Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah(Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah Time)

(1)

KONSTRUKSI MEDIA MASSA DALAM SAMPUL DEPAN

MAJALAH

SKRIPSI

MUHAMMAD ZAHRAWI

110904048

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KONSTRUKSI MEDIA MASSA DALAM SAMPUL DEPAN

MAJALAH

(ANALISIS SEMIOTIKA SAMPUL DEPAN MAJALAH

TIME

)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata I (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

MUHAMMAD ZAHRAWI

110904048

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Muhammad Zahrawi NIM : 110904048

Departemen : Ilmu Komunikasi (Jurnalistik)

Judul : KONSTRUKSI MEDIA MASSA DALAM SAMPUL DEPAN

MAJALAH

(Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah TIME)

Medan, Maret 2015

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm

NIP. 197711062005011001 NIP. 196208281987012001 Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A

Dekan

NIP. 196805251992031002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(4)

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Muhammad Zahrawi

NIM : 110904048

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah (Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah TIME)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

MajelisPenguji

KetuaPenguji : (………..)

Penguji : (………..)

PengujiUtama : (………..)

Ditetapkandi :


(5)

Penelitian ini berjudul “Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah.” Sebuah studi analisis semiotika sampul depan majalah TIME, edisi 27 Oktober 2014 dan 1 September 2008. Sampul ini dianalisis menggunakan semiologi Roland Barthes agar diketahui makna dan mitos di baliknya dan kemudian digunakan untuk melihat konstruksi media massa yang dilakukan oleh majalah TIME. Sampul edisi 27 Oktober 2014 tersebut menampilkan wajah Jokowi yang baru saja dilantik seminggu sebagai Presiden terpilih ke-7 Republik Indonesia, sedangkan sampul edisi 1 September 2008 tersebut menampilkan wajah Obama yang akan segera melangsungkan pemilu pada November 2008. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivis kritis dan pisau analisis semiologi Roland Barthes, yaitu analisis leksia dan lima kode pembacaan Barthes. Melalui analisis tersebut, dapat dilihat konstruksi yang dilakukan TIME dalam sampul depan mereka, juga makna dan mitos seorang pemimpin yang tidak ‘berdiri sendiri.’ Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah adanya konstruksi yang dibangun oleh media massa dan mitos tentang karakter seorang pemimpin secara umum dan menyeluruh (universal). Melalui sampul depan tersebut, dapat dilihat nilai-nilai yang ingin dibentuk oleh TIME dalam kognisi manusia dan upaya media massa dalam mempengaruhi opini publik.


(6)

The research title is “Mass Media Construction in Magazine’s Front Covers.” A Study of semiotics analysis of TIME magazine’s front covers on editions Oktober 27 2014 and September 1 2008. These covers has been analyzed using Roland Barthes sémiologique to unloaded its meaning and myths behind the covers, and its result has been used to see the mass media construction. In Oktober 27 2014, TIME magazine took Jokowi’s portrait as The Seventh President of Indonesia that were just elected for couple days. In September 1 2008, TIME magazine took Obama’s portrait as The President Candidate for President Elections in America, November 2008. Qualitative research as a method, constructivism critism as a paradigm, and Roland Barthes sémiologique (lexia and 5 code of perusal) helped the researcher to dig deep down inside of meaning and myths. Through the analysis, we can see what TIME did to their front page, and so the meaning and myths of a leader who couldn’t ‘stand’ on their own foot. The conclusion are there is an effort from mass media to construct and the myths of a leader that universal. Through that front covers, we can see that TIME tried to construct the values into man cognition and the effort of mass media to influence public opinion.


(7)

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian

hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Muhammad Zahrawi NIM : 110904048

Tanda Tangan : ………….. Tanggal : ………


(8)

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Zahrawi NIM : 110904048

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Universitas Sumatera Utara Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive

Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah (Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah TIME)

Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Medan, Maret 2015


(9)

Bismillahirrahmanirrahim.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Tasydid, tahmid dan takbir insya Allah tak henti saya lantunkan untuk Allah SWT atas tak terhitungnya rezeki yang telah Ia berikan secara cuma-cuma kepada seluruh hambaNya, kepada saya (peneliti), sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga turut saya limpahkan untuk Rasulullah SAW yang telah membawa kebenaran dan kejelasan pada seluruh umat manusia lewat mukjizat terbesar yang diberikan oleh Allah SWT yaitu Al-Qur’an. Semoga kita dapat berkumpul dengan beliau di hari akhirat kelak.

Skripsi ini disusun untuk menambah kajian ilmu komunikasi di bidang Semiotika dan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana (S1) di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah (Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah TIME).

Terima kasih yang paling besar untuk (Bapak) Alm. Sumardi dan (Mama) Haidari Hanum karena telah membesarkan saya menjadi anak yang insya Allah baik dan berbakti pada kedua orangtua. Terima kasih atas doa, bimbingan, kasih sayang dan perhatian yang telah kalian berikan. Terima kasih juga untuk (kakak peneliti) Iradati Husna S.Pdi, (Abang) Hadiedi Prasaja S.Sos dan (kakak) Mutia Nurul Audah S.Pd atas dukungannya selama ini. Insya Allah Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan.

Tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan mungkin dapat diselesaikan. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Mr. Onno de Fouw, LL.M. (VDMS alumni affairs) dan Ibu Parche Manoto, SE, MM yang telah memberi kesempatan lewat VDMS, untuk segala bantuan dan kebaikannya, walaupun kita belum lama saling mengenal. Learn, Share, Encourage.

2. Mr. Luiggi Pralangga, (Procurement Manager of International


(10)

3. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA. selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi atas segala dukungannya bagi peneliti.

5. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi. 6. Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku dosen pembimbing. Terima kasih

atas dukungan, saran dan pengertian yang Abang berikan kepada peneliti dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

7. Kak Yovita, terima kasih atas bimbingan dan diskusinya yang cukup mencerahkan.

8. Ibu Nurbani selaku Dosen Pembimbing Akademik peneliti, terima kasih atas masukan dan ceramahnya tempo hari di Kantor Departemen Ilmu Komunikasi.

9. Kak Emil, Bang Vinsen, Bang Febri, Bang Iqbal dan Bang Reza selaku para perintis PIJAR, terima kasih atas bimbingan dan ajaran kalian selama saya menjadi anggota muda PIJAR.

10.Ibu Mazdalifah selaku pemimpin P2KM yang telah banyak membantu peneliti semasa menjadi mahasiswa.

11.Kak Maya yang telah banyak membantu peneliti sepanjang menjadi mahasiswa.

12.Bapak dan Ibu Dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Terima kasih untuk segala ilmu pengetahuan yang telah kalian bagi selama saya menjadi mahasiswa, insya Allah tidak akan terputus amal kalian atas ilmu yang bermanfaat.

13.Teman-teman dan alumni VDMS. Kak Winda, Kak Oland, Desy Monica, Yohana Marizsa dan teman-teman VDMS lainnya.

14.Kak Siti, terima kasih atas bimbingannya. May Allah SWT bless your

knowledge.

15.Para kru Perintis PIJAR. Bang Amir, Suryadi, Handian, Dedy, Hadis, sudah aku tunaikan janji untuk cepat tamat dan cita-cita kita akan PIJAR.


(11)

Atiqa, Kak Inri, Yesi, Irfan, Rahmat dan seluruh kru Perintis PIJAR. 16.Para kru PIJAR. Puput, Mbak Putri, Kak Bawana, Uum, Ama, angkatan 1

dan angkatan 2. Putri, Silka, Bagus, Zakiah, Meutia, Alfi, Wawan, Hendro, Reza, Riska dan Rizka, Ade, Fiqa, Arta. Ayo jangan lama-lama tamatnya. 17.Untuk teman-teman Ilmu Komunikasi stambuk 2011. Zikra, Yudha, Edi,

Haris, Rizky, Eky, Bila, Aisyah, Nurhayati, Teti, Dila, Dedi, Irend, Ririen, Ayas dan banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan satu persatu.

18.Sahabat-sahabat saya. Alwi, Fakhri, Harun, Nanda, Ayu Dwi, kalian tidak membantu pengerjaan skripsi ini sama sekali, goodjob. Jadi kapan nyusul sidangnya?

19.Untuk Roland Barthes dan Jacques Derrida.

20.Yang terakhir, untuk orang-orang yang menuliskan nama saya di skripsi mereka.

La yukallifullahu nafsan illa wus’aha.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, terutama karena dibatasi nilai-nilai supra-individual. Peneliti menerima kritik dan saran membangun demi perkembangan penelitian-penelitian selanjutnya. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi siapapun yang membacanya.

Semoga dalam penulisan skripsi ini, saya terhindar dari kesombongan dan arogansi intelektual, terhindar dari riya dan penyakit-penyakit hati lainnya. Semua yang ada di langit dan bumi adalah milikNya, begitupun ilmu dan segala hal yang saya punya.

