menyukseskan program penganekaragaman pangan. Masyarakat harus mulai dapat melepaskan ketergantungan pada beras sebagai makanan pokok dan beralih kepada sumber-sumber karbohidrat lainnya. Beberapa komoditi lokal yang berpotensi sebagai makanan pokok pengganti beras adalah jagung, ubi jalar, ubi kayu, garut, kimpul, sorghum, kentang, sagu, dan lain-lain.

Menurut FSD (2003), sorghum adalah tanaman serealia ke-5 terpenting setelah beras, gandum, jagung, dan barley, yang menjadi makanan utama lebih dari 750 juta orang yang tinggal di daerah tropis setengah kering di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Sorghum merupakan sumber pangan potensial bagi bangsa Indonesia karena memiliki berbagai keunggulan. Sorghum termasuk low-input crop yang dapat dibudidayakan pada lahan kering dan dapat beradaptasi luas di lahan marginal. Sorghum memiliki produktivitas tinggi dan tahan kekeringan. Biji sorghum dapat dimanfaatkan sebagai pangan, pakan, maupun bahan baku industri, sedangkan daunnya digunakan untuk pakan ternak. Sorghum dan produk-produk yang dihasilkannya memiliki harga lebih murah dibandingkan makanan-makanan pokok yang lain seperti beras dan gandum. Indonesia sendiri kurang mengenal tanaman sorghum apabila dibandingkan dengan negara-negara penghasil sorghum. Maka dari itu perlu dilakukan sosialisasi sorghum dalam bentuk pangan yang disukai oleh masyarakat.


(14)

Makanan adalah kebutuhan fisik, dan manusia cenderung memilih makanan yang akan dimakannya sesuai dengan selera mereka. Produk sereal sarapan siap santap merupakan salah satu produk pangan yang cukup digemari oleh masyarakat yang semakin menginginkan kepraktisan serta kemudahan. Hal ini disebabkan terutama karena keterbatasan waktu pada pagi hari untuk menyiapkan makanan sarapan. Seperti yang dikemukakan Faridi (2002) dalam skripsinya, alasan para pelajar Sekolah Dasar tidak makan pagi sebagian besar berkaitan dengan waktu. Seperti telah diketahui, di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, dan lain-lain, hampir setiap hari terjadi kemacetan. Belum lagi diberlakukannya sistem 3 in 1 di tempat tertentu di Jakarta. Hal ini mendorong masyrakat untuk berangkat pagi sekali dan cenderung melupakan sarapan.

Melewatkan waktu sarapan dapat mengakibatkan efek negatif bagi tubuh. Energi (kadar gula darah) dalam tubuh berada dalam tingkat rendah saat kita bangun pagi. Oleh karena itu, tubuh membutuhkan energi dari makanan. Jika tubuh tidak mendapat pasokan energi tetapi ’dipaksa’ mengeluarkan energi (melakukan sesuatu pekerjaan), maka dalam jangka waktu pendek maupun panjang, tubuh akan mendapatkan efek negatif (Mathews, 1996). Kadar gula darah yang rendah dapat menurunkan tekanan darah dan melemahkan impuls syaraf sehingga tubuh menjadi lemas disertai pusing-pusing (hypoglycemia syndrom). Lebih lanjut, gangguan ini dapat meningkatkan kadar asam urat yang diduga berkontribusi cukup besar terhadap timbulnya encok (Sizer dan Whitney, 2000). Para ahli gizi merekomendasikan bahwa makan pagi sebaiknya memenuhi 20-25% dari kebutuhan nutrisi harian (Vergara, 2005; Mathews, 1996). Kebutuhan nutrisi ini berbeda-beda pada tiap individu, tergantung pada umur, jenis kelamin, tinggi tubuh, serta aktivitas fisik.

Untuk mencoba menjawab permasalahan mengenai sarapan seperti telah dikemukakan di atas, maka dibutuhkan suatu bentuk makanan yang mudah serta dapat cepat disajikan untuk sarapan pagi. Sereal sarapan siap saji/ RTE (Ready-to-eat), merupakan salah satu bentuk makanan yang dapat langsung


(15)

dikonsumsi atau hanya memerlukan sedikit waktu untuk persiapannya (kurang dari 3 menit).

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi sereal sarapan berbasis sorghum yang paling baik untuk dikonsumsi ditinjau dari segi kesukaan panelis sehingga dapat dijadikan suatu model untuk pengembangan produk pangan di Indonesia.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SORGHUM 1.Botani Sorghum

Sorghum, Sorghum bicolor (L.) Moench, merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama dengan padi, jagung, tebu, gandum, dan lain-lain. Sorghum bicolor (L.) Moench termasuk dalam genus Sorghum, ordo Cyperales, kelas Liliopsida/ Monokotiledon, divisi Magnoliophyta, superdivisi Spermatophyta, subkingdom Tracheobionta, dan kingdom Plantae. Sorghum memiliki istilah yang berbeda-beda tiap daerah. Sebagai contoh, sorghum dikenal dengan nama ’cantel’ di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ’jagung cantrik’ di daerah Jawa Barat, dan ’batara tojeng’ di Sulawesi Selatan (Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Sorghum memiliki banyak varietas, dari sorghum yang berwarna putih sampai sorghum yang berwarna merah kecoklatan (FSD, 2003). Tanaman sorghum dibagi dalam dua kelompok, yaitu sorghum yang berumur pendek (musiman) dan sorghum tahunan (Sorghum halepensis). Sorghum musiman terdiri atas empat keluarga, yaitu sorghum makanan ternak (sweet sorghum) dimana batangnya mengandung gula sehingga dapat dipakai untuk membuat sirop dengan cara memeras batangnya dan kemudian direbus; sorghum penghasil biji-bijian (grain sorghum) dimana batang dan daunnya dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak; sorghum sapu (broom sorghum) yang banyak ditanam di Amerika Serikat dan dapat dimanfaatkan untuk membuat sapu dan sikat; serta yang terakhir adalah sorghum rumput (grass shorgum) yang dikenal sebagai rumput Sudan di Indonesia memiliki sifat tahan kering. Sorghum tahunan tidak menghasilkan biji, namun dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak (Rismunandar, 1989).

Tanaman sorghum banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorghum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh pada suhu lingkungan 23o-34oC tetapi suhu optimum berkisar antara 23o-30o C dengan kelembaban relatif 20-40%. Tanaman sorghum dapat tumbuh di tanah-tanah sekering/


(17)

segersang gurun sampai ke tanah-tanah basah. Pada umumnya sorghum akan berhasil baik pada tanah ringan (berpasir) sedangkan pada tanah-tanah berat tanaman ini masih dapat tumbuh baik asal keadaan drainasenya baik. Sorghum tidak terlalu peka terhadap keasaman (pH) tanah tetapi pH tanah yang baik untuk pertumbuhannya adalah 5.5-7.5. Tanaman sorghum tahan terhadap kekeringan dan pemupukan berat. Dengan kedua sifat ini prospek produksi sorghum mudah ditingkatkan (Rismunandar, 1989; Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Tanaman sorghum termasuk tanaman yang tahan kekeringan karena daun sorghum dilapisi dengan sejenis lilin yang agak tebal dan berwarna putih. Lapisan lilin ini memiliki fungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air di dalam tubuh tanaman. Selain dapat menghadapi kekeringan, tanaman sorghum juga mempunyai daya regenerasi yang cukup kuat serta lebih tahan terhadap serangan hama daripada tanaman jagung. Meskipun demikian, petani sorghum tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap serangan hama dan penyakit tanaman sorghum karena ada beberapa hama yang dapat menyerang tanaman sorghum, antara lain ulat tanah, ulat buah jagung, kutu daun, Aphis maidis, walang kayu, tikus-tikus sawah, tikus tegalan, hama Merutu, dan rupa-rupa jenis burung, seperti burung betet (Rismunandar, 1989).

Tanaman sorghum yang masih muda atau baru saja membentuk beberapa daun, kadar blauwzuur-nya sangat tinggi. Sejalan dengan bertambahnya umur tanaman, kadar asam ini menurun. Pada saat tanaman sorghum mulai tampak berbunga, kadar asam hydrocan-nya sudah sangat rendah sehingga tidak membahayakan. Namun, pada cabang-cabang yang baru tumbuh, kadar blauwzuurnya tetap tinggi bilamana masih belum berbunga, tetapi biji sorghum tidak mengandung racun tersebut. Tanaman sorghum yang mencapai tinggi 25 cm kadar blauwzuur-nya 1160 mg, sedangkan yang masih muda di bawah ketinggian tersebut, rata-rata 5000 mg. Limapuluh miligram racun blauwzuur dsapat menyebabkan kematian pada manusia. Daya racun tadi akan netral jika daun dan batang itu dijemur beberapa jam hingga layu benar (Rismunandar, 1989).


(18)

2.Struktur Biji

Biji sorghum berbentuk bulat lonjong dengan ukuran sekitar 4.0 x 2.5 x 3.5 mm dan berat dari 1000 biji sekitar 25-30 gram (FAO, 1995; Suprapto dan Mudjisihene, 1987). Biji sorghum mempunyai struktur yang hampir sama dengan serealia lainnya. Komponen utama biji sorghum adalah perikarp, testa, endosperm, dan embrio (FSD, 2003). Gambar penampang biji/ bulir sorghum dapat dilihat Gambar 1.

