Kemajemukan Hukum Dalam Pengoperasian Angkutan Kota (Studi Deskriptif Tentang Pengoperasian Angkot Di Medan)

(1)

KEMAJEMUKAN HUKUM DALAM PENGOPERASIAN ANGKUTAN KOTA

(Studi Deskriptif Tentang Pengoperasian Angkot di Medan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

ANGELINA TAMBUNAN NIM. 070905012

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

ABSTRAK

Angelina Tambunan 2011, Judul Kemajemukan Hukum dalam Pengoperasian angkutan kota (Studi Diskriptif tentang pengoperasian Angkot di Medan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 149 halaman termasuk daftra pustaka, 7 tabel, daftar gambar, lampiran yang terdiri dari jalur/peta rute angkot KPUM trayek 65, surat keterangan penelitian.

Angkutan kota mempunyai peranan penting dalam mendukung aktivitas dan mobiltas penduduk sehari-hari di suatu perkotaan, karena angkutan kota merupakan salah satu kebutuhan manusia. Penelitian ini mengkaji tentang Kemajemukan Hukum dalam Pengoperasian angkutan kota (Studi Deskriptif tentang Pengoperasian Angkot di Medan) yang dikaji melalui pendekatan antropologi hukum, dan dilakukan di Kota Medan. Serta membahas tentang situasi kemajemukan hukum yang ada pada pengoperasian angkutan kota, perilaku pihak-pihak terkait terhadap aturan-aturan tersebut dan bagaimana bentuk kasus dan perselisihan yang terjadi serta penyelesaiannya, respon masyarakat (penumpang angkot 65 KPUM) terkait dengan pengoperasian angkot serta keberadaan angkutan kota di Kota Medan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan tentang situasi kemajemukan hukum yang ada di dalam pengoperasian angkot, perilaku aktor yang terkait, bentuk kasus dan perselisihan yang terjadi serta penyelesaiannya, dan respon masyarakat terkait dengan pengoperasian angkot. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan wawasan serta menambah pengetahuan (khususnya antropologi hukum) bagi yang membacanya. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik pengumpulan data yakni data primer (observasi dan wawancara), data sekunder (studi kepustakaan dan dokumentasi visual).

Hasil penelitian lapangan menunjukan bahwa Kota Medan memiliki 161 trayek dan 16 perusahaan angkutan umum yang salah satunya adalah KPUM (Koperasi Pengangkutan Umum Medan) yang mempunyai 93 trayek. KPUM berbeda dengan usaha angkutan lainnya, angkot KPUM dikemudikan oleh sebagian besar supir-supir yang tergabung menjadi anggota organisasi KPUM. Organisasi ini memiliki beberapa aturan yang diberlakukan kepada pemilik angkot, mandor, dan supir angkot dalam mengoperasikan angkutannya. Selain aturan KPUM, pengoperasian angkot KPUM juga diatur oleh hukum negara dan aturan di lapangan. Berdasarkan kondisi yang ada, maka terciptalah aturan main yang diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Kesimpulan penelitian menjelaskan bahwa kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota Medan terkait dengan adanya interaksi antara aturan organisasi dan hukum negara dalam pengoperasian angkot. Pada akhirnya menimbulkan aturan baru dalam hubungan sosial yang semi otonom antara


(3)

aktor-yang lainnya dalam memainkan aturan di lapangan, angkot ini menciptakan aturan tersendiri yaitu aturan bebas waktu yang melibatkan supir angkot dan mandor trayek 65. Aturan main ini diciptakan karena tingginya persaingan antar armada angkot di lapangan. Aturan ini dianggap sebagai hukum diluar daripada hukum yang dibuat oleh pemerintah. Pada akhirnya aturan main ini mempunyai kelebihan dan kelemahan yang harus diterimah oleh aktor yang terlibat.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, dan penuh rasa syukur. Skripsi yang berjudul “Kemajemukan Hukum dalam Pengoperasian Angkot (Studi Deskriptif Tentang Pengoperasian Angkot di Medan) adalah sebuah pemahaman tentang pengoperasian angkot yang tercipta di Kota Medan dan analisis hubungan-hubungan antar aktor yang mempengaruhi kondisi pengoperasian angkot tersebut, sehingga pada akhirnya menimbulkan kemajemukan hukum yang menguntungkan bagi pihak tertentu.

Dalam kesempatan yang baik ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang besar kepada semua pihak yang telah membantu dengan penuh ketulusan, dan kasih sayang dalam menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini terutama penulis tujukan kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik, Universitas Sumatera Utara. Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu mulai awal perkuliahan hingga penulisan skripsi. Terima kasih atas ilmu-ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama mata kuliah seminar. Bapak Drs. Agustrisno, MSP, sebagai sekretaris Departemen Antropologi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu mulai awal perkuliahan hingga penulisan skripsi.


(5)

telah memberikan nasehat serta arahan kepada penulis selama perkuliahan. Yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan masukan teoritis dan metodologis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas seluruh kebijaksanaan, bimbingan, kesediaan serta ketulusan hati beliau dalam penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Irfan Simatupang, M.Si dan Ibu Dra. Mariana Makmur, MA, sebagai dosen penguji pada saat penulis seminar proposal. Terima kasih untuk waktunya dan semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini. Begitu juga kepada seluruh dosen Departemen Antropologi yang telah banyak memberikan pengetahuan kepada penulis selama melaksanakan perkuliahan. Seluruh Staf Pegawai FISIP USU, khususnya kak Nur yang telah membantu dan mempermudah dalam pengurusan administrasi dan seluruh berkas yang dibutuhkan oleh penulis.

Penulisan skripsi ini tidak mungkin bisa terselesaikan dengan baik tanpa bantuan data dari informan. Terima kasih kepada seluruh informan penelitian, khusunya Bapak M. Malau, Bapak Thahir Ritonga, Bapak Hendrik Ginting, Bapak T. Pasiribu, Bapak’Ginting, dan Bapak’Ogut yang bersedia memberikan informasi yang seakurat mungkin sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Serta kepada sebagian besar penumpang, pegawai KPUM, mantan preman setempat, pemilik angkot, supir dan mandor angkutan kota KPUM trayek 65 atas waktu dan informasinya.


(6)

Ucapan terima kasih terbesar, tulus, dan sangat mendalam dari lubuk hati penulis sampaikan untuk kedua orang tua penulis yaitu Papa Tagor Tambunan dan Mama Rotua Simbolon, yang selalu memberikan semangat, kasih sayang, didikan, perhatian, dan dukungan doa serta materi kepada penulis. Terima kasih Papa dan Mama yang telah menyekolahkan penulis hingga tingkat tinggi. Tanpa bantuan kalian tidak mungkin penulis bisa seperti sekarang ini. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Papa dan Mama sebagai tanda terima kasih dan rasa sayang penulis kepada kalian. Penulis berterima kasih juga kepada Kakak-kakak terkasih Esther Lisbet Tambunan, SE dan Ika Imelda Tambunan yang menjadi panutan bagi penulis, memberikan masukan-masukan kepada penulis, semangat, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta adik terkasih Bistok Tambunan yang selalu menghibur penulis selama penulisan skripsi ini. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada kakak dan adikku yang tercinta.

Atas bantuan berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada sahabat penulis yaitu Chelsie Situmorang dan Putri Necca, yang telah memberikan waktunya untuk menemani penulis ke lapangan, dan memberikan ide-ide kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga kepada Yanti Patricia atas masukan-masukan yang diberikan terhadap penulisan skripsi ini, Noni S, Elvita P, dan Margaret S yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini, memberikan semangat, dukungan doa kepada penulis sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas persahabatan kita selama 10 tahun ini. Spesial ditujukan buat yang terkasih Yoshua Panggabean yang tidak henti-hentinya memberikan semangat, doa,


(7)

dukungan, dan waktunya untuk membantu penulis di lapangan sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih juga kepada kerabat dan teman seperjuangan penulis, yaitu Inggrid Silitonga’07, Rinie Siagian’07, yang telah banyak memberikan masukan, kritik, dan saran kepada penulis selama penulisan skripsi ini. Terima kasih telah menjadi kerabat dan sahabat penulis selama kurang lebih 4 tahun ini. Terima kasih juga Marni Pardosi’07, Sri Paulina’07, yang telah meluangkan waktunya untuk menemani penulis ke lapangan. Anugrah’07, Junjung Sahala’07, Septian Hadapi’07, Arni Melvi’07, Wahyu Tata’07 yang memberikan semangat, dukungan doa, masukan-masukan kepada penulis.

Penulis juga ingin berterima kasih kepada teman-teman Antropologi 2007, Dian Anggreni, Putri Dewi, Risa Febrina, Martha Fitri, Indri, Surya Kristina, Rabitha, Zizah, Fizah, Siti Dianur, Pardin, Fauzi, Tino, Edo, Vino, Rizal, Rendi, fikri, dan yang lainnya. Terima kasih atas cerita dan kenang-kenangan yang telah kita buat selama kuliah di Departemen antropologi FISIP USU.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dan bantua dari berbagai pihak. Penulis mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan dan melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Penulis juga telah berusaha menyusun skripsi ini dengan sebaik mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Penulis juga mengharapkan adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun guna


(8)

penyempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Medan, Februari 2011 Penulis


(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Kemajemukan Hukum dalam pengoperasian Angkutan Kota (Studi Deskriptif Tentang Pengoperasian Angkot di Medan”. Angkutan kota salah satu alat transportasi yang sampai sekarang masih dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia termasuk Kota Medan. Biaya yang relatif terjangkau, jumlah armada yang lumayan banyak, dan waktu perjalanan yang singkat merupakan kelebihan dari angkutan kota. Selain mempunyai kelebihan, angkutan kota juga mempunyai kekurangan, yaitu dalam pengoperasiannya.

Munculnya masalah pengoperasian angkot di Kota Medan, seakan memberikan kesimpulan bahwa Pemko dan Dishub kurang memperhatikan kondisi pengoperasian angkot di Medan. Secara aktual, kondisi pengoperasian angkot di Medan semakin semrawut yang akhirnya menimbulkan kemacetan dan merugikan masyarakat. Para pengusaha angkutan kota seakan tidak mau dirugikan dengan kondisi yang terjadi. Angkutan kota yang tidak layak pakai dan seharusnya diremajakan masih dioperasikan demi keuntungan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak tertentu inilah yang menjadi aktor dalam pengoperasian angkot di Medan. Hal ini membuktikan bahwa pengoperasian angkot di Medan tidak berjalan sesuai dengan aturan formal yang ada. Akhirnya menimbulkan situasi kemajemukan hukum dalam pengoperasiannya.

Mengapa keberadaan angkutan kota di Medan tidak berjalan dengan baik dan masih banyak kekurangan, yang akhirnya menimbulkan kasus-kasus dalam pengoperasiannya. Hal ini merupakan pertanyaan yang bahasannya telah tersaji


(10)

dalam skripsi sederhana ini. Skripsi ini terdiri dari 5 bab yang setiap bab nya membahas point-point penting tentang kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkot di Medan. Penulis mencoba menjelaskan bahwa kesemrawutan pengoperasian angkot tidak hanya dikarenakan oleh perilaku supir angkot saja. Tapi adanya faktor-faktor lain yang berasal dari masyarakat itu sendiri dan aturan yang tercipta.