Medan, Maret 2015


(12)

LEMBAR PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

ABSTRAK ...i

ABSTRACT ……….….……….ii

PERNYATAAN ORISINALITAS KATA PENGANTAR ………….……….iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….…..……iv

KATA PENGANTAR ………..……...v

DAFTAR ISI ………..viii

DAFTAR GAMBAR ………..…..x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ………..…………..…...1

1.2 Fokus Masalah ………..…………..…..7

1.3 Tujuan Penelitian ………..………..…..7

1.4 Manfaat Penelitian ………...………...7

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitian ………..…..…9

II.2 Paradigma Konstruktivis Kritis ………..……..9

II.2 Uraian Teoritis ………..……..11

II.2.1 Semiotika ………...11

II.2.2 Semiologi Roland Barthes ………..….16

II.2.3 Evolusi Pascastruktural ………...21

II.2.4 Komunikasi Massa ………..24

II.2.5 Fotografi ……….…...32

II.2.5.1 Fotografi Jurnalistik ...……….…....32

II.2.6 Desain Komunikasi Visual ………..…....39

II.3 Model Teoritik ………....45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ………..……47

III.2 Subjek Penelitian ………...……47

III.2.1 Majalah TIME ……….……….….……47

III.3 Objek Penelitian ……….……...50

III.4 Kerangka Analisis ……….………50

III.5 Teknik Pengumpulan Data ………..….….51

III.6 Teknik Analisis Data ………...…………..51

III.6.1 Analisis Leksia ………..51


(13)

IV.1.1 Analisis Sampul 1 ………..54 IV.1.2 Analisis Sampul 2 ………..64 IV.2 Pembahasan ………...72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Simpulan ………73 V.2 Saran ………..74

DAFTAR PUSTAKA ……….77


(14)

No Judul Halaman

I.1 Sampul Depan Majalah TIME edisi 27 Oktober 2014 …………...…....……..5 I.2 Sampul Depan Majalah TIME edisi 1 September 2008 ……….6 II.1 Elemen-Elemen Makna Saussure ……….…....……..15 II.2 Peta Tanda Metabahasa dan Konotasi Roland Barthes ………….….……….19 II.3 Model hierarki media ………..………31 II.4 Bagan Model Teoritik Penelitian Analisis Semiotika Konstruksi

Majalah TIME Atas Joko Widodo dan Barack Obama ………..45 IV.1 Sampul Depan Majalah TIME dengan foto Presiden terpilih

Joko Widodo edisi 27 Oktober 2014 ……….……….54 IV.2 Sampul Depan Majalah TIME dengan foto calon Presiden


(15)

I.1 Konteks Masalah

Jika media massa diibaratkan sebagai sebuah Kerajaan Dunia, maka majalah TIME adalah salah satu Raja media massa di Dunia. Pengaruhnya yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat Amerika dalam setiap kelas sosial, dapat menjadi ancaman dan senjata luar biasa bak pisau bermata ganda. Contohnya seperti saat majalah TIME menggunakan foto Barack Obama sebagai sampul depannya dengan judul “Why Barack Obama Could Be The Next President” pada edisi 23 Oktober 2006. Barack Obama yang saat itu masih menjabat sebagai seorang anggota Senat Illinois dari Distrik ke-13 Amerika Serikat, mulai mendapatkan perhatian publik Amerika sejak ia berkampanye mewakili Illinois di Senat Amerika Serikat, pemilu pendahuluan Partai Demokrat pada bulan Maret, pidatonya di Konvensi Nasional Demokrat, dan pemilihannya sebagai Senat pada bulan November 2004.

Publik Amerika dikejutkan oleh publikasi majalah TIME terhadap Senator “berkulit hitam” tersebut. Pasalnya, majalah TIME dikenal sebagai majalahnya orang “kulit putih.” Walaupun permasalahan ras tersebut tidak lagi separah dulu, namun tetap saja masih meninggalkan luka yang cukup mendalam. Bahkan beberapa kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum marjinal–orang kulit hitam–masih terjadi sampai sekarang, seperti kasus Eric Garner yang terus dicekik sampai meninggal oleh seorang petugas NYPD (New York Police Department) walaupun dia telah berkali-kali mengucapkan “i can’t breathe, i can’t breathe.” Publikasi terhadap Obama dianggap sebagai pengakuan tidak langsung oleh warga kulit putih terhadap “kulit hitam.”

Majalah TIME menulis judul “Why Barack Obama Could Be The Next

President,” dan menekankan kata “The Next President” dengan menggunakan huruf tebal dan ukuran yang lebih besar untuk memikat perhatian pembaca, mempertegas, menunjukkan keharusan dan kepentingan yang mendesak. Majalah


(16)

cukup kontroversial. Hal ini didasari oleh opini Gerbner dan kawan-kawan bahwa, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan konstruksi realitas (Wibowo, 2011: 125).

Kasus ini merupakan salah satu contoh nyata superioritas media massa dalam membangun realita. “…Fungsi pers, khususnya surat kabar pada perkembangannya bertambah, yakni sebagai alat kontrol sosial yang konstruktif” (Ardianto, 2004: 104).

“Media massa mencerminkan dan juga memengaruhi politik, sosial dan budaya. Mereka memengaruhi masyarakat sekaligus mencerminkan kondisi masyarakat yang sebenarnya” (Biagi, 2010: 28).

Kasus yang hampir sama juga pernah terjadi di Indonesia. Yaitu, sebuah sampul depan majalah Tempo dengan judul “The Last Supper” yang sangat kontroversial pada edisi no 50/XXXVI/04 - 10 Februari 2008.

Sampul depan majalah tersebut mirip dengan lukisan The Last Supper (perjamuan akhir) karya Leonardo da Vinci (15 April 1452 – 2 Mei 1519). Dalam lukisan aslinya, gambar itu adalah gambar Yesus sedang duduk dikelilingi murid-muridnya menjelang penyaliban. Namun, pada sampul tersebut digambarkan mantan Presiden Soeharto duduk di sebuah meja dikelilingi anak-anaknya. Kesimpulan yang didapat dari penelitian analisis semiotika–menggunakan semiotika Charles Sanders Peirce–pada buku karangan Indiwan S. W. Wibowo mengenai sampul The Last Supper tersebut adalah, ada upaya serius dari perancang grafis cover ini untuk menyamakan ‘kondisi hari terakhir’ Soeharto, dengan kondisi hari-hari terakhir Yesus Kristus sebelum akhirnya Nabi yang dipuja dan dihormati Umat Kristiani itu ditangkap dan disalib di bukit Golgotha (Wibowo, 2011: 155-168). Kasus tersebut menuai kritikan besar terhadap majalah Tempo sebagai majalah yang sudah cukup melanglang buana di dunia kejurnalistikan. Kesalahan bisa saja terjadi bahkan pada majalah sekelas Tempo sekalipun.

Contoh kasus tersebut menuai kekhawatiran peneliti terhadap sampul depan majalah TIME edisi 27 Oktober 2014, yang memuat foto Joko Widodo dengan judul “A NEW HOPE, Indonesian President Joko Widodo Is A Force For


(17)

1 September 2008yang memuat foto Barack Obama dengan judul “Special Issue:

The Democrat.” Kekhawatiran tersebut membawa peneliti kepada satu keingintahuan mendalam terhadap makna kedua sampul depan majalah TIME tersebut.

Dunia pemaknaan dan simbol sudah menjadi sorotan para pakar bahasa sejak lama. Peirce dengan konsep trikotomis, Umberto Eco, Danesi dan Perron, era Husserl dengan konsep “Suara” miliknya, diikuti De Saussure yang menyatakan bahwa bahasa lisan sebagai bahasa yang sebenarnya, kemudian Barthes dengan berfokus pada kajian dan kritik budaya (Teks), Kristeva, Derrida dan banyak lagi tokoh-tokoh lainnya.

Di dunia politik, komunikasi simbol dalam bentuk lain juga menunjukkan eskalasi kepentingan kelompok (Wibowo, 2011: 155). Media massa yang merupakan saluran komunikasi masif sering digunakan untuk kepentingan beberapa orang, para pemilik modal. Pengaruhnya yang besar terhadap cara pandang publik menjadikan media massa rentan terhadap penyalahgunaan fungsi awal pers.

TIME memiliki pengaruh besar pada publik Amerika dan dunia. Kontribusi TIME pada perkembangan dunia pers dan jurnalistik sangatlah besar, apalagi setelah pers memasuki era baru teknologi dan informasi yang melahirkan sebuah produk jurnalistik baru, new media. Setelah akhirnya TIME juga ikut meluncurkan portal berita onlinenya, maka arus informasi Raja media inipun tak dapat dibendung lagi.

Lima hari setelah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden terpilih Indonesia ke-7 pada tanggal 22 Oktober 2014, majalah TIME (edisi 27 Oktober 2014) memuat foto Joko Widodo sebagai sampul depan majalah TIME. Dalam sampul tersebut, TIME menulis headlineA NEW HOPE: Indonesian President Joko Widodo Is A Force For Democracy.”

Saat itu, Joko Widodo-Yusuf Kalla baru saja memenangkan pemilu dengan perolehan angka yang tipis dari lawan politiknya, Prabowo Subianto-Hatta Rasaja. Setelah melewati proses kampanye yang berlika-liku dan tidak bisa sepenuhnya disebut sehat (karena melibatkan negative dan black campaign), dan setelah ketakutan mengenai isu ancaman kericuhan dari pihak lawan politik Joko


(18)

Widodo, akhirnya Indonesia memiliki Presiden terpilih dengan motto andalannya, “Revolusi Mental.”

Pada waktu yang berbeda, sampul depan majalah TIME edisi 27 Oktober 2014 tersebut memiliki kesamaan dan kemiripan dengan sampul depan majalah

TIME edisi 1 September 2008. Sampul tersebut memuat foto Barack Obama dengan desain dan gaya yang sama dengan Joko Widodo, dengan headline yang bertuliskan “Special Issue: The Democrat.”