Gambar 1. Penampang melintang biji sorgum (FSD, 2003)

Biji sorghum termasuk jenis kariopsis (caryopsis) dimana seluruh perikarp bergabung dengan endosperma. Perikarp atau kulit luar merupakan bagian terluar dari biji yang melapisi endosperma. Perikarp terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp. Epikarp lebih lanjut dibagi menjadi epidermis dan hipodermis. Terkadang, zat pigmen terdapat dalam epidermis. Zat pigmen tersebut berwarna putih, kuning, jingga, dan merah (FAO, 1995; Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Tepat di bawah endokarp, terdapat lapisan testa yang mengelilingi endosperm. Pada beberapa genotipe sorghum, testa sangat banyak mengandung pigmen. Keberadaan pigmen merupakan karakter genetika. Beberapa peneliti mengatakan bahwa senyawa polifenol kadar tinggi terdapat dalam testa.

Bagian terbesar dari biji serealia adalah endosperma (81-84%). Endosperma sorghum terdiri dari lapisan aleuron, peripheral corneous, dan zona floury. Sel-sel aleuron mengandung banyak mineral, vitamin B

Endosperma Perikarp

Glassy endosperma

Testa Lembaga

Floury endosperma

Stylet

Radikel Epiblas

Plumule Scutelum Aleuron


(19)

kompleks, minyak, dan mengandung beberapa enzim hidrolisis. Endosperma peripheral terdiri dari sel berbentuk persegi panjang yang mengandung granula pati dan terselubung oleh matriks protein (FAO, 1995; Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Dua bagian utama dari lembaga (germ) adalah embryonic axis dan scutellum. Scutellum merupakan jaringan penyimpanan yang kaya akan lemak, protein, enzim, dan mineral. Minyak pada lembaga sorgum kaya akan asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) dan mirip seperti minyak jagung (FAO, 1995).

3.Sifat dan Komposisi Kimia Biji Sorghum

Kandungan nutrisi sorghum dibandingkan dengan beras, jagung, dan gandum dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar zat karbohidrat sorghum yang tinggi memungkinkan biji sorghum untuk dijadikan sebagai bahan baku tepung. Tepung sorghum mempunyai suhu gelatinisasi 68o – 78o C, sedangkan tepung jagung tergelatinisasi pada suhu 62o – 68o C. Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa tepung sorghum merupakan bahan baku yang serbaguna karena tidak mudah menggumpal (tergelatinisasi) pada saat mengalami pemanasan (Suprapto dan Mudjisihene, 1987).

Pati merupakan bentuk karbohidrat yang paling banyak terdapat di sorghum. Sekitar 70-80% pati sorghum adalah amilopektin, sisanya adalah amilosa. Varietas waxy atau glutenous sorghum mengandung amilosa dalam jumlah sangat sedikit karena hampir 100% adalah amilopektin (FAO, 1995).

Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai jenis serealia (per 100g edible portion; 12% kadar air) (FAO, 1995).

Sumber Protein (g)

Lemak (g)

Serat kasar (g)

Karbohidrat (g)

Energi (kcal)

Ca (mg)

Fe (mg) Beras 7.9 2.7 1.0 76.0 362.0 33.0 1.8 Gandum 11.6 2.0 2.0 71.0 348.0 30.0 3.5 Jagung 9.2 4.6 2.8 73.0 358.0 26.0 2.7


(20)

Kandungan protein dalam sorghum cukup unggul jika dibandingkan dengan serealia lainnya. Kadar zat protein biji sorghum yang dihasilkan oleh tanaman dengan varietas-varietas biasa, rata-rata berada di bawah 10%, tetapi melalui penemuan-penemuan baru dengan jalan persilangan sudah dapat diperoleh varietas sorghum dengan hasil biji yang berkadar protein hingga rata-rata diatas 13%.

Protein pada sorghum dapat dikategorikan menjadi empat jenis berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin/gliadin (larut alkohol), dan glutelin (larut asam atau basa). Meskipun tepung sorghum memiliki glutelin dan gliadin, akan tetapi protein tepung sorghum kurang memiliki kemampuan untuk membentuk gluten jika dibandingkan dengan terigu (Suarni, 2004). Menurut Suarni (2004), kandungan gliadin dan glutenin terigu seimbang, sehingga dapat membentuk gluten yang memiliki sifat elasitisitas tinggi ketika ditambahkan air. Oleh karena tepung sorghum tidak memiliki gluten yang sama seperti gluten terigu, maka tepung sorghum dapat digunakan untuk pembuatan produk makanan yang bebas gluten atau gluten free (Rooney, 2003; FSD, 2003; NSP, 2005).

Asam amino pada sorghum sangat bervariasi, tergantung pada lingkungan saat penanaman. Seperti halnya dengan serealia lainnya, kandungan asam amino lisin pada sorghum juga rendah, diikuti dengan threonin (Dogget, 1970). Komponen protein dan pati pada sorghum lebih lambat dicerna daripada seralia yang lain sehingga bermanfaat untuk penderita diabetes (NSP, 2005).

Sorghum mengandung Insoluble Dietary Fiber (IDF) yang tinggi dan kandungan Soluble Dietarty Fiber (SDF) yang rendah. Roti yang dibuat dengan biji sorghum dapat mengandung kira-kira 5 g serat makanan dalam setiap 56 gram roti (Anonim a, 2003).

Kandungan mineral pada sorghum sangat bervariasi, tergantung pada faktor genetik, keadaan lingkungan, serta perlakuan pengolahan. Menurut FAO (1995), mineral pada sorghum terdistribusi tidak merata. Mineral lebih terkonsentrasi pada lembaga dan kulit luar biji sorghum, sehingga


(21)

penghilangan kulit luar biji sorghum menurunkan kandungan mineral biji sorghum. Seluruh biji sorghum cenderung memiliki kandungan fosfor, kalsium, dan seng yang rendah.

Sorghum juga kaya akan senyawa fenolik. Komponen fenolik pada sorghum dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar, yaitu asam fenolat dan flavonoid. Asam fenolat merupakan turunan asam benzoat atau asam sinamat, sedangkan tanin dan antosianin termasuk ke dalam flavonoid (Awika dan Rooney, 2004).

Tanin merupakan komponen fitokimia paling penting dan unik pada sorghum karena tanin memiliki efek positif dan negatif bagi kesehatan manusia. Adanya tanin dalam biji sorghum dapat mengikat protein sehingga mempengaruhi fungsi asam-asam amino serta menurunkan ketersediaan/ bioavailibilitas protein dalam tubuh manusia (Suprapto dan Mudjisihene, 1987). Selain itu, tanin dapat berikatan dengan besi anorganik (seperti FeSO4) yang terdapat pada bahan pangan nabati membentuk ferotanat, sehingga mengurangi ketersediaan zat besi bagi tubuh karena senyawa yang berada dalam bentuk terikat tidak bisa diserap oleh usus halus.

Meskipun memiliki pengaruh negatif terhadap ketersediaan beberapa komponen nutrisi, senyawa fenolik memiliki pengaruh positif bagi kesehatan. Senyawa–senyawa polifenol ini memiliki daya antioksidan yang sangat besar, lebih besar dari vitamin E dan vitamin C yang selama ini dikenal sebagai antioksidan alami (Awika dan Rooney, 2004).

4.Potensi Sorghum Sebagai Sumber Pangan

Sesungguhnya, dari segi agronomi, sorghum tidak banyak memiliki masalah. Hal ini berbeda dengan jagung dimana jagung relatif lebih memiliki banyak masalah. Akan tetapi dari segi ekologi kemungkinan sorghum memiliki lebih banyak masalah karena sorghum bukan bahan makanan pokok dan yang terutama sekali adalah pemasarannya (Rismunandar, 1989).

Sorghum dan produk-produk yang dihasilkannya lebih murah dibandingkan makanan-makanan pokok yang lain seperti beras dan gandum.


(22)

Menurut artikel yang ditulis oleh P27-53 pada harian Suara Merdeka tahun 2004, harga biji sorghum di Jawa Tengah per kilogram adalah Rp. 800, sedangkan harga beras pada saat itu adalah Rp. 2350.

Indonesia sendiri kurang mengenal tanaman sorghum, apabila dibandingkan dengan negara-negara penghasil sorghum, maka hasil sorghum di Indonesia masih termasuk rendah. Hasil tertinggi yang dicapai 3-4 ton/ha. Hasil yang realtif rendah ini disebabkan oleh karena para petani umumnya masih menggunakan varietas-varietas yang hasilnya rendah dan cara bercocok tanam yang belum disempurnakan. Masalah pengembangan sorghum di Indonesia yang lainnya adalah terabaikannya perbaikan dan pengembangan tanaman sorghum dibanding padi atau tanaman pangan lain, budidaya di tingkat petani sangat terbatas karena kompetisi dengan padi atau tanaman lain, tidak tersedianya benih sorghum yang bermutu di pasar, banyaknya kelemahan pada varietas sorghum lokal, industri sorghum yang belum terbangun berkelanjutan (Batan, 2003)

Masalah penerimaan konsumen terhadap sorghum juga merupakan masalah yang dihadapi, khususnya untuk pengembangan diversifikasi pangan. Warna sorghum adalah faktor utama yang sangat mempengaruhi minat konsumen untuk memutuskan suka atau tidak suka. Selain warna, konsumen juga melihat rasa yang dihasilkanya, jika rasanya enak maka tidak menutup kemungkinan untuk menarik minat pembeli, sedangkan karakter yang lain seperti ukuran, bentuk, besar atau kecilnya hanya menjadi faktor sampingan (ICRISAT Center, 1981).

