baik, halal dan bermanfaat bagi manusia,
78
juga memanfaatkan segala anugerah- Nya
79
sebagai wujud ketaatan kepada-Nya.
80
Sumber hukum perlindungan konsumen dalam Islam, praktis sama persis dengan sumber hukum Islam yang diakui oleh mayoritas ulama jumhur ulama,
yakni; Alqur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Alqur’an dan Sunnah dapat berdiri sendiri sebagai dalil hukum, sedangkan Ijma’ dan Qiyas tidak dapat berdiri sendiri sebagai
dalil hukum, karena proses Ijma’ dan Qiyas harus berdasarkan kepada dalil penyandaran dari Al-Qur’an dan Sunnah.
81
B. Hak-Hak Konsumen Atas Kehalalan Produk Makanan
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan erat dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun
materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih- lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen
sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen dimaksud untuk
menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban konsumen tersebut. Presiden Jhon. F. Kennedy dalam pidatonya dihadapan kongres pada tahun
1962 menyebutkan, ada 4 empat hak konsumen yang perlu dilindungi,
82
yaitu:
78
QS 2:172; 5:4,5; 16:114; 23:51
79
QS 7:32
80
QS 2:35; 2:168
81
Wahbah al-Zuhailiy, Ushul Fiqh al-Islamiy, Beirut : Dar al-Fikri, 1986, Jilid I, hal. 558
82
Bismar Nasution, Op. Cit, h. 121. Lihat juga Mariam Darus Badrul Zaman, Op. Cit, h. 5. Lihat juga Shidarta, Op. Cit, hal.16
Universitas Sumatera Utara
1. Hak memperoleh keamanan the right to safety. Aspek ini terutama ditujukan
pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang danatau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini
pemerintah mempunyai peranan dan tanggung jawab yang sangat penting. Berbagai bentuk perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk
penanggulangannya. Sekalipun dibanding dengan meningkatnya produksi, karena pembangunan ribuan jenis barang danatau jasa dirasakan peraturan untuk
menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang.
83
2. Hak memilih the right to choose. Hak ini bagi konsumen sebenarnya telah
ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang danatau jasa yang dibutuhkannya. Oleh karena itu tanpa ditunjang oleh hak
untuk mendapatkan informasi yang jujur, tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai maka hak ini tidak akan banyak artinya. Apalagi
dengan meningkatnya teknik penggunaan pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak ditentukan oleh faktor-faktor diluar diri
konsumen.
84
3. Hak mendapat informasi the right to be informed. Hak ini mempunyai arti yang
sangat fundamental bagi konsumen bila dilihat dari sudut kepentingan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan mengenai sesuatu barang yang akan
dibelinya atau akan mengikat dirinya, haruslah diberikan selengkap mungkin dan
83
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika, Fakultas Hukum UNAIR, 1992, hal. 49
84
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dengan penuh kejujuran, informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media komunikasi seharusnya disepakai bersama untuk tidak
menyesatkan.
85
4. Hak untuk didengar the right to be heard. Hak ini dimaksudkan untuk menjamin
kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam
pembentukan kebijaksanaan tersebut.
86
Pidato Jhon F. Kennedy tersebut menjadi inspirasi Perserikatan Bangsa- bangsa, sehingga PBB mengeluarkan resolusi Nomor 39248 Tahun 1984 tentang
Perlindungan Konsumen Guidelines for Consumer Protection yang merumuskan enam kepentingan konsumen yang harus dilindungi, meliputi:
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan kemanannya;
2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
4. Pendidikan konsumen;
5. Tersedianya ganti rugi yang efektif;
6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang
relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk
85
Ibid, hal. 50
86
Ibid
Universitas Sumatera Utara
menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
87
Organisasi Konsumen Sedunia International Organization of Consumers Union-IOCU menambahkan 4 hak dasar konsumen yang harus dilindungi, yaitu:
1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
2. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
88
Masyarakat Ekonomi Eropa juga telah menetapkan hak-hak dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan, yaitu :
1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan
2. Hak kepentingan ekonomi
3. Hak mendapat ganti rugi
4. Hak atas penerangan
5. Hak untuk didengar.
89
Tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, mereka bebas untuk menerima seluruhnya atau sebagian, misalnya YLKI
menambahkan satu hak dasar lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen,
87
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta : Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004, hal. 7. Lihat juga
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Op. Cit, hal. 27-28
88
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Yakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 39
89
Mariam Darus, Op. Cit, h. 53. Lihat juga Inosentius Samsul, Op. Cit, hal.7
Universitas Sumatera Utara
yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca-hak Konsumen.