Hal ini menjadi sorotan publik dan peneliti sendiri, karena sampul depan dengan wajah Joko Widodo tersebut terbit beberapa hari setelah pelantikan Presiden tanggal 22 Oktober 2014, yaitu pada tanggal 27 Oktober 2014. Bahkan hal ini sempat menjadi trending topic (hal yang paling banyak dibicarakan) di media sosial twitter. Sampul Jokowi tersebut juga menjadi bahan perbincangan heboh di media sosial. Banyak netizen yang menyangkutpautkan judul sampul tersebut dengan judul film pertama Star Wars yang juga berjudul A New Hope. Bahkan para netizen tersebut membuat dua sampul ‘lanjutan’ (fiksi) yang sesuai dengan dua episode film StarWars selanjutnya, yaitu Empire Strikes Back dengan Prabowo Subianto sebagai model sampulnya, dan The Return of The Jedi dengan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) sebagai model sampulnya.

Peneliti tertarik dengan komunikasi simbol majalah TIME dalam sampulnya yang memuat Joko Widodo dan kemiripannya dengan sampulnya yang memuat Barack Obama, yang mungkin saja menunjukkan kepentingan suatu kelompok. Hal ini, membawa peneliti kepada pertanyaan besar mengenai konstruksi media massa TIME.


(19)

Gambar I.1

Sampul Depan Majalah TIME edisi 27 Oktober 2014


(20)

Gambar I.2

Sampul Depan Majalah TIME edisi 1 September 2008

Sumber:


(21)

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti makna apa yang dihadirkan majalah TIME lewat sampul depan mereka, serta bagaimana konstruksi realitas atas Joko Widodo dan Barack Obama lewat sampul depan majalah TIME dalam sebuah skripsi berjudul, “Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah, Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah

TIME.

I.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang diuraikan di atas, penelitian ini menarik fokus masalah yang dapat dirumuskan dalam pertanyaan pokok berikut:

1. Apakah makna dan mitos dalam sampul depan majalah TIME Joko Widodo dan Barack Obama?

2. Bagaimanakah konstruksi media massa atas Joko Widodo dan Barack Obama dalam sampul depan majalah TIME?

I.3 Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna dan mitos dalam sampul depan majalah TIME yang menggunakan foto Joko Widodo dan Barack Obama.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi media massa TIME atas Joko Widodo dan Barack Obama.

I.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah keilmuan peneliti dan pembaca mengenai konstruksi media massa melalui analisis semiotika serta membuka wawasan tentang agenda media massa


(22)

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pembaca dan juga mahasiswa mengenai analisis semiotika dan konstruksi media massa.

3. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sumbangan besar kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, dalam bidang kajian konstruksi media massa lewat analisis semiotika.


(23)

II.1 Paradigma Penelitian

II.1.1 Paradigma Konstruktivis Kritis

Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya terhadap dunia. Lincoln dan Guba mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan (Sunarto dan Hermawan, 2011: 4).

Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan Hermawan, 2011: 9). Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis kritis yang akan melandasi pelaksanaan penelitian.

Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif, Peter L Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2001: 37).

Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang membedakan pengertian alam semesta menjadi tiga. Pertama, dunia fisik atau keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.

Ketiga, dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis dan seni. Menurutnya, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik melainkan melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran inilah yang kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru


(24)

mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia.

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan dari reproduksi kenyataan.

Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Ada banyak situasi yang memaksa seseorang untuk mengadakan perubahan. Menurut Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi: konteks tindakan, konteks membuat masuk akal, konteks penjelasan dan konteks pembenaran (Ardianto, 2007: 156-157).

Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek dalam penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang hingga perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Dalam penelitian ini, akan digunakan dua paradigma sebagai arah bagi penelitian yang akan dilakukan, yaitu paradigma konstruktivis dan paradigma kritis. Seperti yang telah dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Paradigma kritis membantu peneliti untuk mengungkap lebih dalam dan lebih radikal mengenai segala hal yang berhubungan dengan objek penelitian.

Salah satu sifat dasar dari paradigma kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan. Teori kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.

Analisis kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat (Ardianto, 2007: 187).


(25)

Paradigma kritis tidak bisa terhindar dari unsur subjektivitas peneliti. Paradigma kritis memungkinkan penafsiran yang berbeda dari peneliti lain tentang gejala sosial yang sama.

II.2 Uraian Teoritis

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2001: 39). Maka, teori yang relevan untuk penelitian ini adalah:

II.2.1 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang–atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya–dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).

Secara garis besar, teori tentang tanda, manusia, dan makna dapat dibagi atas tiga kelompok besar, yakni struktural, pragmatis, dan gabungan keduanya. Peneliti telah merangkumnya lewat penjelasan berikut (dalam Hoed, 2014: 5-13):

1. Semiotik Pragmatis

Tokoh semiotik pragmatis yang terkenal adalah Charles Sanders Peirce (Amerika), dengan konsep “pan-semiotik” miliknya (1839–1914). Pan-semiotik adalah pandangan Peirce tentang tanda yang merupakan segala hal, baik fisik maupun mental, baik di dunia maupun jagat raya semesta, baik di dalam kognisi manusia maupun sistem biologi manusia dan hewan, yang diberi makna oleh manusia. Bagi Peirce, tanda adalah tanda hanya apabila bermakna bagi manusia.

Bagi Peirce, tanda dan pemaknaannya bukanlah struktur melainkan suatu proses kognitif yang disebutnya sebagai proses pemaknaan dan penafsiran tanda, atau dikenal sebagai proses semiosis. Proses semiosis ini dilakukan melalui tiga


(26)

tahap, yaitu tahap penyerapan representamen, tahap object, dan tahap

interpretant.

Tahap pertama adalah penyerapan aspek representamen tanda (melalui pancaindra manusia), tahap kedua kemudian mengaitkan representamen secara spontan dengan pengalaman dalam kognisi manusia yang memaknai

representamen, yaitu object. Tahap ketiga yaitu interpretant, menafsirkan object sesuai keinginannya. Cara pemaknaan tanda melalui kaitan antara representamen dengan object didasari oleh pemikiran bahwa object tidak selalu sama dengan kenyataan yang diberikan oleh representamen, namun object timbul karena pengalaman memberi makna pada tanda. Proses inilah yang disebut semiosis. Karena ada tiga tahap dalam memaknai tanda, maka teori Peirce disebut bersifat

trikotomis (tripihak).

Semiosis dapat berlanjut melalui interpretant yang menjadi representamen baru dan kemudian menghasilkan interpretant yang menjadi representamen baru.

Representamen pada tahap lanjutan ini merupakan sesuatu yang terdapat dalam pikiran manusia. Menurut Peirce semiosis dapat terus berlanjut terus tanpa akhir, ia menyebutnya sebagai “unlimited semiosis,” Namun Umberto Eco telah membantahnya. Menurutnya, proses semiosis yang berlanjut itu dapat terhenti ketika seseorang dibatasi oleh aturan budaya (prinsip-prinsip supra-individual) yang tidak memberikan kemungkinan lagi untuk melakukan proses semiosis lanjutan.

Proses semiosis ini bertolak pada hal yang konkret (representamen; melalui pancaindra), maka semiosis ini disebut semiotik pragmatik. Teori semiotik Peirce mendefinisikan tanda sebagai “something that represents

something else,” atau tanda adalah representamen yang secara spontan mewakili

objek. Kata mewakili di sini berkaitan secara kognitif, atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai proses pemaknaan. Terdapat kaitan antara “realitas” dan “apa yang berada dalam kognisi manusia.” Pengertian ini menjadi lebih jelas ketika kita memasuki tiga kategori tanda (unsur makna) berdasarkan sifat hubungan antara representamen dan object menurut Peirce.

Kategori pertama adalah index, yakni tanda yang hubungan antara


(27)

icon, kategori tanda yang representamennya memiliki keserupaan identitas dengan object yang ada dalam kognisi manusia yang bersangkutan. Kategori ketiga adalah symbol, tanda yang makna representamennya diberikan berdasarkan konvensi sosial.

Setelah Peirce, dalam semiotik pragmatik juga ada Danesi dan Perron yang mengembangkan teori Peirce tentang semiosis melalui proses pemaknaan tanda pada manusia. Semiosis berlanjut tidak terjadi dalam diri seseorang semata, tetapi dapat terjadi pada tataran sosial sebagai suatu proses “getok tular.” Ketika tanda memasuki ranah sosial budaya, tanda menjadi bagian dari apa yang oleh Danesi dan Perron sebut sebagai “the signifying orders.” Fenomena ini juga dikenal dengan nama “dari mulut ke mulut.”

2. Semiotik Struktural

Strukturalisme lahir dari pemikiran Ferdinand de Saussure (1857–1913) melalui kuliah-kuliahnya di Universitas Jenewa, Swiss, dan juga melalui buku anumerta Cours de linguistique générale (terbit 1917)–buku kumpulan kuliah de Saussure–yang dibukukan oleh dua mantan mahasiswanya, yaitu Charles Bally dan Albert Sechehaye. Menurut Dosse (1991: 12) dalam Hoed (2014: 65), hanya ditemukan tiga kata structure dalam buku anumerta Cours de linguistique

générale. Namun, kaidah struktural yang dikemukakan de Saussure dalam konsep sintagmatik dan asosiatif digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan sebuah struktur dan sistem. De Saussure ingin mengemukakan bahwa bahasa dapat dikaji dengan teori mandiri yang disebutnya ”linguistique.” De Saussure memperkenalkan empat konsep penting yang masing-masing ditampilkan secara dikotomis (dwipihak; menggunakan model dua pihak), yaitu (1) langue vs. parole, (2) sintagmatik vs. paradigmatik, (3) sinkroni vs. diakroni, (4) signifiant vs.

signifié.