Dalam bab 1 skripsi ini, Penulis membahas tentang latar belakang masalah yang berkaitan dengan judul skripsi. Mengemukakan berbagai permasalahan, seperti bagaimana situasi kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkot, perilaku aktor yang terkait, kasus-kasus yang terjadi, dan respon masyarakat tentang keberadaan pangkot di Medan. Fokus penelitian ini adalah angkutan KPUM trayek 65. Penelitian ini dikaji berdasarkan pendekatan antropologi hukum dan menggunakan teori Sally F. Moore. Sally F. Moore mengungkapkan konsep Semi Autonomous Social Field yamg masuk dalam kemajemukan hukum yang kuat mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri.

Di bab 2 penulis juga menjelaskan tentang gambaran umum kota Medan secara keseluruhan sebagai dasar penunjang lokasi penelitian, dan KPUM (Koperasi Pengangkutan Umum Medan) yang merupakan kantor bagi semua trayek angkutan KPUM. Serta menjelaskan rute yang dilalui oleh angkutan KPUM trayek 65. Bab 3, penulis mengemukakan bahwa pengoperasian angkutan kota di Medan tidak semuanya sama, tergantung dari pengusaha angkot tersebut. Termasuk aktor yang terlibat dalam pengoperasiannya. Di Medan ada 16


(11)

perusahaan angkot yang masih berdiri dan yang paling tua adalah KPUM dengan jumlah armada serta trayek yang paling banyak, termasuk trayek 65. Pengoperasian angkot trayek 65 yang rutenya dari Tembung-Pinang Baris mempunyai sistem pengoperasian yang berbeda dengan angkot KPUM lainnya, yaitu dalam aturan main yang ada di lapangan, penetepan trayek, iuran/setoran, dan perselisihan yang terjadi juga menjadi pembahasan dalam skripsi ini.

Data yang diperoleh dari kantor KPUM dan Dishub sangat membantu penulis dalam mengkaji permasalahan yang ada di bab 3 ini. Sistem pengoperasian serta aturan-aturan apa saja yang diberlakukan dijelakan secara serderhana dan terperinci dalam bab 3 ini, agar pembaca dapat lebih mudah memahaminya. Pada bab 4, penulis mencoba mengemukakan bahwa kemajemukan hukum yang terjadi dalam pengoperasian angkot di Medan tidak lepas dari campur tangan aktor-aktor tertentu. Aktor-aktor tersebut mempunyai peran tersendiri dalam setiap aktivitasnya. Pada akhirnya tercipta hubungan-hubungan antar aktor-aktor yang terlibat. Seperti yang diungkapkan oleh Sally F. Moore bahwa dalam suatu hubungan tercipta kekuasaan yang akhirnya mendominasi hubungan tersebut. Kekuasaan yang ada pada akhirnya menciptakan pengaturan sendiri. Pengaturan sendiri yang ada merupakan bagian dari terciptanya kemajemukan hukum. Dalam bab ini, dijelaskan bahwa kemajemukan hukum yang tercipta, terdiri dari aturan Negara, aturan yang dibuat KPUM, aturan di lapangan, dan aturan main.

Aturan yang tercipta memberikan pengaruh terhadap kondisi kemajemukan hukum yang ada, sehingga menimbulkan kasus-kasus dalam


(12)

pengoperasian angkot. Kasus-kasus yang terjadi berasal dari hubungan-hubungan aktor yang terlibat. Bab 5 dalam skripsi ini adalah Penutup, yang terdiri dari Kesimpulan dan saran dari hasil penelitian penulis. Penulis memberikan saran yang berkaitan dengan pengoperasian angkot di Medan. Demi perubahan ke arah yang lebih baik, agar tidak terjadi kesemrawutan di kota Medan.

Pada akhirnya, kesemrawutan angkutan kota di Medan muncul dikarenakan buruknya sistem pengoperasian angkot dan kurang kepedulian dari pihak Pemko dan Dishub terhadap kesemrawutan yang terjadi. Disamping itu, kurangnya kesadaran dari aktor-aktor yang terlibat dalam pengoperasian angkot ini juga menjadi penyebab kesemrawutan yang ada. Aktor-aktor tersebut lebih mementingkan keuntungan sepihak.

Medan, Februari 2011 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i

ABSTRAK ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP + FOTO ... x

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Masalah dan Latar Belakang ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 10

1.3 Perumusan Masalah ... 19

1.4 Ruang Lingkup ... 20

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 21

1.6 Metode Penelitian ... 22

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data ... 22

1.6.2 Teknik Analisa Data... 26

1.6.3 Pengalaman dalam Penelitian ... 26

1.7 Lokasi Penelitian ... 29

BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN DAN KPUM (ANGKUTAN KOTA MEDAN) 2.1 Kondisi Kota Medan ... 30

2.1.1 Sejarah Kota Medan ... 31

2.1.2 Kota Medan Secara Geografis ... 32

2.1.3 Kota Medan Secara Administrasi ... 33

2.1.4 Kota Medan Secara Demografi ... 34

2.1.5 Kota Medan Secara Kultural ... 36

2.1.6 Kota Medan Secara Sosial ... 37

2.1.7 Sarana dan Prasana ... 38


(14)

2.2.1 Usaha-Usaha yang Dijalankan

Selama KPUM Berdiri ... 46

2.2.2 Pengembangan Organisasi ... 48

2.2.3 Struktur Organisasi ... 50

2.2.4 Peremajaan Armada KPUM ... 52

2.3 Angkutan KPUM Trayek 65... 53

2.3.1 Waktu Operasi/Jenis Armada dan Kapasitas ... 53

2.3.2 Jumlah Armada ... 54

2.3.3 Rute yang Dilalui oleh Angkot KPUM Trayek 65 ... 55

BAB III PENGOPERASIAN ANGKOT KPUM TRAYEK 65 DAN ATURAN-ATURAN YANG DiBERLAKUKAN 3.1 Angkutan Kota Medan ... 56

3.2 Pengoperasian Angkot KPUM Trayek 65 ... 64

3.2.1 Penetapan Trayek 65 ... 68

3.2.2 Iuran/Setoran/Kutipan Angkot KPUM Trayek 65 ... 72

3.2.3 Terminal Angkot KPUM Trayek 65 ... 76

3.3 Kondisi Kerja Supir Angkot KPUM Trayek 65 ... 79

3.3.1 Perselisihan yang terjadi di Lapangan ... 81

3.3.2 Proses Mencari Penumpang ... 83

3.4 Aturan-Aturan Yang Diberlakukan dalam Pengoperasian Angkot KPUM Trayek 65... 84

3.4.1 Aturan yang Ditetapkan oleh Pemerintah Kota atau Dishub Medan ... 84

3.4.2 Aturan-Aturan yang Ditetapkan Oleh KPUM ... 88

3.4.3 Aturan-Aturan yang Ada di Lapangan ... 90

BAB IV KEMAJEMUKAN HUKUM DALAM PENGOPERASIAN ANGKUTAN KOTA DAN KASUS-KASUS YANG TERJADI 4.1 Hubungan Antara Pihak yang Terlibat ... 93

4.1.1 Hubungan Dishub dengan Pihak KPUM ... 93

4.1.2 Hubungan KPUM dengan Anggotanya ... 95

4.1.3 Hubungan Pemilik Angkot dengan Supir Angkot KPUM Trayek 65 ... 98

4.1.4 Hubungan Mandor dengan Supir Angkot KPUM Trayek 65 ... 103

4.2 Hak dan Kewajiban Pihak yang Terlibat ... 107 4.3 Kasus-Kasus yang Terjadi di Lapangan dalam


(15)

4.3.1 Kasus Antar Sesama Supir Angkot Trayek 65... 114 4.3.2 Kasus Antar Supir angkot KPUM Trayek 65

dengan Supir angkot lainnya

(berbeda organisasi) ... 117 4.3.3 Kasus Supir Angkot dengan Pemilik Angkot... 118 4.3.4 Kasus Supir Angkot dengan Mandor ... 119 4.3.5 Kasus Supir Angkot dengan Masyaraka

Setempat ... 120 4.3.6 Kasus Supir Angkot dengan Satlantas ... 122 4.4 Respon Penumpang terhadap Pengoperasian

Angkot KPUM trayek 65 ... 125 4.4.1 Respon Penumpang terhadap Keberadaan Angkot

Di Medan ... 135 4.5 Analisa Hasil Penelitian ... 136

BAB V PENTUPUP

5.1 Kesimpulan ... 139 5.2 Saran ... 143

DAFTAR PUSTAKA ... 145

LAMPIRAN

• Hasil Gambar Selama Penelitian • Daftar Informan

• Daftar Istilah • Interview Guide • Surat Penelitian


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Letak Geografis Beberapa Daerah Medan ... 32 Tabel 2.2 Luas Kecamatan dalam wilayah

Administratif Kota Medan ... 33 Tabel 2.3 Jumlah penduduk di Kota Medan ... 36 Tabel 2.4 Terminal di Kota Medan ... 44 Tabel 3.1 Karakteristik Pelayanan Angkutan Umum

dibandingkan dengan Kendaraan pribadi ... 58 Tabel 3.2 Daftar Perusahaan dan Jumlah Angkutan Umum

di Kota medan tahun 2010 ... 61 Tabel 331 Perbandingan klasifikasi trayek ... 71


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Angkutan Kota KPUM Trayek 65 ... 54 Gambar 3.1 Buku Repas Angkot KPUM Trayek 65

Serta Iuran Harian ... 73 Gambar 3.2 Terminal Terpadu Pinang Baris ... 77 Gambar 3.3 Pangkalan Tembung ... 77 Gambar 3.4 Salah Satu Contoh terminal Liar/Tempat

Biasanya Angkot KPUM Trayek 65 Ngetem Yaitu

Terminal Liar Kampung Lalang ... 778 Gambar 4.1 Hubungan Mandor dan supir angkot KPUM Trayek 65


(18)

ABSTRAK

Angelina Tambunan 2011, Judul Kemajemukan Hukum dalam Pengoperasian angkutan kota (Studi Diskriptif tentang pengoperasian Angkot di Medan). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 149 halaman termasuk daftra pustaka, 7 tabel, daftar gambar, lampiran yang terdiri dari jalur/peta rute angkot KPUM trayek 65, surat keterangan penelitian.

