Karakteristik Abnormalitas Embrio Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

(1)

NESTI F. SIANIPAR A361020201

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Karakterisasi Abnormalitas Embrio Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dari Komisi Pembimbing dan belumdiajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2008 Nesti F. Sianipar A361020201


(3)

NESTI F. SIANIPAR. Characterization on Abnormalities of Oilpalm (Elaeis guineensis Jacq) Somatic Embryos. GUSTAAF A. WATTIMENA, MAGGY T. SUHARTONO, HAJRIAL ASWIDINNOOR and NURITA TORUAN-MATHIUS.

Oilpalm is the most important vegetable oil producing plant in Indonesia. A mass production of oilpalm transplants to support new oilpalm estate can be conducted through tissue culture. However, the primary problem of tissue culture generated transplants is increasingly reproductive abnormalities postulated due to the genetic and/or epygenetic changes during somatic embryo (SE) formation. The objectives of this research were (1) to characterize abnormality of somatic embryos at several growth stages, (2) to study the genetic change of SEs at several growth stages and their plantles, and (3) to study the relationship of cytosine methylation of genomic DNA and abnormality at several SE growth stages and plantlets. Genetic characterization was accomplished by RAPD and RAF technique. Epigenetic characterization was conducted by RP-HPLC and RAF-methylation sensitive technique. The results showed that morphological characterization on SE at globular, heart form scutellar, and cotyledon resulted that there were morphological variations. The most obvious variations were observed at heart form scutellar stage and cotyledon. Histologically, the procambial strand of SE abnormal cotyledon of clone 638 and 558 was disperse and their protoderm cell layer was not clear. Meanwhile, at clone 636 the abnormal SE cotyledon was morphologically different from the normal one, but anatomically was similar to the normal one. The RAPD techniques distinguish the SE normal cotyledon to the abnormal at clone 638 by 5 primers (OPE-14,OPC-9, W-15, AP-20 and SC10-19), while at clone 558 by 3 primers (OPE-14, W-15 and AP-20). Among the five primers there were 3 primers differing the normal and abnormal SE cotyledon at clone 638, at a specific band of 1750 bp, those were OPE-14, W-15 and AP-20 primers. The RAF technique detected the changes of genomic DNA genom at 90 – 358 bp. There were 3 among the 6 primers (AO-12, BB-18, W-15) detecting the sequence of genomic DNA at 150 bp. The genomic DNA slicing by RAF technique with MspI and Hpa2 enzymes could detect the location of cytosine methylation. The Hpa2 enzyme cut the mCCGG, but if both the Cs were methylated, the sequence was not

cut. The MspI enzyme would cut the genomic DNA sequence when the cytosine experiencing an internal methylation (CmCGG). The RAF technique could detect

methylation location of internal, external, and fully methylated at 124-457 bp of genomic DNA. The RP-HPLC analysis showed very litle changes of cytosine (0.25 – 2.72%) at clone 638 and 636. The cytosine methylation changes of normal and abnormal SE were due to hipomethylation and hipermethylation at clon 638 and 558, respectively. The cytosine methylation change was too small to affect mophological change from normal to abnormal. Abnormality of SE at cotyledon stage was due to the change of genomic DNA sequence or mutation.

Key words: somatic embryo, abnormality embryo somatic, oilpalm, DNA Methylation, RAPD, RAF, RP-HPLC


(4)

sawit (Elaeis guineensis Jacq). GUSTAAF A. WATTIMENA, MAGGY T. SUHARTONO, HAJRIAL ASWIDINNOOR and NURITA TORUAN MAHIUS.

Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia dan memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dalam negeri. Untuk meningkatkan peranan kelapa sawit dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi tanaman kelapa sawit. Untuk mencapai peningkatan perluasan areal pertanaman kelapa sawit membutuhkan bibit yang sangat besar. Salah satu cara penyediaan bibit kelapa sawit dapat melalui kultur jaringan. Kelebihan melalui kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat. Namun demikian, kendala utama bibit hasil kultur jaringan adalah masalah abnormalitas pada organ reproduktif yang diduga terkait dengan perubahan genetik dan epigenetik selama masa pembentukan embrio somatik (ES).

Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengkarakterisasi abnormalitas embrio somatik dari beberapa perkembangan, (2) mempelajari perubahan genetik ES dari beberapa tahap perkembangan ES dan planlet, dan (3) mempelajari hubungan metilasi sitosin DNA genom dengan abnormalitas pada beberapa tahap perkembangan ES dan planlet. Pendekatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui karakterisasi morfologi, histologi, genetik dan epigenetik.

Bahan tanaman yang digunakan adalah kalus embrio somatik (ES) Tenera unggul hasil seleksi (ortet terpilih) klon MK638, MK636 dan MK558 dari Balai Penelitian Marihat. ES normal dan abnormal yang telah dikarakterisasi pada percobaan morfologi. Karakterisasi morfologi ES normal atau abnormal dilakukan berdasarkan bentuk dan bidang polaritas, bidang pembelahan sel asimetri atau simetri, dan jumlah kotiledon. Morfologi masing masing fase perkembangan embrio didokumentasi menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 40x (stereomicroscope Technical, Japan). Teknik preparasi contoh dilakukan dalam bentuk sediaan anatomi berdasarkan metode Nakamura (1995). Karakterisasi genetik dilakukan dengan teknik Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) dan Randomly Amplified DNA Fingerprinting (RAF). Karakterisasi berdasarkan epigenetik dilakukan dengan teknik Riverse-Phase Performance Liquid Chromatography (RP-HPLC) dan RAF-Sensitif Metilasi (RAF-SM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakterisasi secara morfologi embrio somatik dari tahap globular, scuttelar berbentuk hati, dan kotiledon menghasilkan keragaman secara morfologi. Keragaman morfologi terlihat jelas pada tahap scutellar berbentuk hati dan kotiledon. Hasil histologi terlihat perbedaan pada ES kotiledon abnormal pada procambial strand menyebar dan lapisan sel protoderm tidak jelas pada klon 638 dan 558, sedangkan pada klon 636 ES kotiledon abnormal secara morfologi tetapi secara anatomi terlihat tidak berbeda dengan normal.

Informasi yang diperoleh dengan teknik RAPD dari penelitian ini diketahui ES kotiledon normal dan abnormal pada klon 638 dapat dibedakan dengan 5 primer (OPE-14,OPC-9, W-15, AP-20 dan SC10-19), sedangkan ES kotiledon normal dan abnormal pada klon 558 dapat dibedakan dengan 3 primer (OPE-14,


(5)

pita yang spesifik disekitar 1750 bp yaitu primer OPE-14, W-15 dan AP-20. Dengan Teknik RAF hanya menganalisis klon 638, ada 6 dari 8 primer yang dapat membedakan antara ES kotiledon normal dan abnormal, planlet dan daun tanaman induk normal. Dengan analisis RAF dapat diketahui perubahan sekuen DNA genom berada disekitar 90 – 358 bp. Ada 3 dari 6 primer (AO-12, BB-18, W-15) yang menunjukkan perubahan sekuens DNA genom pada fragmen spesifik disekitar 150 bp.