(1) Secara sederhana, langue adalah langage dikurangi parole. Langue adalahaspek sosial dari langage (bahasa sebagai gejala sosial), sedangkan parole adalah tataran praktik berbahasa dalam masyarakat, manifestasi langue. (2) Konsep sintagmatik dan paradigmatik menyangkut sifat relasi (hubungan) antarkomponen di dalam struktur dan sistem. Relasi sintagmatik adalah relasi


(28)

antarkomponen di dalam struktur yang sama (in praesentia), sedangkan relasi paradigmatik adalah relasi antarkomponen dalam suatu struktur dan komponen lain di luar struktur itu, bersifat asosiatif (in absentia). (3) Sinkroni dan diakroni merupakan konsep ruang dan waktu untuk melihat suatu gejala kebahasaan. Sinkroni yaitu pada lapisan ruang dan waktu tertentu, sedangkan diakronis yaitu melihat perkembangannya dari satu lapisan waktu ke lapisan waktu yang lain. Sinkroni merupakan dasar analisis diakronis. (4) De Saussure mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan. Tanda itu sendiri merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan diidentifikasikan sebagai signifiant (penanda) dan signifié (petanda).

Gambar II.1

Elemen-Elemen Makna Saussure

Sign

Composedof

Signification

Signifier Signified Externalrealityofmeaning (PhysycalExistence) (MentalConcept)

Sumber: John Fsiske, IntroductiontoCommunicationStudies, 1990, hlm. 44 (Sobur, 2004: 125)

De Saussure mengutamakan bahasa lisan sebagai sumber bahasa yang sesungguhnya. Sama seperti konsep humanistik yang dikemukakan Husserl bahwa bahasa bersumber dari “Suara” manusia, sedangkan de Saussure menempatkan bahasa sebagai “kenyataan sosial” yang dimaknai secara sosial pula. De Saussure


(29)

mengatakan bahwa bahasa tulisan merupakan derivat/representasi dari bahasa lisan, sehingga bahasa lisan itulah objek kajian utama linguistik.

Bagi de Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas (arbitrer), yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sobur, 2004: 31-32). Pada dasarnya apa yang disebut sebagai penanda dan petanda merupakan produk kebudayaan yang hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer dan hanya berdasarkan pada konvensi, kesepakatan atau peraturan dari budaya pemakai bahasa tersebut.

Hubungan antara penanda dengan petanda secara bersamaan membentuk tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain. Keduanya membentuk satu kesatuan yang sering kali disebut sebagai struktur. Begitu pula hubungan antara “langue” dan “parole,” keduanya tak terpisahkan sehingga membentuk sebuah struktur, yakni “langage.” Hierarki oposisi biner dalam pemaknaan de Saussure (pertinensi dan komutasi dalam kaidah analisis struktural) inilah yang menjadikan semiotika ini disebut semiotik struktural.

Perkembangan dari strukturalisme ke semiotik terbagi dua, yakni yang sifatnya melanjutkan, yakni kontinuitas (Hjemslev, Barthes), dan yang sifatnya mulai meninggalkan tapi masih memperlihatkan dasar strukturalismenya, yakni

evolusi (Foucault, Lacan, Ricœur, Derrida). Dalam perkembangan selanjutnya, Barthes misalnya, tidak melepaskan kaidah-kaidah analisis struktural (Hoed, 2014: 44).

II.2.2 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes (1915-1980) adalah salah satu tokoh semiotika struktural sampai pascastruktural. Sebagai penerus de Saussure, Barthes setuju dengan konsep oposisi biner penanda dan petanda milik de Saussure. Barthes dan de Saussure sama-sama menganut teori tanda yang dikotomis atau diadik, yaitu tanda terdiri dari dua komponen yang berbeda tetapi berkaitan erat satu sama lain seperti dua sisi selembar kertas. Konsep oposisi biner dan hubungannya (sintagmatik dan paradigmatik) yang dikembangkan de Saussure inilah yang kemudian menjadi cikal bakal strukturalisme.


(30)

Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Pada 1976, Barthes diangkat sebagai profesor untuk “semiologi literer” di Collegede France. Barthes telah banyak menulis buku dan mencipta karya, antara lain: Le degre zero de l’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis” (1953, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing Degree

Zero, 1977), Michelet (1954), Mythologies (1957), Criticial Essays (1964),

Eléments de sémiologie (1964), Criticism and Truth (1966), The Fashion System (1967), S / Z (1970), The Empire of Sign (1970), Sade, Fourier, Loyola (1971),

The Pleasure of the Text (1973), Roland Barthes by Roland Barthes (1975), The

Death of Author (1977), A Lover’s Discourse: Fragments (1977), Camera Lucida:

Reflections on Photography (1980), The Grain of the Voice: Interviews 1962-1980 (1981), The Responsibility of Forms (1982), L’aventure Sémiologique (1985), dan banyak lagi karya serta tulisan Barthes lainnya (Sobur, 2004: 63-67).

Semiologi Barthes pada awalnya didasarkan pada kritik budaya, eksplorasi tanda-tanda, budaya massa sebagai bentuk mitos yang menandai hadirnya petit

bourgeois (borjuis kecil) yang dianggap sebagai representasi universal. Pada tulisannya yang berjudul Systéme de la Mode (Sistem Mode) (Barthes, 1967), ia menjelaskan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam dunia mode penuh dengan idealisme kaum borjuis. Seperti konsep mode celana gentleman yang dianggap cocok dengan jas dan dasi, diterima oleh masyarakat seakan-akan sebagai sebuah kebenaran absolut (Barthes, 2007: vi).

Teori semiologi Barthes secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure. De Saussure mengemukakan empat konsep teoritis, yakni konsep langue-parole, signifiant-signifié, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni-diakroni. Empat konsep dasar ini digunakan dan dikembangkan oleh Barthes dalam bukunya Eléments de sémiologie (1964) yang terbit di Paris (Penerbit Seuil). Dua dari beberapa konsep yang dikembangkan oleh Barthes, yaitu sintagmatik dan paradigmatik, denotasi dan konotasi.

Barthes mengembangkan pandangan sintagmatik dan paradigmatik dengan berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala kebudayaan sebagai tanda. Sintagme merupakan suatu susunan yang didasari oleh


(31)

hubungan sintagmatik, sintagme berbeda dari sistem. Barthes menjelaskannya lewat pengamatannya terhadap mode busana. Secara singkat, sintagme merupakan gatra (ruang kosong) yang memiliki “fungsi” masing-masing. Keseluruhan urutan sintagme tersebut membentuk sebuah struktur. Dalam hal mode busana, terdapat proses diferensiasi (memiliki tempat sendiri serta masing-masing saling membedakan) antar sintagme sehingga membentuk makna masing-masing, dan karenanya sintagme-sintagme itu berada dalam suatu relasi paradigmatik. Sementara itu, dalam hal praktik busana, sintagme-sintagme tersusun sesuai dengan tempatnya pada tubuh manusia, terjukstaposisi dalam suatu susunan. Susunan tersebut disebut susunan sintagmatik (Hoed, 2014: 23).

Dalam sistem busana kita, terdapat (a) tutup kepala, (b) pelindung tubuh bagian atas, (c) pelindung tubuh bagian bawah, (d) alas kaki. Dalam kebudayaan busana di dunia, masing-masing mempunyai ciri fisik yang berbeda dan diberi nama khusus. Misalnya untuk (a) topi, peci, lobe, kerudung; (b) baju, blus, blazer,

tank top, t-shirt, kaftan, jas; (c) celana panjang, celana pendek, jeans, kain sarung; (d) sepatu, sendal, terompah, geta. Urutan (a) sampai (d) merupakan urutan sintagmatis, setiap bagian atau gabungannya merupakan sintagme, sintagme-sintagme tersebut berada dalam relasi paradigmatik karena setiap sintagme-sintagme sudah memiliki tempatnya sendiri serta saling membedakan sehingga membentuk makna masing-masing (Hoed, 2014: 23-24).

Barthes kemudian mengembangkan model dikotomis penanda-petanda de Saussure menjadi lebih dinamis. Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya, penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda ada “isi” (dalam bahasa Prancis contenu [C]), dan tanda adalah “relasi” R antara E dan C. model tersebut dikenal dengan E-R-C (Hoed, 2014: 25)

Model E-R-C disebut juga sebagai pemaknaan sistem “pertama” (denotasi). Biasanya pemakai tanda mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut Barthes sebagai sistem “kedua” (metabahasa dan konotasi). Metabahasa adalah pengembangan makna pada segi E, dan membentuk “kesinoniman.” Segi ini merupakan segi “retorika bahasa” (bahasa dalam arti umum). Jika pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah


(32)

pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi merupakan segi “ideologi” tanda. Berikut adalah peta tanda metabahasa dan konotasi Roland Barthes:

Gambar II.2

Peta Tanda Metabahasa dan Konotasi Roland Barthes

E2 R2 C2 sistem sekunder METABAHASA

E1 R1 C1 sistem primer Orang yang pandai DENOTASI mengobati secara

spiritual

sistem sekunder E2 R2 C2

KONOTASI orang jahat, kaki tangan setan, syirik dan

musyrik

Sumber: Barthes, 1957, 1964 (dalam Hoed, 2014: 97-98) (dengan sedikit penambahan interpretasi dari peneliti)

Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan latar belakang pengetahuan serta konvensi sosial yang ada di dalam masyarakatnya. Dalam teori linguistik, konotasi tidak dijelaskan sebagai makna dalam rangka E dan C, tetapi merupakan reaksi (pemberian nilai) terhadap

Tanda orang pintar

paranormal dukun


(33)

suatu tanda. Misalnya pada kata mati, meninggal, tutup usia, pemilihan kata tersebut berdasarkan penilaian atas setiap kata itu (reaksi emosional): kasar, halus, pantas, tidak pantas, positif atau negatif.

