Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila adalah berkenaan dengan transportasi. Transportasi memiliki posisi yang penting dan
strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah Undang-
Undang Lalu Lintas No.14 Tahun 1992. Dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan
strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan Negara.
Undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan
bagi mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan keluar Negeri. Akibat adanya peranan transportasi tersebut, maka Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan harus ditata dalam satu sistem Transportasi Nasional secara terpadu dan harus mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang
serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar, dan dengan biaya yang
terjangkau oleh daya beli masyarakat. Transportasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara umum adalah
transportasi jalan. Transportasi jalan merupakan salah satu moda transportasi
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
nasional yang diselenggarakan berdasarkan asas kepentingan umum, maksudnya bahwa penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan harus lebih mengutamakan
kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas Undang-undang Lalu Lintas No 14 Tahun 1992 Pasal 2.
Hal tersebut tidak sesuai dengan fakta yang dihadapi di lapangan. Para supir menunjukkan masalah dalam perilaku berlalu lintas yang tidak hanya
menyebabkan kerusakan properti, tetapi juga mengakibatkan penderitaan bagi orang lain. Data ini diambil dari sebuah media cetak yang menyatakan sebuah
tulisan yang mengankat masalah lalu lintas yang menampilkan masalah perilaku berlalu lintas yang ditunjukkan oleh kendaraan umum sebagai pelakunya
Murniati, 1995. Data dari Ditlantas Metro Jaya di kawasan Jakarta menunjukkan total
kendaraan umum yang terdiri dari metromini, bus, mikro bus, mikrolet, dan angkutan pinggir kota berjumlah kurang lebih 20.000 buah. Akan tetapi dalam
satu triwulan tahun 1994, tercatat ada 20.000 kasus pelanggaran lalu lintas dimana yang paling mendominasi pelanggaran adalah jenis kendaraan umum metromini,
yaitu sebesar 40 dari total pelanggaran yang ada. Jumlah ini termasuk besar bila dilihat bahwa jumlah metromini yang beroperasi hanya 12 dari total kendaraan
umum yang ada. Sebuah media cetak yang mengangkat masalah lalu lintas menyatakan bahwa tingginya angka kecelakaan lalu lintas sebagian besar
disebabkan oleh faktor manusia 89,6 , dalam hal ini adalah pengendara sopir metromini Murniati, 1995.
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
Masalah pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh sopir metromini pada umumnya adalah perilaku ugal-ugalan. Jayapuspito dalam Muniarti, 1995,
mantan Kepala Akademi LLAJR Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, menyatakan bahwa perilaku ugal-ugalan ini termasuk: menjalankan kendaraan
dengan kecepatan tinggi dan saling mendahului, menurunkan penumpang dan dipindahkan ke metromini lainnya, tidak mau mengangkat pelajar, menjejalkan
penumpang meskipun telah penuh, menurunkan penumpang sambil berjalan, seenaknya saja berhenti tanpa mempedulikan keadaan lalu lintas sekelilingnya,
tidak sampai tujuan, dan memutar balik di perjalanan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Muluk 1995 dalam penelitiannya pada sopir metromini.
Muluk menambahkan, perilaku ugal-ugalan lainnya seperti mengemudikan kendaraan bukan di jalurnya dan menginjak rem dengan mendadak.
Hal tersebutlah yang membuat sopir metromini sering sekali menjadi sasaran tudingan sebagai sumber penyebab kecelakaan lalu lintas Murniati, 1995.
Prawasti 1995 juga menambahkan bahwa masalah perilaku berlalu lintas tidak hanya merupakan adanya ketidakberesan pada faktor internal pengendara
metromini, tetapi juga pada faktor eksternal sistem pengelolaan metromini, sistem penegakan hukum.
Menurut hasil survey, para sopir metromini ini mengaku mereka melakukan perilaku ugal-ugalan yang berdampak pada kecelakaan lalu lintas dikarenakan
mereka dikejar setoran dan pungutan-pungutan dari berbagai pihak yang dirasakan sangat menghimpit mereka. Perilaku ugal-ugalan ini yang menunjukkan
ketidakdisiplinan dan rendahnya tanggung jawab awak metromini Muluk,1995.
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
Murniati 1995 juga mengemukakan kondisi lain yang dihadapi oleh para supir. Murniati menyebutkan bahwa posisi supir metromini sangat terjepit. Disatu
pihak, ia dituntut akan setoran yang cukup tinggi. Dilain pihak, keadaan dilapangan tidak mendukung dirinya untuk mencapai target setoran: saingan dari
kendaraan umum lainnya ditambah banyaknya “ranjau” sepanjang rute kendaraannya. Pada umumnya, setiap hari mereka mampu memperoleh
pendapatan sekitar Rp. 100.000,- sampai Rp. 120.000,-. Namun uang tersebut harus dipotong dengan setoran sebesar Rp. 90.000,- sampai Rp. 100.000,-.