Hasil pemotongan DNA genom dengan enzim MspI dan HpaII yang dapat dideteksi lokasi terjadinya metilasi sitosin dengan teknik RAF. Enzim HpaII memotong sekuen mCCGG tetapi jika C keduanya mengalami metilasi sekuen

tersebut tidak terpotong. Msp1 akan memotong bila sitosin internal termetilasi (CmCGG). Teknik RAF ini dapat mendeteksi lokasi metilasi internal, metilasi

eksternal dan metilasi penuh (fully-metilated ) yang terjadi sekitar 124- 457 bp pada DNA genom. Hasil analisis RP-HPLC menunjukkan perubahan metilasi sitosin sangat kecil sekitar 0,25 – 2,72 % pada klon 638 dan klon 636. Perubahan metilasi sitosin antara ES normal dan abnormal terjadi hipometilasi pada klon 638 dan terjadi hipermetilasi pada klon 558. Perbedaan kandungan metilasi sitosin sangat kecil, sehingga metilasi sitosin tidak berpengaruh langsung terhadap perubahan morfologi dari normal menjadi abnormal. Abnormalitas yang terjadi pada embrio somatik pada tahap kotiledon akibat terjadinya perubahan sekuens DNA genom atau mutasi.

Berdasarkan hasil penelitian ada beberapa informasi yang baru yaitu : (1) terdapat keragaman abnormal pada tingkat morfologi dan histologi pada fase skutelar berbentuk hati dan kotiledon, (2) terjadi perubahan sekuens DNA berbeda pada ES kotiledon normal dan abnormal dengan teknik RAPD dan RAF, (3) terdapat mutasi pada fase ES kotiledon abnormal yang dideteksi dengan teknik RAF, (4) terdapat perubahan pola situs metilasi sitosin pada ES kotiledon abnormal dengan tanaman induk normal, (5) morfologi dan histologi abnormal berhubungan dengan perubahan genetik dan epigenetik dan (6) Perubahan kandungan metilasi sitosin DNA genom tidak berdampak langsung terhadap perubahan morfologi embrio somatik.

Kata kunci : Embrio somatik, abnormalitas embrio-somatik, kelapa sawit, metilasi DNA, RAPD, RAF, RP-HPLC


(6)

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutipsebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

NESTI F. SIANIPAR

Desertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

Pada Program Studi Agronomi Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Nama : Nesti F. Sianipar

Nomor Pokok : A361020201

Program Studi : Agronomi

Disetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. G. A. Wattimena M.Sc) (Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono) Ketua Anggota

(Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc) (Dr. Nurita Toruan-Mathius, M. S) Anggota Anggota

Diketahui

Ketua program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana

(Dr. Ir Munif Ghulamahdi, M.S) (Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S )


(9)

Hortikultura, FAPERTA IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Endang Sukara

(Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI)

2. Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc

(Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA IPB)


(10)

Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Disertasi ini membuat 6 bab, beberapa bab merupakan pengembangan dari naskah artikel yang diajukan ke jurnal ilmiah. Satu bab yang telah terbit dijurnal ilmiah yaitu dengan judul “Karakterisasi secara Morfologi Abnormalitas Embrio Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) dari Eksplan Daun” (Jurnal AgroBiogen No. 1, April 2007).

Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Gustaaf A. Wattimena selaku ketua serta , Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono, Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. dan Dr. Nurita Toruan-Mathius, M.S., masing-masing sebagai anggota yang memberikan waktu untuk berdiskusi sejak penetapan topik penelitian hingga akhir penyelesaian studi.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :

1. Ketua Yayasan SDM-IPTEK The Habibie Center atas kesempatan dan kepercayaan beasiswa yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3.

2. Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf, ketua Progran Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB, dan seluruh staf pengajar yang telah membekali dan memperkaya penulis dengan berbagai ilmu.

3. Dr. Ir. Sobir M.S selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup serta Prof. Dr. Endang Sukara dan Dr. Ir. Endah Retno Palupi, M.Sc, selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka.

4. Rekan-rekan mahasiswa S3 Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana IPB atas kerjasamanya dalam proses penyelesaian studi dan desertasi ini.

5. Rekan-rekan dilaboratorium Biologi Molekuler Biotrop, laboratorium Kultur Jaringan BPBPI, laboratorium Biologi IPB, laboratorium Kedokteran hewan IPB.

6. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia atas bantuan dana penelitan lewat projek APBN dan kerja sama dengan Balai Penelitian Perkebunan Kelapa Sawit Medan diketuai oleh Dr. Nurita-Toruan Mathius.