Barthes menggunakan konsep konotasi untuk membahas makna gejala budaya. Dalam bukunya Mythologies (1957), Barthes menggunakan konotasi untuk melakukan kritik budaya. Seperti konotasi le vin (minuman anggur) sebagai “minuman totem” (boisson-totem), yakni minuman yang berkonotasi “keprancisan” (Frenchness).

Bagi masyarakat Prancis, minuman anggur bukan sekadar minuman beralkohol, melainkan minuman yang dirasakan sebagai pemameran (étalement,

display; sebagai ajang unjuk gigi dan prestise) kesenangan (étalement d’un

plaisir), bukan sekadar minuman memabukkan yang membawa pada tindakan bercinta (philtre), melainkan suatu tindakan minum yang berefek jangka panjang dalam kehidupan sosial, sedangkan tindakan minumnya memiliki nilai retoris. Menurut Barthes, konotasi minuman anggur berakar pada kebudayaan Prancis selama berabad-abad sehingga menjadi mitos (Hoed, 2014: 25-26).

Barthes berbicara tentang mitos melalui proses konotasi (pengembangan model penanda-petanda de Saussure) yang hidup dalam masyarakat tertentu. Bila konotasi menjadi tetap, maka akan menjadi mitos. Bila mitos menjadi mantap akan menjadi ideologi. Penekanan teori tentang tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos.

Model konotasi Barthes dapat diterapkan pada kebudayaan nonbahasa. Modelnya dapat diterapkan pada simbol atau ikon suatu hal. Misalnya pada masyarakat tertentu, bendera Nabi Muhammad SAW bukan sekedar bendera perang dan persatuan umat Muslim. Relasi [R] antara E (konsep bendera Nabi Muhammad SAW) dan C (Salah satu lambang yang mewakili umat Muslim dan bendera perang Nabi Muhammad SAW) pada sistem primernya memang demikian. Akan tetapi untuk kalangan tertentu, terjadi perkembangan C dalam sistem sekundernya, yakni ‘lambang teroris,’ ‘bendera ISIS.’ Relasi antara E dan C berubah dalam sistem sekundernya. Ini adalah suatu gejala konotasi yang semakin menguat sejak sepak terjang kelompok ekstrimis ISIS yang


(34)

mengatasnamakan Agama Islam dalam menduduki wilayah-wilayah Timur Tengah demi membentuk Negara Islam Irak dan Suriah.

Saat berbicara mitos, maka kita akan berbicara mengenai kajian budaya masyarakat setempat. Proses konotasi menjadi mitos sudah jauh dari konsep awal de Saussure. Walaupun strukturalisme de Saussure masih terlihat di sini, tapi Barthes telah meninggalkan de Saussure jauh di depan. Pada tahap konotasi, mitos dan ideologi, Barthes tidak lagi masuk pada kaum strukturalis, tapi sudah masuk pada golongan awal pascastrukturalis.

II.2.3 Evolusi Pascastruktural

Dalam perkembangannya, strukturalisme bersifat kontinuitas dan evolusi. Bersifat kontinuitas yaitu berangkat dari oposisi biner dan kaidah semiotik struktural de Saussure. Perkembangan strukturalisme juga mengalami apa yang disebut Nöth sebut “evolusi.” Terdapat perubahan evolusioner dari kaidah-kaidah strukturalis dalam pemikiran sejumlah tokoh (Lacan, Ricœur, Barthes, Kristeva, Derrida).

Pada awalnya, Barthes masih sangat “dekat” dengan de Saussure seperti halnya Louis Hjelmslev (1899-1965; Hjelmslev merupakan pendiri aliran strukturalis dalam linguistik yang dikenal dengan nama glossematics atau aliran linguistik Kopenhagen). Menurut Barthes, apa yang dikemukakan de Saussure masih berada pada tanda yang berlaku umum dan terkendali secara sosial, ia menyebutnya “denotasi” atau sistem tanda “sistem pertama” yang ia kembangkan menjadi “metabahasa dan konotasi” atau “sistem kedua.”

Barthes kemudian mengembangkan teori konotasi ini sebagai dasar untuk mengkaji budaya dan membangun teori tentang kebudayaan, yaitu teori tentang mitos. Barthes mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa: “le mythe est une

parole,” dalam pengertian khusus ini Barthes mengemukakan bahwa mitos merupakan perkembangan dari konotasi.

Dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, mitos adalah kata benda yang memiliki arti: dongeng, kepercayaan, keyakinan, mite (Departemen Pendidikan Nasional, 2009). Sobur (2004: 209) mengatakan bahwa mitos adalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian


(35)

luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari dalam wujud dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu studi tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore). Namun menurut Hoed (2014: 78), definisi Webster’s Dictionary lebih mendekati pengertian umum untuk menjelaskan mitos pada Barthes, yaitu: a popular belief or tradition that

has grown up around something or someone (Webster’s Dictionary 1991; salah satu definisi).

Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis (sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia) yang bersifat arbitrer sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan. Namun dalam kebudayaan massa (la culture de masse), konotasi terbentuk oleh kekuatan mayoritas atau kekuasaan yang memberikan konotasi tertentu pada suatu hal sehingga lama-kelamaan menjadi mitos (Hoed, 2014: 79).

Mitos juga merupakan wahana dimana suatu ideologi berwujud. Satu tanda dapat memiliki banyak konotasi, namun konotasi dominan ataupun dari mereka yang berkuasalah yang diterima sebagai konvensi bersama. Pendekatan Barthes ini memungkinkan untuk menempatkan teks pada konteks sosial, budaya, politis dan mengekspos sifat dasar teks yang ideologis (Gray, 2003: 13).

Salah satu kekuatan mayoritas dan kekuasaan tersebut adalah media massa. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi lewat konotasi, sebagaimana kritik budaya Barthes tentang sistem busana masyarakat Prancis dalam tulisannya Systéme de la Mode. Dalam Image, Music, Text (1977) Barthes bahkan membahas fotografi, musik dan teks sebagai bahasa (Hoed, 2014: 83).

Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (The Reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes menunjukkan perhatiannya pada teks sebagai manifestasi parole dan pemaknaannya. Baginya, teks dimaknai oleh pembacanya sehingga dalam hal ini pembaca memainkan peran penting.

Dalam bukunya Barthes S / Z (1970), ia menganalisis sebuah novel kecil yang kurang dikenal berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke-19 Honore de Balzac. Barthes berpendapat bahwa teks Sarrasine terangkai dalam


(36)

kode-kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau Barthes (Sobur, 2004: 65-66), yaitu:

1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.

4. Kode proairetik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Dalam buku The Death of Author (1977), Barthes banyak memaparkan tentang peran pengarang, buku dan teksnya. “Kita tahu bahwa suatu teks terdiri bukan dari suatu barisan kata-kata yang melepaskan suatu ‘makna teologis” (artinya, pesan dari Tuhan-Pengarang), tetapi suatu ruang multidimensi di mana telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang asli darinya: teks adalah suatu tenunan kutipan, berasal dari seribu sumber budaya” (Sobur, 2004: 67). Barthes juga mengemukakan bahwa teks adalah sesuatu yang dinikmati secara badaniah, le plaisir du texte atau “nikmatnya teks” yang didasari kenikmatan badaniah dan kemudian memasuki ranah keinginan (désir).


(37)

Berdasarkan pemahaman dan diskusi mendalam dengan beberapa dosen semiotika, peneliti menarik kesimpulan bahwa aspek intertekstualitas terlihat jelas dalam buku The Death of Author milik Barthes tersebut. Intertekstualitas maksudnya adalah produksi teks tidak bersumber pada satu subjek saja, tetapi melalui subjek itu terjadi proses yang berasal dari berbagai teks lain yang diketahuinya. Konsep yang dipopulerkan oleh Kristeva ini mirip dengan konsep yang diusung Barthes dalam buku The Death of Author. Bedanya, dalam konsep intertekstual milik Kristeva kajian ini lebih condong ke arah bahasa sastra, sedangkan Barthes pada teks seluruhnya.

Barthes sudah pergi jauh dari konsep de Saussure dan strukturalisme, namun bukan berarti lepas dari strukturalisme sepenuhnya. Konsep-konsep dasar de Saussure dan strukturalis masih terlihat, dan alat analisisnya juga masih menggunakan sebagian dari tujuh kaidah analisis struktural.

Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Sehingga, salah satu tujuan analisis semiotik adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir untuk mengatasi salah baca (misreading). Konotasi yang sudah mantap akan menjadi mitos, mitos yang sudah mengakar akan menjadi ideologi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya dalam buku S / Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya.

II.2.4 Komunikasi Massa

Pada bulan April 2007, Pew Research Center for the People and the Press merilis hasil penelitiannya mengenai pengetahuan masyarakat Amerika terhadap

national public affairs. Sebagian besar hasil temuannya bersifat logis–mereka yang berpendidikan tinggi lebih mengetahui public affairs daripada yang berpendidikan rendah; mereka yang berpendapatan tinggi, terdaftar sebagai pemilih pemilu, mereka yang senang mengikuti berita, dan mereka yang memiliki berbagai macam sumber informasi, memiliki kelebihan daripada yang lain.

