TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Abnormalitas Embrio Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kelapa Sawit Elaeis guineensis Jacq. Kelapa sawit merupakan tanaman asli Afrika Barat yang selanjutnya menyebar ke Amerika Selatan dan sampai ke semenanjung Indo-Malaysia. Kelapa sawit pertama kali diintroduksi ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848, tepatnya di kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai dikenal di Indonesia dan dibudidayakan secara komersil dalam bentuk perusahaan perkebunan pada tahun 1911. Pada mulanya hanya berkembang di Sumatera Utara dan Riau yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia Hartley 1977. Kelapa sawit Elaeis guineensis Jacq merupakan tanaman monokotil anggota keluarga Arecaceae Jones 1994 yang banyak dibudidayakan di Indonesia Hartley 1977. Tanaman kelapa sawit termasuk dalam divisi Tracheophyta, subdivisi Pteropsida, kelas Angiospermae, subkelas Monocotyledoneae, ordo Cocoidea, famili Arecaceae, genus Elaeis dan spesies Elaeis guineensis Jacq, Elaeis oleifera H.B.K Cortes dan Elaeis odora Pahan 2006. Kelapa Sawit merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga di alam akan dihasilkan keturunan yang heterozigot heterogen. Menurut Madon dan Clyde 1995 tanaman kelapa sawit mengandung 32 kromosom. Tipe pembungaan tanaman kelapa sawit adalah berumah satu dengan bunga betina dan bunga jantan ada dalam satu tanaman, tetapi berbeda tandan bunga. Bunga akan tumbuh pada setiap ketiak pelepah daun setiap tanaman dapat menghasilkan bunga jantan atau bunga betina saja dan masing-masing mempunyai polinasi yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan terjadinya penyerbukan silang Lubis 1992. Berdasarkan warna buah maka spesies Elaeis guineensis Jacq dikelompokkan atas : 1 Nigrescens yaitu memiliki warna buah violet sampai hitam waktu muda dan menjadi merah kuning orange setelah matang, 2 Virescens yaitu memiliki warna buah hijau waktu muda dan dan sesudah matang berwarna orange, 3 Albescens yaitu buah muda berwarna kuning pucat, tembus cahaya karena mengandung sedikit karoteindan, 4 Poissoni yaitu tipe buah abnormal bersayap yang disebut buah mantel. Buah bersayap yaitu stamen yang rudimenter berkembang menjadi karpel tambahan pada bunga betina Price et al. 2007. Menurut Hartley et al. 1977, kelapa sawit dibedakan ke dalam tiga tipe berdasarkan ketebalan cangkang buahnya yaitu dura, pisifera dan tenera. Dura memiliki tebal cangkang 2 – 8 mm, kandungan mesokarp rendah sekitar 35-55 . Tenera memiliki tebal cangkang 0,5 - 4 mm, kandungan mesokarp sekitar 60- 96 . Pisifera memiliki cangkang yang lebih tipis. Ketebalan cangkang dikendalikan oleh gen tunggal. Tipe buah alami ini dikontrol oleh monogenik yang menjadi dasar untuk klasifikasi minyak sawit yaitu: Dura ShSh, Tenera Shsh dan Pisifera shsh. Buah kelapa sawit tersusun dalam satu tandan yang merupakan buah batu dan terdiri atas kulit buah, daging buah, cangkang dan inti. Minyak sawit diekstrak dari bagian kulit buah dan daging buah yang disebut bagian perikarp sebanyak 20 - 27 sedangkan bagian inti hanya mengandung minyak 4-6. Varietas tanaman kelapa sawit cukup banyak dan dapat diklassifikasikan berdasarkan berbagai hal, antara lain tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang dan warna buah Pahan 2006. Perakaran serabut tanaman kelapa sawit sangat dangkal 15 cm - 30cm, yaitu dekat dengan permukaan tanah. Batang tegak dan tidak bercabang dengan diameter 40 - 75 cm. Tinggi batang sangat bervariasi, tinggi tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan 15 m - 18 m, berdaun majemuk dengan pelepah daun majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Panjang pelepah daun kira-kira 9 m, lengan panjang helai daun mencapai 1,2 m dan berjumlah 100 - 160 pasang helai daun Hartley 1977. 