Sebagai pangan, sorghum telah dikonsumsi oleh orang Afrika dan India selama ribuan tahun. Mereka mengolah sorghum menjadi bubur dan panekuk. Di Afrika Timur, pangan ini dimasak dengan dua cara.yaitu bubur cair (Uji) dan pasta kental (Ugali), seperti adonan. Keduanya dipersiapkan dengan memasak tepung sorghum tersebut ke dalam air dengan kadar air yang dapat diatur. Biasanya bubur tersebut dimakan begitu saja, sedangkan Ugali dimakan bersama dengan saus bumbu kari ikan seperti kebiasaan adat setempat (Dogget, 1970).


(23)

Melalui penumbukan secara tradisional, biji sorghum dibersihkan dari sekam kasar sehingga menghasilkan dedak kasar yang kemudian ditumbuk untuk memisahkan kulit arinya dan sekaligus melepaskan lembaganya dari biji dengan menghasilkan dedak halus (bekatul). Biji sorghum yang lunak dalam penumbukan kedua sudah terbelah-belah sehingga menghasilkan beras sorghum, sedangkan biji sorghum yang keras hingga penumbukan yang kedua masih dapat mempertahankan bentuknya yang pipih atau bulat sehingga dapat dijadikan brondong ( biji sorghum digoreng dengan minyak sedikit dan ditutup hingga menjadi brondong). Biji sorghum juga dapat dijadikan nasi sorghum dengan syarat kulit arinya harus benar-benar bersih, jika tidak rasanya akan pahit (Rismunandar, 1989).

Untuk membuat bir, dipilih biji dengan warna yang coklat sangat gelap, kadang-kadang dipilih yang berwarna ungu. Di Tanzania, Afrika Tengah dan Afrika Utara banyak menggunakan varietas sorghum ini untuk membuat bir. Di tempat lain yaitu di Buganda, biji sorghum yang dipilih untuk pembuatan bir ini adalah yang berwarna coklat dan rasanya pahit, sedangkan endospermanya sangat halus. Di beberapa tempat, biji yang berwarna putih merupakan salah satu pilihan yang sangat baik untuk membuat bir.

Tepung sorghum dapat berperan sebagai subtitusi tepung terigu pada pembuatan roti, mie, pasta, dan kue-kue kering. Menurut Suarni (2004), tepung sorghum dapat mensubtitusi tepung terigu hingga taraf 50-80% untuk membuat kue kering. Subtitusi perlu diikuti penambahan tepung maizena sebagai bahan perekat dan bumbu kue untuk menekan rasa sepat pada tepung sorghum.

Subtitusi tepung sorghum terhadap terigu dapat dilakukan sampai taraf 40-50% untuk membuat kue basah (cake), sedangkan untuk membuat roti sekitar 20-30%, dan untuk membuat mie sekitar 15-20% (Suarni, 2004). Kadar gula dalam batang sorghum dapat dimanfaatkan untuk pembuatan gula-gula, es krim, kue-kue seperti lumpia sorghum, tape, wajik, dodol, kue klepon, serta minuman seperti coca cola, teh botol, dan sebagainya.


(24)

5.Pemanfaatan Biji Sorghum Non-Pangan

Saat ini produk pangan olahan dari sorghum sangat jarang ditemukan di Indonesia. Mayoritas produksi sorghum di Indonesia diolah menjadi pakan ternak. Selain makanan ternak, sorghum dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri ethanol, lem, dan cat (Batan, 2003). Tepung sorghum juga dapat dimanfaatkan untuk membuat briket arang kayu yang digunakan untuk cetakan pengecoran besi, bahan untuk menggumpalkan peleburan alumunium, melicinkan pengeboran minyak bumi, pendingin bor, dan menahan perembesan air dari dinding sumur bor (Rismunandar, 1989). Sorghum juga berpotensi untuk diolah sebagai bioetanol pengganti bensin (Yudiarto dan Ali, 2006).

B. SEREAL SARAPAN (BREAKFAST CEREAL)

Sarapan merupakan kegiatan yang seringkali dilupakan atau sengaja diabaikan oleh sebagian orang. Berbagai alasan dilontarkan sebagai penyebab tidak melakukan kegiatan sarapan, antara lain kekurangan waktu untuk sarapan, kehilangan selera makan, keinginan untuk memperpanjang waktu tidur, atau ketakutan menjadi gemuk (Guthrie, 1986).

Menurut Tribelhorn (1991), produk sereal sarapan dapat dikelompokan berdasarkan sifat fisik alami dari produk. Jenis pertama adalah kelompok sereal tradisional yang memerlukan pemasakan (Traditional cereals that require cooking). Sereal jenis ini dijual di pasaran dalam bentuk biji mentah yang sudah diproses. Contoh serealia jenis pertama ini adalah gandum atau oat.

Jenis kedua adalah sereal tradisonal panas cepat saji (Instant traditional hot cereal). Sereal jenis ini dijual di pasaran dalam bentuk biji masak dan hanya memerlukan air mendidih untuk dapat dikonsumsi. Contoh sereal jenis kedua ini adalah gandum dan oat.

Jenis ketiga adalah Ready-to-eat cereals. Sereal jenis ini merupakan kelompok sereal yang dibuat dari biji yang sudah dimasak dan dimodifikasi. Jenis sereal ini dapat dikelompokkan lagi menjadi produk flaked, puffed, atau shredded.


(25)

Jenis keempat adalah Ready-to-eat ceral mixes. Sereal jenis ini merupakan kombinasi dari bermacam-macam biji sereal, polong-polongan (legumes), atau oil seeds, serta buah-buahan kering. Contoh sereal jenis ini adalah Granola yang diproduksi oleh Quaker Oats Company.

Jenis kelima, atau jenis yang terakhir adalah produk sereal lainnya (Miscellaneous cereal products). Jenis ini merupakan produk sereal yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis sereal sarapan di atas karena adanya pengkhususan dari proses astau pengguna akhir. Contoh sereal jenis ini adalah makanan bayi dan cereal nuggets.

Sebagian besar produk serealia mengandung biji sereal dalam jumlah besar dan hanya sedikit bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan umumnya digunakan untuk memperbaiki tekstur sereal atau mengubah karakteristik fungsional dari produk akhir.

Mineral dan vitamin seringkali ditambahkan pada produk sereal sarapan, karena pada umumnya konsumen hanya mengkonsumsi produk tersebut pada pagi hari. Dengan demikian, produk sereal sarapan harus memenuhi kebutuhan nutrisi manusia.

Saat ini sereal sarapan yang paling digemari masyarakat adalah jenis ready-to-eat karena berkaitan dengan kepraktisan dan waktu penyajian yang cepat. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Nurjanah tahun 2000. Menurut Nurjanah (2000), jenis sereal sarapan yang paling banyak dikonsumsi/ disuka oleh konsumen adalah produk yang berupa minuman sarapan, produk ekstrusi, dan flakes. Semua produk ini merupakan produk instan dimana waktu persiapannya kurang dari 3 menit.

C. TEKNOLOGI PEMBUATAN SEREAL SARAPAN

Serealia memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan makanan untuk sarapan pada abad ini. Teknologi pembuatannya pun semakin berkembang seiring dengan tuntutan konsumen yang menginginkan produk dengan kualitas baik. Teknologi sereal sarapan telah berkembang cukup baik, dari metode sederhana dengan hanya menggiling biji serealia untuk produk makanan serealia yang memerlukan


(26)

pemasakan lebih lanjut, sampai metode yang cukup canggih dengan membuat produk ready-to-eat yang cepat saji. Saat ini, produk sereal sarapan yang banyak terdapat di pasar, adalah oatmeal, produk ekstrusi, flakes, bubur instan, serta minuman sarapan.

Pada awal perkembangannya, beberapa produk serealia yang dijual di pasaran berupa biji gandum dan oats yang digiling. Biji-bijian ini memerlukan pemasakan lebih lanjut oleh konsumen sebelum dikonsumsi. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengurangi waktu pemasakan yang dilakukan oleh konsumen sehingga konsumen dapat lebih nyaman. Salah satu metode untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan precooking atau penggunaan bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan yang dapat digunakan adalah gum polisakarida, monogliserida, dan sebagainya. Dengan ditemukannya teknologi oven microwave, pemasakan sereal sarapan dapat lebih cepat (Tribelhorn, 1991; Roger, 1974).

Flake merupakan bentuk pertama dari produk sereal siap santap. Sercara tradisional, pembuatan produk flake dilakukan dengan mengukus biji serealia yang sudah dihancurkan (kurang lebih sepertiga dari ukuran awal biji) pada kondisi bertekanan selama dua jam atau lebih lalu dipipihkan di antara dua rol baja. Setelah itu dikeringkan dan di panggang pada suhu tinggi (Tribelhorn, 1991). Pengeringan pati yang telah mengalami gelatinisasi merupakan prinsip dasar sereal sarapan instan berbentuk flake ini. Pati kering tersebut masih memiliki kemampuan untuk menyerap sejumlah air dalam jumlah yang besar. Setelah air terserap ke dalam pati, maka pati/ serealia tersebut dapat langsung dikonsumsi.