7. Dr. Rudy Lukman, S.P., M.Si. atas bantuan deteksi genetik dengan teknik RAF yang dilaksanakan di laboratorium PT.BISI International, Kediri. 8. Dr. Diana Elisabeth S.Si., M.Si., Dr. Ir. Helen Hetharie,M.Si., Dr. Ir,

Catur Herison, M.Sc., Dr. Ir Ragapadmi Purnamaningsih, M.Si. atas bantuan diskusi selama penelitian dan penulisan desertasi ini.

Penghargaan dan terima kasih kepada kakak dan adik-adik tersayang atas perhatian dan toleransi yang diberikan selama penulis menghadapi masa-masa berat dalam pendidikan ini. Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada bapak Ranap Sianipar dan mama Helena Simanjuntak, berkat cinta dan kasih sayang, doa serta didikan beliau penulis mampu menempuh pendidikan formal hingga jenjang tertinggi

Bogor, Januari 2008 Nesti F. Sianipar


(11)

Penulis dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 14 April 1971 sebagai anak ketiga dari pasangan Ranap Sianipar dan Helena Simanjuntak. Pada tahun 1990, penulis diterima di Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara, Medan dan lulus tahun 1995. Tahun 1996, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Agronomi Bidang Bioteknologi Tanaman di Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 1998.

Pada tahun 1999, penulis mendapat kesempatan mengikuti ”Training Course on Molecular Techniques at the technical University of Muenchen di German. Pada tahun 2002, penulis melanjutkan S3 di Progran Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor dengan pendalaman minat pada Biologi Molekuler Tanaman melalui beasiswa The Habibie Center. Pada tahun 2003, penulis menjadi pengajar di Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. Pada tahun 2005, penulis terpilih menjadi 7 wanita ilmuan yang diselenggarakan oleh Komisi nasional Indonesia untuk UNESCO dan didukung oleh L’oreal Indonesia for women in Science 2005.

Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul “Karakterisasi secara Morfologi Abnormalitas Embrio Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guinensis Jacq) dari Eksplan Daun” di jurnal AgroBiogen pada April 2007. Pada Agustus 2007, karya ilmiah berjudul “ Karakterisasi Abnormalitas Embrio somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) secara Morfologi dan RAPD” telah disajikan di Seminar Nasional.


(12)

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN UMUM Latar Belakang... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 6

Hipotesis Penelitian ...7

Manfaat Penelitian ... 7

Peta Alir Penelitian ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) ... 9

Media Kultur Jaringan... 11

Embrio Somatik ... 13

Keragaman Somaklonal Hasil Kultur Jaringan ... 15

Abnormalitas Tanaman Kelapa Sawit Hasil Kultur Jaringan. 16

Metilasi DNA Tanaman Hasil Kultur Jaringan ... 17

Analisis Genotipik Embrio Somatik dengan Marka Molekuler ... 19

3. KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN HISTOLOGI ABNORMALITAS EMBRIO SOMATIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) Abstrak ... 24

Pendahuluan ... 24

Bahan dan Metode ... 27

Hasil dan Pembahasan ... 30

Morfologi Embrio Somatik Abnormal ... 30

Histologi Embrio Somatik Abnormal... 36

Simpulan ... 42


(13)

AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA (RAPD) DAN

RAMDOMLY AMPLIFIED DNA FINGERPRINTING (RAF)

Abstrak ... 43

Pendahuluan ... 43

Bahan dan Metode ... 47

Hasil dan Pembahasan ... 51

Analisis Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD) ... 51

Analisis Randomly Amplified DNA Fingerprinting (RAF ) ... 57

Simpulan ... 62

5. DETEKSI METILASI DNA EMBRIO SOMATIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN TEKNIK RANDOMLY AMPLIFIED DNA FINGERPRINGING (RAF) DAN RP-HPLC Abstrak ... 63