Angkutan kota mempunyai peranan penting dalam mendukung aktivitas dan mobiltas penduduk sehari-hari di suatu perkotaan, karena angkutan kota merupakan salah satu kebutuhan manusia. Penelitian ini mengkaji tentang Kemajemukan Hukum dalam Pengoperasian angkutan kota (Studi Deskriptif tentang Pengoperasian Angkot di Medan) yang dikaji melalui pendekatan antropologi hukum, dan dilakukan di Kota Medan. Serta membahas tentang situasi kemajemukan hukum yang ada pada pengoperasian angkutan kota, perilaku pihak-pihak terkait terhadap aturan-aturan tersebut dan bagaimana bentuk kasus dan perselisihan yang terjadi serta penyelesaiannya, respon masyarakat (penumpang angkot 65 KPUM) terkait dengan pengoperasian angkot serta keberadaan angkutan kota di Kota Medan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan tentang situasi kemajemukan hukum yang ada di dalam pengoperasian angkot, perilaku aktor yang terkait, bentuk kasus dan perselisihan yang terjadi serta penyelesaiannya, dan respon masyarakat terkait dengan pengoperasian angkot. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan wawasan serta menambah pengetahuan (khususnya antropologi hukum) bagi yang membacanya. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik pengumpulan data yakni data primer (observasi dan wawancara), data sekunder (studi kepustakaan dan dokumentasi visual).

Hasil penelitian lapangan menunjukan bahwa Kota Medan memiliki 161 trayek dan 16 perusahaan angkutan umum yang salah satunya adalah KPUM (Koperasi Pengangkutan Umum Medan) yang mempunyai 93 trayek. KPUM berbeda dengan usaha angkutan lainnya, angkot KPUM dikemudikan oleh sebagian besar supir-supir yang tergabung menjadi anggota organisasi KPUM. Organisasi ini memiliki beberapa aturan yang diberlakukan kepada pemilik angkot, mandor, dan supir angkot dalam mengoperasikan angkutannya. Selain aturan KPUM, pengoperasian angkot KPUM juga diatur oleh hukum negara dan aturan di lapangan. Berdasarkan kondisi yang ada, maka terciptalah aturan main yang diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Kesimpulan penelitian menjelaskan bahwa kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota Medan terkait dengan adanya interaksi antara aturan organisasi dan hukum negara dalam pengoperasian angkot. Pada akhirnya menimbulkan aturan baru dalam hubungan sosial yang semi otonom antara


(19)

aktor-yang lainnya dalam memainkan aturan di lapangan, angkot ini menciptakan aturan tersendiri yaitu aturan bebas waktu yang melibatkan supir angkot dan mandor trayek 65. Aturan main ini diciptakan karena tingginya persaingan antar armada angkot di lapangan. Aturan ini dianggap sebagai hukum diluar daripada hukum yang dibuat oleh pemerintah. Pada akhirnya aturan main ini mempunyai kelebihan dan kelemahan yang harus diterimah oleh aktor yang terlibat.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Masalah dan Latar Belakang

Tingginya mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat yang lain menyebabkan sektor transportasi memegang peranan yang sangat signifikan di dalam kehidupan rutinitas kota. Hal ini dikarenakan transportasi sebagai salah satu kebutuhan manusia untuk memindahkan orang dan atau barang dari tempat asal ke tempat tujuan, seperti dari rumah ke kantor, ke tempat pertemuan, ke sekolah, ke pasar, dan sebagainya. Sebagian besar masyarakat pengguna transportasi adalah pegawai, pelajar, pedagang, dan sebagainya. Alat transportasi yang digunakan para pemakai jasa tersebut ada dimiliki sendiri, berupa kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat, tetapi ada pula yang tidak memilikinya sehingga harus menggunakan angkutan penumpang dengan angkutan umum.

Angkutan penumpang dengan angkutan umum adalah angkutan penumpang dengan menggunakan kendaraan umum dan dilaksanakan dengan sistem sewa atau bayar (Suwardjoko, 2002: 38). Angkutan umum dengan sistem sewa disebut dengan angkutan umum massal yaitu layanan jasa angkutan yang memiliki trayek dan jadwal tetap; contohnya adalah bus (bus besar, bus sedang, mini bus) dan kereta api. Jenis angkutan ini bukan melayani permintaan melainkan menyediakan layanan tetap, baik jadwal, tarif maupun lintasannya. Masing-masing mempunyai pola layanan dan kebutuhan yang berbeda-beda.


(21)

Keduanya dapat berfungsi secara bersama-sama di sebuah kota. Angkutan umum dengan sistem sewa yaitu pelayanan jasa angkutan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang berdasarkan ciri tertentu, misalnya tarif dan rute1, tidak memiliki trayek2

Angkutan umum yang dimaksud oleh penulis adalah angkutan umum massal jenis mini bus yaitu angkutan kota

dan jadwal yang tetap; contohnya adalah Taksi (Soegijoko, 1991: 6).

3

Berdasarkan data dari Dinas lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ: 2004) Kota Medan saat ini dilayani oleh angkutan kota (angkot) sebanyak 8.930 armada dengan melintasi 249 trayek yang beroperasi setiap hari. Jumlah angkutan kota yang ada tidak sebanding dengan jumlah penduduk

. Angkutan kota yang kemudian disebut dengan istilah angkot sudah menjadi kebutuhan utama dalam mendukung kehidupan sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat di Medan. Angkutan kota mempunyai peranan penting dalam mendukung aktivitas dan mobilitas penduduk sehari-hari di suatu perkotaan. Baik buruknya keadaan angkutan umum dan transportasi di suatu perkotaan merupakan cerminan baik buruknya sistem kota dan pemerintahannya.

4

1 Rute adalah jarak atau arah yang harus diturut (ditempuh, dilalaui) dan merupakan jalur angkutan di Medan yang

yang menghubungkan dua tempat

2

Trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa angkutan orang dengan mobil bus, yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak berjadwal (dalam Peraturan Daerah Kota Medan Nomor: 33 tahun 2002 Tentang Retribusi Pelayanan dan izin di Bidang perhubungan)

3

Angkutan Kota adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan (angkutan) dari satu tempat ke tempat lain dalam satu daerah kota atau wilayah ibukota Kabupaten dengan menggunakan mobil bus umum atau mobil penumpang umum yang terikat dalam trayek (Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 35 tahun 2003 tentang Penyelenggaraab Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum)

4

Laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,87% dan jumlah kepadatan penduduk kota Medan per kilometer rata-rata sebesar 7.798 jiwa/km2.


(22)

mencapai 2.067.288 jiwa. Sebagian besar dari jumlah penduduk kota Medan tersebut menggunakan jasa angkutan kota sehingga mengharuskan pemerintah untuk menyediakan armada angkot serta jumlah trayek yang lebih banyak.

Banyaknya peminat pengguna jasa angkutan kota disebabkan karena angkutan kota memiliki kriteria ideal (Herry Lubis, 2005:14), yaitu:

• Keandalan : Setiap saat tersedia, kedatangan dan sampai tujuan tepat waktu, waktu total perjalanan singkat dari rumah, tidak perlu berpindah kendaraan.

• Kenyamanan : Pelayanan yang sopan, terlindung dari cuaca buruk di bus stop, mudah turun naik kendaraan, tersedia tempat duduk setiap saat, tidak bersesak-sesak, interior yang menarik, tempat duduk yang enak.

• Keamanan : Terhindar dari kecelakaan, badan terlindung dari luka benturan, bebas dari kejahatan.

• Murah : Ongkos relatif murah terjangkau.

• Waktu perjalanan : Waktu di dalam kendaraan singkat.

• Efisiensi: Meliputi kecepatan rata-rata yang tinggi dengan waktu berhenti minimum serta terbebas dari tundaan lalu lintas, jumlah hentian yang memadai untuk jarak berjalan minimum, jadwal dan titik transfer yang terkoordinasi agar tidak repot serta rute yang langsung, jika perlu layanan yang cepat (patas) atau khusus jika memang layak


(23)

Kriteria angkutan kota ideal dan kebutuhan akan jumlah angkutan kota ini tidak sepenuhnya dijalankan dalam pengoperasian angkot, sehingga mengharuskan pemerintah untuk lebih serius mengelola angkutan kota sebaik mungkin. Salah satunya adalah dengan melakukan peremajaan5

Tuntutan akan hal tersebut dapat terpenuhi bila penyediaan armada angkutan penumpang umum berada pada garis yang seimbang dengan permintaan jasa angkutan kota dan memiliki terminal yang selayaknya. Pada kenyataan aktualnya, keadaan operasi atau pengoperasian angkot saat ini belum menunjukkan arah perbaikan dan malah menimbulkan kesemrawutan

.

Peremajaan itu perlu untuk kenyamanan dan melindungi para pengguna angkutan, karena pelayanan dan keselamatan penumpang itu sangat penting. Dalam kondisi seperti ini, pengguna kendaraan angkot yaitu masyarakat menghendaki adanya tingkat pelayanan yang cukup memadai, baik waktu tempuh, waktu tunggu, maupun keamanan dan kenyamanan yang terjamin selama dalam perjalanan.

6

Keadaan ini mendatangkan berbagai reaksi dari banyak pihak, dari hasil .

5

Berita Waspada Online (02/11/2009) menyebutkan bahwa pemerintah kota Medan sudah melakukan peremajaan terhadap angkutan kota (angkot). Kepala Bidang Angkutan Umum Dinas Perhubungan Sumatera Utara, Thomas Andrian mengatakan, kendaraan yang sudah berusia 17 tahun harus segera diremajakan dengan batas toleransi peremajaan selama tiga tahun. Banyak angkutan umum di Medan sudah berusia di atas 17 tahun dan masih tetap beroperasi, kendaraan yang sudah berusia 17 tahun harus segera diremajakan.

Dalam Bisnis Indonesia (21/05/2010) “Angkot Tua Medan mulai diremajakan”, Ketua Umum KPUM T.Ferdinan Simangunsong menyatakan koperasi yang dipimpinnya tahun ini berencana meremajakan angkot yang sudah tua yang diperhitungkan sebanyak 500 unit.

6 Maulana Pohan, mantan Ketua Bappeda Pemkot Medan menegaskan butuh waktu untuk menbenai sistem angkutan kota di Medan, sehingga tidak sesemraut saat ini. Membenahi sistem lalu lintas di Medan butuh waktu minimal 10 tahun. Tidak mungkin seluruh angkutan kota diganti sekaligus dengan angkutan bus bermuatan besar


(24)

penelitian yang didukung oleh sumber-sumber berita dan dari berbagai media massa penulis menemukan banyak tanggapan akan kesemrawutan angkot yang menggangu kenyamanan masyarakat. Berhenti seenaknya saja, melanggar aturan lampu persimpangan (lampu merah kadang diterobos begitu saja, lampu hijau bisa berhenti bila perlu misalnya menaikan penumpang), mendahului kendaraan lainnya tanpa mempertimbangkan lalu lintas, rute yang tumpang tindih tidak sebanding dengan permintaan penumpang, dan ngetem7

Kesemrawutan angkutan kota ini tidak hanya terjadi di kota Medan saja, tetapi di kota –kota lain yang jumlah penduduknya lebih dari 1.000.000 jiwa. Contohnya saja di Jakarta dan Surabaya

di pinggiran jalan. Munculnya terminal bayangan atau terminal liar juga menyebabkan kemacetan lalu lintas. Kondisi seperti ini tentu menggambarkan bagaimana kondisi kota Medan yang semrawut dan didalamnya ada berbagai macam kepentingan oknum-oknum yang terlibat.