Tressler Processes merupakan metode pembuatan oat instan yang dikembangkan oleh D. K. Tressler dan sudah dipatenkan dengan kode U. S. Patent 3,490,915; 20 Januari 1970. Metode ini menggunakan energi panas dan tekanan. Pada tahun yang sama, D. K. Tressler mengembangkan proses pembuatan oat instan dengan melakukan penambahan susu untuk mengurangi kelengketan. Metode ini mendapat paten dengan kode U. S. Patent 3,494,769; 10 Februari 1970. Selain kedua


(27)

metode di atas, masih banyak lagi metode untuk membuat oat instan. Beberapa diantaranya adalah metode yang dikembangkan oleh G. W. Huffman dan J.W.Moore dari perusahaan The Quaker Oats yang menggunakan gum polisakarida; metode yang dinamakan Nabisco Processes, dengan penambahan hidrolisat sereal ke dalam oat yang sudah diproses; dan lain sebagainya (Roger, 1974).


(28)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan adalah sorghum, gula pasir, non dairy creamer, coklat bubuk, garam dapur, bubuk vanilin, CMC, serta bahan-bahan untuk analisis kima.

Alat yang digunakan adalah retort, drum drier, panci, dry blender, roller, neraca, gelas piala, sudip, erlenmeyer, gelas ukur, buret, pipet Mohr, mikro pipet, sentrifus, spektrofotometer, serta alat-alat lain yang digunakan untuk analisis kima.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian terdiri dari empat tahap utama. Tahap pertama adalah pembuatan sorghum flakes, tahap kedua adalah formulasi sereal sarapan, tahap ketiga adalah uji organoleptik, dan tahap keempat adalah analisis kimia. Uji organoleptik dilakukan sebelum analisis kimia karena dalam pengembangan suatu produk baru, hal utama yang harus diperhatikan adalah penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Jika suatu produk memiliki banyak keunggulan tetapi tidak diterima oleh konsumen, makan produk tersebut dapat dikatakan gagal. Oleh karena itulah pada penelitian ini dilakukan pendekatan dari sisi penerimaan konsumen melalui uji organoleptik terlebih dahulu.

1. Pendahuluan

a. Pembuatan Sorghum Flakes

Pembuatan sorghum flakes meliputi tiga metode, yaitu metode A, B, dan C. Dari ketiga metode tersebut ditetapkan satu metode paling optimum yang digunakan untuk membuat flakes, yaitu dengan menghitung daya serap air, waktu rehidrasi, serta mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi proses pengolahannya. Pada penelitian ini, sorghum flakes diproduksi dengan modifikasi dari metode pembuatan oat instan oleh D. K. Tressler. Metode yang dikembangkan D. K.


(29)

Tressler ini sudah mendapat paten dengan kode U. S. Patent 3,494,769; 10 Februari 1970.

Pada metode A, sorghum dicuci bersih kemudian direndam selama 2 jam lalu ditiriskan dan dikukus selama 40 menit. Sorghum yang sudah dikukus kemudian dipipihkan dengan menggunakan roller, setelah itudioven dengan oven pengering selama 12 jam..

Pada pembuatan sorghum flakes metode B, sorghum dicuci bersih kemudian dimasak menggunakan retort dengan suhu 120oC selama 15 menit dengan perbandingan air dan sorghum sebesar 2 : 1. Sorghum yang telah masak tersebut didinginkan selama 20 menit lalu dipipihkan dengan menggunakan roller kemudian dipanggang dengan oven panggang dengan suhu 300oF (148.89ºC) selama 12 menit.

Pada pembuatan sorghum flakes metode C, sorghum dicuci bersih kemudian dimasak menggunakan retort dengan suhu 120oC selama 15 menit dengan perbandingan air dan sorghum sebesar 2 : 1. Sorghum yang telah matang kemudian dikeringkan dengan drum drier dengan jarak antar roller sekitar 0.5 mm sehingga didapat lembaran-lembaran sorghum kering. Lembaran-lembaran tersebut dihancurkan dengan menggunakan dry blender Sayota® sehingga terbentuk serpihan-serpihan (flakes).

b. Perhitungan Daya Serap Air

Sebanyak 5 gram contoh yang telah diketahui kadar airnya dimasukkan ke dalam air mendidih selama 4 menit kemudian ditiriskan selama 10 menit. Segera setelah itu dipindahkan ke dalam cawan yang telah diketahui bobotnya dan ditimbang (A). Cawan beserta isinya dioven 100oC selama 3-5 jam sampai dengan berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (B).

(

1-Kadaraircontoh

)

100%

contoh awal Bobot contoh) awal Bobot contoh air (Kadar -B) -(A air serap


(30)

c. Perhitungan Waktu Rehidrasi

Sebanyak 5 gram contoh ditambahkan 50 ml air mendidih kemudian dihitung waktu yang diperlukan sampai air membasahi seluruh bagian contoh tersebut, sehingga tidak ada lagi bagian yang keras.

d. Persiapan Bahan-Bahan Lain

Bahan-bahan lain yang diperlukan untuk pembuatan sereal sarapan adalah gula pasir, bubuk coklat, bubuk vanilin, creamer, dan garam. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari toko bahan-bahan kue, sedangkan CMC diperoleh dari toko kimia Setiaguna, Bogor.

2. Penetapan Formula

Proses formulasi dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan yang telah dipersiapkan yang terdiri dari gula, coklat, creamer, garam, vanila, CMC, dan sorghum flakes. Bahan-bahan tersebut dicampur dengan perbandingan tertentu yang diperoleh dengan cara trial and error dengan panduan beberapa literatur. Produk komersial sejenis yang sudah ada di pasaran digunakan sebagai sampel target untuk membuat formulasi sereal sarapan.

3. Pengujian Organoleptik

Dari keenam formula yang didapat, dilakukan pengujian organoleptik dengan 39 orang panelis tidak terlatih. Pengujian formula meliputi uji hedonik dan uji ranking secara overall, uji hedonik atribut rasa, dan uji hedonik atribut aroma. Uji hedonik dan ranking menggunakan 7 skala penilaian : sangat tidak suka (7), tidak suka (6), agak tidak suka (5), netral (4), agak suka (3), suka (2), dan sangat suka (1). Sampel target turut dijadikan sebagai sampel uji pada uji organoleptik untuk mengetahui seberapa jauh tingkat penerimaan konsumen terhadap sampel target.


(31)

Pengolahan data uji ranking dilakukan dengan menggunakan Friedman test, sedangkan pengolahan data uji hedonik menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA). Jika hasil uji ANOVA menyatakan bahwa sampel yang diujikan berbeda nyata terhadap skor kesukaan pada taraf kepercayaan 0.05, maka dilakukan uji lanjutan (post hoc). Uji lanjutan untuk skala hedonik menggunakan uji Duncan. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan yang nyata diantara ketujuh sampel yang diujikan.

4. Analisis Kimia

a. Kadar Air (AOAC, 1984)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama ± 15 menit. Kemudian dinginkan dalam desikator selama 10 menit. Setelah didinginkan timbang dengan timbangan analitik, catat beratnya (a gram). Sampel ditimbang ± 5 gram (x gram), lalu dimasukkan ke dalam cawan dan keringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 3 jam, kemudian dinginkan (desikator) dan timbang sampai beratnya tetap (y gram).

% 100 x ) a y ( x ) basah basis ( air

Kadar = − − ×

% 100 a y ) a y ( x ) ing ker basis ( air Kadar × − − − =

b. Kadar Abu (AOAC, 1984)

Cawan porselin dikeringkan pada temperatur 500oC selama 1 jam dalam tanur, dinginkan dalam desikator kemudian timbang secara analitik (w gram) dimasukkan dalam cawan, panaskan / bakar dengan pemanas listrik dalam ruang asap sampai dengan sampel tidak berasap dan menjadi arang, Kemudian arang diabukan dalam tanur sampai menjadi abu berwarna putih ± 500oC selama 3 jam, dinginkan dalam desikator selam 10 – 15 menit, timbang (x gram).


(32)

% 100 w ) a x ( ) basah basis (% abu

Kadar = − ×

c. Kadar Protein (AOAC, 1984)

Mula-mula bahan ditimbang dalam labu Kjedahl kemudian ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Selanjutnya dengan penambahan batu didih, larutan didihkan 1-1.5 jam sampai cairan jadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang telah berisi 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol dengan perbandingan 2 : 1). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hasil yang diperoleh adalah dalam total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25. sampel mg 25 . 6 100 007 . 14 HCl N ) Blanko ml HCl ml ( otein Pr % = × × × ×

d. Kadar Lemak (AOAC, 1984)

Disiapkan lima gram sampel yang sudah dibungkus dengan kertas saring di alat Soxhlet, kemudian dietil eter dituang ke dalam labu lemak. Selanjutnya direfluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali kedalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada pada labu lemak didestilasi, labu yang berisi hasil ekstraksi dipanaskana dalam oven pada suhu 100ºC sampai pelarut menguap semua (biasanya 1 jam). Setelah didinginkan dalam desikator, labu lemak tersebut ditimbang sampai memperoleh berat yang konstan. Berat lemak dapat dihitung dengan rumus :

% 100 ) g ( sampel Bobot ) g ( lemak Bobot Lemak % = ×


(33)

e. Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat ditentukan by difference

f. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984))

Serat kasar ditentukan dengan metode gravimetri. Sampel dihaluskan dan aduk merata. Sebanyak 2 gram sampel, diekstraksi lemaknya dengan sokhlet. Pindahkan sampel ke dalam erlenmeyer 600 ml, tambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Tutup dengan pendingin balik. Didihkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyang-goyangkan. Saring suspensi melalui kertas saring. Residu yang tertinggal dalam Erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Cuci residu dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (uji dengan kertas lakmus). Pindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring ke dalam Erlenmeyer kembali dengan spatula. Sisanya dicuci lagi dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam Erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyang-goyangkan selama 30 menit. Saring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Cuci lagi residu dengan air mendidih kemudian dengan alkohol 95% sekitar 15 ml. Keringkan kertas saring dengan isinya pada 110oC sampai berat konstan (1-2 jam), dinginkan dalam desikator dan timbang.

