Semiologi Roland Barthes Uraian Teoritis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengatakan bahwa bahasa tulisan merupakan derivatrepresentasi dari bahasa lisan, sehingga bahasa lisan itulah objek kajian utama linguistik. Bagi de Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas arbitrer, yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda Sobur, 2004: 31-32. Pada dasarnya apa yang disebut sebagai penanda dan petanda merupakan produk kebudayaan yang hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer dan hanya berdasarkan pada konvensi, kesepakatan atau peraturan dari budaya pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara penanda dengan petanda secara bersamaan membentuk tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain. Keduanya membentuk satu kesatuan yang sering kali disebut sebagai struktur. Begitu pula hubungan antara “langue” dan “parole,” keduanya tak terpisahkan sehingga membentuk sebuah struktur, yakni “langage.” Hierarki oposisi biner dalam pemaknaan de Saussure pertinensi dan komutasi dalam kaidah analisis struktural inilah yang menjadikan semiotika ini disebut semiotik struktural. Perkembangan dari strukturalisme ke semiotik terbagi dua, yakni yang sifatnya melanjutkan, yakni kontinuitas Hjemslev, Barthes, dan yang sifatnya mulai meninggalkan tapi masih memperlihatkan dasar strukturalismenya, yakni evolusi Foucault, Lacan, Ricœur, Derrida. Dalam perkembangan selanjutnya, Barthes misalnya, tidak melepaskan kaidah-kaidah analisis struktural Hoed, 2014: 44.

II.2.2 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes 1915-1980 adalah salah satu tokoh semiotika struktural sampai pascastruktural. Sebagai penerus de Saussure, Barthes setuju dengan konsep oposisi biner penanda dan petanda milik de Saussure. Barthes dan de Saussure sama-sama menganut teori tanda yang dikotomis atau diadik, yaitu tanda terdiri dari dua komponen yang berbeda tetapi berkaitan erat satu sama lain seperti dua sisi selembar kertas. Konsep oposisi biner dan hubungannya sintagmatik dan paradigmatik yang dikembangkan de Saussure inilah yang kemudian menjadi cikal bakal strukturalisme. Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Pada 1976, Barthes diangkat sebagai profesor untuk “semiologi literer” di College de France. Barthes telah banyak menulis buku dan mencipta karya, antara lain: Le degre zero de l’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis” 1953, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing Degree Zero, 1977, Michelet 1954, Mythologies 1957, Criticial Essays 1964, Eléments de sémiologie 1964, Criticism and Truth 1966, The Fashion System 1967, S Z 1970, The Empire of Sign 1970, Sade, Fourier, Loyola 1971, The Pleasure of the Text 1973, Roland Barthes by Roland Barthes 1975, The Death of Author 1977, A Lover’s Discourse: Fragments 1977, Camera Lucida: Reflections on Photography 1980, The Grain of the Voice: Interviews 1962-1980 1981, The Responsibility of Forms 1982, L’aventure Sémiologique 1985, dan banyak lagi karya serta tulisan Barthes lainnya Sobur, 2004: 63-67. Semiologi Barthes pada awalnya didasarkan pada kritik budaya, eksplorasi tanda-tanda, budaya massa sebagai bentuk mitos yang menandai hadirnya petit bourgeois borjuis kecil yang dianggap sebagai representasi universal. Pada tulisannya yang berjudul Systéme de la Mode Sistem Mode Barthes, 1967, ia menjelaskan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam dunia mode penuh dengan idealisme kaum borjuis. Seperti konsep mode celana gentleman yang dianggap cocok dengan jas dan dasi, diterima oleh masyarakat seakan-akan sebagai sebuah kebenaran absolut Barthes, 2007: vi. Teori semiologi Barthes secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure. De Saussure mengemukakan empat konsep teoritis, yakni konsep langue-parole, signifiant-signifié, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni- diakroni. Empat konsep dasar ini digunakan dan dikembangkan oleh Barthes dalam bukunya Eléments de sémiologie 1964 yang terbit di Paris Penerbit Seuil. Dua dari beberapa konsep yang dikembangkan oleh Barthes, yaitu sintagmatik dan paradigmatik, denotasi dan konotasi. Barthes mengembangkan pandangan sintagmatik dan paradigmatik dengan berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala kebudayaan sebagai tanda. Sintagme merupakan suatu susunan yang didasari oleh Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA hubungan sintagmatik, sintagme berbeda dari sistem. Barthes menjelaskannya lewat pengamatannya terhadap mode busana. Secara singkat, sintagme merupakan gatra ruang kosong yang memiliki “fungsi” masing-masing. Keseluruhan urutan sintagme tersebut membentuk sebuah struktur. Dalam hal mode busana, terdapat proses diferensiasi memiliki tempat sendiri serta masing-masing saling membedakan antar sintagme sehingga membentuk makna masing-masing, dan karenanya sintagme-sintagme itu berada dalam suatu relasi paradigmatik. Sementara itu, dalam hal praktik busana, sintagme-sintagme tersusun sesuai dengan tempatnya pada tubuh manusia, terjukstaposisi dalam suatu susunan. Susunan tersebut