90
Menurut Prof. Hans W. Micklitz,
91
dalam perlindungan konsumen secara garis besar dapat ditempuh dua model kebijakan. Pertama, kebijakan yang bersifat
komplementer, yaitu kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha memberikan informasi yang memadai kepada konsumen hak atas informasi. Kedua, kebijakan
kompensatoris, yaitu kebijakan yang berisikan perlindungan terhadap ke-pentingan ekonomi konsumen hak atas keamanan dan kesehatan. Konsumen tidak cukup
dilindungi hanya berdasarkan kebijakan komplementer memberikan informasi saja, tetapi juga harus ditindaklanjuti dengan kebijakan kompensatoris guna
meminimalisasi risiko yang ditanggung konsumen. Misalnya dengan mencegah produk berbahaya untuk tidak mencapai pasar sebelum lulus pengujian.
Dalam ekonomi Islam, konsumen dikendalikan oleh lima prinsip dasar, yaitu; prinsip kebenaran, kebersihan, kesederhanaan, kemaslahatan, dan moralitas.
92
Prinsip kebenaran, prinsip ini mengatur agar konsumen untuk mempergunakan barang danatau jasa yang dihalalkan oleh Islam, baik dari segi zat,
proses produksi, distribusi, hingga tujuan mengkonsumsi barang danatau jasa tersebut.
93
Maka dalam ekonomi Islam barang danatau jasa yang halal dari segi
90
Shidarta, Op. Cit, hal. 16
91
Ibid, hal. 49
92
M.A. Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice, Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980, hal. 80
93
QS 7:157
Universitas Sumatera Utara
zatnya dapat menjadi haram, ketika cara memproduksi dan tujuan mengkonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan syara’.
Prinsip kebersihan, bahwa konsumen berdasarkan ajaran Islam harus mengkonsumsi barang danatau jasa yang bersih, baik, tidak kotor atau menjijikkan,
serta tidak bercampur dengan najis. Karena barang danatau jasa yang haram, kotor, dan bernajis membawa kemudaratan duniawi dan ukhrawi.
94
Prinsip kesederhanaan, Islam memberikan standarisasi bagi konsumen untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa, serta mampu
mengekang hawa nafsu dari pemborosan dan keinginan yang berlebihan.
95
Selain itu, Islam juga mengajarkan kepada konsumen untuk menjaga keseimbangan, tidak
terlalu kikir dan tidak terlalu berlibihan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa.
96
Prinsip kemaslahatan, bahwa Islam membolehkan konsumen untuk mempergunakan barang danatau jasa selama barang danjasa tersebut memberikan
kebaikan serta kesempurnaan dalam mengabdikan diri kepada Allah. Disamping itu, Islam juga membolehkan konsumen untuk mengkonsumsi barang danatau jasa yang
haram jika dalam dalam keadaan tertentu darurat atau kondisi terpaksa, selama tidak berlebihan dan tidak melampuai batas.
97
Prinsip moralitas atau akhlak, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum melakukan seuatu dan menyatakan terima kasih kepada-Nya
94
QS 2:219; 5:90; 6:145;
95
QS 6:141; 7:31; 25:67
96
QS 25:67
97
QS 2:173; 6:119,145; 16:115
Universitas Sumatera Utara
setelah melakukan sesuatu. Islam mengajarkan agar konsumen memenuhi etika, kesopanan, bersyukur, zikir dan fikir, serta mengesampingkan sifat-sifat tercela
dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
98
Di Indonesia, signifikansi pengaturan hak-hak konsumen melalui undang- undang merupakan bagian dari implimentasi sebagai suatu negara kesejahteraan,
karena Undang-undang Dasar 1945 disamping sebagai konstitusi politik juga dapat disebut konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara
kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad 19.
99
Indonesia melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan tegas telah menyebutkan hak-hak konsumen, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut: 10.
