BAHAN DAN METODE
Bahan Penelitian ini dilakukan di laboratorium Anatomi Institut Pertanian Bogor,
di mulai bulan September 2005 sampai Januari 2006. Bahan tanaman yang digunakan adalah kalus embrio somatik ES Tenera unggul hasil seleksi ortet
terpilih klon MK638, MK636 dan MK558 dari Balai Penelitian Marihat. Metode
Penelitian terdiri atas dua percobaan, yaitu karakterisasi morfologi dan histologi ES dari berbagai fase perkembangan.
A. Karakterisasi Morfologi Embrio Somatik
Karakterisasi morfologi ES normal atau abnormal dilakukan berdasarkan bentuk dan bidang polaritas, bidang pembelahan sel asimetri atau simetri, dan
jumlah kotiledon. Morfologi masing masing fase perkembangan embrio didokumentasi menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 40x
stereomicroscope Technical, Japan.
B. Karakterisasi Histologi Embrio Somatik Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah ES normal
dan abnormal yang telah dikarakterisasi pada percobaan A. Teknik preparasi contoh dilakukan dalam bentuk sediaan anatomi berdasarkan metode Nakamura
1995.
Pematian dan Fiksasi
Pematian dilakukan dengan cara contoh di rendam dalam larutan Formalin 40, Alkohol 70 , Asam asetat glasial dengan perbandingan 1 : 8 : 1 FAA
dengan komposisi 10 ml formalin, 80 ml alkohol, dan 10 ml asam asetat dalam setiap 100 ml larutan dan direndam minimal selama 24 jam. Tujuan perendaman
dalam FAA adalah untuk mematikan sel contoh secara cepat akan tetapi seolah- olah contoh seperti kondisi masih segar masih hidup.
Dehidrasi
Tujuan dehidrasi untuk menghilangkan air dari jaringan pada contoh untuk memungkinkan parafin menyerap masuk ke dalam jaringan tanaman. Dehidrasi
dilakukan dengan merendam contoh secara bertahap melalui seri alkohol bertingkat yaitu 0, 15, 20, 25 dan 30, yang masing-masing selama 1
jam . Praparafinasi
Praparafinasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol dari jaringan agar dapat dimasuki larutan parafin. Contoh dimasukan ke dalam campuran alkohol
100 dan xilol dengan perbandingan 4 : 0 ; 3 : 1 ; 2 : 2 ; 1 : 3 dan 0 : 4 volvol secara berturut-turut masing-masing dilakukan tiga kali selama 5 menit.
Parafinasi
Parafinasi adalah memasukan parafin ke dalam rongga-rongga yang kosong dalam jaringan agar tidak terjadi kerusakan sampel pada saat penyayatan. Bahan
yang digunakan adalah xilol dan parafin yang sudah dicairkan dengan perbandingan 3 : 1 ; 2 : 2 ; 1 : 3 ; 1 : 3 volvol; berturut-turut sebanyak tiga kali
selama 5 menit dan 0 : 4 volvol selama 24 jam. Proses ini dilakukan dalam tabung gelas di dalam oven pada suhu 55
o
C. Setelah kegiatan tersebut selesai, semua parafin dibuang dan digantikan dengan parafin murni pada suhu 60°C.
Perendaman dengan parafin murni ini dilakukan minimal selama satu hari.
Penanaman dalam Balok Parafin Embedding
Embedding adalah penanaman contoh yang sudah diproses sebelumnya ke dalam balok parafin untuk memudahkan penyayatan. Penanaman dilakukan pada
kotak dari cetakan besi. Sebelum parafin membeku contoh yang sudah difiksasi dimasukkan ke dalam cetakan dengan menggunakan pinset. Setelah parafin
mengeras, contoh di keluarkan dari cetakannya. Sebelum penyayatan, balok parafin dibentuk sesuai dengan kemampuankondisi mikrotom yang digunakan
agar potongan yang terbentuk lurus, dan tidak pecah. 28
Penyayatan
Balok parafin yang sudah di masukkan contoh kemudian dipasang pada pemegang yang terdapat pada mesin mikrotom putar rotary microtome.