disebut susunan sintagmatik Hoed, 2014: 23. Dalam sistem busana kita, terdapat a tutup kepala, b pelindung tubuh bagian atas, c pelindung tubuh bagian bawah, d alas kaki. Dalam kebudayaan busana di dunia, masing-masing mempunyai ciri fisik yang berbeda dan diberi nama khusus. Misalnya untuk a topi, peci, lobe, kerudung; b baju, blus, blazer, tank top, t-shirt, kaftan, jas; c celana panjang, celana pendek, jeans, kain sarung; d sepatu, sendal, terompah, geta. Urutan a sampai d merupakan urutan sintagmatis, setiap bagian atau gabungannya merupakan sintagme, sintagme- sintagme tersebut berada dalam relasi paradigmatik karena setiap sintagme sudah memiliki tempatnya sendiri serta saling membedakan sehingga membentuk makna masing-masing Hoed, 2014: 23-24. Barthes kemudian mengembangkan model dikotomis penanda-petanda de Saussure menjadi lebih dinamis. Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya, penanda adalah “ekspresi” E tanda, sedangkan petanda ada “isi” dalam bahasa Prancis contenu [C], dan tanda adalah “relasi” R antara E dan C. model tersebut dikenal dengan E-R-C Hoed, 2014: 25 Model E-R-C disebut juga sebagai pemaknaan sistem “pertama” denotasi. Biasanya pemakai tanda mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut Barthes sebagai sistem “kedua” metabahasa dan konotasi. Metabahasa adalah pengembangan makna pada segi E, dan membentuk “kesinoniman.” Segi ini merupakan segi “retorika bahasa” bahasa dalam arti umum. Jika pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi merupakan segi “ideologi” tanda. Berikut adalah peta tanda metabahasa dan konotasi Roland Barthes: Gambar II.2 Peta Tanda Metabahasa dan Konotasi Roland Barthes E 2 R 2 C 2 sistem sekunder METABAHASA E 1 R 1 C 1 sistem primer Orang yang pandai DENOTASI mengobati secara spiritual sistem sekunder E 2 R 2 C 2 KONOTASI orang jahat, kaki tangan setan, syirik dan musyrik Sumber: Barthes, 1957, 1964 dalam Hoed, 2014: 97-98 dengan sedikit penambahan interpretasi dari peneliti Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan latar belakang pengetahuan serta konvensi sosial yang ada di dalam masyarakatnya. Dalam teori linguistik, konotasi tidak dijelaskan sebagai makna dalam rangka E dan C, tetapi merupakan reaksi pemberian nilai terhadap Tanda orang pintar paranormal dukun dukun Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA suatu tanda. Misalnya pada kata mati, meninggal, tutup usia, pemilihan kata tersebut berdasarkan penilaian atas setiap kata itu reaksi emosional: kasar, halus, pantas, tidak pantas, positif atau negatif. Barthes menggunakan konsep konotasi untuk membahas makna gejala budaya. Dalam bukunya Mythologies 1957, Barthes menggunakan konotasi untuk melakukan kritik budaya. Seperti konotasi le vin minuman anggur sebagai “minuman totem” boisson-totem, yakni minuman yang berkonotasi “keprancisan” Frenchness. Bagi masyarakat Prancis, minuman anggur bukan sekadar minuman beralkohol, melainkan minuman yang dirasakan sebagai pemameran étalement, display; sebagai ajang unjuk gigi dan prestise kesenangan étalement d’un plaisir, bukan sekadar minuman memabukkan yang membawa pada tindakan bercinta philtre, melainkan suatu tindakan minum yang berefek jangka panjang dalam kehidupan sosial, sedangkan tindakan minumnya memiliki nilai retoris. Menurut Barthes, konotasi minuman anggur berakar pada kebudayaan Prancis selama berabad-abad sehingga menjadi mitos Hoed, 2014: 25-26. Barthes berbicara tentang mitos melalui proses konotasi pengembangan model penanda-petanda de Saussure yang hidup dalam masyarakat tertentu. Bila konotasi menjadi tetap, maka akan menjadi mitos. Bila mitos menjadi mantap akan menjadi ideologi. Penekanan teori tentang tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Model konotasi Barthes dapat diterapkan pada kebudayaan nonbahasa. Modelnya dapat diterapkan pada simbol atau ikon suatu hal. Misalnya pada masyarakat tertentu, bendera Nabi Muhammad SAW bukan sekedar bendera perang dan persatuan umat Muslim. Relasi [R] antara E konsep bendera Nabi Muhammad SAW dan C Salah satu lambang yang mewakili umat Muslim dan bendera perang Nabi Muhammad SAW pada sistem primernya memang demikian. Akan tetapi untuk kalangan tertentu, terjadi perkembangan C dalam sistem sekundernya, yakni ‘lambang teroris,’ ‘bendera ISIS.’ Relasi antara E dan C berubah dalam sistem sekundernya. Ini adalah suatu gejala konotasi yang semakin menguat sejak sepak terjang kelompok ekstrimis ISIS yang Universitas Sumatera Utara UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengatasnamakan Agama Islam dalam menduduki wilayah-wilayah Timur Tengah demi membentuk Negara Islam Irak dan Suriah. Saat berbicara mitos, maka kita akan berbicara mengenai kajian budaya masyarakat setempat. Proses konotasi menjadi mitos sudah jauh dari konsep awal de Saussure. Walaupun strukturalisme de Saussure masih terlihat di sini, tapi Barthes telah meninggalkan de Saussure jauh di depan. Pada tahap konotasi, mitos dan ideologi, Barthes tidak lagi masuk pada kaum strukturalis, tapi sudah masuk pada golongan awal pascastrukturalis.

II.2.3 Evolusi Pascastruktural