10 Media Kultur Jaringan Keberhasilan kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan tergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tidak hanya mengandung unsur makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat sukrosa sebagai sumber karbon. Hasil yang lebih baik dapat dicapai apabila ke dalam media ditambahkan komponen organik seperti vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh. Beberapa komponen media yang komposisinya tidak jelas undifined component misalnya juice buah, ekstrak ragi, dan kasein hidrolisa, sering ditambahkan dalam media dan dapat memberikan hasil yang baik George Sherrington 1984. Pemilihan komposisi media tergantung pada jenis tanaman yang dikulturkan Pierik 1987. Saat ini terdapat banyak formulasi media yang biasa digunakan untuk kultur in vitro. Beberapa macam media yang banyak digunakan untuk menunjang perbanyakan tanaman secara in vitro adalah formulasi Murashige dan Skoog MS, Vasin dan Went, Nitsch dan Nitsch, White dan Knudson C Gunawan 1988. Sampai saat ini, regenerasi kelapa sawit melalui embriogenesis telah dicapai dengan menggunakan media Murashige dan Skoog MS Tahardi 1988a ; Ginting Fatmawati 1997; Sumaryono et al. 1994. Unsur hara anorganik tersebut terdiri atas unsur hara makro yang meliputi N,P,K,Ca,Mg dan S serta unsur mikro yang meliputi Fe, Mn, Zn, B, Cu dan Mo George Sherington 1984. Vitamin yang sering digunakan dalam media kultur jaringan adalah tiamin B1, asam nikotin niacin dan piridoksin B6. Vitamin ini berperan dalam reaksi enzimatik yang penting bagi pertumbuhan jaringan tanaman George Sherington 1984. Selain itu penambahan mio-inositol ke dalam media juga diketahui dapat memperbaiki pertumbuhan bahan tanaman yang dikulturkan. Gula merupakan komponen penting dalam media kultur untuk pertumbuhan dan perkembangan in vitro, sebab gula merupakan sumber energi yang biasa didapat tanaman dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Sukrosa merupakan sumber karbon terbaik diikuti glukosa, maltosa dan rafinosa. Sedangkan fruktosa, galaktosa, manosa dan laktosa kurang efektif digunakan George Sherington 1984. Agar sebagai bahan pemadat merupakan polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies alga. Penggunaan agar berfungsi untuk menyangga eksplan sehingga kontak antara eksplan dengan media dengan udara terpenuhi Pierik 1987. Umumnya konsentrasi agar yang ditambahkan dalam media kultur berkisar antara 0.6 - 1 Gunawan 1988. Derajad asam pH media merupakan faktor penting yang mempengaruhi fungsi membran sel dan pH sitoplasma. Pengaruh pH juga harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kelarutan garam-garam penyusun media. Serapan dari zat pengatur tumbuh oleh eksplan, serta efisiensi pembekuan agar Gunawan 1988. Sel-sel tanaman biasanya membutuhkan pH sedikit asam yang berkisar antara 5.5 - 5.8 Gamborg Shyluk 1981. Auksin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah IAA 3- indoleacetic acid, 3-indolebutyric acid IBA, 1-asam naftalenat NAA dan 2,4 - asam dikloro penoksiacet 2,4-D George Sherington 1984. Penggunaan bermacam-macam auksin ini sangat tergantung pada tipe pertumbuhan yang dikehendaki, kandungan auksin endogen, kemampuan jaringan mensintesis auksin dan zat pengatur tumbuh lain yang ditambahkan Davies 1995. Senyawa 2.4-D, 2.4.5 T dan 4-CPA adalah jenis herbisida fenoksi yang dalam konsentrasi rendah berfungsi sebagai auksin Davies 1995. Auksin yang banyak digunakan untuk induksi kalus adalah 2.4-D, 2.4.5-T dan picloram. Auksin 2,4 D yang paling sering digunakan untuk mendorong pembentukan embrio somatik. Embriogenesis sangat memerlukan zat pengatur tumbuh auksin maupun sitokinin Wattimena, 1992. Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan akar, kalus, penghambatan pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar serta diferensiasi sel Pierik 1987. Griffith et al. 1993, mengatakan bahwa pada beberapa tanaman, auksin dapat mengendalikan RNA dan sintesis protein dengan cara berperan sebagai pengaktif mRNA messenger RNA. Dalam sintesis protein, terjadi proses transkripsi mRNA dari DNA template cetakan kemudian tRNA menerjemahkan sandi yang dibawa oleh mRNA menjadi asam amino. Sintesis protein terjadi di ribosom dan rRNA ribosom RNA berfungsi mengenali mRNA dan tRNA. Pengaruh zat pengatur tumbuh dapat merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman Moore 1979. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur Gunawan 1988. Zat pengatur tumbuh 2,4 D pada konsentrasi rendah akan menginduksi terbentuknya kalus, tetapi pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan timbulnya mutasi karena 2,4 D bersifat herbisida dan akan menyebabkan perubahan jaringan tanaman Goldsworty Mina 1991. Konsentrasi 2,4 D yang tinggi didalam media dapat meningkatkan jumlah metilasi DNA pada sel tanaman wortel LoSchiavo et al. 1989. Total persentase residu metilasi sitosin dari sel embriogenik 16 , embrio somatik preglobular 14 dan embrio somatik dewasa 19. Embrio Somatik Embriogenesis somatik adalah perkembangan embrio dari sel somatik sampai struktrur yang menyerupai embrio zigotik yang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung Pierik 1989. Embrio somatik yang dapat berdiferensiasi secara langsung yaitu pembentukan embrio dari sel atau jaringan tanpa melalui pembentukan kalus dan ada yang secara tidak langsung melalui kalus Williams Maheswaran 1986. Eksplan yang mengandung sel embriogenik dapat langsung memperbanyak diri dan berkembang menjadi embrio somatik berbentuk globular, hati, torpedo dan kotiledon pada tanaman dikotil Jurgens et al. 1991. Pada tanaman monokotil tahap perkembangaan embrio somatik melalui fase globular, skutellar berbentuk hati dan kotiledon. Pembentukan embrio somatik pada kelapa sawit dikembangkan melalui embriogenesis somatik dalam kultur cair dengan tujuan otomatisasi dan produksi planlet serta meningkatkan pertumbuhan dan keseragaman kultur Touchet et al. 1991 ; Duval et al. 1993; Sumaryono et al. 1994; Teixeira et al. 1995; Ginting Fatmawati 1997; Tahardi 1998a, 1999. Regenerasi planlet kelapa sawit dengan teknik kultur jaringan adalah melalui proses embriogenesis somatik tidak langsung indirect somatic embryogenesis. Dalam proses ini jaringan atau sel pada eksplan mengalami dediferensiasi membentuk kalus yang selanjutnya berdiferensiasi untuk membentuk embrio somatik. Ada dua tipe kalus kelapa sawit, yaitu nodullar compact callus NCC dan fast growing callus FGC. Kedua kalus ini dapat menghasilkan embrio somatik, namun diduga embrio somatik yang berasal dari FGC akan menghasilkan tanaman dengan bunga abnormal Ginting Samosir 1996. Perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan meliputi beberapa tahap, yaitu inisiasi kalus embriogenik EC, proliferasi dari kalus embriogenik EG, dan pembentukan tunas dan akar. Inisiasi kalus embriogenik dilakukan dengan suspensi sel yang berlangsung kira-kira 3 bulan, kemudian disubkultur agar terjadi proliferasi dari kalus embriogenik tersebut. Setelah terjadi proliferasi embriogenik, dilanjutkan dengan pembentukan embrioid yang membutuhkan waktu kira-kira dua bulan yang selanjutnya disubkultur pada media padat untuk pembentukan tunas dan perakaran sehingga terbentuk plantlet Wong et al. 1999. Untuk menginisiasi kalus embriogenik yang di proliferasi menjadi embrio somatik diperlukan zat pengatur tumbuh 2,4-D. Pemakaian auksin tersebut pada tanaman dikotil harus dalam konsentrasi lebih rendah dari pada tanaman monokotil. Pada tanaman dikotil konsentrasi auksin 2.4-D, 2.4.5-T dan picloram yang digunakan berkisar 4.0 – 14 uM. Pada tanaman monokotil terutama tanaman serelia konsentrasi 2.4-D yang digunakan 9.0 – 45.0 uM 2.0 – 10.0 mgl, kadang-kadang dibutuhkan sitokinin