Pemegang dapat diatur dengan sekrup sedemikian rupa sehingga ketebalan sayatan sesuai dengan yang dikehendaki dan sisi horisontal dari permukaan
parafin dibuat sejajar dengar pisau penyayat. Sayatan yang baik apabila membentuk pita tipis yang lurus dan tidak terputus-putus.
Penempelan sayatan pada obyek gelas
Sayatan yang baik ditempelkan pada gelas obyek dengan menggunakan zat perekat putih telur Meyer zat putih telur ditambah air dan gliserin dalam
volume yang sama dan kristal thinol. Setelah penempelan dilakukan, obyek gelas diletakkan pada alat pemanas dengan suhu 40
o
C hangat kuku agar sayatan melekat dengan baik, dan sebagian parafin yang mengisi jaringan akan
mencair untuk mempercepat proses penjernihan.
Penjernihan
Penjernihan tujuannya untuk menghilangkan parafin dari jaringan, dengan memasukkan sediaan ke dalam xilol, xilol - alkohol, alkohol - air hidrasi,
dengan perbandingan 100 xilol, 1:1 xilol-alkohol, dan alkohol secara bertahap 100, 95, 70, 50, 30 dan akuades selama 3 menit.
Pewarnaan
Pewarnaan tujuannya agar bagian-bagian tertentu dari sel dan jaringan menjadi lebih jelas, sehingga mudah diamati. Tahapan pewarnaan meliputi
contoh yang sudah jernih di masukkan ke dalam larutan pewarna Safranin 0,2 selama 4 hari. Selanjutnya contoh dicuci kembali dengan akuades diikuti dengan
alkohol secara bertahap yaitu 30, 50, 70, 95 dan 100 serta 100 xilol sebanyak dua kali. Pencucian terakhir adalah dengan cara merendam contoh
dalam alkohol dan xilol, masing-masing 3 menit dan 5 menit. Pengamatan dan pemotretan dilakukan menggunakan mikroskop setelah
pewarnaan jaringan dan mendapatkan perlakuan pengeringan. Karakterisasi histologi embrio somatik kelapa sawit normal dan abnormal meliputi : ada
tidaknya sel meristematik, jaringan prokambial, dan protoderm. Pola perkembangan ES ditetapkan berdasarkan bentuk morfologi. Sedangkan histologi
masing masing fase perkembangan ES didokumentasi menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 400x stereomicroscope Technical, japan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Morfologi Embrio Somatik Abnormal Berdasarkan berbagai bentuk morfologi ES klon MK558, MK636, dan
MK638 yang diamati, dapat disimpulkan bahwa fase perkembangan ES kelapa sawit terdiri atas kalus, fase globular, skutelar berbentuk hati, dan kotiledon. Pada
masing-masing fase juga ditemukan bentuk morfologi yang berbeda, yang dapat dikelompokkan menjadi ES yang normal dan abnormal. Berbagai bentuk dari
masing-masing fase perkembangan ES disajikan dalam Tabel 1. Fase perkembangan tersebut sama dengan perkembangan ES umumnya.
Tampak bahwa tahap awal, sel kalus berkembang menjadi embriogenik somatik globular berbentuk bulat dengan bidang polarisasi yang jelas serta
permukaan ES umumnya halus. Masing-masing ES globular terpisah satu dengan lainnya Gambar 2. Namun, di samping bentuk globular yang sempurna
ditemukan juga bentuk yang tidak sepenuhnya globular, namun cenderung berbentuk lonjong dan bergerombol dengan struktur permukaan yang tidak rata.
Penyimpangan bentuk tersebut dikelompokkan dalam kategori ES globular abnormal. Morfologi ES normal dan abnormal pada tahap globular sangat
bervariasi antar klon maupun dalam klon yang sama Tabel 1 Gambar 2. Hal ini mungkin dapat disebabkan sifat polaritas masing-masing kutub apikal dan
basal berkembang tidak terarah, hal ini dapat dilihat pada bentuk-bentuk abnormal yang beragam.