Semenjak akhir tahun 1980-an, kebiasaan publik Amerika telah berubah sejak kemunculan program berita televisi 24 jam sebagai sumber berita yang dominan dan besarnya pertumbuhan internet. Para peneliti terkejut karena mereka


(38)

berasumsi mengenai hubungan antara banyaknya jumlah media yang ada dengan kemauan masyarakat dan kemampuan mereka untuk terus mengikuti perkembangan permasalahan publik.

Banyak asumsi yang terbentuk akibat penelitian tersebut, seperti banyaknya sumber berita, tempat survei dilaksanakan, keadaan sosial politik yang memanas karena pemilihan Presiden tahun 2008, perang di Irak yang semakin kontroversial dan asumsi-asumsi lain. Ide dan asumsi ini dapat–dan sering– menjadi basis teori yang lebih formal dan lebih sistematis, yang berasal dari ilmu pengetahuan sosial. Ketika teori ilmiah sosial ini melibatkan hubungan antara media dan manusia serta masyarakat yang menggunakan media, inilah yang disebut dengan teori komunikasi massa (Baran, 2009: 3-4).

Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk mengirimkan pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 405). Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967):

Mass communication is the technologically and institutionally based

production and distribution of the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies.” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Sobur, 2004: 4).

Pada dasarnya, komunikasi massa ialah komunikasi melalui media massa (cetak dan elektronik). Awalnya, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa yang dimaksud ialah saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern, menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa (Nurudin, 2007: 4).

Perkembangan komunikasi massa, lebih spesifiknya media massa, begitu menakjubkan sejak penggunaan internet meningkat dan kajian mengenai new

media semakin banyak. Dunia sudah menjadi global village, sebuah desa yang mendunia, dan sekali lagi media massa telah memasuki era yang baru.


(39)

Sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1455, surat kabar pertama di Amerika Public Occurrences terbit tahun 1690, Samuel Morse menciptakan telegraf pada tahun 1844, Pulitzer menganugerahi penghargaan yang diambil dari namanya pada tahun 1915, munculnya warna pada semua jaringan TV komersial di tahun 1965, Steve Jobs dan Stephen Wozniak menyempurnakan Apple II pada tahun 1977, IBM memperkenalkan PC di tahun 1981, Journal of

Communication mencurahkan keseluruhan temanya mengenai melek media di tahun 1998, dan menerbitkan edisi khusus mengenai framing, agenda setting dan

priming pada tahun 2007; komunikasi massa terus berkembang hingga sekarang. Dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, McQuail menjelaskan beberapa efek komunikasi massa (McQuail, 2011: 225):

1. Stimulus-Respons

Tiga elemen utama dalam teori ini adalah pesan (sebagai stimulus), seorang penerima atau receiver (manusia) dan efek (respons). Teori ini menjelaskan bahwa tanggapan yang diterima merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Efeknya bersifat individualistis, pragmatis dan berjangka pendek.

2. Difusi-Inovasi

Proses penyebaran segala jenis alat teknis, ide atau informasi berguna yang baru. Dalam Komunikasi Pembangunan Sosial, difusi inovasi juga diartikan sebagai penyerapan ide inovatif untuk kepentingan dan pembangunan masyarakat. Terdapat empat tingkat difusi informasi yang terjadi pada teori ini dimulai dari informasi, persuasi, keputusan dan adopsi, dan konfirmasi.

3. Agenda Setting

Agenda Setting diperkenalkan pertama kali oleh McCombs dan DL Shaw pada 1972. Teori ini menjelaskan bahwa media berita mengindikasikan kepada publik apa yang menjadi isu utama hari ini dan hal ini tercermin dalam apa yang dipersepsikan publik sebagai isu utama. Semakin banyak perhatian media diberikan kepada suatu topik, semakin besar kepentingan yang dilekatkan oleh khalayak berita terhadap topik tersebut.


(40)

4. Uses and Gratification

Teori yang menjelaskan pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap informasi dari media. Asumsi dasar dari teori ini adalah, media dan pilihan konten secara umum rasional dan diarahkan kepada tujuan dan kepuasan spesifik tertentu.

II.2.4.1 Media Massa

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Offline, media adalah sarana atau saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas. Dalam dunia komunikasi, media dapat diartikan sebagai sebuah wadah/saluran/alat untuk menyampaikan suatu pesan dari komunikator kepada komunikan.

Secara singkat, media massa adalah sebuah wadah/saluran/alat yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan dari komunikator kepada audiens secara masif, pada satu waktu, dalam ruang lingkup yang luas. Keuntungan komunikasi dengan menggunakan media massa adalah, bahwa media massa menimbulkan keserempakan, artinya suatu pesan dapat diterima oleh komunikan yang jumlahnya relatif banyak. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang sama.

Media massa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu media massa cetak (1), media massa broadcast (2), dan media massa online (3). Kelompok media massa tersebut mempunyai industri mereka masing-masing, berikut adalah daftarnya:

1. Buku 2. Surat Kabar 3. Majalah 4. Rekaman 5. Radio 6. Film 7. Televisi


(41)

8. Internet

Buku, surat kabar, dan majalah merupakan media massa Amerika yang tersedia selama 250 tahun sejak buku Amerika pertama kali diterbitkan pada tahun 1640. Tengah pertama abad ke-20 membawa empat jenis media baru–rekaman, radio, film, dan TV–dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Akhir abad ke-20 terdapat tambahan dalam campuran media, tentu saja, Internet (Biagi, 2010: 11).

Perkembangannya yang begitu pesat ini layaknya jamur di musim penghujan (sporadis). Pertarungan antar media massa kerap terjadi, berbagai strategi dijalankan untuk meraih perhatian pembaca dan audiens. Tak dapat dipungkiri juga bahwa terkadang media massa memainkan peranan penting terhadap suatu perubahan, atau menjadi tunggangan bagi para penguasa dan pemilik modal.

Secara umum, fungsi media massa terbagi dua, yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi yang diinginkan dan latent function ialah fungsi tidak nyata atau tersembunyi, yaitu fungsi yang tidak diinginkan. Namun secara khusus, media massa memiliki lima fungsi (Bungin, 2006: 78-79), yaitu:

1. Fungsi Pengawasan

Pengawasan dan kontrol sosial dilakukan sebagai tindakan pencegahan hal-hal yang tidak diinginkan. Bentuknya berupa pengawasan dan kontrol sosial serta kegiatan persuasif.

2. Fungsi Pembelajaran Sosial (Social Learning)

Fungsi ini biasa disebut sebagai fungsi utama dari media massa, sebagai media pendidikan sosial.

3. Fungsi Penyampaian Informasi

Media massa memungkinkan penyampaian suatu pesan dari komunikator kepada audiens secara masif, pada satu waktu, dalam ruang lingkup yang luas.


(42)

4. Fungsi Transformasi Budaya

Semakin berkembangnya teknologi, tidak dapat dipungkiri nilai-nilai budaya kemudian menjadi perhatian utama oleh banyak orang. Perubahan-perubahan budaya tersebut penting ditransmisikan melalui media massa sebab menyangkut bidang lain seperti politik, agama, hukum dan lain-lain. 5. Hiburan

Setiap orang butuh hiburan sebagai selingan dan relaksasi pikiran dari tayangan-tayangan, hidangan berita dan artikel yang berat-berat. Fungsi ini bertujuan menyampaikan pesan yang bersifat informatif secara ringan.

Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan makna-makna dalam materinya. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak, kajian semiotika ini, juga kebanyakan, adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan (Sobur, 2004: 110). Skripsi yang berjudul “Konstruksi Media Massa dalam Sampul Depan Majalah (Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah Time)” ini berfokus pada kajian semiotika yang hasilnya akan digunakan untuk melihat konstruksi media massa.

II.2.4.2 Konstruksi Media Massa

Konstruksi media massa memainkan peranan penting dalam opini publik dan konstruksi realitas sosial.Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas dari konstruksi realitas sosial. Menurut Berger dan Luckmann (Wibowo, 2011: 125), realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

Media massa sebagai saluran komunikasi masif dan kekuatan serta pengaruhnya yang besar di tengah masyarakat, telah menjadi entitas yang dipercaya mengisi gatra antara publik dan kenyataan yang terjadi. Akibatnya, tak jarang apa yang diberitakan oleh media massa menjadi suatu kebenaran di mata publik, menjadi suatu realitas yang pada awalnya hanya eksis pada rangkaian kata suatu media massa.


(43)

Realitas berita hadir dalam keadaan subjektif. Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our head,” (dunia di luar dengan gambarannya di pemikiran kita). Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Teks dalam sebuah berita dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karena pada hakikatnya, isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi, realitas tangan kedua (second hand reality).

Menurut Gerbner dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan alat konstruksi realitas (Wibowo, 2011: 125). Khalayak membentuk citra tentang lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.

Tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran konstruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2001: 188-189), yaitu:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi

Tiga hal penting dalam tahapan ini adalah: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi

Prinsip dasarnya adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dianggap penting oleh media dianggap penting juga oleh masyarakat.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas

Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: konstruksi realitas pembenaran; kesediaan dikonstruksi oleh media massa; sebagai pilihan yang konsumtif.

4. Tahap konfirmasi

Ini adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.


(44)

Konstruksi media massa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang dijelaskan dalam teori hierarki media. Teori ini dibagi menjadi lima tingkatan kekuasaan dan otoritas berbeda yang mempengaruhi pemberitaan, yaitu (1)

ideological level, (2) extramedia level, (3) organization level, (4) media routines

level, dan (5) individuallevel.