8

7

Tem merupakan tempat berhenti angkutan, biasanya tempat dimana banyak calon penumpang. Ngetem istilah yang digunakan untuk menjelaskan tindakan angkot yang berhenti pada suatu tempat tertentu untuk menunggu penumpang. Misalnya di terminal pinang baris, biasanya angkutan 65 KPUM ngetem di terminal untuk menunggu penumpang, di simpang sumber (kampus USU) angkot banyak ngetem di simpang tersebut karena penumpangnya kebanyakan dari kalangan mahasiswa.

. Di Jakarta kesemrawutan lalu lintas tidak lepas dari kurangnya disiplin pengemudi, baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Banyaknya angkutan umum ngetem di sembarang tempat penyebab kemacetan yang sulit tertangani. Serta pengemudi angkutan yang

8

Angkutan kota di Surabaya memang banyak sekali, sehingga sering terjadi kesemrawutan di sana – sini., seperti keadaan terminal yang semrawutan dan kadang sopir angkot memarkir angkotnya di depan rambu dilarang berhenti


(25)

membandel, dan membuat masyarakat atau pengendara lainnya gerah macet-jakarta)9

Pertama, masalah kesemrawutan angkutan kota berkaitan dengan pengoperasian

.

Pengoperasian angkutan kota tersebut tidak berjalan sebagaimana dengan semestinya. Masih banyak kekurangan dan kelalaian, seperti dalam penataannya, kedisplinan supir, dan pengoperasian angkotnya. Pengoperasian angkutan kota sering tertuding sebagai penyebab utama kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, yang menimbulkan kerugian yang besar dan kepanikan berlalulintas.

Pengemudi angkot menganggap mereka sebagai raja jalanan sebab telah terkonsep dalam pikiran mereka bahwa harus kejar setoran tanpa memikirkan tata tertib berlalulintas. Contoh di atas telah banyak terjadi di Medan dan sudah tidak asing lagi bagi pengemudi angkot dan penumpangnya. Angkutan kota, pengoperasian dan organisasi merupakan lingkaran setan yang saling berhubungan dan di dalamnya terdapat aturan-aturan normatif karena adanya relevansi antar sesama.

Dari berbagai masalah yang ada penulis menggolongkan kedalam tiga penjelasan:

9

Minimnya kesadaran pengemudi angkutan umum terbukti dari tingginya jumlah kedaraan yang ditindak dalam Operasi Simpatik Jaya 2010 yang digelar jajaran Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya dalam kurun waktu 12 April hingga 1 Mei 2010. Tercatat 33.469 angkutan umum ditilang karena ngetem sembarangan. Sedangan jumlah angkutan umum ada 859.692, terdiri dari bus kecil dan sedang.

Kombes Pol Condro Kirono, Dirlantas Polda Metro Jaya, mengatakan, dalam kegiatan rutin itu, aparatnya menilang 56.750 kendaraan dan menegur 29.4754 pengendara. Rincian: 33.469 angkutan umum, 30.140 pengendara sepeda motor dan 17.652 kendaraan pribadi. Juga, 647 motor dan 61 mobil disita. “Jumlah angkutan umum yang ditindak lebih tinggi ketimbang kendaraam lainnya,” jelas Condro, Jumat (21/5)


(26)

angkotnya yaitu penetapan jalur trayek. Masalah penetapan jalur trayek merupakan salah satu masalah yang sangat penting mengingat pemerintah harus menetapkan jalur trayek yang dapat menjangkau sejauh dan sebanyak mungkin pengguna jasa angkot dengan mempertimbangkan faktor muatan angkot. Misalnya saja jalur ke Belawan yang memang harus melalui Jalan Yos Sudarso, membuat jalur ini penuh oleh semua angkot jurusan Belawan. Kalaupun terjadi kemacetan di ruas jalan tertentu tersebut, di luar tidak disiplinnya pengendara dalam berlalu lintas, juga karena memang banyak permintaan kendaraan dijalur tersebut. Penetapan jalur trayek juga berkaitan dengan masalah biaya angkot. Dalam hal ini pemerintah harus menetapkan sebijaksana mungkin agar perubahan trayek yang ditetapkan tidak menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan atas jasa angkutan yang digunakan.

Kedua, masalah yang muncul juga berkaitan dengan bagaimana angkutan kota

tersebut dapat beroperasi. Melalui hasil penelitian, penulis memperoleh informasi dari informan Pak’Malau (pemilik angkot KPUM trayek 65) bahwa dalam proses operasional angkutan kota, jika seseorang ingin mempunyai usaha dalam bidang angkutan KPUM (dengan syarat mempunyai angkutan minimal 1 kendaraan) harus terlebih dahulu mendatangi koperasi dan membayar biaya admistrasi yang telah ditetapkan koperasi. Misalnya si pemilik angkot ingin masuk trayek 1 (Sambu-Pinang Baris) maka pihak koperasi akan mengurus izin trayek kepada Dinas Perhubungan Kota Medan. Setelah itu pihak Dishub akan melakukan survey lapangan untuk melihat apakah trayek tersebut tidak menggangu trayek yang lain. Apabila telah disetujui maka koperasi akan memperoleh izin trayek dan


(27)

menyerahkannya ke pemilik angkutan.

Angkutan trayek KPUM berbeda dengan angkutan Rahayu, Mars, Morina, Nasional, Mini, Mitra. Angkutan KPUM terikat dengan adanya koperasi KPUM (Koperasi Pengangkutan Umum Medan), dan ada banyak pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Sedangkan angkutan dengan tipe yang lain tidak mempunyai koperasi dan tidak terikat. Angkot dengan tipe Rahayu masuk dalam PT RMC, angkot trayek MINI masuk dalam CV Mini, begitu juga dengan angkot yang lain. Maka dari itu segala bentuk aturan, setoran ataupun keuntungan semuanya dikuasai oleh perusahaan angkutan kota dan tidak adanya koperasi

Ketiga, masalah ini juga berkaitan dengan penyelenggaraan angkutan kota yaitu

bagaimana caranya supaya keamanan penggunan angkot tersebut dapat ditingkatkan. Kenyamanan merupakan salah satu unsur yang sering kali tidak diperhatikan. Bagi pengguna jasa sampai di tempat tujuan merupakan hal yang paling penting, sehingga terkadang tidak peduli harus mengalami ketidaknyamanan yang tidak menyenangkan, misalnya harus berdesak-desakan di dalam angkot dan kadang yang tadinya muatan penumpang 86 dijadikan 8710

10

Istilah yang ada dalam pengoperasaian angkutan umum yang berkaitan dengan muatan jumlah penumpang, maksudnya bangku yang berada di belakang supir muatannya adalah 8 orang sedangkan bangku yang sejajar pintu muatannya 6 orang. Tetapi pada kenyataanya muatan yang seharusnya 6 orang bisa dijadikan menjadi 7 orang

. Ada juga yang harus bergelantungan di pintu angkot. Dilain pihak, bagi penyelenggara angkot kenyamanan tidak penting yang paling penting adalah mencapai target setoran yang harus disetor setiap hari, jika masih ada calon penumpang yang membutuhkan angkutan, tetap diangkut.


(28)

Pada dasarnya para supir angkutan kota merupakan anggota dalam satuan sosial atau organisasi, dan dalam organisasi tersebut berlaku aneka norma yang telah disosialisasikan kepada para anggotanya. Dalam melakukan berbagai peran dalam bertindak para supir angkot dituntut untuk mengikutinya. Akibatnya, pengemudi angkot mempunyai prinsip atau budaya hidup yang berbeda dengan pekerja lain dan mendapat respon yang beragam di masyarakat.

Masyarakat umum menginginkan angkutan yang baik, tetapi masyarakat tidak memiliki kemampuan yang sama dalam perjalanan atau akses yang sama dalam sistem transportasi, padahal secara hukum Negara masyarakat mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem angkutan/transportasi (yang tercantum dalam UU No. 22 tahun 2009, paragraf 3 pasal 216 ayat 1 dan 2, pasal 217). Sudah saatnya masyarakat diminta mengevaluasi pelayanan angkutan umum. Keterbatasan semakin tampak nyata sementara problem yang muncul semakin parah, di mana keterlambatan antisipasi dapat menyebabkan dampak yang serius seperti dalam pengoperasian angkot.

Pengoperasian angkutan kota ini tidak lepas dengan adanya aturan formal dan non formal (aturan main) dalam organisasi setiap trayek. Aturan formal, yait aturan Negara yang mengatur tentang pengoperasian angkutan kota ini tercantum dalam Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Daerah (Perda) No.12 Tahun 2003 Tentang Lalu Lintas, Kereta Api dan Angkutan Jalan. Aturan Negara yang ada dalam pengoperasian angkot ini pun kadang diabaikan begitu saja oleh pihak-pihak yang bersangkutan, walaupun hukum atau aturan tersebut merupakan aturan yang telah


(29)

ditetapkan oleh Negara karena pengemudi angkot tersebut juga harus memberikan retribusi organisasinya.

Setiap angkutan kota memiliki organisasi yang berbeda-beda dan mempunyai aturan sendiri dan aturan tersebut diberlakukan kepada supir angkot, pemilik angkot dan pihak lainnya. Aturan yang ada merupakan kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota. Secara umum kemajemukan hukum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota tersebut terkait dengan adanya interaksi antara aturan lapangan, aturan bersama dan aturan Negara dalam pengoperasian angkot.

Hal-hal tersebutlah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengetahui lebih dalam mengenai aturan atau hukum yang berhubungan dengan pengoperasian angkutan kota yang ditetapkan oleh Negara dan hukum di luar hukum formal pengoperasian angkutan kota serta perilaku pihak-pihak terkait terhadap aturan-aturan tersebut.

1.2 Tinjauan Pustaka

Kemajemukan hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi di mana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Kemajemukan hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat. Lebih lanjut menurut Griffith (1986:12), dalam kenyataan sehari-hari dimana sistem hukum bekerja dalam arena sosial, terjadi interaksi yang tidak dapat dihindarkan antara hukum negara dengan berbagai hukum lainnya meskipun situasi


(30)

kemajemukan hukum secara potensial memang merupakan situasi konflik antara sistem-sistem hukum yang saling berbeda, baik bentuk, struktur, isi, fungsi politik dan efektivitasnya, namun tidak berarti harus selalu memunculkan konflik, karena ada juga terjadi saling mempengaruhi dan adaptasi (Griffith,1986)

Dalam konteks ini, Griffiths (1986:12) menegaskan:

The ideology of legal centralism, law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions. To the extent that other, lesser normative orderings, such as the church, the family, the voluntary association and the economic organization exist, they ought to be and in fact are hierarchically subordinate to the law and institutions of the state

Secara jelas ideologi sentralisme hukum cenderung mengabaikan kemajemukan sosial dan budaya dalam masyarakat, termasuk di dalamnya norma-norma hukum lokal yang secara nyata dianut dan dipatuhi warga dalam kehidupan bermasyarakat, dan bahkan sering lebih ditaati dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara (state law). Karena itu, pemberlakuan sentralisme hukum dalam suatu komunitas masyarakat yang memiliki kemajemukan sosial dan budaya hanya merupakan sebuah kemustahilan.