Perkembangan selanjutnya dari ES fase globular adalah pembentukan bakal kotiledon pada bagian apikal sedang bagian basal berkembang menjadi
calon radikula atau akar, fase ini disebut skutelar berbentuk hati. Pada fase perkembangan skutelar berbentuk hati, ciri khasnya adalah tampak
Ab 1
Ab 2
Ab 3 Klon 558
Klon 638 Klon 636
Tabel 1. Karakteristik abnormalitas embrio somatik secara morfologi
Tahapan Perkembangan Embrio Somatik Karakteristik
Globular Skutelar Berbentuk Hati Kotiledon Normal
- Bulat Simetris
Monokotiledon - Bipolar
- Permukaan rata Abnormal
- Lonjong Lebih dari satu
Klon 638 - Bergerombol
Asimetris kotiledon
- Permukaan tidak rata Abnormal
- Bulat tidak beraturan Asimetris
Lebih dari satu Klon 636
- Tidak bipolar kotiledon
Abnormal - Dua bulatan tidak
Asimetris Lebih dari satu
Klon 558 beraturan
kotiledon - Tidak bipolar
Gambar 2. Perbandingan
morfologi normal dan abnormal embrio somatik tahap globular. N Normal, Ab Abnormal
adanya pemisahan yang jelas antar calon kotiledon dan radikula Tabel 1 Gambar 3. Namun ditemukan juga penyimpangan bentuk, dalam hal mana bagian
apikal tampaknya berkembang lebih pesat daripada bagian basal. Hal ini menyebabkan terjadi penekanan perkembangan bagian basal, yang terlihat tidak
terbentuknya bagian radikula. Sedang bagian radikula membentuk beberapa calon kotiledon yang satu dengan lainnya bergabung menjadi satu Gambar 4. Bentuk-
bentuk abnormal tersebut sangat beragam baik dalam klon yang sama maupun antar klon.
Bagian apikal ES fase skutelar bentuk hati berkembang menjadi bentuk kotiledon yang lebih jelas Gambar 4. Sedang bagian basal akan berkembang
menjadi radikula, namun belum jelas terlihat adanya bakal akar. Perakaran pada planlet kelapa sawit umumnya diinduksi setelah terbentuk daun dengan sempurna.
Ditemukan juga struktur bagian apikal yang berkembang menjadi dua atau lebih bakal kotiledon yang bersatu pada bagian basal. Terbentuknya bakal
kotiledon yang lebih dari satu menyebabkan beberapa ES fase kotiledon berbentuk kipas. Perkembangan bagian apikal yang aktif menyebabkan umumnya
bagian basal bakal radikula sangat tertekan. Tampak bahwa adanya keragaman bentuk abnormal di dalam klon yang sama maupun antar klon.
Karakterisasi sel embriogenik yang dipelajari pada tingkat sitologi, histokimia dan biokimia menunjukkan bahwa sel-sel embriogenik sangat unik
Natesh dan Rau, 1984; Williams dan Maheswaran,1986. Perkembangan ES kelapa sawit diinisiasi dari eksplan daun muda, menghasilkan ES melalui kalus
primer. Kalus terbentuk di sekitar lidi dan sebagian muncul sepanjang pembuluh daun bekas irisan Schwendiman et al. 1988. Kalus primer bersifat massif,
berwarna kuning kecokelatan, berbentuk bulat, satu sama lainnya berhubungan secara bersambungan. Kalus embriogenik mengandung bagian sel-sel
meristimatik yang dilokasikan pada permukaan kalus. Pada bagian kalus yang meristimatik akan cepat membentuk embrio somatik ke tahap globular Kysely
Jacobsen 1990. Perkembangan embrio somatik pada tanaman dikotil melalui tahap globular, hati heart-shaped, torpedo, dan kotiledon Jurgens et al. 1991,
sedangkan pada tanaman monokotil melalui tahap globular, hati skutelar dan kotiledon.
Persentase abnormalitas ES yang tinggi dapat disebabkan sub kultur yang berulangkali dan umur kalus Paranjothy 1993 ; Ignacimuthu 1997. Tingkat
persentase abnormalitas embrio somatik yang tinggi, juga diduga penggunaan 2,4 D, hal ini juga menyebabkan terjadinya abnormal dalam proses pembelahan sel
yang menyebabkan keragaman somaklonal. 2,4-D bukan saja bersifat auksin, tetapi adalah suatu fenoksi herbisida yang membunuh gulma berdaun lebar.