dalam konsentrasi rendah Wattimena, 1992, sedangkan pada tanaman kelapa sawit sekitar 10 – 100 mgl. Pannetier et al., 1991 menyatakan untuk menginduksi kalus yang embriogenik pada tanaman kelapa sawit dibutuhkan konsentrasi 2,4-D 80 - 100 mgl. Deambrogio dan Dale 1980 menyatakan konsentrasi 2,4-D yang tinggi sangat terkait dengan peningkatan variabilitas pada tanaman Hordeum vulgare. Shepard 1981 juga melaporkan bahwa penggunaan 2,4-D bersama-sama dengan NAA meningkatkan frekwensi tanaman abnormal pada regeneran tanaman kentang. Zat pengatur tumbuh 2,4-D pada konsentrasi rendah akan menginduksi terbentuknya kalus, tetapi pada konsentrasi tinggi sering dianggap sebagai penyebab timbulnya mutasi karena bersifat herbisida dan akan menyebabkan perubahan jaringan tanaman untuk mempertahankan diri dengan mengubah sistem metabolismenya sehingga akan terjadi perubahan genetik atau epigenetik atau hanya perubahan fisiologi saja Meins Beinns 1977 ; Suryowinoto 1996. Penggunaan konsentrasi 2,4-D yang tinggi dapat menimbulkan keragaman somaklonal pada klon-klon kelapa sawit hasil kultur jaringan. Keragaman Somaklonal Hasil Kultur Jaringan Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan Larkin Scowcroft 1981. Keragaman ini berasal dari keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan. Dengan demikian perubahan genetik tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa segregasi maupun rekombinasi gen seperti biasa terjadi akibat proses hibridisasi. Keragaman pada eksplan disebabkan adanya sel-sel bermutasi maupun adanya polisomik dari jaringan tertentu Wattimena 1992. Keragaman somaklonal tidak muncul sebagai fenomena yang sederhana, dan mungkin merefleksikan perbedaan-perbedaan pre-existing cellular genetic atau keragaman yang di iduksi oleh kultur jaringan Thorpe 1990. Keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah kromosom fusi, endomitosis, perubahan struktur kromosom, perubahan gen dan perubahan sitoplasma Griffith et al. 1993; Kumar 1995. Menurut van Harten 1998 keragaman somaklonal kemungkinan disebabkan oleh ketidakaturan mitotik yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom dan amplifikasi atau delesi gen. Melalui teknik kultur jaringan ini terdapat dua hal yang berbeda kepentingannya bagi pemuliaan tanaman yaitu mempertahankan kestabilan genetik atau merangsang keragaman genetik. Kestabilan genetik dapat dicapai dengan mendorong sesingkat mungkin fase pertumbuhan yang tidak 15 berdiferensiasi, sedangkan keragaman genetik dapat dicapai dengan fase tidak berdiferensiasi yang relatif panjang Wattimena Mattjik 1992. Keragaman somaklonal pada dasarnya terjadi akibat peristiwa mutasi, yaitu perubahan suatu karakter yang diwariskan yang disebabkan oleh berubahnya pembawa sifat menurun inherited trait baik pada tingkat morfologi, sitologi jumlah dan struktur kromosom, sitokimia ukuran genom, biokimia protein dan isoenzim, dan tingkat molekuler genom Rani Raina 2000; DAmato 1986. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keragaman somaklonal adalah : 1 genotipa, 2 lingkungan kultur, 3 sumber eksplan, dan 4 lama fase kalus, 5 lama durasi kultur Evans et al. 1986; Koornneef 1991 ; Ignacimuthu 1997. Pada tanaman yang berasal dari kultur jaringan dapat timbul keragaman yang disebabkan perubahan genetik atau epigenetik faktor genetik tidak berubah tetapi ekspresi berubah. Keragaman somaklonal pada klon-klon kelapa sawit yang terjadi pada hasil kultur jaringan kelapa sawit yang muncul antara lain berupa keragaman bentuk buah yang abnormal mantel dan rasio bunga jantan betina yang meningkat sehingga menyebabkan penurunan produksi minyak. Muluk 1990 mengamati sifat pembungaan dari beberapa klon kelapa sawit hasil kultur jaringan yaitu terjadi bentuk bunga hermaprodit dan buah mantel yang banyak. Mantel diduga disebabkan oleh epigenetik yaitu