(

)

% 100

(%)= − ×

W b a kasar

serat Kadar Keterangan :

W : bobot sampel (g)

b : bobot kertas saring kosong (g)

a : bobot residu kertas saring yang telah dikeringkan (g)

g. Total Fenol (AOAC, 1984)

Sebagian besar antioksidan dalam bahan tanaman merupakan senyawa polifenol. Senyawa fenolik memiliki aktivitas antioksidan karena mampu mendonorkan atom H dari gugus hidroksil kepada


(34)

senyawa radikal. Pengukuran total antioksidan bahan pangan dapat dilakukan dengan mengukur total fenolik menggunakan reagen Folin.

Pada tahap persiapan sampel, 0.2 gram bahan kering sampel ditambah 200 ml metanol lalu dikocok selama satu jam dengan menggunakan shaker. Setelah itu dimasukkan ke tabung sentrifus dan disentrifus selama 15 menit, 3000 rpm. Supernatan diambil dan disaring dengan kertas Whatman no.1 untuk mendapatkan filtrat. Larutan standar dibuat dari asam tanat dengan konsentrasi 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm

Dua mililiter filtrat atau larutan standar ditambah 1 ml folin dan didiamkan lima menit di suhu ruang. Kemudian campuran tersebut ditambah 2 ml Na2CO3 dan divorteks lalu didiamkan 30 menit di suhu ruang. Sebelum diabsorbansi pada panjang gelombang 760 nm, sampel divorteks dahulu. Setelah didapat nilai absorbansi sampel, diplotkan ke kurva standar.


(35)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. METODE PRODUKSI SORGHUM FLAKES

Tahap awal pembuatan makanan sarapan ini adalah pembuatan sorghum flakes (serpihan sorghum). Pada intinya, sorghum flakes dibuat dengan cara memipihkan biji sorghum, akan tetapi diperlukan teknik-teknik khusus untuk mendapatkan biji sorghum pipih yang dapat menjadi instan. Pada penelitian ini terdapat tiga metode untuk membuat sorghum flakes, yaitu metode A, B, dan C.

Biji sorghum

Dicuci bersih

Direndam

Dikukus

Sorghum kukus

Dipipihkan

Sorghum pipih

Dikeringkan

Sorghum flakes

Gambar 2. Pembuatan sorghum flakes metode A

Tahap awal pembuatan sorghum flakes metode A setelah biji sorghum dicuci bersih adalah perendaman selama 2 jam lalu pengukusan. Perendaman dan pengukusan dimaksudkan untuk mengempukkan biji sorghum sehingga mudah untuk dipipihkan. Sorghum pipih kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering bersuhu 70oC. Diagram alir proses pembuatan sorghum flakes dengan menggunakan metode A dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil sorghum flakes dengan menggunakan metode A kurang memuaskan. Flakes cenderung keras, kasar, dan tidak crispy (Lihat Gambar


(36)

3). Menurut Potter & Hotchkiss (1995), tekstur bahan menjadi kering dan kasar akibat air bebas yang berada di permukaan bahan lebih cepat menguap dibandingkan dengan air yang diikat secara kimia bahan tersebut. Adanya tekanan dan panas dari oven pengering menyebabkan air yang berada pada bahan pangan menguap dan komponen-komponen volatil pun juga ikut menguap.

Gambar 3. Hasil sorghum flakes metode A

Sorghum flakes yang dibuat dengan menggunakan metode A tidak memiliki daya rehidrasi yang cukup baik. Waktu rehidrasi sorghum flakes metode A lebih dari sepuluh menit, sedangkan daya serap airnya bernilai 221.675 %. Hal ini diduga karena gelatinisasi yang tidak sempurna. Gelatinisasi adalah perubahan granula pati akibat pemanasan yang terus-menerus dalam waktu lama sehingga granula pati membengkak luar biasa dan pecah sehingga tidak dapat kembali ke bentuk semula. Gelatinisasi diperlukan untuk membuat makanan menjadi instan. Pati kering yang sudah tergelatinisasi memiliki kemampuan untuk menyerap air kembali (rehidrasi) dengan mudah (Winarno, 1992).

Gelatinisasi dapat terjadi jika terdapat jumlah air yang cukup sehingga memampukan granula pati mengembang. Pada metode A, air hanya didapat dari perendaman pada suhu ruang dan uap air pada waktu pemanasan. Jumlah air ini tidak cukup untuk membuat pati tergelatinisasi sempurna sehingga ketika sudah dikeringkan, pati sulit direhidrasi.


(37)

Biji sorghum ↓ Dicuci bersih ↓ Dimasak ↓ Sorghum masak ↓ Dipipihkan ↓ Sorghum pipih ↓ Dipanggang ↓

Sorghum flakes

Metode B Biji sorghum ↓ Dicuci bersih ↓ Dimasak ↓ Sorghum masak ↓ Dipipihkan dan dikeringkan (dengan drum drier)

Lembaran sorghum pipih

Dihancurkan

Sorghum flakes Metode C

Air Air

Gambar 4. Pembuatan sorghum flakes metode B dan C

Menurut Freeman, et al. (1968), granula pati biji sorghum hanya dapat menyerap air sangat sedikit pada suhu ruang, dan kemampuan granula untuk mengembang juga kecil. Kemampuan granula pati biji sorghum untuk menyerap air akan meningkat pada suhu tinggi. Oleh karena itu dalam perbaikan metode pembuatan sorghum flakes selanjutnya, gelatinisasi dilakukan dengan cara memasak biji sorghum dalam air.

Pada pembuatan sorghum flakes menggunakan metode B dan metode C, biji sorghum tidak melalui tahap perendaman pada suhu ruang, melainkan biji sorghum dan air langsung dimasak menggunakan retort dengan suhu 120oC selama 15 menit (Lihat Gambar 4). Pemasakan menggunakan retort membuat sorghum tergelatinisasi lebih merata dibandingkan dengan pemasakan menggunakan kompor. Penggunaan suhu 120oC menghasilkan tekanan sebesar 15 psi. Menurut Roger (1974), adanya tekanan yang diberikan saat membuat flakes dapat menyebabkan flakes menyerap air lebih cepat. Setelah selesai dimasak, sorghum harus didinginkan (didiamkan) terlebih dahulu


(38)

selama kurang lebih 20 menit. Langkah ini bertujuan untuk meratakan kadar air pada sorghum masak.

Sorghum masak kemudian dipipihkan dengan menggunakan roller pada metode B, lalu dipanggang pada suhu 300oF (148.89oC) selama 12 menit. Pemanggangan meliputi reaksi bersama antara transfer panas dan transfer massa dimana energi panas dipindahkan ke dalam bahan pangan melalui permukaan pemanas dan udara di dalam oven, kemudian kandungan air (massa) dipindahkan dari bahan pangan ke udara di sekelilingnya (Fellows, 2000).

Gambar 5. Hasil sorghum flakes metode B

Pemanggangan tidak hanya bertujuan untuk mengurangi rasa ’mentah’, tetapi juga membantu flakes menyerap air ketika direhidrasi. Hal ini dapat terjadi karena saat pemanggangan terbentuk pecahan pada flakes yang membentuk saluran-saluran kapiler. Saluran kapiler ini menarik air ketika flakes diseduh (Roger, 1974).

Hasil flakes yang didapat melalui proses metode B (Gambar 5) terlihat cukup memuaskan. Flakes memiliki sifat crispy dan terbentuk pula flavor panggang (baked flavor) sehingga flakes tersebut dapat langsung dikonsumsi. Waktu rehidrasi flakes sekitar tiga menit dan nilai daya serap air sebesar 445.15 %.

Meskipun hasil flakes yang didapat cukup baik, akan tetapi metode ini tidak cukup efektif dan efisien dikerjakan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan maupun Pilot Plant Seafast Center karena keterbatasan alat. Masalah terletak saat pemindahan sorghum pipih ke loyang untuk dipanggang.


(39)

Sorghum masak yang dipipihkan menggunakan roller sangat lengket sehingga menempel pada plastik yang pada awalnya bertujuan untuk mencegah sorghum menempel pada roller saat dipipihkan. Sorghum yang sudah pipih tersebut sangat sulit dipindahkan ke loyang. Kelengketan diduga karena tingginya kadar amilopektin dalam biji sorghum.

Gambar 6. Hasil sorghum flakes metode C

Penelitian dilakukan kembali untuk membuat sorghum flakes yang cukup baik dengan alat yang ada. Modifikasi dilakukan pada langkah pembuatan sorghum flakes dari sorghum masak. Hasil modifikasi ini diberi nama pembuatan sorghum flakes dengan metode C. Pembuatan sorghum flakes metode C dilakukan dengan menggunakan drum drier. Langkah penanganan bahan dari biji sorghum sampai menjadi sorghum masak sama seperti pada pembuatan sorghum flakes metode B.