Perubahan ekspresi suatu karakter disebabkan oleh perubahan genetik atau epigenetik. Perubahan genetik karena perubahan set kromosom, jumlah
kromosom, struktur kromosom atau gen. Ekspresi dari karakter tersebut dapat pada tingkat morfologi, fisiologi dan biokimia. D’Amato 1986; Griffith et al.
1993; Kumar 1995.
Teknik kultur jaringan tidak selalu menghasilkan tanaman yang identik
dengan induknya, karena selama proses kultur jaringan dapat terjadi variasi fenotipik baik yang disebabkan oleh perubahan genetik maupun epigenetik yang
disebut variasi somaklonal. Keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan dapat diturunkan pada zuriat tanaman hasil regenerasi Larkin dan
Scowcroft 1981; Skrivin et al. 1993. Variasi somaklonal merupakan keragaman genetik yang terjadi secara spontan hasil regenerasi sel somatik pada kultur in
vitro. Variasi somaklonal dapat juga berasal dari keragaman genetik eksplan yang disebabkan adanya sel-sel bermutasi maupun adanya sel-sel polisomik dari
jaringan tertentu Wattimena 1992. Variasi bentuk yang sangat beragam ini dapat disebabkan penggunaan zat
pengatur tumbuh 2,4 D 100 mgl yang tinggi sewaktu inisiasi awal dari eksplan. Zat pengatur tumbuh merupakan pengatur perkembangan tanaman. Auksin dan
sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang utama pada tanaman untuk mengatur pembelahan sel dan diferensiasi sel. Pengaruh 2,4 D dalam menginduksi embrio
somatik sangat baik Dudits et al. 1991; Yeung 1995. 2,4 D mempunyai peranan sebagai pusat memediasi transduksi signal untuk ekspreasi gen. Hasil pembelahan
sel yang diinduksi dari pertumbuhan kalus yang tidak terorganisasi atau awal pertumbuhan polarisasi merupakan proses pembentukan embrio somatik.
Klon 558 Klon 638
Klon 636
Ab 1
Ab 2
Ab 3 Ab 1
Ab 2
Ab 3 Klon 558
Klon 638 Klon 636
Gambar 3. Perbangan morfologi normal dan abnormal embrio somatik tahap skutelar berbentuk hati. N Normal, Ab Abnormal.
Gambar 4. Perbandingan morfologi normal dan abnormal embrio somatik tahap kotiledon. N Normal, Ab Abnormal.
Kemampuan induksi embriogenik dapat dihasilkan dengan bermacam-macam sensitivitas dari sel Dudits et al. 1991. Ada dua mekanisme yang penting dalam
pembentukan sel embriogenik yaitu pembelahan sel asimetrik dan kontrol pemanjangan sel de Jong et al. 1993 ; Emons 1994. Pembelahan sel asimetrik
didorong oleh zat pengatur tumbuh yang merubah polaritas sel melalui interferensi gradien pH Smith Krikorian 1990.
Perkembangan embrio somatik pada tahap kotiledon dari masing-masing klon menghasilkan bentuk, ukuran dan permukaaan kotiledon yang bervariasi.
Ada bentuk kotiledon pada bagian ujung Shoot mempunyai bentuk seperti :daun, bunga, tidak beraturan, dikotiledon Gambar 4. Morfologi embrio
somatik yang dihasilkan tiga klon pada masing-masing tahapan baik tahap globular, skutelar berbentuk hati, dan kotiledon memperlihatkan bentuk yang
sangat beragam Gambar 2, 3, dan 4. Menurut Jurgens et al. 1991 bahwa hasil pemanjangan pada vaskular
primordium dan pembelahan sel paralel yang memperbesar permukaan apikal dari bagian embrio yang berperanan penting untuk pembentukan primordia secara
lateral pada kotiledon, yang ditandai pembentukan hati scutellar. Selama transisi dari tahap globular ke hati, simetri bilateral terbentuk untuk inisiasi kotiledon.