Hal ini dapat dikaitkan dengan apa yang dimaksud oleh Sally F. More (1993:148) sebagai konsep Semi Autonomous Sosial Field yang masuk dalam kategori kemajemukan hukum yang kuat mengenai kapasitas kelompok-kelompok sosial (Sosial field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation). Sally F. More juga menggambarkan bahwa di dalam suatu bidang sosial terdapat sejumlah aturan baik aturan yang dihasilkan dari dalam sosial itu sendiri maupun aturan-aturan yang berasal dari luar bidang sosial itu


(31)

misalnya hukum negara. Aturan-aturan itu seluruhnya bekerja sebagai self-regulation di dalam bidang sosial itu.

Sally F. More (1993:154) dalam penelitiannya tentang Kewajiban Antar-sesama Secara Hukum dan Non-Hukum, dalam Bidang Industri Pakaian Gaun-Mahal menuliskan:

Beberapa aturan tentang hak dan kewajiban yang menguasainya berasal dari lingkungannya yaitu dari pemerintah, pasar, hubungan-hubungan di antara warga berbagai kelompok etnik yang bekerja pada industri gaun itu, dan sebagainya. Tetapi banyak aturan lain yang dihasilkan di dalam bidang kegiatan itu sendiri. Beberapa dari aturan ini dihasilkan melalui tindakan legislative semu yang eksplisit dari badan-badan korporasi yang terorganisasi (serikat, perkumpulan) dan yang mengatur beberapa aspek dari industri. Akan tetapi, Seperti telah digambarkan di muka, terbentuk melalui interaksi antara para kontraktor, pedagang ecera, dan pekerja ahli, di dalam proses melakukan kegiatan bisnis satu sama lain.

Aturan-aturan tersebut merupakan hasil hubungan timbal-balik dan pertukaran dari kelompok-kelompok yang saling tergantung satu sama lain. Demikian pula halnya dengan kemampuan untuk mengerahkan serikat pekerja atau perkumpulan para pemborong dan kontraktor merupakan imbangan yang penting di dalam negosiasi bisnis yang dilakukan dalam industri pakaian gaun.

Melalui penelitian Sally F. More yang mengatakan bahwa ada pihak atau aktor yang terkait dalam pengelolahan bisnis pakaian gaun-mahal di New York tersebut, maka penulis juga melihat adanya aktor-aktor yang terlibat dalam pengoperasian angkot di Medan. Aktor-aktor yang terkait dalam pengoperasian angkot yaitu: adanya pemilik angkutan kota, pihak koperasi angkot, supir, polisi dan Dishub, mandor, preman setempat, serta masyarakat. Pemilik angkutan kota mempunyai wewenang untuk menentukan siapa supir angkotnya, berhak menerima setoran dari supirnya, serta wajib mendatangi koperasi sebelum


(32)

menjalankan usaha angkutan kotanya. Pemilik angkutan kota KPUM serta supirnya terikat dengan koperasi karena merupakan usaha yang masuk dalam izin usaha koperasi angkutan, pihak koperasi berwewenang dalam organisasi yang mereka buat, mandor wajib menerima iuran dari supir angkot dan setiap hari dilaporkan ke kantor KPUM, preman setempat biasanya melakukan kutipan-kutipan liar terhadap supir angkot, dan supir angkot hanya menjalankan tugasnya serta memikirkan setoranya, selain itu dengan terpaksa mematuhi aturan main yang dibuat oleh pihak tertentu. Polisi dan Dishub dalam hal ini mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan hukum Negara, dan sampai sekarang pihak polisi ataupun Dishub belum bisa mengatasi aturan main yang dibuat oleh preman setempat.

Pemilik angkutan kota, supir angkot, dan mandor di lapangan menginginkan usulan trayek melalui rute-rute gemuk penumpang (tidak perduli beban lalu lintas jalan dan trayek yang sudah ada) dan jumlah armada usulan yang banyak. Di pihak koperasi menginginkan jumlah kendaraan yang banyak dan jumlah trayek yang banyak, dan pihak Pemkolah seharusnya yang lebih berperan mengkondisikan semua kepentingan pihak-pihak terkait tersebut. Dengan demikian, diperlukan sistem kerja yang terorganisir secara terpadu, koordinasi yang benar-benar terintegrasi antar instansi dan organisasi/koperasi (Harian SIB, 15/01/2005 hal 13).

Bila dilihat dari dalam, maka bidang sosial adalah semi-otonom bukan hanya karena bisa dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar yang menerpanya, tetapi karena orang-orang di dalam bidang sosial itu dapat mengerahkan


(33)

kekuatan-kekuatan luar tersebut, atau mengancam untuk melakukannya di dalam proses tawar-menawar antara mereka. Bahkan sesungguhnya banyak dari tekanan untuk berlaku sesuai dengan hukum, mungkin berasal dari berbagai lingkungan sosial yang ada di mana seseorang ikut berpartisipasi.

Penulis melihat bahwa kemajemukan hukum juga hadir dalam pengoperasian angkutan kota dalam bentuk aturan-aturan yang saling berkonsentrasi demi kepentingan-kepentingan oknum-oknum yang mewakili individu juga lembaga tertentu. Pengoperasian mobil angkot ini diatur dalam aturan-aturan tertentu (hukum formal dan kadang pula ada bentuk hukum di luar hukum formal). Hukum yang diakui negara adalah hukum formal yang disusun dalam bentuk undang-undang, hukum tersebut diakui sebagai satu-satunya pengendali sosial yang ada, sering disebut sebagai hukum normatif. Hukum yang ada merupakan tatanan normatif yang berasal dari sumber pemaksa yang lain, seperti adat, agama, atau kebiasaan-kebiasaan yang muncul dan dipertahankan dalam interaksi sosial yang dipandang sebagai pedoman berlaku.

Dalam pengoperasian angkutan kota, bentuk hukum yang berlaku secara formal adalah Peraturan daerah (Perda) yang dibuat oleh Pemko, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Daerah (Perda) No.12 Tahun 2003 Tentang Lalu Lintas, Kereta Api dan Angkutan Jalan, Peraturan Daerah Kota Medan Nomor: 33 tahun 2002 Tentang Retribusi Pelayanan dan izin di Bidang perhubungan. Aturan ini wajib ditaati oleh seluruh Supir angkutan perkotaan (pihak-pihak yang terlibat didalam nya, misalnya pemilik angkot). Aturan ini


(34)

diberlakukan guna untuk ketertiban angkutan jalan dan berlalu lintas. Disamping aturan negara (aturan formal) terdapat juga aturan lain yaitu aturan non formal dalam pengoperasian angkot yang mengambil bagian dalam pengendalian Sosial. Aturan-aturan di luar hukum formal atau aturan main tersebut terlihat dengan adanya peraturan-pertauran tidak tertulis yang diciptakan oleh para supir angkot, mandor, preman yang mempunyai kepentingan terhadap tegaknya hukum yang mereka buat.

Hukum di luar Hukum Negara tersebut yang mengambil bagian dalam pengendalian sosial ataupun lingkungan sosial dapat terlihat seperti yang dikatakan juga oleh Sally F. More bahwa Lingkungan sosial (Sosial field) dapat lagi dirinci sifatnya, yaitu bahwa lingkunan-lingkungan tersebut memiliki kemampuan untuk menimbulkan dalam lingkungannya sendiri berbagai aturan normative yang mendorong warganya untuk mengikutinya. Dalam kemampuan itu juga tersimpul kemampuan untuk “memaksakan” keberlakuan dari aturan-aturan itu dengan adanya berbagai sanksi yang mungkin bersifat ekonomi atau psikologi.

Bidang sosial yang semi-otonom ini didefenisikan dan batas-batasnya ditentukan, bukan melalui organisasinya (mungkin saja merupakan suatu kelompok korporasi, atau mungkin juga bukan) tetapi terjadi secara berangsur, yaitu fakta bahwa ia dapat menimbulkan aturan-aturan dan memaksakan atau mendorong ketaatan pada aturan-aturan itu (Sally Falk Moore:1993).

Aturan-aturan main yang dibuat oleh aktor yang terkait dalam pengoperasian angkot ini sebenarnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, sehingga terlihat adanya keterpaksaan dalam mematuhi aturan tersebut.


(35)

Padahal angkot merupakan sarana transportasi yang dapat membantu pembangunan, seperti yang tertulis dalam GBHN 1993 mengamanatkan bahwa dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita VI) pembangunan sistem transportasi diarahkan pada peningkatan peranannya sebagai urat nadi kehidupan ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan antara lain dengan meningkatkan sarana dan prasarana transportasi serta menyempurnakan pengaturan yang harus selalu didasarkan pada kepentingan nasional

Pembangunan transportasi sebagai pendukung pembangunan sektor lainnya dalam mewujudkan sasaran pembangunan nasional diselenggarakan melalui serangkaian program pembangunan yang menyeluruh, terarah, dan terpadu, serta berlangsung secara terus-menerus.

Transportasi berupa angkutan kota mempunyai sistem pengoperasian yang akan menjadi bagian dalam menjalankan angkutan tersebut. Setiap angkot mempunyai jalur trayek yang berbeda-beda dan hal ini sudah diatur oleh Pemko. Selain trayek, terminal dan perilaku supir angkot untuk ngetem juga merupakan bagian dari pengoperasian angkot. Terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan orang dan atau barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkan kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi (Peraturan Daerah Kota Medan Nomor: 33 Tahun 2002).


(36)

Urusan terminal merupakan wewenang dan tanggung jawab Dinas Perhubungan dan Pemda setempat. Ini mengacu pada UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:

•Pada pasal 41 ayat 2 disebutkan, pelayanan jasa terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. •Pada pasal 42 juga ditekankan ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi klasifikasi tipe penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangungan dan pengoperasian terminal diatur Perda.

Penyediaan angkutan umum ini juga mempunyai tujuan dasar, Wells (1975) mengatakan, adalah menyediakan pelayanan angkutan yang baik –andal, nyaman, aman, cepat dan murah, untuk umum. Dari beberapa studi mengenai angkutan umum Harries (1976) menyatakan pelayanan angkutan umum dapat diusahakan mendekati angkutan pribadi untuk membuat angkutan umum menjadi lebih menarik dan pemakai angkutan pribadi tertarik berpindah ke angkutan umum. Hal ini dapat diukur secara relatif dari kepuasan pelayanan.

Salah satu arahan kebijakan atau konsep sistem transportasi wilayah perkotaan Medan adalah mengembangkan Sistem Angkutan Umum Massa (SAUM) yang tertib, aman, lancar, nyaman dan efisien agar menarik bagi pengguna jasa angkutan, sehingga diharapkan :

• Dapat menarik pengguna angkutan pribadi menjadi pengguna angkutan umum,

• Efektivitas dan efisiensi pengoperasian. Pengoperasian SAUM dilakukan berdasarkan: kemampuan angkut yang besar, kecepatan yang tinggi, keamanan dan kenyamanan yang memadai dan karena digunakan secara


(37)

sistem transportasi baru yang tidak terikat/terpisah dari prasarana jalan raya yang memenuhi semua persyaratan tersebut di atas,

Pengoperasian Sistem angkutan Umum Kota Medan (SAUM) dilakukan berdasarkan:

1. kemampuan angkut yang besar, 2. kecepatan yang tinggi,

3. keamanan dan kenyamanan yang memadai dan

4. karena digunakan secara massa, haruslah dengan biaya. perjalanan yang terjangkau.