Mereka hanya dapat membawa pulang uang sekitar Rp. 15.000,- sampai Rp. 20.000,-.
Hal ini terlihat juga pada supir angkutan di kota Medan. Berikut adalah komunikasi personal dengan salah satu supir angkutan umum Trayek 64 jurusan
Amplas-Pinang Baris. “Oh setoran ini sekarang, kadang ada yang 100 ribu ya kan, ada juga yang 90
ribu, nengok motornya juga. Itupun kadang gak dapat. Kadang gak ada yang dibawa pulang, cuma capeknya ajalah sama kita. Cari setoran inilah yang
paling sulit. Macam mana lah ku bilang ya, tahunya kita ini sopir. Kadang gak dapat setoran kita, padahal uda narik sampai jam 12 gitu dari jam 5 pagi”.
Budi Komunikasi personal, 30 April 2009
Hal lain juga disampaikan oleh salah seorang supir angkutan umum Trayek 64 jurusan Amplas-Pinang Baris, berkenaan dengan pendapatan yang mereka
peroleh berkurang. Berikut ini pernyataannya: “Cemanala,jadi kalau misalnya mau dari Pinang Baris ke Amplas lagi paling
dapat 15ribu sampe 20 ribu, atau mau 10 ribu atau 7 ribu. Minyak pun gak dapat kalau satu trip. Cari setoran inilah yang sulit. Setoran ada yang 100, ada
yang 90. Dari mana dapat itu, mau ke Amplas, atau mau satu trip, kadang ga dapat 20 ribu atau 30 ribu.”
Arta Komunikasi personal, 30 April 2009
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
Pemilik metromini juga tidak mau tahu bahwa hari itu setoran tidak cukup karena kena tilang polisi atau rit-nya kurang karena ada kemacetan atau karena
kendaraan mogok. Tanggung jawab pemilik adalah memelihara kondisi bus sehingga bisa dieksploitasi bersama-sama dengan sopir, termasuk ganti oli, ban,
aki, dan sebagainya. Dari segi manajemen, metromini tersebut jelas terlihat beratnya beban yang harus dipikul para sopir angkutan umum Murniati, 1995.
Keadaan ini juga lebih berat lagi pada realisasinya dilapangan. Muluk 1995 menyatakan adanya sistem yang dianggap sangat tidak efisien dengan sistem
peraturan, pembagian jalur yang tumpang tindih, tingkat kompetisi antara sesama metromini yang tinggi, aturan main yang tidak jelas pada supir metromini.
Murniati 1995 juga menyatakan bahwa pada rute-rute tertentu, jumlah kendaraan yang beroperasi cukup banyak, sehingga bila metromini itu dibariskan
mungkin jarak antara satu dengan yang lainnya tidak sampai setengah kilometer. Hal ini terlihat juga pada sopir angkutan umum di kota Medan. Berikut adalah
hasil wawancara dengan salah seorang supir angkutan umum Trayek 64 jurusan Amplas-Pinang Baris.
“Kesulitannya ya, terlalu banyak armada dalam satu trayek, biasanya kan delapan puluhan plafon. Ini kadang sampai dua ratusan. Rata-rata jalan 150 ini
satu hari. Itulah, otomatis pendapatan kita gak ada. Gak ada bawa apa-apa ke rumah, kalo ada itulah yang ku kasih.”
Ian Komunikasi personal, 30 April 2009
Muluk 1995 juga menambahkan bahwa kondisi yang dialami sopir metromini juga diperparah oleh pengoprasian yang memakan biaya tinggi, serta
pelaksanaan di lapangan yang memungkinkan terjadinya berbagai penyelewengan. Hal tersebut dimulai dari pengajuan trayek, sistem pengajuan
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
KIR sampai pengontrolan pengoperasiannya di lapangan yang sangat memungkinkan aparat untuk melakukan manipulasi, belum lagi ditambah oleh
ulah oknum-oknum preman membuat biaya metromini tersebut menjadi semakin tinggi. Biaya ini harus ditanggung oleh para pemilik Metromini apalagi dengan
tingkat suku bunga bank yang tinggi, pembayaran cicilan ini dibebankan pada sopir dengan mengejar setoran.