Gambar II.3 Model hierarki media

Sumber: Shoemaker, P. J., & Reese, S. D. (1996). Mediating the message: Theories of influences on mass media content (2nd ed.). White Plains, N.Y.: Longman.(dengan sedikit perubahan dari peneliti).

Bagan di atas adalah model hierarki media yang mempengaruhi pemberitaan media mulai dari tingkat paling rendah sampai tertinggi, berikut adalah penjelasannya:

1. Individual level atau tingkatan individu adalah tingkat yang menjelaskan peran seorang jurnalis dalam proses pemberitaan. Walaupun tidak memiliki pengaruh besar dan langsung pada konten media, namun


(45)

karakter, sikap, dan nilai supra-individual tetap mempengaruhi konten media.

2. Media routines level atau tingkatan rutinitas media adalah tingkat yang menjelaskan tentang pengaruh rutinitas, keseharian media dalam pemberitaan. Level ini juga menyangkut tentang target pembaca dari media itu sendiri dan kebijakan dari media itu sendiri untuk memilih mana yang akan menjadi berita dan tidak. Kebijakan tersebut berhubungan dengan ideologi media dan keputusan rapat redaksi sehari-hari.

3. Organizational level atau tingkatan organisasi adalah tingkat yang menjelaskan pengaruh pemberitaan dari para pemilik modal, tujuan, hukum-hukum yang berlaku. Pengaruh dari para pemilik modal (stakeholder) berperan dalam organizational level.

4. Extramedia level atau tingkatan di luar media adalah tingkat yang menjelaskan pengaruh pemberitaan dari entitas di luar media. Seperti organisasi kemasyarakatan, keagamaan, media massa lain, buruh tani, pemerintah, dan sebagainya.

5. Ideological level atau tingkatan ideologi adalah tingkat yang menjelaskan pengaruh pemberitaan dari ideologi negara tempat media itu beroperasi. Budaya masyarakat dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi, menjadi tingkat tertinggi dalam faktor yang mempengaruhi pemberitaan media.

II.2.5 Fotografi

II.2.5.1 Fotografi Jurnalistik

Fotojurnalistik merupakan produk dari jurnalistik foto. Sementara itu, jurnalistik foto adalah cabang ilmu dari jurnalistik (komunikasi/publisistik), sedangkan fotografi jurnalistik adalah keilmuan dari fotojurnalistik itu sendiri.

Jurnalistik merupakan produk dari para jurnalis, suatu pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat. Kegiatan ini bermula pada masa kekaisaran Romawi. Saat itu, para kaum borjuis yang malas pergi ke plaza (tengah kota) untuk mendengar pengumuman penting dari Kaisar Romawi, menyuruh budak-budak mereka untuk


(46)

mencatatkan pengumuman tersebut. Lambat laun, hal tersebut berkembang dan para budak mulai menulis acta diurna (laporan harian) untuk kemudian dijual kepada yang menginginkan. Hal tersebut semakin berkembang sejak Johannes Guttenberg menemukan alat cetak pertama pada tahun 1455, dan terus berkembang sampai sekarang.

Tidak hanya terbatas pada berita tulis saja, namun perkembangan jurnalistik juga merambah ke bidang fotografi. Embrio fotojurnalistik di media massa hadir pertama kali pada hari Senin, 16 April 1877, saat surat kabar harian

The Daily Graphic di New York memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu. Gambar tersebut masih merupakan merupakan sketsa, namun semakin berkembang pada tahun 1891 saat surat kabar harian

NewYork Morning Journal memelopori terbitan surat kabar dengan foto yang dicetak menggunakan halftone screen, perangkat yang mampu memindai titik-titik gambar ke dalam plat cetakan hingga mampu dicetak dengan cepat secara massal.

Fotografi yang baik berarti foto-foto yang dapat digunakan oleh pers dan yang mencerminkan keuntungan dari klien/pengusaha (Bland, 2001: 66). Pada surat kabar, foto merupakan pelengkap dari berita tulis. Fotojurnalistik menambah kesan dan memberi variasi lebih dari penggambaran berita tulis. Fotojurnalistik dituntut memuat informasi atau pesan, bisa sekedar sekuen penting dari sebuah peristiwa yang berlangsung singkat, bisa juga sebuah pesan yang sengaja diciptakan fotografer dari cerita di balik sebuah peristiwa (feature).

II.2.5.2 Kategori Fotojurnalistik

Pada tahun 2007, Badan Fotojurnalistik Dunia (World Press Photo

Foundation; http://www.idseducation.com/2014/12/24/aliran-fotografi-menurut-world-press-photo-foundation/) memberikan beberapa kategori fotojurnalistik, yaitu:

1. Spot Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal atau tidak terduga yang diambil oleh si fotografer langsung di lokasi kejadian.


(47)

2. GeneralNews Photo

Adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya dapat dari peristiwa politik maupun ekonomi.

3. People in the News Photo

Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu. Tokoh-tokoh pada foto people in the news bisa tokoh populer atau bisa tidak, tetapi kemudian menjadi populer setelah foto itu dipublikasikan. 4. Daily Life Photo

Adalah foto tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).

5. Portrait

Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close

up/“mejeng.” Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya.

6. Sport Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga. Karena olahraga berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan penonton dan fotografer, dalam pembuatan foto olahraga dibutuhkan perlengkapan yang memadai.

7. Science and Technology Photo

Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannnya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

8. Art and Culture Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya. 9. Social and Environmet

Adalah foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya.

Setiap karakteristik fotojurnalistik ini memiliki maksud dan tujuannya masing-masing, dan memiliki pemaknaan yang berbeda pula. Sadar atau tidak sadar, pemaknaan tersebut juga dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik ini.


(48)

II.2.5.3 Nilai Berita Fotojurnalistik

Karya-karya jurnalistik memiliki nilai-nilai tertentu agar dapat dikatakan layak dan dapat disiarkan, peneliti merangkumnya dari materi-materi kuliah dan berikut adalah nilai-nilai berita tersebut:

1. Magnitude

Nilai ini menunjukkan bobot dari sebuah peristiwa, apakah dalam skala yang besar. Kejadian yang mengandung nilai magnitude layak untuk dijadikan berita.

2. Timeliness

Nilai kesegaran atau kebaruan sangat penting. Hal yang baru, yang belum diketahui orang lain, yang belum dipublikasikan akan menarik banyak orang.

3. Proximity

Dekatnya kejadian dengan khalayak juga merupakan nilai yang penting (geografis dan psiko-grafis). Psiko-grafis berhubungan dengan kejiwaan, psikologis, politik, kebudayaan dan lain-lain.

4. Prominence

Menyangkut ketokohan, dan orang-orang yang terkenal atau public figure. Sesuatu yang menonjol, misalnya melekat pada seorang tokoh, menyangkut prestasi, gaya hidup, dan lain-lain.

5. Importance

Sesuatu yang mempunyai nilai kepentingan bagi seseorang. Misalnya, pembukaan pendaftaran beasiswa S2 menjadi hal yang penting bagi mahasiswa, akademisi, dan orang-orang yang ingin melanjutkan pendidikannya.

6. Impact/Consequence

Akibat atau konsekuensi yang mempunyai pengaruh luas kepada masyarakat. Misalnya kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM memiliki akibat dan konsekuensi terhadap jalannya roda kehidupan masyarakat.


(49)

7. Conflict/Controversy

Informasi yang mengandung nilai konflik dan kontroversi. 8. Sensation

Peristiwa-peristiwa menggemparkan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Peristiwa yang besar (mengandung juga nilai magnitude) biasa disebut scoope.

9. Noveity, oddity, unusual

Hal-hal yang aneh, baru, dan tidak lazim di antara masyarakat. Misalnya pohon pisang yang menangis dan memiliki dua buah jantung, batu ponari yang dapat menyembuhkan.

10.Human Interest

Merupakan nilai berita yang menyangkut ketertarikan terhadap manusia dan interaksinya, keadaan sosial yang kontras, dan kepentingan manusiawi. Misalnya potret seorang tukang sampah yang sedang berdiri tegak di atas tumpukan sampah sambil memandang jauh komplek perkotaan di ujungnya.

11.Unique

Semua hal yang dianggap unik. 12.Sex

Nilai-nilai berita yang berbau seks pada lawan jenis. Misalnya seperti saat seorang bintang film porno asal jepang ikut membintangi film di Indonesia, foto wanita seksi dan pria berdada bidang, atau perceraian dan perselingkuhan public figure.

13.Crime

Peristiwa kriminal yang terjadi di tengah masyarakat memiliki nilai berita yang cukup besar. Contohnya seperti berita penjambretan ibu-ibu yang baru pulang belanja dari pasar, akan mendapatkan atensi yang cukup besar dari kalangan ibu-ibu lain yang khawatir akan menjadi korban selanjutnya.


(50)

II.2.3.4 Teknik Pengambilan Gambar Fotojurnalistik

Dalam prakteknya, fotografi secara luas dan fotojurnalistik secara sempit memiliki perbedaan yang mendasar. Saat fotografi–seperti contohnya foto model, foto produk, foto lansekap–lebih mementingkan hasil yang bagus (komposisi, pencahayaan, warna), fotojurnalistik lebih mementingkan momen. Berikut ada beberapa teknik pengambilan gambar dalam fotografi yang juga sering diaplikasikan dalam fotojurnalistik (http://lensafotografi.com/teknik-pengambilan-gambar/), yaitu:

1. Extreme Long Shoot

Teknik ini biasa digunakan dan sangat cocok untuk objek yang berjumlah banyak dan sering dipakai untuk jenis foto lansekap. Pada pengambilan gambar ini, hal-hal yang ingin ditunjukkan selain objek utama adalah situasi dan kondisi dari keadaan sekitar.