Harus ada sistem transportasi baru yang tidak terikat/terpisah dari prasarana jalan raya yang memenuhi semua persyaratan tersebut di atas. Dalam operasionalnya, masing masing kelompok terkait mempunyai tingkat kepentingan yang berbeda, bahkan ada yang bertolak belakang, seperti: kriteria ongkos (penumpang menginginkan penentuan besaran tarif yang minimal, sedangkan supir angkot/pemilik angkutan menginginkan besaran tarif yang maksimal, kriteria jumlah penumpang, penumpang menginginkan yang tidak padat/berdesakan, sedangkan supir angkot/pemilik angkot menginginkan yang maksimal dalam hubungannya dengan besaran pendapatan. Disisi lain pelayanan operasi angkutan umum harus ditingkatkan sesuai dengan tingkat kebutuhan pelaku pergerakan, seperti:

1. Aksesibilitas pra dan purna angkutan yang cukup tinggi,

2. Waktu tunggu penumpang terhadap penggunaan angkutan tidak begitu tinggi, 3. Besaran tarif/ongkos yang terjangkau disesuaikan dengan pelayanannya,


(38)

4. Kondisi kenyamanan di kendaraan angkutan yang sesuai dengan harapan penumpang,

5. Penumpang dan operator mendapatkan keamanan yang terjamin, 6. Kelancaran operasional angkutan umum yang lebih terjamin.

Dalam hal mengantisipasi/mengurangi permasalahan angkutan umum penumpang di Kota Medan yang terjadi saat ini selain dengan melakukan peremajaan, maka perlu juga perbaikan/pembenahan melalui kajian:

• Penataan trayek dilakukan dengan sistem pengaturan trayek yang terhirarki, sehingga tidak terlalu banyak tumpang tindih pada ruas jalan tertentu.

• Sistem manajemen pengusahaan angkutan dan pelatihan untuk operator angkutan.

• Penataan operasi di terminal, khususnya terminal transit (Terminal Amplas dan Terminal Pinang Baris)

• Penertiban terminal bayangan dan penataan fasilitas prasarana angkutan seperti halte.

• Penegakan hukum dan penertiban terhadap kutipan-kutipan liar serta pengamanan terhadap preman setempat.

1.3 Perumusan Masalah

Pengoperasian angkutan kota didasari oleh berbagai aturan. Aturan-aturan tersebut berupa aturan Negara, aturan organisasi (seperti KPUM), dan aturan di lapangan. Aturan lapangan; adanya kutipan resmi, kutipan tidak resmi, terminal


(39)

liar dan terminal tetap, kebebasan dalam penggunaan sabuk pengaman, ngetem, kecepatan mengemudi. Aturan bersama; berkaitan dengan aturan koperasi dan pihak-pihak yang terlibat adalah si pemilik angkutan, mandor, pengurus koperasi, dan supir. Begitu juga dengan aturan yang dibuat sendiri oleh pihak tertentu.

Pada akhirnya semua aturan tersebut akan menimbulkan aturan baru dalam hubungan sosial yang semi otonom antara sopir angkot, pemilik angkot, kepolisian atau Dishub, penumpang, dan mandor. Maka dari itulah, penulis akan membahas secara mendalam bagaimana situasi kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota di Medan. Kemajemukan hukum tersebut muncul dari kondisi aturan formal yang tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan keiinginan aktor yang terlibat. Akhirnya muncul pengaturan sendiri yang memberikan dampak bagi aktor-aktor tersebut.

1.4 Ruang Lingkup

Masalah yang dapat diambil sebagai dasar kajian dalam penelitian yang penulis lakukan adalah mengenai situasi kemajemukan hukum yang akhirnya menimbulkan konflik tertentu antara beberapa pihak yang ada, sehingga kita dapat melihat bagaimana cara penyelesaiannya, serta perilaku pihak-pihak terkait yang menjadi aktor pelaku terhadap aturan-aturan tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana situasi kemajemukan hukum yang ada pada pengoperasian angkutan kota?


(40)

2. Bagaimana perilaku pihak-pihak terkait yang menjadi aktor pelaku terhadap aturan-aturan tersebut dan bagaimana bentuk kasus dan perselisihan yang terjadi serta penyelesaiannya?

3. Bagaimana respon masyarakat (penumpang angkot 65 KPUM) terkait dengan pengoperasian angkot serta keberadaan angkutan kota di Kota Medan?

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendiskripsikan tentang situasi kemajemukan hukum yang ada di dalam pengoperasian angkot.

2. Untuk mendeskripsikan perilaku aktor atau pihak-pihak terkait terhadap aturan-aturan tersebut dan menggambarkan bentuk kasus dan perselisihan yang terjadi serta penyelesaiannya.

3. Untuk menjelaskan ataupun memberitahukan kepada pembaca tentang respon masyarakat terkait dengan pengoperasian angkot serta keberadaan angkutan kota di Kota Medan.

Penelitian ini diharapkan menambah wawasan keilmuan antropologi, khususnya antropologi hukum yang berkaitan dengan kemajemukan hukum, dalam memperkaya literatur dan pengetahuan tentang kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota di Medan. Selain itu penelitian ini diharapkan bisa memberikan wawasan serta menambah pengetahuan bagi mahasiswa atau siapa pun yang membaca skripsi ini. Penelitian ini berguna bagi mahasiswa, dosen, dan


(41)

pihak-pihak akademis yang memiliki perhatian atau fokus pada masalah-masalah seputar kemajemukan hukum yang berkaitan dengan pengoperasian angkutan kota. Bagi penulis sendiri sebagai peneliti, penelitian ini merupakan salah satu media yang tepat untuk mengaplikasikan pengetahuan yang telah penulis peroleh selama masa perkuliahan.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini memiliki cara berpikir induktif dan bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran secara mendalam tentang situasi kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota di Medan yang dapat memicu konflik antar pihak-pihak yang terlibat akibat adanya aturan main. Dimana dalam proses-proses yang berlangsung terdapat gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian atau melahirkan suatu realitas sosial.

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada dua macam data yang dibutuhkan dalam pengumpulan informasi, yaitu :

a. Data Primer

Data primer dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data sebagai berikut :

• Observasi (pengamatan)

Observasi (Pengamatan) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan


(42)

(Bungin, 2007:115). Dalam penelitian ini observasi yang digunakan oleh penulis adalah observasi berpartisipasi. Penulis terjun langsung ke koperasi KPUM untuk memperoleh data yang akurat, penulis terlibat sebagai penumpang angkutan kota KPUM No. 65 jurusan Pinang Bari-Tembung. Selain itu, observasi ini dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap perilaku sopir angkutan 65 KPUM dalam mengoperasikan armadanya.

Penulis mengamati sesuatu gejala dalam kedudukannya sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan sosial dari supir-supir angkot yang diteliti. Dengan kata lain, penulis berpartisipasi dengan kegiatan-kegaiatan yang penulis amati. Penulis mengamati dan mencoba memahami yang diamati tersebut dengan menggunakan kaca mata orang-orang yang penulis teliti (emic view).

Observasi berpartisipasi ini penulis gunakan juga untuk melakukan pendekatan awal dengan objek pengamatan. Penulis mengamati bagaimana perilaku mandor, supir angkot, orang-orang yang ada di kantor KPUM, bagaimana proses kerja supir angkot dengan mandor, situasi di lapangan dalam mencari penumpang dan hubungan supir angkot dengan penumpangnya. Hal ini tentunya penting untuk memudahkan penulis pada awalnya sebelum kegiatan wawancara dilakukan dan tentu saja untuk menggambarkan kondisi awal penelitian ini di lapangan. Selain itu, observasi berguna untuk menjaring informasi-informasi empiris yang detail dan actual dari unit analisis penelitian (Bungin, 2007:230). Oleh karena itulah, untuk mendukung kelengkapan data yang dapat diperoleh dengan cara pengamatan maka observasi menjadi pilihan yang tepat dalam penelitian ini.


(43)

• Wawancara

Wawancara (interview) adalah cara yang dipergunakan seseorang untuk tujuan suatu tugas tertentu (misalnya penelitian) untuk mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari seorang informan dengan bercakap-cakap, berhadapan muka dengan orang yang diwawancarai. Pertanyaan-pertanyaan awal hingga informasi penting yang dibutuhkan untuk memahami kondisi objektif sangat efektif dengan metode wawancara. Metode ini dapat mendekatkan diri secara emosional dengan informan, selain itu data-data otentik dari sudut pandang emic (emic view) juga dapat dimulai dengan wawancara.

Wawancara yang digunakan adalah bentuk wawancara mendalam (depth interview), wawancara bebas dan wawancara sambil lalu. Wawancara mendalam dengan menggunakan alat bantu berupa pedoman wawancara (interview guide) yang berhubungan dengan masalah penelitian serta daya ingat dan catatan kecil. Wawancara bebas dan wawancara sambil lalu tanpa pendoman wawancara, tetapi terlebih dahulu menjalin hubungan baik (rapport) dengan informan. Wawancara ini dilakukan guna mendapatkan data mengenai situasi dan kondisi apa yang mendasari adanya kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan umum di Kota Medan, serta pengaruhnya terhadap masyarakat sebagai penumpang angkutan umum. Dalam melakukan wawancara, penulis memilih informan untuk diwawancarai. Informan tersebut dibagi dalam tiga jenis yakni informan pangkal, informan pokok, informan biasa.

Informan pangkal, yaitu orang yang mempunyai pengetahuan luas mengenai berbagai masalah yang ada dalam suatu komunitas atau masyarakat.


(44)

Dalam hal ini, yang menjadi informan pangkal ialah pemilik angkot, pengurus-pengurus koperasi angkutan kota, Dinas Perhubungan/Petugas Kepolisian dimaksudkan untuk mengetahui aturan–aturan main yang berlaku dalam pengoperasian angkot, hukum negara yang berkaitan dengan pengoperasian angkot, bentuk-bentuk kasus dan cara penyelesaian kasus atau perselisihanserta sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggarnya.

Informan pokok, yaitu orang yang mempunyai keahlian mengenai suatu masalah yang ada dalam masyarakat tersebut dan menjadi perhatian penulis. Dalam penelitian ini, informan pokok diperoleh dari informan pangkal, dan yang menjadi informan pokok adalah Supir angkutan trayek 65 KPUM jurusan Tembung-Pinang Baris (sebaliknya), mandor untuk mengetahui pengoperasian angkot di lapangan, kasus dan aturan yang secara langsung terjadi di lapangan, dan situasi atau kondisi yang terjadi akibat kemajemukan hukum. Serta preman setempat untuk mengetahui aturan main yang telah diberlakukan kepada supir angkutan. Informan biasa, yaitu orang yang memberikan informasi mengenai suatu masalah dengan pengetahuan yang dimilikinya, namun bukan ahlinya. Dalam hal ini yang menjadi informan biasa antara lain masyarakat yang menjadi penumpang angkutan umum 65 KPUM.

b. Data sekunder

Data sekunder merupakan data pendukung yang dapat melengkapi hasil observasi dan wawancara yang diperoleh dari lembaga-lembaga resmi seperti kantor koperasi KPUM, Dishub, hasil-hasil penelitian dan berbagai referensi yang relevan dengan permasalahan penelitian. Dan juga diperoleh dengan studi


(45)

kepustakaan berupa buku-buku teori, artikel, laporan penelitian, jurnal, opini dari surat kabar, majalah dan dari media Online.