Pembagio dalam Muluk, 1995, Sekretaris Eksekutif YLKI mengibaratkan sopir itu kepala keluarga dari sebuah keluarga besar yang harus menghidupi
banyak pihak. Sopir itu harus menghidupi keluarganya sendiri, ke pemilik mobil, juga pada aparat yang harus ia setori sebagai pungutan-pungutan tidak resmi,
kepada preman dan penjaga di beberapa pos tertentu. Itu hanya dari segi setoran, namun dari segi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya juga sangat berat.
Sopir dituntut untuk menjamin keselamatan banyak orang, tetapi dilain pihak imbalan yang diberikan baik dalam bentuk materil gaji, tunjangan, dan
sebagainya dan non-materil pujian, penghargaan, dan sebagainya sangatlah tidak memadai. Posisi ini membuat profesi sopir terjepit ditengah-tengah banyak
kepentingan. Kondisi ini jelas menimbulkan stres dan diperkuat lagi dengan fakta bahwa
pekerjaan sebagai supir adalah pekerjaan dengan muatan stres yang tinggi Muluk, 1995. Pekerjaan sebagai supir kendaraan umum mempunyai nilai stres
psikososial yang tinggi, karena pekerjaan ini langsung berhubungan dengan orang banyak. Sarafino dalam Muluk, 1995 menyatakan adanya faktor-faktor yang
membuat suatu pekerjaan itu memuat beban stres yang tinggi yaitu yang pertama,
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
pekerjaan itu memiliki beban kerja yang tinggi, seperti pada individu yang bekerja terlalu keras dan lembur, karena keharusan untuk mengerjakannya, mungkin
karena alasan uang atau yang lainnya. Hal tersebut dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan dan masalah-masalah kesehatan. Kedua, jenis
pekerjaan itu sendiri lebih mengandung muatan stress yang lebih besar daripada jenis pekerjaan lainnya, seperti pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak
dan pekerjaan yang harus menilai dan mempertanggungjawabkan pekerjaan seseorang.
Sarafino dalam Muluk, 1995 menyatakan beberapa aspek yang dapat menimbulkan stres bagi pekerja yag disebabkan karena lingkungan fisik yang
menekan seperti kebisingan, temperatur atau panas yang terlalu tinggi, kurangnya kontrol yang dirasakan, kurangnya hubungan interpersonal, dan
kurangnya pengakuan dan dukungan sosial terhadap pekerjaan atau pentingnya pekerjaan tersebut. Sehingga para pekerja merasa stres karena tidak mendapat
penghargaan dan promosi yang layak. Sejalan dengan yang dikemukakan Sarafino, Sutherland Cooper dalam
Muluk 1995 mengidentifikasi sumber-sumber stres kerja, terbagi atas dua, yaitu pertama, yang berasal dari pekerjaan, seperti sumber stres dari pekerjaan berupa
beban kerja, fasilitas kerja yang kurang, proses pengambilan keputusan yang lama, konflik peran dan tanggung jawab di dalam pekerjaan yang tidak jelas,
masalah dalam berhubungan dengan orang lain, perkembangan karir dan keselamatan kerja, serta iklim, budaya , dan struktur organisasi. Kedua, stres yang
berasal dari interaksi antara lingkungan sosial dengan pekerjaan, yaitu adanya
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
konflik antara tuntutan kerja dengan tuntutan keluarga. Muluk 1995 menyatakan bahwa para sopir menganggap bahwa sistem peraturan, pembagian jalur, dan
tingkat kompetisi yang sangat efisien. Sedangkan tuntutan kerja yang sangat tinggi seperti uang izin trayek, setoran, tingkat suku bunga yang tinggi, dan
cicilan kendaraan yang dibebankan pada supir, sementara supir tidak boleh menaikkan ongkos angkutan per penumpang.
Menurut Lazaro Folkman 1986, stres adalah suatu keadaan dimana transaksi mengarahkan individu pada persepsi akan sebuah kesenjangan antara
tuntutan fisik dan psikologis dari suatu situasi dan sumber sumber yang berasal dari biologis, psikologis, dan sistem sosial yang dimilikinya dalam Sarafino,
2006. Sejalan dengan defenisi tersebut, Bell 1978 menyatakan bahwa dalam
berinteraksi dengan lingkungannya seseorang akan mempersepsikan apakah sumber-sumber stres obyek fisik, individu, dan lingkungan masih dalam batas
optimal atau sudah berada diluar batas optimal seseorang dalam menanggungnya. Seperti yang juga dialami oleh para supir angkutan, persepsi mereka terhadap
sistem angkutan umum sudah cenderung pada taraf menimbulkan ancaman dan sudah berada di luar batas optimal Muluk, 1995. Selain itu, Mackay Cox
dalam Sarafino, 2006 menyatakan bahwa tuntutan terhadap tugas juga dapat mengahasilkan stres dalam dua hal. Pertama, beban kerja yang terlalu tinggi.