Variasi fenotipik pada embrio somatik ditentukan oleh faktor genetik dan epigenetik. Variasi somaklonal didefinisikan sebagai genetik dan variasi fenotipik
diantara propagasi tanaman secara klon yang berasal dari sumber satu klon Lee and Phillips 1988; Duncan 1997; Veillux Johnson 1998 ; Olhoft Phillips
1999. Penyebab variasi somaklonal melalui proses kultur jaringan juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Aspek epigenetik dari variasi somaklonal
terjadi melalui mekanisme silencing gen atau aktivasi gen dan bukan karena aberasi kromosom atau perubahan sekuens DNA. Perubahan ini mungkin tidak
stabil atau dapat kembali secara somatik Patterson et al. 1993; Cubas et al. 1999.
Histologi Embrio Somatik Abnormal Embriogenesis somatik kelapa sawit terjadi melalui tiga fase yaitu
globular, skutelar berbentuk hati dan kotiledon Gambar 2, 3 dan 4. Tahap perkembangan embrio somatik ini sama dengan tahap perkembangan embrio
zigotik tumbuhan monokotil umumnya. Sebagian besar embrio globular tersusun atas jaringan parenkima, sudah terlihat adanya sekumpulan sel-sel meristematik
yang diduga akan berkembang menjadi prokambium membentuk jaringan pembuluh. Lapisan protoderm yang sel-selnya tersusun rapi terlihat pada bagian
terluar dari embrio Gambar 5.. Secara histologi, sebagian besar tubuh embrio globular tersusun atas
jaringan parenkima, sudah terlihat adanya sekumpulan sel-sel meristematik yang diduga akan berkembang menjadi prokambium yang akan membentuk jaringan
pembuluh. Lapisan protoderm yang sel-selnya tersusun rapi terlihat pada bagian terluar dari embrio Gambar 5. Seperti halnya ES berbentuk globular, ES skutelar
berbentuk hati dan ES berbentuk kotiledon juga tersusun atas jaringan parenkima, jaringan prokambial dan protoderm. Menurut Fahn 1990 ES akan berkembang
menjadi planlet yang memiliki daun dan akar apabila memiliki tiga jenis meristem, yaitu protoderm yang berkembang menjadi epidermis. Jaringan
prokambial yang akan berkembang menjadi sistem jaringan pembuluh, dan meristem dasar yang membentuk korteks dan empelur.
Hasil pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop elektron dengan perbesaran 400 kali pada sel meristimetik, jaringan prokambial dan protoderm
Tabel 2. Tampak bahwa ES fase globular normal memiliki sel meristematik yang menyebar, jaringan prokambial, dan protoderm terdiri dari satu lapisan sel
yang tersusun secara teratur. Struktur anatomi ES fase globular abnormal berbeda dengan yang normal. Pada klon MK638 dan MK558 ES globular abnormal
memiliki sel meristimetik pada bagian basal, jaringan prokambial bercabang dan protoderm memiliki satu lapisan sel yang susunannya teratur. Namun, pada klon
MK636 memiliki pertumbuhan jaringan prokambial tidak teratur Gambar 5. 36
10µm
Mer
Ps Pro
D
Pro Ps
Mer
B
Pro Me
r
Mer
Ps
A
Ps Mer
Pro
C
Gambar 5. Perkembangan struktur anatomi ES fase globular yang abnormal dari A Normal, B. Klon MK638, C. MK636, D. MK558, Mer
Meristem, Pro Protederm, Ps Procambial strand.
Tampak adanya perbedaan morfologi ES fase skutelar berbentuk hati antara yang normal dan abnormal, khususnya pada jaringan prokambial dan protoderm
pada ketiga klon yang diamati. ES skutelar berbentuk hati yang normal memiliki susunan dan perkembangan jaringan prokambial yang teratur. Sedangkan pada
yang abnormal jaringan prokambialnya bercabang dan lapisan sel protoderm tidak terlihat jelas Gambar 6.
Ada perbedaan anatomi antara ES klon MK638 yang normal dan abnormal dari setiap fase perkembangan. Anatomi Es fase globular normal dan abnormal
tidak dapat dibedakan berdasarkan jaringan prokambial dan protodermnya. Namun, pada fase skutelar berbentuk hati dan kotiledon tampak adanya perbedaan
Pro
Mer Ps
C
Pro
Me r
Ps
A
Mer Ps
Pro
D
Ps Mer
Pro
B
10µm
yang sangat jelas. ES skutelar berbentuk hati yang normal memiliki jaringan prokambial yang teratur dan protoderm terdiri dari satu lapisan sel yang
susunannya teratur. Sedangkan ES skutelar berbentuk hati yang abnormal memiliki jaringan prokambial yang bercabang dan protodermnya memiliki lapisan
sel yang tidak teratur Gambar 6 dan 7.