Sebagai bahan informasi sekunder, penulis menggunakan dokumentasi visual untuk lebih menguatkan data dari hasil observasi dan wawancara. Bahan atau peralatan yang digunakan untuk mendukung dokumen visual ini disajikan dalam bentuk foto. Gambar visual (foto) yang dihasilkan digunakan sebagai bukti yang dapat dilihat oleh semua orang dan sebagai data pelengkapa yang paling akhir

1.6.2 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yang menganalisa tentang kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota di Medan. Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data hasil observasi dan wawancara ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema. Setelah semua data terkumpul selanjutnya dibandingkan serta di cari hubungan-hubungan yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Dengan cara ini diharapkan akan ditemukan konsep dan kesimpulan yang menjelaskan laporan atau hasil penelitian yang disusun secara sitematis

1.6.3 Pengalaman dalam Penelitian

Untuk mendukung pengumpulan data yang lebih akurat, penulis mendeskripsikan secara sederhana bagaimana pengalaman dan kendala selama


(46)

melakukan penelitian. Hal ini merupakan bagian dari penelitian antropologis, karena pengalaman dalam penelitian dapat membantu penyempurnaan data lapangan. Pengalaman Pengalaman penelitian di lapangan selama penyusunan skripsi ini memberikan sesuatu hal yang baru bagi penulis, dimana selama penelitian ada serunya dan ada kendalanya.

Penelitian yang dimulai dari pengurusan surat-surat penelitian dan terjun langsung ke lapangan memberi pelajaran baru bagi penulis. Selama melakukan penelitian, penulis menghadapi orang-orang yang selama ini belum pernah penulis hadapi kecuali supir angkot. Berbicara langsung dengan seketaris KPUM dan Kepala bagian angkutan darat (Dishub) memberikan kesan tersendiri bagi penulis, suasana wawancara pun berjalan seperti teman, akrab dan diiringan candaan. Wawancara dilakukan ketika informan tersebut mempunyai waktu kosong dan tidak menggangu pekrjaannya.

Wawancara dengan supir angkot juga memberikan kesan yang tidak bisa dilupakan. Pagi hari sebelum mengoperasikan angkotnya, penulis diajak ke pangkalan Tembung untuk dikenali ke sesama supir angkot dan mandor. Penulis juga diajak minum teh manis dan makan pisang goreng gratis. Selama mengikuti supir angkot di lapangan, penulis tidak membayar ongkos, dan duduk di depan (samping supir), hal ini karena supir angkot merasa senang diwawancari dan bagi mereka orang luar yang bukan berprofesi sebagai supir angkot harus merasakan bagaimana menjadi supir angkot, termasuk penulis. Penulis berpakaian biasa saja dan menggunakan sandal jepit selama ke lapangan dan sebagai kenek si supir angkot selama mengoperasikan angkotnya. Uang yang diperoleh pun sama-sama


(47)

kami hitung. Waktu pengisian bensin, penulis yang bertugas memberikan uang kepada si tukang bensin tersebut. Kondisi yang seperti ini membantu penulis memperoleh informasi yang akurat dan mengalir begitu saja. Selain itu, secara kebetulan salah satu penumpang yang ada di angkot tersebut adalah mantan preman setempat yang sering mengutip kutipan liar. Penulis pun iseng-iseng bertanya kepada penumpang tersebut dan akhirnya informsi yang didapat pun sangat bermanfaat.

Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian yakni pada saat memperoleh data dan wawancara, dimana penulis merasa kesulitan memperoleh data dari Dinas Perhubungan lantaran informan yang akan penulis wawancarai selalu sibuk karena sedang membuat proyek baru dalam mengatasi kesemrawutan angkot di Medan. Kesabaran penulis pun diuji, butuh waktu 3 minggu untuk memperoleh data dari Dinas perhubungan. Hal lain yang menjadi kendala adalah, ikut serta dalam pengoperasian angkot KPUM trayek 65, jadwal operasi yang dimulai dari jam 6 pagi ini lah yang membuat penulis terlambat ikut serta dalam pengoperasiannya dari awal. Penulis terus berusaha dan akhirnya bisa ikut serta dari awal keberangkatan sampai 3 kali trip, dan penulis pun berusaha untuk menggunakan bahasa pasaran dalam mewawancari supir angkotnya. Penulis tidak memperoleh banyak data visualisasi (foto) supir angkot selama mengoperasikan angkotnya, karena supir angkotnya tidak mau difoto. Hasilnya penulis hanya bisa menggambil gambar secara diam-diam.

Mencari informasi dari mandor juga mengalami kendala, karena para mandor yang akan diwawancarai merasa curiga, bila ditanyai tentang penghasilan


(48)

atau sistem kerja yang mereka lakukan. Mereka tidak mau diganggu selama bekerja dan hanya dikasih kesempatan sebentar untuk melakukan wawancara. Butuh cara ekstra untuk menjelaskan tujuan penulis melakukan wawancara dengan mandor-mandor tersebut. Disamping, kendala tersebut, penulis lebih mudah memperoleh data visualisasi (foto) dengan mandor selama melakukan wawancara, karena informan tersebut dengan senang hati di foto.

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, khususnya angkutan kota tipe KPUM (Koperasi Pengangkutan Umum Medan) yang berwarna kuning. KPUM dipilih oleh penulis karena KPUM merupakan usaha angkutan kota yang paling tua atau paling lama di Medan. KPUM mempunyai jumlah armada yang paling banyak sekitar kurang lebih 7000 unit angkutan, 1 trayek bisa dipenuhi dengan 70 unit angkutan. Setiap trayek mempunyai nomor angkutan, seperti angkot KPUM No 01, No 02, no 06, No 10, No 12, No 24, No 64, No 65, No 66, No 57, No 517, dan lain sebagainya. Namun Penulis memilih angkutan kota KPUM No 65 jurusan Pinang Baris-Tembung, karena angkot KPUM No 65 mempunyai aturan yang berbeda dengan angkutan kota KPUM lainnya yaitu bebas aturan waktu. Angkot KPUM trayek 65 mempunyai jadwal trip yang bebas dan tidak ditentui serta dapat memutar kapan saja (sesuai trayek yang dilalaui). Pemilihan nomor trayek angkutan kota ini sebagai bagian dari penelitian agar lebih fokus dalam memperoleh data lapangan.


(49)

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN DAN KPUM

(ANGKUTAN KOTA DI MEDAN)

2.1 Kondisi Umum Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera

Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota/negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain.

Secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki sasaran pasar barang dan jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa yang mengakibatkan sarana dan prasarana di Kota Medan juga harus mengalami perubahan/peningkatan. Salah satu sarana yang harus ditingkatkan adalah sarana transportasi, seperti angkutan kota yang harus menyediakan armada angkot sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau penumpangnya. Prasaran seperti jaringan jalan yang sudah banyak mengalami perubahan dan masih banyak ruas jalan yang rusak mengakibatkan kemacaetan lalu lintas yang hingga sekarang belum teratasi. Hal


(50)

ini membuktikan bahwa Kota Medan harus mengalami perubahan menuju Kota Metropolitan.

2.1.1 Sejarah Kota Medan

Medan didirikan ole John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kampung ini berpenduduk 200 orang dan seorang pemimpin bernama Tuanku Pulau Berayan sudah sejak beberapa tahun bermukim disana untuk menarik pajak dari sampan-sampan pengangkut lada yang menuruni sungai. Pada ta memperoleh status sebagai kota, dan tahun berikutnya residen Pesisir Timur serta Sultan Deli pindah ke Medan. Tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan tembakau secara besar-besaran. Dewan kota yang pertama terdiri dari 12 anggota orang Eropa, dua orang bumiputra, dan seorang Tionghoa. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke Medan. Gelombang pertama berupa kedatangan orang kontrak perkebunan. Tetapi setelah tahun mendatangkan orang Tionghoa, karena sebagian besar dari mereka lari meninggalkan kebun dan sering melakukan kerusuhan. Perusahaan kemudian sepenuhnya mendatangkan orang Jawa sebagai kuli perkebunan

Orang-orang Tionghoa bekas buruh perkebunan kemudian didorong untuk mengembangkan sektor perdagangan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang


(51)

bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi untuk berdagang, menjadi dari 1.853 ha menjadi 26.510 ha di ta tahun setelah penyerahan kedaulatan, kota Medan telah bertambah luas hampir delapan belas kali lipat (http://www.pemkomedan.go.id/selayang_informasi.php).

2.1.2 Kota Medan Secara Geografi

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektar (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut

Tabel 2.1 Letak Geografis Beberapa Daerah Medan

Nama Daerah Garis lintang (LU) Garis Bujur (BT) Tinggi Dari permukaan Laut

(M) Sampali 030.37’.12” 980.47’.36” 25

Polonia 030.32’ 980.39’ 27

Belawan 030.48’ 980.42’ 3

Tanjung Morawa 030.30’ 980.46’ 30 Sumber: Stasiun Klimatologi Kls I, Sampali Medan, 2009


(52)

2.1.3 Kota Medan Secara Administrasi

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130. Pada tahun 2008 Kota Medan memiliki wilayah seluas 265,10 km2 yang terdiri dari 21 kecamatan dengan 151 kelurahan, secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Luas Kecamatan dalam Wilayah Administratif Kota Medan

No Kecamatan Luas (km2) Jumlah Kelurahan

1 Medan Tuntungan 20.68 9

2 Medan Selayang 12081 6

3 Medan Johor 14.58 6

4 Medan Amplas 11.19 7

5 Medan Denai 9.05 6

6 Medan Tembung 7.99 7

7 Medan Kota 5.27 12

8 Medan Area 5.52 12

9 Medan baru 5.84 6

10 Medan Polonia 9.01 5

11 Medana Maimun 2.98 6

12 Medan Sunggal 15.44 6

13 Medan Helvetia 13.16 7

14 Medan Barat 6.82 6

15 Medan Petisah 5.3 7

16 Medan Timur 7.76 11

17 Medan Perjuangan 4.09 9

18 Medan Deli 20.84 6

19 Medan Labuhan 36.67 6

20 Medan Marelan 23.82 5

21 Medan Belawan 26.25 6

Total Kota Medan 265.10 151 Sumber : Pemerintah Kota Medan, 2009

Wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah barat, selatan dan timur. Sepanjang


(53)

wilayah utaranya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini (Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Tahun 2006-2010, (http://www.pemkomedan.go.id/selayang_informasi.php).