Beberapa individu bekerja dengan sangat keras dalam jangka waktu yang lama karena mereka merasa diharuskan untuk melakukan hal itu. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa kelebihan beban kerja dapat dikaitkan dengan peningkatan
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
masalah kesehatan dan angka kecelakaan. Hal ini sesuai dengan data Ditlantas Polri bahwa tingginya angka kecelakaan lalu lintas para supir kendaraan umum
Murniati, 1995. Kedua, beberapa jenis aktivitas pekerjaan memang lebih cenderung mengarah pada stres dari pada yang lainnya. Kondisi yang
memberatkan supir seperti sistem transportasi yang tidak efisien, sistem pembagian jalur yang tumpang tindih, tingkat kompetisi antar supir, peraturan
pengoperasian yang tidak jelas, biaya pengoperasian, izin trayek, pembayaran cicilan kendaraan, dan setoran membuat supir hanya mampu menumpuk
penumpang sebanyak-banyaknya dalam kendaraan Sarafino, 2006. Sarafino dalam Muluk, 1995 menegaskan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang menuntut
tanggung jawab bagi kehidupan manusia adalah jenis-jenis dengan tingkat stres yang tinggi, karena harus menghadapi situasi dimana ia berurusan dengan
kehidupan dan kematian setiap harinya, seperti pada tenaga medis, pengendara kendaraan umum juga termasuk didalamnya Muluk, 1995.
Lebih lanjut, Sarafino 2006 juga menyatakan bahwa sumber-sumber stres dapat menghasilkan ketegangan beban pada sistem sosial, biologis, dan
psikologis individu. Secara biologis, individu akan mengalami peningkatan detak jantung, pernafasan, rangka otot akan gemetar, sistem saraf dan sistem endokrin
akan mengalami peningkatan. Secara psikologis, stres akan mempengaruhi kognisi, emosi, dan perilaku sosial. Lepore pada tahun 1997 dalam Sarafino,
2006 menyatakan bahwa pada kognisi, stres dapat mengganggu fungsi kognitif, seperti menggangu perhatian. Individu akan menolak dan melakukan interpretasi
yang salah pada informasi yang penting dalam suatu pertanyaan, atau mereka sulit
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
memberi jawaban. Tingkat stres yang tinggi akan mempengaruhi ingatan dan perhatian individu. Namun, selain mengganggu perhatian, tenyata Cahill dalam
Sarafino, 2006 menyatakan stres juga dapat meningkatkan perhatian kita, khususnya terhadap sumber stres. Sedangkan dalam hal perilaku sosial, Sarafino
2006 menyatakan bahwa stres dapat membuat individu menjadi kurang bersosialisasi, kurang memperhatikan sesama, dan lebih kasar serta tidak sensitif
terhadap orang lain. Ketika stres diikuti oleh kemarahan, maka perilaku sosial yg negatif akan muncul, yaitu peningkatan pada perilaku agresi Donnerstein
Wilson; dalam Sarafino, 2006. Muluk 1995 menyatakan bahwa dalam situasi yang kurang mendapat dukungan, mereka melakukan ugal-ugalan sebagai coping
dari perasaan apatis, tidak peduli dan tidak bertanggung jawab karena mereka belajar bahwa sistem tidak memihak mereka untuk berlaku benar, disiplin dan
teratur. Terakhir, stres juga mempengaruhi emosi. Sarafino 1996 menyatakan bahwa ketakutan, kemarahan, perasaan sedih dan depresi merupakan reaksi umum
individu terhadap stres secara emosional. Individu yang marah, umumnya terjadi ketika individu tersebut mempersepsikan bahwa situasi itu merupakan hal yang
berbahaya dan membuat frustasi. Muluk menyatakan 1995 bahwa kondisi yang mereka alami telah membuat mereka frustasi dan tidak berdaya.