Hak atas keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa
11. Hak untuk memilih barang danatau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan 12.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur dan mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa
13. Hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang danatau jasa yang
digunakannya
98
QS 2:177; 3:191; 14:7; 36:35; 76:8
99
Jimmly Asshiddiqie, Undang-undang Daar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya, Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 1-2
Universitas Sumatera Utara
14. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut 15.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen 16.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif
17. Hak untuk mendapat konpensasi, ganti rugi danatau penggantian, apabila barang
danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
18. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya, seperti: Hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat Pasal 5 ayat 1 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan sebagainya.
Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK tersebut, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7
UUPK yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat
sebagai hak konsumen. Dalam Pasal 7 UUPK disebutkan bahwa, kewajiban pelaku usaha adalah:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharan;
Universitas Sumatera Utara
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; 4.
Menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, danatau mencoba barang
danatau jasa tertentu serta memberi jaminan danatau garansi atas barang yang dibuat danatau diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi ganti rugi danatau penggantian apabila barang danatau
jasa yang diterima atau dimanfatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Selain hak-hak yang telah disebutkan tersebut, ada juga hak untuk dilindngi
dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur, yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” unfair competition atau “persaingan usaha tidak sehat”.
100
Selain memperoleh hak-hak tersebut, konsumen juga diwajibkan untuk: 1.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa .
100
Ningrum Natasya Sirait, Op. Cit, hal.20
Universitas Sumatera Utara
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
101
Secara umum hubungan hukum antara produsen atau pelaku usaha dengan konsumen pemakai akhir dari suatu produk merupakan hubungan yang terus
menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena adanya saling keterkaitan kebutuhan antara pihak produsen dengan konsumen.
Menurut Sudaryatmo, hubungan hukum antara produsen dengan konsumen karena keduanya menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup
tinggi antara yang satu dengan yang lain.
102
Hubungan hukum antara produsen dengan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi,
pemasaran dan penawaran.
103
Produsen membutuhkan dan bergantung kepada dukungan konsumen sebagai pelanggan, dimana tanpa adanya dukungan konsumen maka tidak mungkin
produsen dapat menjamin kelangsungan usahanya, sebaliknya konsumen membutuhkan barang dari hasil produksi produsen. Saling ketergantungan kebutuhan
tersebut diatas dapat menciptakan suatu hubungan yang terus dan berkesinambungan sepanjang masa.
Secara individu hubungan hukum antara konsumen dengan produsen adalah bersifat keperdataan, yaitu karena perjanjian jual beli, sewa beli, penitipan dan
101
Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 5
102
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 23
103
Basu Swastia, Manajemen Modern, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Namun karena oleh produk yang dihasilkan oleh produsen tersebut dapat dimanfaatkan oleh banyak orang, maka secara kolektif hubungan hukum antara
konsumen dengan produsen tidak lagi hanya menyangkut bidang hukum perdata, akan tetapi juga memasuki bidang hukum publik, seperti hukum pidana, hukum
administrasi negara dan sebagainya. Dari hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha telah
melahirkan beberapa doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, sebagai berikut:
1. Let the buyer beware atau caveat emptor
104
berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang seimbang, sehingga tidak perlu ada proteksi
apapun bagi konsumen. Menurut doktrin ini, dalam hubungan jual beli keperdataan yang wajib berhati-hati adalah pembeli konsumen, dengan
demikian akan menjadi kesalahan dan tanggung jawab konsumen sendiri bila ia sampai membeli dan mengkonsumsi produk yang tak tidak layak. Doktrin ini
banyak ditentang oleh gerakan perlindungan konsumen konsumerisme. Dengan adanya UUPK, kecenderungan caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya
menuju caveat venditor
105
pelaku usaha yang perlu berhati-hati.