Setelah menjadi sorghum masak, sorghum dipipihkan sekaligus dikeringkan dengan menggunakan double drum drier. Double drum drier merupakan alat yang dapat digunakan untuk proses pengeringan untuk bahan berupa padatan, pasta atau puree. Drum berputar dengan tenaga penggerak motor, dipanaskan dari bagian dalam dengan menggunakan uap. Panas permukaan drum mencapai suhu 120 hingga 170oC. Sorghum masak disebarkan secara merata pada permukaan atas drum. Selama bahan menempel pada permukaan drum, bahan akan mengalami pemanasan sehingga air yang terkandung dalam bahan dapat menguap. Drum terus berputar, tetapi sebelum mencapai putaran penuh, bahan yang sudah


(40)

mengering akan terkikis oleh pisau (doctor blade) yang berada disepanjang permukaan drum dengan arah melintang.

Produk akhir yang berupa lapisan tipis dengan tebal sekitar 0.5 mm ditampung di bawah permukaan drum. Lapisan tipis tersebut kemudian dihancurkan dengan menggunakan dry blender sehingga terbentuk serpihan-serpihan sorghum/ flakes. Sorghum flakes yang dibuat dengan menggunakan metode C ini dapat dilihat pada Gambar 6. Flakes memiliki waktu rehidrasi sekitar 2.5 menit dan daya serap air sebesar 503.617 %. Hasil perbandingan flakes yang diproduksi menggunakan metode A, B, dan C, dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan hasil flakes metode A, B, dan C

Karakteristik Produk Metode

Waktu Rehidrasi

(detik)

Daya Serap Air

(%) Crispiness Hardness Aroma

A > 600 221.675 - +++ +

B < 180 445.15 +++ + +++

C < 180 503.617 ++ + +

B. PENETAPAN FORMULA

Proses formulasi dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan yang telah dipersiapkan yang terdiri dari gula, coklat, creamer, garam, vanila, CMC, dan sorghum flakes. Bahan-bahan tersebut dicampur kering (dry blending) dengan perbandingan tertentu yang diperoleh dengan cara trial and error dengan panduan beberapa literatur. Formulasi ini juga melibatkan produk komersial sejenis sebagai sampel target.

Formula yang akan diuji berjumlah 6 formula. Faktor peubah yang digunakan adalah gula dan coklat. Kelima faktor lainnya, seperti creamer, garam, vanila, CMC, dan jumlah sorghum, dibuat tetap. Persentase kelima faktor ini ditetapkan berdasarkan trial and error. Keenam formula tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.


(41)

Tabel 3. Formula produk sereal sarapan sorghum (dalam % dari 150 ml air yang ditambahkan)

Gula Coklat Creamer Garam Vanila CMC Sorghum Kode

6 0.5 5 0.15 0.05 0.15 10 238

6 0.75 5 0.15 0.05 0.15 10 343

8 0.5 5 0.15 0.05 0.15 10 352

8 0.75 5 0.15 0.05 0.15 10 810

10 0.5 5 0.15 0.05 0.15 10 956

10 0.75 5 0.15 0.05 0.15 10 682

Sampel target 762

C. UJI ORGANOLEPTIK

Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan satu formula terbaik (formula paling disuka oleh panelis) dari keenam formula yang diuji. Uji organoleptik pada penelitian ini mencakup uji hedonik dan ranking dimana kedua uji tersebut termasuk ke dalam kategori uji afektif atau uji kesukaan.

Uji afektif merupakan jenis uji untuk mengetahui penerimaan (acceptance) dan atau kesukaan (preference) terhadap suatu produk tertentu. Uji penerimaan berhubungan dengan upaya pengembangan produk baru, sedangkan uji kesukaan lebih berhubungan untuk membandingkan suatu produk dengan produk lain yang sedang menjadi market leader. Hal ini menyebabkan uji penerimaan dilakukan hanya pada 1 jenis produk dengan tipe pertanyaan seberapa besar panelis menyukai produk tersebut, sedangkan uji kesukaan sedikitnya melibatkan 2 sampel dimana panelis diminta untuk membandingkan manakah diantara sampel-sampel tersebut yang lebih disukai. Jenis sampel yang lebih disukai belum berarti dapat diterima oleh panelis karena dalam uji kesukaan umumnya panelis diharuskan untuk salah satu jenis sampel yang lebih disukai tanpa mempertimbangkan apakah panelis dapat menerima sampel tersebut atau tidak (Poste et al., 1991; Resurreccion, 1998; Carpenter et al., 2000).


(42)

Jumlah panelis uji afektif pada penelitian ini berjumlah 39 panelis tidak terlatih. Menurut Resurreccion (1998), minimal diperlukan 25 panelis untuk uji afektif di laboratorium untuk meminimalisasi standar deviasi. Berbeda dengan uji pembedaan dimana perbedaan diantara sampel yang disajikan sangat kecil, uji kesukaan menyajikan sampel dengan perbedaan yang nyata untuk menghasilkan suatu hasil yang berbeda nyata antara sampel yang diujikan (Resurreccion, 1998).

Panelis harus mengurutkan sampel berdasarkan tingkat kesukaannya secara keseluruhan pada uji ranking. Oleh karena sampel berjumlah 7, maka nilai ranking berkisar 1-7. Ranking 1 adalah sampel yang paling disuka, dan ranking 7 adalah sampel yang paling tidak disuka. Hasil uji ranking (Lihat Lampiran 8) menunjukkan bahwa sampel yang paling disuka adalah sampel dengan kode 682, sedangkan panelis paling tidak menyukai sampel dengan kode 762 (sampel target).

Uji ranking merupakan uji yang paling mudah, tetapi data yang dihasilkan tidak menyajikan perbedaan yang ada antar sampel atau homogenitas antar sampel. Untuk itulah dilakukan uji hedonik untuk mendukung uji ranking tersebut (Moskowitz, 2000).

Uji hedonik saat ini merupakan alat pengukuran uji organoleptik yang paling popular karena sangat mudah digunakan, data dapat dengan cepat dan mudah dianalisis dengan menggunakan piranti lunak komputer, dan hasil statistik memungkinkan untuk analisis yang lebih kuat dan dapat memberikan wawasan luas serta kesimpulan yang lebih kuat (Moskowitz, 2000). Hasil uji hedonik terhadap atribut aroma menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 0.05 terhadap ketujuh sampel yang diuji. Hal ini terlihat dari nilai signifikansi antar sampel sebesar 0.000 (Lihat Lampiran 2), sehingga dapat dilakukan uji lanjutan menggunakan uji Duncan. Pada uji Duncan terhadap atribut aroma, dihasilkan tiga subset berbeda. Subset 1 terdiri dari sampel dengan kode 682, 238, 956, 810; subset 2 terdiri dari sampel dengan kode 238, 956, 810, 343, 352; sedangkan subset 3 hanya terdiri dari satu sampel dengan kode 762. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pada atribut aroma terdapat perbedaan nyata di antara keenam formula dengan sampel target pada


(43)

taraf kepercayaan 0.05. Nilai rata-rata hedonik atribut aroma keenam formula berkisar 2.49 sampai 3.21 (suka sampai agak suka), sedangkan nilai rata-rata hedonik atribut aroma sampel target sebesar 3.77 (netral).

Hasil uji hedonik terhadap atribut rasa juga menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 0.05 terhadap ketujuh sampel yang diuji, sehingga dilakukan uji lanjutan menggunakan uji Duncan. Subset yang terbentuk pada uji Duncan terhadap atribut rasa berjumlah dua subset (Lihat Lampiran 4). Sampel target tidak berbeda nyata terhadap sampel dengan kode 352, 810, 343, dan 283, tetapi berbeda nyata terhadap sampel dengan kode 956 dan 682 pada taraf kepercayaan 0.05.

Panelis cenderung mendeteksi atribut rasa berdasarkan tingkat kemanisan. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji Duncan yang menempatkan sampel dengan gula 10% pada subset pertama dan sampel dengan gula 6% dan 8% pada subset kedua. Dari hasil ini pula dapat disimpulkan bahwa panelis cenderung lebih suka produk dengan rasa manis yang tinggi karena sampel dengan gula 10% memiliki nilai rataan paling rendah, dimana semakin rendah nilai rataan, tingkat kesukaan produk semakin tinggi.

Secara keseluruhan (overall), ketujuh sampel yang diuji menggunakan uji ANOVA memiliki perbedaan nyata pada taraf kepercayaan 0.05. Menurut hasil uji lanjut Duncan, sampel target berbeda nyata dengan sampel berkode 810, 352, 956, dan 682, tetapi tidak berbeda nyata dengan sampel 238 dan 343. Hasil uji hedonik secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 6. Sampel dengan kode 682 dan 956 memiliki nilai rataan yang sama, yaitu 2.95. Dengan demikian, tingkat kesukaan panelis terhadap kedua sampel ini adalah ”agak suka”. Tingkat kesukaan panelis terhadap kedua sampel ini paling tinggi. Hal ini dibuktikan dengan nilai rataan yang paling rendah di antara sampel-sampel lainnya. Kesukaan panelis terhadap sampel target memiliki nilai ”netral”.

Penerimaan konsumen terhadap suatu produk baru sangat menentukan keberhasilan produk tersebut di pasar. Sebaik apapun suatu produk, akan mengalami kegagalan di pasar jika konsumen tidak dapat menerima produk tersebut. Menurut Moskowitz (2000), jika sebuah produk pangan tidak


(44)

memiliki rasa yang baik, maka selanjutnya yang akan terjadi adalah produk tersebut tidak akan sukses di pasar. Oleh sebab itu, kunci dalam pengembangan produk pangan baru adalah tingkat kesukaan konsumen terhadap produk pangan.