hipometilasi. Keragaman somaklonal tanaman diduga berhubungan erat dengan perubahan pola metilasi DNA selama dalam kultur Phillips et al. 1990. Hasil penelitian Jaligot et al. 2000 dan Matthes et al. 2001 menunjukkan adanya korelasi yang nyata antara hipometilasi DNA dengan keragaman somaklonal pembungaan mantel pada bibit kelapa sawit hasil kultur jaringan. Abnormalitas Tanaman Kelapa Sawit Hasil Kultur Jaringan Abnormalitas pada pembungaan kelapa sawit asal kultur jaringan disebabkan oleh keragaman somaklonal atau epigenetik. Meins dan Binns 1977 mengemukakan dua hipotesis mengenai variasi somaklonal yang menyebabkan gejala abnormalitas pada tingkat sel berkaitan dengan sumber jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan, yaitu karena adanya sel yang berbeda dalam 16 merespon kondisi kultur dan adanya proliferasi dari klon yang bersifat chimera. Pembentukan tumor pada suatu jaringan akibat pelukaan dapat meyebabkan terjadinya epigenetic cellular sehingga perubahan hanya bersifat seluler saja tidak seluruh bagian tanaman. Abnormalitas pembungaan pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan dikenal dengan istilah mantel, hal ini berkaitan dengan lamanya waktu subkultur Corley et al, 1986. Menurut Paranjothy et al. 1993 menyatakan abnormalitas yang terjadi berhubungan erat dengan frekuensi subkultur yang kontinyu dan umur kalus. Semakin sering frekuensi sub-kultur, semakin besar kemungkinan terjadinya abnormalitas. Abnormalitas pembungaan terjadi pada rata-rata 5 - 10 dari populasi bibit asal kultur jaringan Jaligot et al. 2000, bahkan dapat mencapai 40 Subronto et al. 1995 bergantung pada klon tanaman. Masing-masing tanaman dapat menunjukkan keragaman abnormalitas pembungaan dan kadangkala terjadi pemulihan ke fenotipe normal seiring dengan waktu, karena kelainan ini bersifat epigenetik Tregear et al. 2002. Perubahan ekspresi gen ini mungkin disebabkan oleh fitohormon Jones 1991; Paranjothy et al. 1993, struktur kalus Pannetier et al. 1981; Duran-Grasselin et al. 1993, lama subkultur dan umur kalus Paranjothy et al. 1993, tekanan seleksi, jenis eksplan, tingkat ploidi dan kecepatan proliferasi kalus Skirvin et al. 1984 ; Karp 1995. Metilasi DNA pada Tanaman Hasil Kultur Jaringan Metilasi adalah penambahan kelompok metil ke nukleotida DNA dan asam amino pada protein. Metilasi DNA pada tanaman diimplikasikan pada pengaturan ekspresi gen Antequera Bird 1988 yaitu berpengaruh langsung terhadap transkripsi DNA atau tidak langsung melalui perubahan struktur kromatin Adams 1990; Razin Cedar 1991. Bentuk metilasi yang umum adalah metilasi pada basa sitosin yang dikatalisis oleh enzim metiltransferase dengan menambahkan kelompok metil kebasa sitosin Martienssen Colot 2001. Kalisz dan Purugganan 2004 bahwa dua tipe utama metilasi yang dihubungkan dengan perubahan epigenetik adalah metilasi DNA dan metilasi Histon. Keterlibatan metilasi dalam kontrol ekspresi gen pada eukariot didasarkan 17 dengan metilasi tinggi maka ekspresi gen rendah atau sebaliknya dan adanya pola metilasi jaringan spesifik pada beberapa kasus Gardner et al. 1991. Muncul beberapa pendapat bahwa regulasi ekspresi gen terjadi melalui perubahan struktur kromatin lokal Davey et al. 1997. Metilasi dan demetilasi sitosin pada daerah promotor merupakan mekanisme yang penting meregulasi ekspresi gen pada sel dan jaringan spesifik Boyes Bird 1991; Renkens et al. 1992. Fraga dan Esteller 2002 menyatakan bahwa metilasi sitosin pada posisi 5 dari cincin pirimidin merupakan epigenetik yang sangat penting pada tanaman, metil sitosin umumnya ditemukan pada sitosin yang terikat pada basa guanin dengan sekuens trinukleotida C p N p G. Ehrlich dan Ehrlich 1998 mengemukakan bahwa adanya 5 metilsitosin pada promoter gen spesifik akan mengubah pelekatan faktor transkripsional dan protein lainnya pada DNA. Di samping itu dapat juga