106
104
Doktrin caveat emptor mengharuskan si pembeli berhati-hati. Hal ini memberikan penekanan terhadap ketentuan yang menyatakan seorang pembeli harus memeriksa, menimbang dan
mencobanya sendiri. Doktrin ini juga mengharuskan pembeli agar peduli dan ingat bahwa ia sedang membeli haknya orang lain. Si pembeli harus berhati-hati tentang keadaannya ketika ia membeli hak
orang lain. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co. St. Paul, Minn, 1990, hal. 222
105
Doktrin caveat venditor merupakan lawan caveat emptor yang diartikan sebagai si penjual harus berhati-hati let the seller beware. Ibid
106
Shidarta, Op. Cit, hal. 50
Universitas Sumatera Utara
2. The due care theory, doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya, baik barang maupun jasa, dan selama berhati-hati maka pelaku usaha tidak dapat
dipersalahkan bila terjadi kerugian yang diderita oleh konsumen. Jika ditafsirkan secara a-contratio, maka untuk menyalahkan pelaku usaha, seseorang konsumen
harus dapat membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut telah melanggar prinsip kehati-hatian.
107
3. The privity of contract, doktrin ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai
kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjadi suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak
dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar yang telah diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat pelaku usaha berdasarkan wanprestasi contractual liability.
108
Undang-undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha, dan telah melahirkan 2 dua bentuk tanggung
jawab, yaitu: tanggung jawab produk
109
product liability dan tanggung jawab professional
110
professional liability.
111
107
Ibid, hal. 51
108
Ibid, hal.52
109
Tanggung jawab produk yang biasa di sebut “product liability” adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk product manufacturer
atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk processor, assembler atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan seller,
distributor produk tersebut. Lihat H.E. Saefullah, Tanggung Jawab Produsen Terhadap Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Produk dalam menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam
Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, h. 5. Nahattands v.
Lambocks menyebutkan bahwa product liability adalah suatu konsepsi hukum yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu dengan jalan membebaskan
Universitas Sumatera Utara
Tanggung jawab produk dapat diartikan sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran, yang menimbulkan atau
menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Kata “produk” diartikannya sebagai barang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak tetap. Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual perjanjian atau berdasarkan undang-undang gugatannya atas perbuatan melawan hukum, namun
dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir tortuous liability.
112
Pasal 19 Ayat 1 UUPK secara lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk ini dengan menyatakan: “Pelaku usaha bertanggungjawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”.
Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, maka tanggung jawab professional professional liability lebih berhubungan dengan
jasa.
113
Sama seperti dalam tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam tanggung jawab professional ini dapat timbul karena para penyedia jasa professional
konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab produsen untuk memberikan ganti rugi.
Lihat dalam Nurmardiito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang perlindungan Konsumen Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Makalah dalam Seminar Nasional Perspektif
Hukum Perlindungan konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 1998, hal. 17
110
Tanggung jawab professional professional liability adalah tanggung jawab hukum legal liability dalam hubungan dengan jasa professioanal yang diberikan kepada klien atau
konsumen. Lihat Shidarta, Op. Cit, hal.68
111
Undang-undang Perlindungan Konsumen Bab VI Pasal 19 sampai Pasal 28
112
Shidarta, Op. Cit, hal. 65
113
Jenis jasa yang diberikan dalam hubungan antara tenaga professional dan kliennya juga berbeda. Ada jasa yang diperjanjikan menghasilkan sesuatu resultaat verbintenis, tetapi ada yang
diperjanjikan untuk mengupayakan sesuatu inspanningsverbintenis. Kedua jenis perjanjian ini memberi konsekuensi yang berbeda dalam tanggung jawab professional yang bersangkutan. Ibid
Universitas Sumatera Utara
tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan
hukum.
114
Pelanggaran terhadap tanggung jawab professional ini dapat berimplikasi sangat membahayakan jiwa konsumen, misalnya malpraktik di bidang kedokteran.
Oleh karena itu, Pasal 19 Ayat 1 UUPK sekaligus juga memuat tanggung jawab pelaku usaha di bidang jasa.
Konsepsi tanggung jawab dalam pengaturan UUPK secara mendasar mempunyi perbedaan dengan pengaturan tanggung jawab dalam KUH Perdata.
Menurut KUH Perdata bahwa tanggung jawab pelaku usaha produsen untuk memberikan ganti kerugian didapat setelah konsumen yang menderita kerugian dapat
membuktikan bahwa kerugian yang timbul merupakan kesalahan dari pelaku usaha vide Pasal 1365 KUH.Perdata jo Pasal 163 HIR283 Rbg. Sedangkan dalam UUPK
mengatur kewajiban sebaliknya, dimana pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa kerugian yang diderita konsumen bukan merupakan dari akibat
kesalahankelalaian pelaku usaha, sekalipun dalam hal ini pihak konsumen yang pertama mengajukan dalil kerugian tersebut vide Pasal 19 sd 28 UUPK, dan inilah
yang dikenal dengan tanggung jawab mutlak strick liability
115
.