Gambar 6. Perkembangan Struktur anatomi ES abnormal kelapa sawit fase skutelar berbentuk hati. A. Normal, B. MK638, C. MK558, D.
MK636, Mer Meristem, Pro Protederm, Ps Procambial strand
ES kotiledon normal memiliki jaringan meristematik yang jelas. Pada bagian basal, yaitu Root apical meristem RAM berkembang untuk pembentukan
akar. Sedang bagian apikal Shoot apical meristem SAM berkembang menjadi tunas. ES kotiledon abnormal klon MK638 dan MK558 memiliki sel meristimetik
yang berdediferensiasi dengan cepat sehingga menghasilkan ukuran sel tidak sama, jaringan prokambialnya tidak teratur membentuk percabangan. Lapisan sel
protoderm tidak terlihat jelas. ES kotiledon klon MK636 yang secara morfologi abnormal, memiliki sel meristimatik yang ukuran dan susunan selnya sama
dengan ES kotiledon yang normal Gambar 7 dan Tabel 2.
Gambar 7. Perkembangan struktur anatomi embrio somatik abnormal pada tiga klon kelapa sawit fase Skutellar berbentuk hati. A Normal,
B klon 638, C Klon 558, D klon 636, Mer Meristem, Pro Protederm, Ps Procambial strand
10µm
Mer Pro
Ps
A
Mer Ps
Pro
B
Mer Ps
Pro
C
Mer Ps
Pro
D
Tabel 2. Hasil karakterisasi Abnormalitas Embrio Somatik Secara Histologi
Tahapan Perkembangan Embrio Somatik Karakterisasi
Globular Skutelar Berbentuk Hati Kotiledon Normal Merismatik Ada beberapa sel Menyebar merata Menyebar merata
merismatik Inti sel Inti sel tampak jelas
tampak jelas Jaringan Tidak bercabang
Tidak bercabang Tidak bercabang prokambial
teratur teratur
Protoderm Satu lapis, rapi Satu lapis, rapi Satu lapis, rapi
dan terlihat jelas dan terlihat jelas dan terlihat jelas
Abnormal Merismatik Terlihat jelas Terlihat jelas
Dinding sel Klon 638
pada bagian pada bagian
tidak jelas basal
basal Jaringan Tidak bercabang
Bercabang Bercabang
prokambial Protoderm Satu lapis, rapi Terlihat tidak Terlihat tidak
terlihat jelas jelas jelas Abnormal Merismatik Terlihat jelas
Terlihat jelas Menyebar merata Klon 636
pada bagian pada bagian dan inti sel bawah akar bawah
terlihat jelas Jaringan Bercabang
Bercabang Tidak bercabang prokambial teratur
Protoderm Satu lapis, rapi Satu lapis, rapi Satu lapis, rapi
dan terlihat jelas dan terlihat jelas dan terlihat jelas
Abnormal Merismatik Terlihat jelas Bercabang Menyebar Klon 558
di bagian bawah sel pecah
akar Jaringan Bercabang
Bercabang Menyebar Prokambial
bercabang Protoderm Satu lapis, rapi
Terlihat tidak Terlihat tidak terlihat jelas
jelas jelas
Mer Pro
Mer
Secara histologi menunjukkan bahwa perbedaan normal dan abnormal terlihat lebih jelas pada ES fase kotiledon, khususnya struktur sel meristem,
jaringan prokambial dan protoderm. Menurut Tomaz et al 2001 beberapa abnormalitas yang diamati pada perkembangan ES fase globular tanaman jeruk,
yaitu tidak adanya lapisan protoderm disebabkan terjadinya de-diferensiasi protoderm. Di samping itu tidak terdapat apikal meristem dan jaringan
prokambial. Kanchanapoom Domyoas 1999 melaporkan bahwa pada kelapa sawit, perkembangan ES fase kotiledon terbentuk sel protodermal, jaringan
prokambial, meristem akar dan pucuk. ES fase kotiledon yang abnormal disebabkan terjadinya pembelahan sel yang sangat aktif dikuti dengan diferensiasi
sel. Sel-sel tersebut umumnya mengandung dan menyimpan lemak dengan konsentrasi tinggi. Bellincampi Morpurgo 1989 menyatakan bahwa
pembelahan sel meristem yang sangat aktif dapat disebabkan oleh pemberian zat pengatur tumbuh pada masa kultur.