terjadi penarikan metil-DNA-binding protein dan histon deasetilase yang akan mengubah struktur kromatin di sekitar daerah awal trasnkripsi pada gen. Kedua mekanisme tersebut menghambat transkripsi dan menyebabkan gen. Pada tanaman tingkat tinggi 5m-C ditemukan pada beberapa sekuens genom nuklear yang lebih sering pada dinukleotida CG dan trinukleotida CNG. Metilasi sitosin pada nukleotida CG dan CNG ditemukan sepanjang kromosom dan bertindak meregulasi ekspresi gen yang terjadi pada level gen atau secara regional yang mempengaruhi daerah kromosom. Fungsi metilasi regional untuk menginaktifkan heterokromatin dan elemen pada atau dekat heterokromatin menyebabkan frekuensi metilasi pada daerah heterokromatin lebih besar Bird, 1986. Struktur heterokromatin memperlambat transkripsi sedangkan struktur eukromatin mengaktivasi ekspresi gen Richards Elgin 2002. Kelapa sawit yang berasal dari kultur jaringan mengalami abnormalitas pada bunga dan buah. Abnormalitas bunga meliputi bunga jantan tidak menghasilkan serbuk sari dan atau serbuk sarinya steril serta terjadi feminisasi organ jantan Corley et al. 1986. Abnormalitas ini dapat disebabkan keragaman somaklonal pada masa kultur. Keragaman somaklonal diduga berhubungan erat dengan perubahan pola metilasi DNA selama dalam kultur Phillips et al. 1990. Hasil penelitian Jaligot et al. 2000 dan Matthes et al. 2001 menemukan adanya 18 korelasi yang nyata antara hipometilasi dengan keragaman somaklonal pembungaan mantlet pada bibit kelapa sawit asal kultur jaringan. Demetilasi terjadi selama kondisi kultur jaringan menunjukkan bahwa gen-gen dapat diaktifkan melalui proses kultur jaringan Finnegan et al. 1998. Menurut Kakutani et al. 1996 hipometilasi DNA yang terjadi dapat meningkatkan laju mutasi disebabkan terjadinya peningkatan transposisi elemen atau peningkatan laju rekombinasi yang dimediasi pengaturan genom kembali dan mengakibatkan tanaman arabidopsis menderita cacat atau penyimpangan lain. Kaeppler 1992 mengemukakan terjadinya hipometilasi DNA memiliki frekuensi yang sangat tinggi pada kultur jaringan. Akan tetapi pada kultur jaringan tidak selalu terjadi penurunan metilasi siotosin. Menurut Smulders et al. 1995 mendeteksi terjadi peningkatan metilasi pada kalus tomat dibandingkan dengan daun induk, sama halnya terjadi pada kacang hasil turunan dari kultur jaringan menunjukkan terjadi proses hipermetilasi Cecchini et al. 1992, perubahan metilasi DNA pada tanaman kultur jaringan kentang Hardining 1994, pisang peraza-Echeverria et al. 2001. Tanaman dengan penurunan metilasi sitosin memperlihatkan sejumlah fenotip dan perkembangan abnormal meliputi menurun dominasi apikal, ukuran tanaman lebih kecil, ukuran dan bentuk daun berubah, fertilisasi menurun dan waktu pembungaan berubah Finnegan et al. 1996. Woffe et al. 1999 metilasi pada C dalam DNA genomik memainkan peran kunci dalam regulasi ekspresi gen. Sebagian besar hipotesis mengatakan bahwa pola metilasi yang terbentuk selama perkembangan mengalami demetilasi pada jaringan spesifik dimana kelompok metil dilepaskan dari tempat kritis dari suatu gen yang telah dijadwalkan terekspresi pada tipe sel tertentu. Analisis Genotipik Embrio Somatik dengan Marka Molekuler Potensi penggunaan marka sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik dalam program pemuliaan telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Marka dapat dikategorikan sebagai marka morfologi, sitologi dan yang terbaru adalah marka molekuler Sessions 1996. Saat ini, kemajuan dalam biologi berkembang sangat cepat dan pesat. Biologi molekuler merupakan salah satu 19 cabang ilmu yang mempelajari organisme ditingkat DNA. Teknik ini sangat membantu dalam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat. Untuk mendapatkan informasi genetik dapat dilakukan dengan menggunakan marka molekuler, seperti isozim, RFLP, RAPD, SSR, AFLP