Uji afektif yang dilakukan di laboratorium dapat digunakan sebagai referensi atau langkah awal sebelum melangkah ke uji konsumen. Dengan uji afektif, kita dapat memperkirakan bagaimana penerimaan produk di pasar. Banyak perusahaan pangan yang hanya melakukan uji afektif di laboratorium tanpa menggunakan uji pasar dalam pengembangan produknya.

Jika dilihat dari uji ranking, terdeteksi produk/ formula yang paling disuka dari segi organoleptik adalah sampel dengan kode 682 (Gula 10%, coklat 0.75%). Akan tetapi, jika dilihat dari uji ANOVA atribut sampel secara keseluruhan, terlihat bahwa sampel dengan kode 682 tidak berbeda nyata dengan sampel berkode 956 (Gula 10%, coklat 0.50%). Oleh karena harga bahan baku sampel dengan kode 956 lebih murah, maka ditetapkan bahwa sampel dengan kode 956 merupakan produk yang paling optimum. Untuk selanjutnya, sampel dengan kode 956 ini disebut dengan produk ”s”.

D. ANALISIS KIMIA

Analisis kimia dilakukan terhadap formula paling optimum yang didapat setelah uji organoleptik. Formula yang dimaksud adalah sampel dengan kode 956 (produk ”s”) yang mengandung gula 10%, coklat 0.50%, garam 0.15%, vanila 0.05%, CMC 0.15%, sorghum flakes 10%. Analisis kimia juga dilakukan terhadap sampel target sebagai pembanding. Hasil rekapitulasi analisis kimia dapat dilihat pada Tabel 4.

Pada

Tabel 5 diperlihatkan informasi nilai gizi yang tertera pada label sampel target. Terdapat perbedaan nilai gizi yang tertera pada label dengan hasil analisis. Kemungkinan perbedaan ini disebabkan perbedaan metode yang digunakan untuk menganalisis. Oleh karena itu, data nilai gizi sampel target


(45)

yang dipakai adalah data hasil analisis yang dilakukan oleh penulis, bukan berdasarkan data yang tercantum pada label sampel target.

Tabel 4. Hasil analisis kimia produk “s” dan sampel target (dalam % berat kering)

Tabel 5. Informasi nilai gizi pada label sampel target

1. Kadar Air

Kandungan air dalam bahan pangan beraneka ragam, dimana Brown (2000) mengatakan bahwa kandungan air rata-rata bahan pangan berkisar antara 0 hingga 95 persen. Kadar air produk “s” adalah 5.42%. Jumlah ini relatif tinggi untuk sebuah produk kering seperti makanan sarapan yang dikembangkan dalam penelitian ini. Sebagai pembanding, kadar air sampel target adalah 2.34%.

Tingginya kadar air produk ”s” disebabkan penyimpanan bahan baku yang kurang baik. Bahan-bahan yang digunakan untuk formulasi merupakan bahan-bahan kering yang higroskopis, sehingga mudah sekali menyerap air. Oleh karena itu butuh suatu tempat penyimpanan dan

Parameter Produk "s" Sampel target

Kadar air (%) 5.42 2.34

Kadar abu (%) 1.73 3.03

Kadar protein (%) 4.14 5.03

Kadar lemak (%) 1.69 4.77

Kadar Karbohidrat (%) 87.02 84.83 Kadar serat kasar (%) 0.87 1.90

Parameter Nilai

Kadar protein (%) 6.67 Kadar lemak (%) 10.00 Kadar Karbohidrat (%) 80.00 Kadar serat makan (%) 3.33


(46)

tempat pencampuran yang dikontrol kelembaban serta suhunya sehingga meminimalkan transfer air dari udara ke bahan.

2. Kadar Abu

Abu mengacu pada residu inorganik yang tersisa setelah oksidasi sempurna dari komponen organik bahan pangan. Nilai kadar abu hasil analisis produk ”s” adalah 1.73%. Nilai ini merupakan persentase nilai mineral yang terdapat pada sampel.

Kadar abu sampel target memiliki nilai dua kali lipat dari produk ”s”. Hal ini diduga karena sampel target sudah difortifikasi dengan mineral, terutama kalsium, yang terlihat dari komposisi pada label kemasan sampel target.

3. Kadar Protein

Protein merupakan makromolekul yang terdiri dari satu atau lebih polipeptida. Setiap polipeptida terdiri dari rantai asam amino dimana satu sama lain dihubungkan oleh ikatan peptida (Walsh, 2002). Menurut FAO (1995), komponen terbesar kedua dari sorghum adalah protein. Kadar protein produk ”s” adalah 4.14 %. Kadar protein produk ”s” ini tidak berbeda jauh dengan sampel target yang memiliki kadar protein 5.03%.

4. Kadar Lemak

Lemak merupakan salah satu golongan dalam lipida yang berwujud padat pada suhu ruang, berbeda dengan minyak yang berwujud cair pada suhu ruang. Lemak dapat larut dalam senyawa atau pelarut organik yang non-polar, seperti heksan, kloroform, dietil eter, dan sebagainya. Pada penelitian ini digunakan pelarut heksan untuk menentukan kadar lemak pada sampel. Kadar lemak yang terdeteksi pada produk ”s” adalah 1.69%, sedangkan pada sampel target adalah 5.03%.


(47)

5. Kadar Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Pada sorghum, bagian terbesar dari karbohidrat adalah pati. Sekitar 70-80 % pati sorghum adalah amilopektin, dan sisanya adalah amilosa. Kadar karbohidrat dapat ditentukan by difference, yaitu dengan menjumlahkan kadar protein, lemak, abu, air, lalu dikurangkan dengan 100%. Kadar karbohidrat yang terdeteksi pada produk ”s” dan sampel target tidak terlalu berbeda jauh. Kadar karbohidrat pada produk ”s” adalah 87.02%, sedangkan pada sampel target adalah 84.83%.

6. Kadar Serat Kasar

Serat adalah suatu karbohidrat kompleks di dalam bahan pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia, sehingga dapat mencapai usus besar dan dicerna oleh bakteri probiotik. Hal ini menjadikan serat bersifat prebiotik. Konsumsi serat yang cukup setiap harinya dapat mengurangi resiko terkena kanker kolon karena mempersingkat waktu transit makanan. Serat juga menjaga kesehatan mikroflora usus, mencegah hipertensi dan penyakit batu empedu, serta mencegah obesitas (Anonim b, 2004).

Serat kasar merupakan residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam atau alkali mendidih. Serat kasar terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan pentosan. Kadar serat kasar pada produk ”s” adalah 0.87%.

Kadar serat kasar sampel target memiliki kadar hampir dua kali lipat dari produk ”s”. Hal ini diduga karena sampel target sudah difortifikasi dengan serat yang terlihat dari label kemasan sampel target.

7. Total Fenol

Senyawa-senyawa fenolik memiliki aktivitas antioksidan karena kemampuannya mendonorkan atom hidrogen dari grup hidroksilnya kepada senyawa radikal. Menurut Gordon (1990), antioksidan fenolik


(48)

(AH) bekerja dengan mekanisme yang terlihat pada Gambar 7. Antioksidan fenolik (AH) bereaksi dengan oksida lipid dengan cara memberikan atom hidrogen secara terus menerus kepada radikal lipida (Reaksi 1 dan 2 pada Gambar 7). Reaksi berikutnya berkompetisi dengan rantai reaksi propagasi (Reaksi 5 dan 6 pada Gambar 7).

Sebelum dianalisis menggunakan metode Folin Ciocalteu, komponen fenolik pada sampel harus diekstraksi dahulu. Menurut Shahidi dan Naczk (1995), tidak ada pelarut yang memberikan hasil memuaskan dalam mengekstraksi atau mengisolasi semua jenis dari komponen fenol pada makanan. Hal ini disebabkan karena sifat alami dari komponen fenolik pada bahan pangan yang bervariasi, dari yang memiliki bentuk kimia sederhana sampai sangat terpolimerisasi. Selain itu, interaksi komponen fenolik dengan karbohidrat, protein, dan komponen bahan pangan lainnya mengakibatkan komponen fenolik sulit diekstrak.

ROO+ AH ROOH + A (1) RO + AH ROH + A (2) ROO+ A ROOHA (3) RO + A ROA (4) RO + RH ROOH + R (5) ROO+ RH R + ROOH (6) Gambar 7. Mekanisme antioksidan fenolik

Pemilihan metanol untuk mengekstrak komponen fenolik pada penlitian ini didasarkan pada hasil yang didapat oleh Youssef, et al. (1988). Youssef, et al. (1988), menggunakan pelarut metanol, metanol yang diasamkan dengan 1% HCl, serta aseton, untuk mengekstrak komponen polifenol pada biji sorghum. Komponen polifenol sorghum yang diekstrak dengan metanol dan dianalisis menggunakan metode Folin Ciocalteau memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pelarut aseton atau 1% HCl dalam metanol. Oleh sebab itulah dalam penelitian ini digunakan metanol untuk mengekstrak komponen fenolik.


(49)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26

[as.tanat] ppm

0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

ab

so

rb

an

si

Gambar 8. Kurva standar asam tanat

Penenturan total fenol menggunakan asam tanat sebagai standar, sehingga hasil total fenol dinyatakan dalam miligram Asam Tanat Ekivalen (ATE) per gram sampel. Kurva standar asam tanat dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil analisis, terdeteksi kadar fenol sampel yang larut dalam metanol sebesar 0.42 mg ATE/g.