2.1.4 Kota Medan Secara Demografi

Berdasarkan data kependudukan tahun 2005, penduduk Medan diperkirakan telah mencapai 2.036.018 jiwa, dengan jumlah wanita lebih besar dari pria, (1.010.174 jiwa > 995.968 jiwa). Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap, sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan


(54)

mencapai lebih dari 500.000 jiwa, yang merupakan penduduk komuter11

Laju pertumbuhan penduduk Medan periode tahun 2000-2004 cenderung mengalami peningkatan—tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 2000 adalah 0,09% dan menjadi 0,63% pada tahun 2004. Sedangkan tingkat kapadatan penduduk mengalami peningkatan dari 7.183 jiwa per km2 pada tahun 2004. Jumlah penduduk paling banyak ada di Kecamatan Medan Deli, disusul Medan Helvetia dan Medan Tembung. Jumlah penduduk yang paling sedikit, terdapat di Kecamatan Medan Baru, Medan Maimun, dan Medan Polonia. Tingkat kepadatan Penduduk tertinggi ada di kecamatan Medan Perjuangan, Medan Area, dan Medan . Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar.

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010, penduduk Medan berjumlah 2.109.339 jiwa. Penduduk Medan terdiri atas 1.040.680 laki-laki dan 1.068.659 perempuan. Di siang hari, jumlah ini bisa meningkat hingga sekitar 2,5 juta jiwa dengan dihitungnya jumlah penglaju (komuter). Sebagian besar penduduk Medan berasal dari kelompok umur 0-19 dan 20-39 tahun (masing-masing 41% dan 37,8% dari total penduduk). Dilihat dari struktur umur penduduk, Medan dihuni lebih kurang 1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian, secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.

11


(55)

Timur. Pada tahun 2004, angka harapan hidup bagi laki-laki adalah 69 tahun sedangkan bagi wanita adalah 71 tahun.

Mayoritas penduduk kota Medan sekarang ialah Suku Jawa, dan suku-suku dari Tapanuli (Batak, Mandailing, Karo). Di Medan banyak pula orang keturunan India dan Tionghoa. Medan salah satu kota di Indonesia yang memiliki populasi orang Tionghoa cukup banyak. Keanekaragaman etnis di Medan terlihat dari jumlah masjid, gereja dan vihara Tionghoa yang banyak tersebar di seluruh kota. Daerah di sekitar Jl. Zainul Arifin dikenal sebagai Kampung Keling, yang merupakan daerah pemukiman orang keturunan India. Secara historis, pada tahun 1918 tercatat bahwa Medan dihuni 43.826 jiwa. Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan Eropa, 35.009 berketurunan Indonesia, 8.269 berketurunan Tionghoa, dan 139 lainnya berasal dari ras Timur lainnya (http://www.pemkomedan.go.id/selayang_informasi.php).

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk di Kota Medan

Tahun Penduduk

2001 1.926.052

2002 1.963.086

2003 1.993.060

2004 2.006.014

2005 2.036.018

2007 2.083.156

2008 2.102.105

2009 2.121.053

2010 2.109.339

Sumber: BPS Kota Medan tahun 2010

2.1.5 Kota Medan Secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai –


(1)

Dengan demikian kemajemukan hukum dalam pengoperasian angkutan kota KPUM trayek 65 terkait dengan adanya interaksi antara aturan organisasi (KPUM) dan hukum Negara dalam pengoperasian angkot di Medan. Pada akhirnya menimbulkan aturan baru dalam hubungan Sosial yang semi otonom antara pihak/aktor-aktor tertetu seperti supir angkot dan mandor.

5.2 Saran

Adapun yang menjadi saran dalam pengoperasian angkutan kota di Medan ini adalah: Penulis berharap agar armada yang disediakan harus seimbang dengan jumlah peminat atau penumpangnya agar tidak terjadi kesemrawutan yang disebabkan oleh angkutan kota. Angkutan kota yang tidak layak pakai sebaiknya segera diremajakan (tidak hanya diomongi saja tapi harus bertindak), pelayanan operasi angkutan kota harus ditingkatkan sesuai dengan tingkat kebutuhan pelaku/penumpang (seperti tarif ongkos, kenyamanan, keamanan, dan lain-lain). Antar sesama supir angkot harus dapat menjalin hubungan yang baik dan positif di lapangan (dalam hal memperoleh sewa/penumpang) agar tidak terjadi kasus atau perselisihan yang saling merugikan sesama. Karena di lapangan tidak ada siapa yang lebih berkuasa sebab sama-sama mencari nafkah dan berprofesi sama.

Pemilik angkot, supir, dan mandor lebih baik menjalin hubungan kekeluargaan dan harus saling mengerti agar pihak-pihak yang terlibat jauh dari perselisihan. Selain itu, dalam pengoperasian angkot di lapangan tidak selamanya supir angkot yang harus disalahkan. Contohnya dalam hal menaikan dan menurunkan penumpang, sebenarnya karena si penumpang tu sendiri yang


(2)

tiba-tiba menyetop angkot dan tiba-tiba-tiba-tiba bilang berhenti/pinggir yang mengharuskan supir angkot dengan sigap mengerem angkotnya. Tapi secara teknis, supir angkot tetap salah karena tidak berada pada jalur yang telah ditetapkan yaitu khusus angkot berada di jalur kiri agar mudah menaikan dan menurunkan penumpang, sehingga bila di jalur kanan supir angkot tidak perlu tiba-tiba memberhentikan angkotnya ditengah. Hal ini lah yang perlu diperhatikan lebih dalam oleh walikota/Dishub dan khususnya supir angkot agar tetap berada di jalurnya sehingga dapat mengurangi kesemrawutan dan kecelakaan.

Penulis juga berharap sebaiknya aturan-atuaran yang disepakati oleh aktor-aktor terlibat dapat dipahami bersama sehingga saling menguntungkan satu sama lainnya. Selain itu, aturan-aturan yang ditetapkan secara tertulis (aturan Negara, aturan KPUM) harus dapat dipahami dan dimengerti oleh aktor-aktor tertentu seperti supir angkot, mandor, pemilik angkot agar dapat berjalan dengan lancar. Inti dari semuanya adalah Walikota beserta Dishub/Satlantas harus dapat lebih memperhatikan keadaan transportasi di Medan khususnya angkutan kota.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian kualitataif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Griffiths, John, “What is Legal Pluralism”, dalam Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law. No. 24/1986, hal 1-56.

Kamaluddin, H. Rustian. 2003. Ekonomi Transportasi Karakteristik, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Koentjaraningrat. 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif, edisi revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moore, Sally Falk. 1993. “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat”, dalam Ihromi (ed.) Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal 148.

Muluk, H. 1995. Ketidakberdayaan dan Perilaku Ugal-Ugalan Supir Metromini. Jakarta: Universitas Indonesia.

Murniati, J. 1995. Frustasi dan Perilaku Mengebut Supir Metromini. Jakarta: Universitas Indonesia

Nasution. M. N. 2008. Manajemen Transportasi, edisi ketiga. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari. 1998. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Prakoso, Djoko. 1990. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Soegijoko. 1991. Pengembangan Kota dan Sistem angkutan Umum, Seminar

Nasional Transportasi. Lingkungan dan Perkembangan Kota Teknik Planologi-ITB.

Suparman, Eman. 2005. Hukum Perselisihan-Konflik Kompetensi dan Pluralisme hukum Orang Pribumi. Bandung: PT Refika aditama


(4)

Warpani, suwardjoko P. 2002. Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bandung: Penerbit ITB.

Wells G.R., 1975, Comprehensive Transport Planning, Charles Griffin &

Company Ltd.,

London.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16635/1/atr-des 2005-2%20(1)oke.pdf.

Surat Kabar (Surat Kabar Online)

 Berita Pemko Medan yang berjudul “Pemko Medan akan Membuat Perda Pengoperasian Angkutan Kota”, tanggal 29 Maret 2007 http: //www. pemkomedan.go.id/file/h_1228874792.pdf.

 Harian Global yang berjudul “Terminal Liar - Dishub “Buang Badan”, tanggal 05 januari 2010

 Surat Kabar Bisnis Indonesia yang berjudul “Angkot Tua Medan mulai diremajakan”, tanggal 21 Mei 2010

 Surat Kabar Tribun Medan yang berjudul “KPUM Meremajakan 2.000 Unit Angkotnya”, tanggal 14 Juli 2010

 Surat Kabar Waspada yang berjudul “Angkutan di Medan perlu

peremajaan”, tanggal 02 November 2009

Media Online

 Amir Syarif Siregar. 2010. Trayek Angkot Medan Tumpang Tindi

Herry Lubis. 2005. Dalam jurnal arsitektur Persepsi Pelaku Perjalanan terhadap Pelayanan Angkutan Umum di Kota Medan vol. 02 no. 03. 2%20(1)oke.pdf.


(5)

 http://adsindonesia.or.id/alumni/articleattachment/articlefiliyantibangun01. pdf

 http://hukum.unsrat.ac.id/men/menhub_35_2003.pdf

 Program krativitas Mahasiswa UM. 2010. Supirku, supir kita semua Diakses 21 Januari 2010

 Redeksi web. 2010. Kecelakaan Angkot Nomor Dua. http://www.harianglobal.

com/index.php?option=com_content&view=article&id=49976:kecelakaan -angkot-nomor-dua-&catid=25:metro&Itemid=53. Diakses 15 november 2010

 Saviourmen. 2007. Surabaya itu Semrawut. http://kompas-saviourmen. blogspot. com. Diakses 15 juni 2007.

 Waspada. KPUM akan lakukan Penertiban.

php?option=com_content&view=article&id=23649:kpum-akan-lakukan-penertiban&catid=14&Itemid=27. Diakses 26 Juni 2008

Acuan UU dan Peraturan

• Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), yang berdasarkan: • Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM. 35 tahun 2003 tentang

Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum

• Keputusan Walikota Medan, Nomor 551.21/705/K/2004 (tanggal 1 juni 2004), tentang Penyempurnaan Izin Trayek Angkutan Kota An.Koperasi Pengangkutan Umum Medan

• Keputusan walikota No 551/420 K Tahun 2008 tentang tarif angkutan kota (angkot) dengan mobil bus umum dan mobil penumpang umum di Kota Medan.


(6)

 Nomor : 2381/BH/II tanggal 10 febuari 1964

 Nomor : 2381/BH/II (UU 12/670 tanggal 26 Mei 1969

 Nomor : 2381.A/bh/III tanggal 8 Maret 1979

 Nomor : 2381. B/BH/III (UU 12/67) tanggal 14 Mei

1979

 Nomor : 2381.C/Bh/III tanggal 1 November 1994

• Peraturan Daerah (Perda) No.12 Tahun 2003 Tentang Lalu Lintas, Kereta Api dan Angkutan Jalan

• Peraturan Daerah Kota Medan Nomor: 33 Tahun 2002 tentang Retribusi Pelayanan dan Izin di Bidang Perhubungan.

• Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Sumber lain:

 Badan Pusat statistik Kota Medan 2007

 Penataran Pengajaran Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum Untuk Staf Pengajar Fakultas Hukum. FHUI. 18 s.d 30 Juli 1994