Powell et al. 1996; Vos et al. 1995 ; Karp et al. 1995, DAF dan RAF Waldron et al. 2002. Marka RAPD yang dikembangkan oleh William et al. 1990 dihasilkan melalui amplifikasi DNA secara in vitro dengan menggunakan teknik PCR. PCR yang ditemukan Mullis 1980 berkembang sangat cepat sebagai teknik dalam biologi molekuler. RAPD-PCR adalah metode sintesis DNA secara in vitro atau teknik memperbanyak molekul DNA dengan menggunakan sekuen acak primer oligonukleotida 10 basa primer dan DNA polymerase tahan panas yang dapat mempertahankan aktivitas sampai suhu 94 o C. Prosedur dalam teknik PCR terdiri dari proses : 1 denaturasi yaitu DNA cetakan menjadi DNA utas tunggal dengan suhu sekitar 94 o C, 2 penempelan primer ke ujung utas DNA dengan suhu sekitar 55 o C, dan 3 pemanjangan DNA atau amplifikasi DNA yang dimulai dari primer diujung 5’ ke ujung 3’ dengan suhu sekitar 72 o C. PCR membutuhkan DNA polymerase, dNTPs, DNA cetakan, primer dan buffer reaksi. DNA polymerase yang digunakan Taq polimerase yang diperoleh dari bakteri yang tahan suhu tinggi yaitu Thermus aquaticus. DNA cetakan, diperoleh dari hasil isolasi DNA yang akan diamplifikasi. Primer, merupakan beberapa nukleotida yang berfungsi sebagai inisiasi proses sintesis DNA. Dalam PCR dibutuhkan 2 primer yaitu left primer forward dan right primer reverse, sedangkan apabila menggunakan satu primer, teknik ini disebut RAPD-PCR Hoy 1994. Hallden et al. 1996 menyatakan reaksi PCR sangat dipengaruhi oleh komponen reaksi MgCl 2 , buffer, enzim, DNA cetakan, primer, nukleotida dan H 2 O, suhu denaturasi, suhu penempelan primer pada DNA cetakan, suhu pemanjangan, jumlah siklus serta keutuhan dan kemurnian DNA cetakan. Teknik RAPD lebih sederhana dibandingkan dengan marka RFLP yaitu 1 DNA tidak dipotong dengan enzim restriksi, 2 contoh DNA yang diperlukan relatif sedkit, 3 tidak memerlukan prosedur penanda, 4 tidak memerlukan hibridisasi DNA, dan 5 tidak memerlukan pemindahan DNA ke membran nilon Nair, 1993. Penanda RAPD juga dapat memberikan efisiensi pengujian untuk 20 polimorfisme, yang dapat mempercepat identifikasi dan isolasi fragmen DNA yang spesifik Williams et al. 1990 Toruan-Mathius dan Hutabarat 1997 menyatakan analisis DNA dapat mengevaluasi klon, varietas atau hibrida dan kestabilan genetik. Rongwen et al. 1995; Akagi et al. 1996 dan Ayeres et al. 1997 menyatakan bahwa amplifikasi penanda molekuler telah berkembang dan ditujukan untuk mengatasi masalah, melengkapi atau menguatkan penanda lainnya misalnya penanda morfologi, sitologi, histologi, isoenzim dan biokimia. Analisis RAPD mempunyai keterbatasan, yaitu sangat sensitif terhadap kondisi reaksi dan profil suhu. Selain itu, penanda RAPD tidak dapat membedakan individu homozigot dominan dan heterozigot karena keduanya sama-sama menghasilkan pita DNA pada pola pita yang dihasilkan Ronning et al. 1995. Analisis DNA dengan RAPD dapat digunakan untuk penciri gen atau kromosom dan sidik jari genom dan juga dapat digunakan untuk membuat peta genom Miklas et al. 1996. Abnormalitas pada kelapa sawit dapat terjadi akibat perubahan oligonukleotida atau metilasi DNA. Metilasi adalah suatu proses epigenetik yang mempengaruhi ekspresi DNA tanpa merubah sekuens DNA. Jaligot et al. 2000 menduga bahwa keragaman somaklonal pada tanaman kelapa sawit disebabkan oleh terjadinya perubahan pola metilasi DNA. Methylation-Sensitive Amplified Polymorphism merupakan suatu teknik baru mengenai DNA finger printing yang didasarkan pada fragmen PCR yang selektif dari sebuah total genom. Teknik MSAP menggunakan primer semi-arbitrary untuk melakukan annealing lebih spesifik pada fragmen DNA hasil restriksi dari suatu total genom DNA. Sebelum amplifikasi PCR, DNA genom mengalami pemotongan dengan dua enzim restriksi HpaII dan MspI sehingga dihasilkan potongan fragmen yang digunakan sebagai DNA cetakan dalam