E. PERBANDINGAN PRODUK ”S” DENGAN SAMPEL TARGET

Perbandingan produk ”s” dengan sampel target dilakukan dengan maksud untuk melihat kekurangan atau kelebihan produk ”s” terhadap sampel target. Hasil perbadingan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Zat gizi produk “s” (seperti kadar abu, protein, lemak, dan serat) relatif lebih rendah daripada zat gizi sampel target. Perkiraan penyebab rendahnya zat gizi ini sudah dibahas pada bagian D dari bab Hasil dan Pembahasan.

Nilai kalori produk “s” lebih kecil dari sampel target. Hal ini terutama dipengaruhi dari rendahnya kadar lemak produk “s”. Jika kadar lemak produk “s” dinaikkan menjadi 5%, maka total kalori produk “s” tidak jauh berbeda dengan sampel target. Meskipun total kalori sampel target lebih tinggi dari total kalori produk ”s”, jumlah kalori tersebut masih tidak mencukupi untuk kebutuhan kalori ideal saat makan pagi, yaitu 20-25% dari total kalori kebutuhan satu hari (Vergara, 2005; Mathews, 1996). Jikalau kebutuhan kalori

y = 0.0276x + 0.0034 R2 = 0.9985


(50)

seseorang 2000 kkal per hari, maka dibutuhkan kalori sebesar 400-500 kkal untuk makan pagi. Oleh karena itu, sebaiknya untuk sarapan tidak hanya mengkonsumsi sereal sarapan saja, tetapi sereal tersebut dikombinasikan dengan makanan atau minuman lain, seperti susu.

Tabel 6. Perbandingan produk “s” dengan sampel target

Atribut Produk "s" Sampel Target air (g per ukuran penyajian)

1.63 0.70

abu (g per ukuran penyajian)

0.52 0.91

protein (g per ukuran penyajian)

1.24 1.51

lemak (g per ukuran penyajian)

0.51 1.43

karbohidrat (g per ukuran penyajian)

26.11 25.45

serat kasar (g per ukuran penyajian)

0.26 0.57

kalori (kkal per ukuran penyajian) 113.95 120.72 Waktu rehidrasi / waktu penyajian < 3 menit < 3 menit

Hedonik rasa * 2.69 3.69

Hedonik aroma * 2.85 3.77

Hedonik overall * 2.95 4.05

Ranking * 3.28 5.38

* Nilai tersebut merupakan rata-rata dari penilaian panelis. Semakin rendah nilainya, semakin disuka produk tersebut. Hasil penilaian ini dapat dilihat lebih lengkap di Lampiran 1 – Lampiran 8.

Keterangan : Ukuran penyajian atau serving size adalah 30 gram.

Havard Health Publications (2005) mengutarakan bahwa kriteria utama makanan sereal sarapan adalah serat dan flavor. Paling sedikit 6 gram serat terkandung pada makanan sarapan. Baik produk ”s” maupun sampel target tidak memenuhi kriteria tersebut, sehingga dianjurkan untuk mengkonsumsi sumber serat lain seperti buah-buahan atau sayur-sayuran untuk melengkapi kebutuhan serat.

Waktu rehidrasi atau waktu penyajian kedua produk sama-sama kurang dari tiga menit. Tiga menit dibuat menjadi patokan karena pada umumnya


(51)

makanan instan atau makanan siap santap membutuhkan waktu kurang dari tiga menit dalam penyajiannya.

Berdasarkan hasil uji organoleptik terhadap penerimaan produk, maka secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 6 bahwa produk ”s” lebih unggul dibanding dengan sampel target. Jika dilihat dari uji ranking (lihat Lampiran 8), maka produk ”s” menempati ranking kedua, sedangkan sampel target menempati ranking ketujuh (ranking terakhir).


(1)

BIODATA PENULIS

Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Howardi Somali dan Noviriyani, dilahirkan di Bekasi, 15 Desember 1984. Penulis memiliki seorang adik perempuan bernama Marvelna Vidicia yang dilahirkan lima tahun kemudian. Penulis menempuh pendidikan formal di SD Santo Markus Jakarta (1990-1996), SLTP Marsudirini Jakarta (1996-1999), SMU Kristen 1 BPK PENABUR KPS Jakarta (1999-2002), dan melalui jalur SPMB, penulis melanjutkan perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor - Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (2002-2006). Selain pendidikan formal, penulis juga mengikuti pendidikan non-formal dalam bidang musik, bahasa, olahraga, teknologi informatika, serta desain grafis.

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif menjadi pengurus di Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB - Komisi Literatur dan Persekutuan Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis juga turut mewakili IPB dalam kejuaraan tenis meja tingkat nasional “ITB Open” tahun 2004. Untuk menunjang pendidikan formal, penulis mengikuti berbagai seminar serta pelatihan yang diadakan di kampus maupun di luar kampus.

Pada bulan Juli sampai Agustus 2005 penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang (PL) selama 40 hari di Laboratorium School of Public Health - Curtin University of Technology – Perth, Western Australia, sebagai researcher assistant. Hasil praktek lapang tersebut dipublikasikan dalam bentuk laporan Praktek Lapang dengan judul “Mempelajari Isolasi Protein dari Canola Meal di Laboratorium School Of Public Health – Curtin University Of Technology”.


(2)

KATA PENGANTAR

Skripsi yang berjudul “Pengembangan Produk Sereal Sarapan Siap Santap Berbasis Sorghum” merupakan tugas akhir yang disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu daan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penekanan karya tulis ini terletak pada aspek pengembangan produk dari sorghum sehingga dapat mendukung diversifikasi pangan yang merupakan program pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan terhadap aspek penerimaan konsumen terhadap produk yang dapat dilihat dari uji organoleptik.

Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi mahasiswa maupun pihak industri dalam mengembangkan produk sorghum. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menerima semua kritik dan saran dari pembaca. Kritik dan saran tersebut dapat dikirimkan melalui e-mail penulis, yaitu [email protected]. Akhir kata, penulis mengharapkan agar karya tulis skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2006


(3)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah Bapa di surga atas kasih, anugerah, dan penyertaanNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ir. Sutrisno Koswara, MSi, sebagai Dosen Pembimbing, yang telah mendampingi serta membimbing penulis selama menempuh pendidikan sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan – Institut Pertanian Bogor. Terima kasih pula kepada Dr. Ir. M. Arpah, MSi dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr, selaku dosen penguji. Selain itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada bapak Iyas serta bapak Sobirin yang telah banyak membantu penulis sewaktu bekerja di Pilot Plant Seafast Center dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada keluargaku tersayang (Papa, Mama, dan Vici) atas segala doa dan dukungannya, baik moral maupun materiil. Terima kasih pula atas doa dan dukungannya kepada oma, opa, semua oom dan tante, serta saudara-saudara sepupu. Begitu pula kepada Christian atas kesabaran, semangat, serta kasih sayangnya kepada penulis.

Tak lupa penulis mengucapakan terima kasih kepada koko Tata, LEADER, FAITH, para panelis, Joseph, Fajar, mba Santi, Yessica, Inggrid, Ratry, Hanna, Anita, Randy, Anissa, Pretty, Shinta, Ribka, dan seluruh teman-teman ITP ’39, atas kesediaannya berbagi suka duka bersama penulis serta membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis skripsi ini.

Bogor, Mei 2006


(4)

DAFTAR ISI

BIODATA PENULIS ...iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. SORGHUM ... 4

1. Botani Sorghum ... 4

2. Struktur Biji ... 6

3. Sifat dan Komposisi Kimia Biji Sorghum ... 7

4. Potensi Sorghum Sebagai Sumber Pangan ... 9

5. Pemanfaatan Biji Sorghum Non-Pangan ... 12

B. SEREAL SARAPAN (BREAKFAST CEREAL)... 12

C. TEKNOLOGI PEMBUATAN SEREAL SARAPAN... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN... 16

A. BAHAN DAN ALAT ... 16

B. METODE PENELITIAN... 16

1. Pendahuluan... 16


(5)

3. Pengujian Organoleptik... 18

4. Analisis Kimia ... 19

a. Kadar Air... 19

b. Kadar Abu ... 19

c. Kadar Protein... 20

d. Kadar Lemak ... 20

e. Kadar Karbohidrat ... 21

f. Kadar Serat Kasar ... 21

g. Total Fenol ... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 23

A. METODE PRODUKSI SORGHUM FLAKES... 23

B. PENETAPAN FORMULA ... 28

C. UJI ORGANOLEPTIK ... 29

D. ANALISIS KIMIA ... 32

1. Kadar Air... 33

2. Kadar Abu ... 34

3. Kadar Protein... 34

4. Kadar Lemak ... 34

5. Kadar Karbohidrat ... 35

6. Kadar Serat Kasar ... 35

7. Total Fenol ... 35

E. PERBANDINGAN PRODUK "S" DAN SAMPEL TARGET... 37

V. KESIMPULAN ... 40

A. KESIMPULAN ... 40

B. SARAN ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai jenis serealia... 7

Tabel 2. Perbandingan hasil flakes metode A, B, dan C... 28

Tabel 3. Formula produk sereal sarapan sorghum... 29

Tabel 4. Hasil analisis kimia produk “s” dan sampel target ... 33

Tabel 5. Informasi nilai gizi pada label sampel target ... 33