Seligman dalam Muluk, 1995 menyatakan bahwa ketidakberdayaan yang dialami individu dapat ditularkan dan dipelajari dari mengamati tingkah laku
orang lain yang dibuat tidak berdaya. Dengan kata lain bahwa ketidakberdayaan dapat muncul jika seseorang mempesepsikan bahwa ia tidak mempunyai kontrol
perceived lack of control. Proses persepsi ini memiliki arti yang besar karena
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
dapat menyebabkan hilangnya kemampuan pemecahan masalah dan
meningkatkan stres dan depresi. Hal serupa juga dinyatakan oleh Seligman dalam Schultz, 1994, bahwa
learned helplessness adalah suatu kondisi yang merupakan hasil dari persepsi bahwa kita tidak memiliki kontrol terhadap lingkungan kita. Muluk 1995
mengungkapkan lagi apa yang disebutkan oleh Seligman tentang konsep learned heplessness atau ketidakberdayaan yang dipelajari adalah menunjuk kepada suatu
respon yang ditunjukkan seseorang bila ia merasa tidak mempunyai kontrol terhadap situasi.
Hal ini terlihat juga pada supir angkutan di kota Medan. Berikut adalah komunikasi personal dengan salah satu supir angkutan Trayek 64 jurusan Amplas-
Pinang Baris. “… ya berdoa, berusaha, dilakukan ya gitu aja la. Lihat-lihat pas pulang kita,
baru tahu kita hasilnya macam mana nanti hasilnya. Namun demikian, kita terpaksa juga kerja, kerja, kerja. Ada, atau enggak ada, ya kerja. Tapi
bersabarlah.” Bona Komunikasi personal, 30 April 2009
Seligman dalam Muluk, 1995 mendefenisikan ketidakberdayaan sebagai suatu keyakinan bahwa hasil akhir dari suatu tindakan terlepas atau tidak
berkaitan dengan bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Artinya tidak ada jaminan bahwa tindakan A akan membawa konsekuensi B seperti yang di
harapkan oleh individu. Individu pada akhirnya merasa yakin bahwa kemunculan B sama sekali berada diluar kontrol dirinya. Perasaan ini adalah hasil dari belajar
lewat pengalaman masa lalunya.
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
Peterson et al. pada tahun 1993 dalam Leitzel, 2000 kemudian merumuskan kembali teori dari learned helplessness untuk menjelaskan variasi individu dalam
berespon terhadap kejadian-kejadian yang tidak terkontrol. Berdasarkan perumusan ini, atribusi yang dibuat individu tentang kejadian-kejadian dalam
hidupnya mempengaruhi hasil dan harapannya. Individu yang melihat kejadian negatif sebagai sesuatu yang permanen sepanjang waktu memiliki resiko yang
terhadap gejala depresi yang lebih besar daripada mereka yang melihatnya secara temporer. Individu yang melihat kejadian negatif dan menjelaskannya secara
keseluruhan memiliki resiko yang lebih besar daripada individu yang menjelaskan secara spesifik. Sedangkan individu yang melihat kejadian negatif berada dibawah
kontrol dirinya, individu itu cenderung memiliki harga diri yang lebih rendah dan gejala depresi yang lebih tinggi daripada individu yang melihatnya sebagai
penyebab eksternal. Seligman dalam Schultz, 1994 menyatakan bahwa orang yang mengalami
learned helplessness adalah orang yang menyebarkan seluruh ketidakberdayannya diseluruh fase kehidupannya, yang disebut dengan pessimistic explanatory style.
Seligman menyatakan bahwa orang yang tergolong pessimistic explanatory style adalah orang yang mengatribusikan penyebab dari kegagalan dan kurangnya
kontrol yang dimilikinya sebagai global, stable, dan internal. Sedangkan orang yang tergolong optimistic explanatory style adalah orang yang mencegah
terjadinya ketidakberdayaan, dan juga cenderung mengatribusikan penyebab dari kegagalan dan kurangnya kontrol yang dimilikinya sebagai spesific, unstable dan
external. Berdasarkan uraian diatas, maka dianggap perlu untuk mengadakan
Eva Anggi Sitompul : Gambaran Learned Helplessness Pada Supir Angkutan Dikota Medan Ditinjau Dari Explanatory Style, 2009.
penelitian tentang gambaran learned helplessness pada supir angkutan dikota Medan ditinjau dari explanatory style-nya.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Alat ukur yang digunakan untuk menggambarkan learned helplessness pada supir angkutan di
kota Medan adalah skala explanatory style dengan model Likert yang disusun berdasarkan tiga dimensi explanatory style pervasiveness, permanence, dan
personalization. Adapun populasi penelitian ini adalah supir angkutan di kota Medan yang telah memiliki Surat Izin Angkutan Umum, Buku Iuran, dan setoran.
Untuk mendapatkan skor tiap dimensi digunakan teknik analisa statistik deskriptif dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 15.
B. Rumusan Masalah