PCR untuk proses amplifikasi Xiong at al. 2000. Isozomer HpaII dan MspI digunakan menggantikan MseI sebagai enzim restriksi. Teknik Methylation-Sensitive Amplified Polymorphism merupakan teknik AFLP standar Vos et al. 1995 dimodifikasi untuk mengkorporasi penggunaan enzim restriksi sensitif terhadap metilasi Portis et al. 2004. Teknik Methylation-Sensitive Amplified Polymorphism merupakan metode yang digunakan untuk tujuan deteksi abnormalitas pada variasi somaklonal hasil kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit Matthes et al. 2000. Polimorfisme DNA yang diidentifikasi melalui MSAP memiliki pola yang mengikuti model pewarisan segregasi Mendel sehingga hal ini bermanfaat untuk typing dan identifikasi pertautan penanda molekuler untuk lokus yang bertanggung jawab pada suatu karakter tertentu, misalnya perubahan pola metilasi DNA yang menyebabkan tanaman abnormalitas hasil kultur jaringan Portis et al. 2004 ; Joligot et al. 2000. Di samping itu dapat juga digunakan teknik RAF- sensitif metilasi untuk deteksi situs terjadinya metilasi sitosin pada DNA genom. Teknik RAF–sensitif metilasi adalah modifikasi dari metode Waldron et al.2002. Teknik RAF-sensitif yaitu teknik yang mengkombinasikan antara teknik RFLP dan DAF. Pada teknik RAF, pada tahap awal dilakukan teknik RLFP yaitu DNA genom dipotong enzim restriksi yaitu MspI ataua Hpa II. Tahap kedua, DNA yang telah terpotong diamplifikasi dengan teknik DAF yang dimodifikasi yang disebut RAF–sensitif metilasi. Menurut Lewin 1997 enzim HpaII memotong sekuen CCGG tetapi jika C keduanya mengalami metilasi sekuen tersebut tidak terpotong. MspI tidak memotong bila C eksternal termetilasi m CCGG tetapi akan memotong bila sitosin internal termetilasi C m CGG McClelland et al. 1994. Matthes et al. 2001 membuktikan penurunan metilasi diperoleh pada situs CCGG. Teknik RAF lebih efisien, tegas dan sensitif serta memiliki beberapa keunggulan, yaitu tidak membutuhkan kemurnian DNA template yang tinggi, tahapan relatif lebih sederhana dan deteksi dilakukan menggunaan primer bertanda dengan radioaktif atau fluoresens. Kunci teknik RAF adalah : 1 memiliki primer oligonukleotida 10-mer dengan konsentrasi yang tinggi, suhu penempelan annealing yang tinggi pada 53 – 59 o C dan menggunakan fragmen DNA polymerase Soffel; 2 primer dilabel dengan radioaktif atau fluoresens; 3 pemisahan fragmen dan deteksi hasil amplifikasi dengan sekuensing gel poliakrilamid atau mesin DNA sekuensing Waldron et al. 2002. Berbagai analisis digunakan untuk mengungkapkan kejadian abnormalitas bunga dan buah kelapa sawit yang berasal dari kultur jaringan. Studi ploidi Rival et al. 1997 dan transposon Kubis et al. 2003 menunjukkan bahwa tidak ada 22 hubungan abnormalitas buah bersayap dengan perbedaan ploidi dan aktivitas transposon tetapi berhubungan dengan perubahan pola metilasi. Penelitian mengenai metilasi DNA dapat didekati melalui beberapa cara dan teknik untuk mengetahui keberadaan dan daerah lokasi terjadinya metilsitosin dalam genom Grigg Clark 1994; Rein et al. 1998; Saluz Jost 1993. Sedang tingkat metilsitosin dalam DNA genomik dapat diukur dengan Reverese Phase High Performance Liquid Chromatography RP-HPLC atau dengan sistem enzim maupun kimiawi Fraga et al. 2000. Matthes et al. 2001 membuktikan penurunan metilasi diperoleh pada situs CCGG. Pengukuran jumlah sitosin yang termetilasi pada tingkat genom dapat dilakukan dengan teknik RP-HPLC. Menurut Bellucci et al. 2002 metode deteksi terjadinya metilasi yaitu dengan analisis DNA melalui biokimia seperti HPLC yaitu untuk mengetahui persentase nukleotida yang termetilasi. Kubis et al. 2003 membuktikan bahwa RP-HPLC mampu mengidentifikasi tiap nukleotida termasuk metilsitosin dan sitosin dari DNA tanaman normal dan abnormal. 23

BAB 3 KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN HISTOLOGI ABNORMALITAS