Pada kelapa sawit induksi dan inisiasi kalus dilakukan dengan penambahan 2,4 D sampai 100 mgl. Selanjutnya untuk regenerasi kalus, konsentrasi auksin
dalam medium diturunkan. Namun, inisiasi kalus pada tahap awal sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ES dari fase kalus menjadi ES
fase globular, skutelar berbentuk hati, dan kotiledon. Pada wortel 2,4-D berperanan penting dalam proses pembentukan embrio somatik. 2,4-D sebagai
faktor inhibitor interaksi antara embrio proper dan suspensor. Pada beberapa konifers, embriogenesis somatik terhambat ketika densitas sel sangat tinggi Ogita
et al. 2000. Menurut Goldworty dan Mina 1991 2,4-D dengan konsentrasi tinggi bersifat herbisida dan menyebabkan perubahan jaringan atau mutasi.
Diferensiasi embrio zigot tanaman tediri dari dua komponen yaitu embrio proper dan suspensor. Suspensor berperan menyediakan makanan dan zat
pengatur tumbuh untuk embrio proper selama tahap embriogenesis Swartz et al. 1997; Wredle et al. 2001. Auksin adalah salah satu kunci molekul signal pada
interaksi antara embrio proper dan suspensor, untuk tujuan pembentukan apikal- basal aksis selama embriogenesis.
Liu et al. 1993 dan Hadfi 1998 menyatakan embrio Brassica juncea diberi perlakuan anti auksin atau inhibitor auksin pada awal embriogenesis
sehingga polaritas sel hilang dan perkembangan kotiledon menjadi abnormal. Berdasarkan struktur anatomi, embrio somatik berbentuk kotiledon diduga dapat
berkembang menjadi planlet yang memiliki tajuk dan akar apabila ditemukan faktor tumbuh yang dapat mempercepat diferensiasi jaringan. Menurut Wattimena
et al. 1992 faktor tumbuh tersebut adalah jenis dan komposisi zat pengatur tumbuh serta lingkungan tumbuh yang sesuai.
SIMPULAN
1. Perkembangan eksplan tanaman kelapa sawit dalam kultur in vitro diawali dengan pembentukan kalus yang berdiferensiasi menjadi ES. Tahapan
perkembangan ES mencakup fase globular, skutelar berbentuk hati dan kotiledon.
2. ES globular berbentuk bulat dengan polarisasi bagian apikal dan basal yang jelas. ES globular normal memiliki sel meristematik, jaringan prokambial
tunggal, dan protoderm terdiri dari satu lapisan sel yang tersusun secara teratur. Abnormalitas terjadi pada bagian apikal dengan lebih dari satu bentuk
globular yang bergabung. Hal ini ditandai dengan jaringan prokambialnya bercabang. Sedang pertumbuhan bagian basal umumnya terhambat.
3. ES globular berkembang menjadi ES skutelar berbentuk hati yang memiliki struktur bakal kotiledon yang jelas, sedang bagian basal akan berkembang
menjadi calon radikula. Jaringan prokambialnya berada dalam satu alur. Sedang pada ES yang abnormal, percabangan jaringan prokambial semakin
nyata dan lebih banyak yang menyebabkan pertumbuhan bagian apikal terjadi sangat cepat dan membentuk satu atau lebih bakal kotiledon.
4. ES skutelar berbentuk hati berkembang menjadi ES fase kotiledon. Struktur kotiledon sangat jelas, sedang bagian basal membentuk calon radikula.
Abnormalitas ditandai dengan percabangan jaringan prokambial yang semakin jelas dan berkembang membentuk beberapa kotiledon yang bergabung.
Karakterisasi ES dari tiap fase perkembangan yang normal dan abnormal untuk masing-masing klon dan dalam satu klon adalah berbeda.
BAB 4 ANALISIS ABNORMALITAS EMBRIO SOMATIK KELAPA SAWIT