UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengatasnamakan Agama Islam dalam menduduki wilayah-wilayah Timur Tengah demi membentuk Negara Islam Irak dan Suriah.
Saat berbicara mitos, maka kita akan berbicara mengenai kajian budaya masyarakat setempat. Proses konotasi menjadi mitos sudah jauh dari konsep awal
de Saussure. Walaupun strukturalisme de Saussure masih terlihat di sini, tapi Barthes telah meninggalkan de Saussure jauh di depan. Pada tahap konotasi, mitos
dan ideologi, Barthes tidak lagi masuk pada kaum strukturalis, tapi sudah masuk pada golongan awal pascastrukturalis.
II.2.3 Evolusi Pascastruktural
Dalam perkembangannya, strukturalisme bersifat kontinuitas dan evolusi. Bersifat kontinuitas yaitu berangkat dari oposisi biner dan kaidah semiotik
struktural de Saussure. Perkembangan strukturalisme juga mengalami apa yang disebut Nöth sebut “evolusi.” Terdapat perubahan evolusioner dari kaidah-kaidah
strukturalis dalam pemikiran sejumlah tokoh Lacan, Ricœur, Barthes, Kristeva, Derrida.
Pada awalnya, Barthes masih sangat “dekat” dengan de Saussure seperti halnya Louis Hjelmslev 1899-1965; Hjelmslev merupakan pendiri aliran
strukturalis dalam linguistik yang dikenal dengan nama glossematics atau aliran linguistik Kopenhagen. Menurut Barthes, apa yang dikemukakan de Saussure
masih berada pada tanda yang berlaku umum dan terkendali secara sosial, ia menyebutnya “denotasi” atau sistem tanda “sistem pertama” yang ia kembangkan
menjadi “metabahasa dan konotasi” atau “sistem kedua.” Barthes kemudian mengembangkan teori konotasi ini sebagai dasar untuk
mengkaji budaya dan membangun teori tentang kebudayaan, yaitu teori tentang mitos. Barthes mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa: “le mythe est une
parole,” dalam pengertian khusus ini Barthes mengemukakan bahwa mitos merupakan perkembangan dari konotasi.
Dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, mitos adalah kata benda yang memiliki arti: dongeng, kepercayaan, keyakinan, mite Departemen Pendidikan
Nasional, 2009. Sobur 2004: 209 mengatakan bahwa mitos adalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci sacred, yaitu kejadian-kejadian
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari dalam wujud dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu studi
tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat folklore. Namun menurut Hoed 2014: 78, definisi Webster’s Dictionary lebih mendekati pengertian umum
untuk menjelaskan mitos pada Barthes, yaitu: a popular belief or tradition that has grown up around something or someone Webster’s Dictionary 1991; salah
satu definisi. Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis sistem
tanda-tanda yang dimaknai manusia yang bersifat arbitrer sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan. Namun dalam kebudayaan massa la culture de masse,
konotasi terbentuk oleh kekuatan mayoritas atau kekuasaan yang memberikan konotasi tertentu pada suatu hal sehingga lama-kelamaan menjadi mitos Hoed,
2014: 79. Mitos juga merupakan wahana dimana suatu ideologi berwujud. Satu
tanda dapat memiliki banyak konotasi, namun konotasi dominan ataupun dari mereka yang berkuasalah yang diterima sebagai konvensi bersama. Pendekatan
Barthes ini memungkinkan untuk menempatkan teks pada konteks sosial, budaya, politis dan mengekspos sifat dasar teks yang ideologis Gray, 2003: 13.
Salah satu kekuatan mayoritas dan kekuasaan tersebut adalah media massa. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi lewat konotasi,
sebagaimana kritik budaya Barthes tentang sistem busana masyarakat Prancis dalam tulisannya Systéme de la Mode. Dalam Image, Music, Text 1977 Barthes
bahkan membahas fotografi, musik dan teks sebagai bahasa Hoed, 2014: 83. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca The Reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes
menunjukkan perhatiannya pada teks sebagai manifestasi parole dan pemaknaannya. Baginya, teks dimaknai oleh pembacanya sehingga dalam hal ini
pembaca memainkan peran penting.
Dalam bukunya Barthes S Z 1970, ia menganalisis sebuah novel kecil yang kurang dikenal berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke-19
Honore de Balzac. Barthes berpendapat bahwa teks Sarrasine terangkai dalam
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kode-kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau Barthes Sobur, 2004:
65-66, yaitu:
1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi
tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini
dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.
4. Kode proairetik atau kode tindakanlakuan dianggapnya sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan
dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat
memahaminya.
5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan
acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa
yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal- hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.
Dalam buku The Death of Author 1977, Barthes banyak memaparkan tentang peran pengarang, buku dan teksnya. “Kita tahu bahwa suatu teks terdiri
bukan dari suatu barisan kata-kata yang melepaskan suatu ‘makna teologis” artinya, pesan dari Tuhan-Pengarang, tetapi suatu ruang multidimensi di mana
telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang asli darinya: teks adalah suatu tenunan kutipan, berasal dari seribu sumber budaya”
Sobur, 2004: 67. Barthes juga mengemukakan bahwa teks adalah sesuatu yang dinikmati secara badaniah, le plaisir du texte atau “nikmatnya teks” yang didasari
kenikmatan badaniah dan kemudian memasuki ranah keinginan désir.
Universitas Sumatera Utara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Berdasarkan pemahaman dan diskusi mendalam dengan beberapa dosen semiotika, peneliti menarik kesimpulan bahwa aspek intertekstualitas terlihat jelas
dalam buku The Death of Author milik Barthes tersebut. Intertekstualitas maksudnya adalah produksi teks tidak bersumber pada satu subjek saja, tetapi
melalui subjek itu terjadi proses yang berasal dari berbagai teks lain yang diketahuinya. Konsep yang dipopulerkan oleh Kristeva ini mirip dengan konsep
yang diusung Barthes dalam buku The Death of Author. Bedanya, dalam konsep intertekstual milik Kristeva kajian ini lebih condong ke arah bahasa sastra,
sedangkan Barthes pada teks seluruhnya. Barthes sudah pergi jauh dari konsep de Saussure dan strukturalisme,
namun bukan berarti lepas dari strukturalisme sepenuhnya. Konsep-konsep dasar de Saussure dan strukturalis masih terlihat, dan alat analisisnya juga masih
menggunakan sebagian dari tujuh kaidah analisis struktural. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak
disadari. Sehingga, salah satu tujuan analisis semiotik adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir untuk mengatasi salah baca misreading.
Konotasi yang sudah mantap akan menjadi mitos, mitos yang sudah mengakar akan menjadi ideologi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya
dalam buku S Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya.
II.2.4 Komunikasi Massa