2. Long Shoot

Teknik ini hampir mirip dengan teknik extreme long shoot, hanya saja teknik ini lebih banyak digunakan untuk menangkap figur seseorang secara keseluruhan, di mana seluruh badan objek akan terlihat.

3. Medium Long Shoot

Ruang yang tersedia bagi objek pada teknik ini semakin sempit dibandingkan dengan long shoot. Teknik ini biasa mengambil gambar dari bagian sekitar lutut sampai dengan batas kepala. Teknik ini berfungsi untuk menyampaikan aktifitas objek dan mencerminkan kehidupan sehari-hari.

4. Medium Shoot

Merupakan teknik pengambilan gambar jarak menengah, di mana batas pemotongan objek adalah dari bagian pinggang ke atas. Teknik ini baik untuk bahasa tubuh dan ekspresi wajah.

5. Medium Close Up

Pengambilan gambar dengan batas dari bagian dada ke atas. Sangat bagus digunakan untuk foto candid. Teknik ini digunakan untuk menangkap profil objek sekaligus ekspresi wajah yang lebih jelas.


(51)

6. Close Up

Bagian tubuh yang difoto adalah dari batas bahu ke atas sampai dengan batas kepala. Berguna untuk menangkap ekspresi wajah seseorang dan detail objek yang membuat foto terlihat dramatis tapi tetap natural.

7. BigClose Up

Batas ruang gambar pada teknik ini adalah dari bagian dagu dan dahi. Teknik pengambilan gambar seperti ini benar-benar menekankan detail ekspresi objek lebih dalam daripada teknik close up.

8. Extreme Close Up

Teknik ini memperlihatkan bagian tubuh yang unik atau bagian yang menjadi ciri khas seseorang, misalnya pada bagian mata atau bibir. Teknik ini mengajak pemirsa untuk bervisualisasi, karena jenis foto ini akan membangkitkan rasa penasaran yang melihat.

II.2.3.5 Camera Angle

Sudut pandang pengambilan gambar yang tepat dapat membentuk kedalaman gambar/dimensi dan membangun kesan psikologis gambar (Fachruddin, 2012: 151-152), seperti:

1. High Angle (HA)

Kamera diletakkan tinggi di atas objek/garis mata orang. Kesan psikologis yang ingin disampaikan, objek tampak seperti tertekan.

2. Eye Level (normal)

Kamera diletakkan sejajar dengan garis mata objek yang dituju. Kesan psikologis yang disajikan adalah kewajaran, kesetaraan atau sederajat. 3. Low Angle (LA)

Kamera diletakkan di bawah objek/garis mata orang. Kesan psikologis yang ingin disajikan adalah kewibawaan dan kekuasaan, objek tampak berwibawa.


(52)

II.2.6 Desain Komunikasi Visual

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi dan lay-out. Semua itu dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju (Tinarbuko, 2009: 24). Pada dasarnya, desain komunikasi visual merupakan representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada kurun waktu tertentu (Tinarbuko, 2009: 6).

Desain dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan melalui metode berpikir, berlandaskan ilmu pengetahuan, bersifat rasional dan pragmatis. Ia lahir karena ilmu pengetahuan modern telah memungkinkan timbulnya industrialisasi.

Desain grafis dipelajari dalam konteks tata letak dan komposisi, bukan seni grafis murni. Menurut Suyanto desain grafis didefinisikan sebagai aplikasi dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri. Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan (Sitepu, 2014: 11-12).

Desain grafis yang merupakan rancangan sebuah pesan, menerapkan elemen-elemen dan prinsip-prinsip desain (komposisi) dalam memproduksi sebuah karya visual. Desain grafis menerapkan beberapa prinsip, yakni:

Kesederhanaan, Keseimbangan, Kesatuan, Penekanan dan Repetisi. Sedangkan elemen-elemen yang diusungnya meliputi Garis, Bentuk, Ruang, Tekstur dan

Warna (Sitepu, 2004: 6-7):

Ilmu komunikasi kini lazim menyebut desain grafis sebagai desain komunikasi visual. Sebab desain grafis pada dasarnya adalah pekerjaan berkomunikasi di mana pesan yang disampaikan adalah visual (grafis: gambar dan tipografi/elemen-elemen desain dalam seni). Dan beberapa penelitian membuktikan media komunikasi visual lebih efektif ketimbang media lainnya yang hanya mengandalkan teks (Sitepu, 2004: 8).


(1)

78

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Hoed, Benny H (2014). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya: Ferdinand de

Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sanders Peirce, Marcel Danesi & Paul Prron, dll. Depok: Komunitas Bambu.

Kholil, Syukur (2006). Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung: Cita Pustaka Media.

Kriyantono, Rachmat (2008). Teknis Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Kukla, André (2003). Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta:

Penerbit Jendela.

Kusmiati, dkk (1999). Teori Desain Komunikasi Visual. Jakarta: Djambatan. McQuail, Denis (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika. Moleong, Lexy J (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Mulyana, Dedy (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari (2001). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Nurudin (2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Rakhmat, Jalaluddin, 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Selden, Raman (1993). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Siswanto, Wahyudi (2008). Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo.

Sobur, Alex (2004). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

___________ (2004). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Sturrock, John (2004). Strukturalisme Post-Strukturalisme. Surabaya: Jawa Pos

Press.

Sunarto dan Hermawan (2011). Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi. Jakarta: ASPIKOM.

Tinarbuko, Sumbo (2009). Semiotika Komunikasi Visual: edisi revisi. Yogyakarta: Jalasutra.


(2)

79

Vivian, John (2008). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu (2011). Semiotika Komunikasi: Aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media. Wijaya, Taufan (2011). Fotojurnalistik Dalam Dimensi Utuh. Klaten: CV.

Sahabat.

E-book

Sitepu, Vinsensius (2004). Panduan Mengenal Desain Grafis. www.escaeva.com Stocchetti, Matteo dan Karin Kukkonen (2011). Images In Use. Amsterdam: John

Benjamin Publishing Company.

Terence, Hawkes (2004). Structuralism and Semiotics. London and New York: Taylor & Francis e-Library.

Skripsi

Anjani, Dana Alfi (2013). Representasi Citra Perempuan Dalam Majalah. Medan: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dewi, Bania Cahya (2014). Konsep Kepemimpinan Dalam Budaya Jawa Di Comic Strip. Medan: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Girsang, Romi Comando (2014). Maskulinitas Dalam Iklan Televisi. Medan: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Prahara, Triansari (2014). Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media. Medan: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Suryadi (2013). Representasi Citra Perempuan Dalam Fotojurnalistik. Medan: Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(3)

80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sumber Internet

diakses pada 12 November 2014, 01.10 pm.

November 2014, 01.13 pm.

November 2014, 01.36 pm.

diakses

pada 17 November 2014, 01.14 pm.

2015, 3.44 pm.

2015, 4.58 pm.

pm.

2015, 11.34 am


(4)

BIODATA PENELITI

Nama/NIM : MUHAMMAD ZAHRAWI/110904048 Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 22 November 1993

Departemen : Ilmu Komunikasi FISIP USU Alamat : Jl. Jermal X No.8 Medan

Email

Orangtua

Ayah : (Alm.) Sumardi Ibu : Haidari Hanum Anak ke : 4 dari 4 bersaudara Nama Saudara Kandung : Iradati Husna, S.Pdi.

Hadiedi Prasaja, S.Sos. Mutia Nurul Audah, S.Pd.

Agama : Islam

Pendidikan : 1998-1999

TK Aisyiah Bustanul Athfal Medan 1999-2005

SD Muhammadiyah 03 Medan 2005-2008

SMP Negeri 13 Medan 2008-2011

SMA Swasta Eria Medan 2011-2015

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU Bahasa : Indonesia (Native Speaker)

English (Professional Working Proficiency) Arabic (Elementary Proficiency)

Japanese (Elementary Proficiency) French (Elementary Proficiency) Organisasi : P2KM

(Pusat Pengkajian Komunikasi Massa) Anggota


(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Pers Mahasiswa Pijar (www.mediapijar.com)

Jurnalis (2011-2015), Artistik Editor (2012-2013), Pemimpin Umum (2013-2014).

September 2011-2015

Jurnal Komunika

Staf Editorial 2012-2015 Jurnal FLOW

Staf Editorial (Operator) 2012-2015

KeMANGTEER Medan

Anggota

September 2014 s.d. sekarang IMAJINASI

(Ikatan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi) Anggota


(6)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Muhammad Zahrawi

NIM : 110904048

PEMBIMBING : Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm

NO. TANGGAL

PERTEMUAN PEMBAHASAN

PARAF PEMBIMBING 1.

2.

3. 4. 5.

6. 7. 8.

21 November 2014

15 – 23 Desember 2014

9 Januari 2015 12 Januari 2015 Februari 2015

Maret 2015 Maret 2015 24 Maret 2015

Bimbingan Skripsi dan ACC untuk Seminar Proposal

Bimbingan Skripsi dan revisi Bab I, II dan III Bimbingan Bab I, II dan III Bimbingan Skripsi

Bimbingan Skripsi dan ACC Bab I, II dan III ACC Bab IV

ACC Bab V ACC Sidang

Minimal pertemuan 6 (enam) kali untuk setiap pembimbing. Catatan :