114
Untuk menentukan apakah suatu tindakan menyalahi tanggung jawab profesioanl, maka perlu ada ukuran yang jelas. Indikator tersebut ditetapkan tidak dalam undang-undang, tetapi
ditetapkan oleh asosiasi profesi. Asosiasi inilah yang menetapkan standar pelayanan yang wajib diberikan kepada klien dari setiap tenaga professional yang berkecimpung dalam profesi
tersebut. Ibid, hal. 68
115
Tanggung jawab mutlak strict liability dalam hukum perlindungan konsumen dirasakan sangat penting, paling tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu: pertama, tanggung jawab
mutlak merupakan istrumen hukum yang relative masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian. Kedua, tanggung jawab mutlak merupakan bagian dan hasil dari
Universitas Sumatera Utara
Dalam prinsip tanggung jawab mutlak strict liability memberikan pengertian bahwa tergugat selalu bertanggungjawab tanpa melihat ada atau tidaknya
kesalahan atau tidak melihat siapa yang bersalah, tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai sesuatu tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada
hakekatnya ada atau tidak ada.
116
Namun demikian, hal ini tidak selamanya diterapkan secara mutlak, karena dalam tanggung jawab mutlak sekalipun masih tetap
ada pengecualian yang membebaskan tergugat dari tanggung jawabnya. Pengecualian yang dimaksud antara lain adalah keadaan force majeure, atau suatu kondisi terpaksa
yang terjadi karena keadaan alam dan tidak mungkin dihindari. Konsep tanggung jawab mutlak strict liability yang ada dalam UUPK itu
sendiri, di Amerika Serikat telah dikenal dan diberlakukan sejak tahun 1960-an. Dimana dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini semua konsumen
yang dirugikan akibat suatu produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur
kesalahan pada pihak produsen. Dua kasus utama yang merupakan prinsip
perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam prakteknya sering menampakkan kesenjangan antara standar yang diterapkan di negara yang satu dengan negara
lainnya, dan kesenjangan dalam negara yang bersangkutan, yitu antar kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip tanggung
jawab mutlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produse menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan
yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen. Lihat Inosentius Samsul, Op. Cit, hal. 1
116
Endang Saefullah Wiradipraja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Udara Indonesia, Eresco, Bandung, 1991, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab mutlak, yang kemudian diikuti oleh pengadilan-pengadilan lain adalah kasus Spence V Theree Builders and Mansory Supply Inc 1959.
117
Dalam sistem hukum Amerika Serikat untuk menjerat produsen agar bertanggung jawab terhadap produk yang merugikan konsumen, maka dimungkinkan
untuk menerapkan asas strict liability atau digunakan istilah tanggung jawab tidak terbatas menurut Robert N. Gorley sebagaimana dikutip M. Yahya Harahap, strict
liability ditegakkan pada prinsip:
118
1. Pertanggungjawaban hukum atas setiap perbuatan atau aktivitas yang
menimbulkan kerugian jiwa atau harta terhadap orang lain. 2.
Pertanggungjawaban hukum tanpa mempersoalkan kesalahan baik yang berupa kesengajaan maupun kelalaian.
Alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak strict liability diterapkan dalam hukum product liability adalah :
119
1. Diantara korbankonsumen disatu pihak dan produsen dilain pihak beban
kerugian resiko seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi atau mengeluarkan barang-barang dipasaran.
2. Dengan menerapkanmengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen
menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian maka produsen harus bertanggungjawab.
117
Lebih lanjut lihat dalam, D.L. Dann, Strict Liability Indonesia The USA, dalam Aviation Products and grauding Liability Syimposium, The Royal Acrunautical Sociaty, London, 1972, hal. 15
118
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal.22
119
Ibid, hal.16-17
Universitas Sumatera Utara
3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak produsen yang
melakukan kesalahan dapat dituntut melalui proses tuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pedagang eceran kepada grosir, grosir kepada
distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang cukup panjang ini.
C. Pengaturan Penggunaan Label Halal