Pendahuluan ... 63

Bahan dan Metode ... 66

Hasil dan Pembahasan ... 69

Deteksi Lokasi Metilasi Sitosin dengan Teknik RAF ... 69

Kuantifikasi Metilasi Sitosin dengan Teknik RP-HPLC ... 76

Simpulan ... 84

6. PEMBAHASAN UMUM ... 82

7. SIMPULAN DAN SARAN ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(14)

Halaman

1. Karakteristik abnormalitas embrio somatik secara morfologi ... 31

2. Hasil karakterisasi abnormalitas embrio somatik secara histologi... 40

3. Pengambilan sampel untuk isolasi DNA ... 47

4. Komposisi reaksi PCR dengan primer RAPD ... 49

5. Komposisi reaksi PCR dengan primer RAF ... 50

6. Jenis, susunan oligonukleotida, jumlah pita DNA genom dari primer terseleksi ... 52

7. Data pola pita polimorfik hasil analisis RAPD Klon 638 dan 558 kelapa sawit ... 55

8. Jenis, susunan oligonukleotida, jumlah fragmen, jumlah fragmen polimorfik DNA yang terseleksi ... 58

9. Data fragmen polimorfik hasil analisis RAF klon 638 kelapa sawit ... 59

10. Perbandingan teknik analisis RAPD dan RAF pada kotiledon dan planlet ... 60

11. Hasil deteksi lokasi metilasi sitosin DNA genom dengan metode RAF pada klon 638 ... 72


(15)

Halaman

1. Alir penelitian, tujuan dan output pada setiap data penelitian ... 8

2. Morfologi abnormal embrio somatik tahap globular N (Normal), Ab (Abnormal) ... 31

3. Morfologi abnormal embrio somatik tahap skutellar berbentuk hati N (Normal), Ab (Abnormal) ... 34

4. Morfologi abnormal embrio somatik tahap kotiledon N (Normal), Ab (Abnormal) ... 34

5. Perkembangan struktur anatomi embrio somatik abnormal pada tiga klon kelapa sawit fase globular ... 37

6. Perkembangan struktur anatomi embrio somatik abnormal pada tiga klon kelapa sawit fase skutellar berbentuk hati ... 38

7. Perkembangan struktur anatomi embrio somatik abnormal pada tiga klon kelapa sawit fase skutellar berbentuk hati ... 39

8. DNA embrio somatik klon 638 dan klon 558 ... 51

9a. Primer W-18. M (marker 1kb) klon 558 dan klon 638 ... 53

9b. Primer SC 10-19. M (marker 1kb) klon 558 dan klon 638 ... 54

10. Deteksi fluorescent dengan elektroferogram RAF. Primer AB-16 (5’-CCCGGATGGT-3’) yang dilebel dengan 6-carboxy-fluorecein (FAM) ... 61

11. DNA Genom Klon 638 (A): Marker DNA 100 ng (M), (B): ES kotiledon dipotong dengan Msp 1 dan Hpa II ... 67

12. Deteksi fluoresen teknik RAF dengan primer AB-16 (5’-CCCGGAT GGT-3’).yang dilabel dengan FAM (6-canboxy-fluorecein) Tanaman Kelapa Sawit klon 638 ... 75

13. Kandungan persentase 5-Metilcitosin dari embrio somatik (ES), planlet dan tanaman induk normal klon 558 ... 77 14. Kandungan persentase 5-Metilcitosin dari embrio somatik, planlet dan tanaman induk normal klon 638 ... 79


(16)

Halaman 1. Profil pita DNA hasil RAPD ... 103 2. Profil fragmen DNA hasil RAF ... 107 3. Profil fragmen DNA hasil RAF dengan pemotongan enzim

Hpa2 dan Msp1 ... 112 4. Profil elusi RP-HPLC DNA genom embrio somatik dan daun

planlet kelapa sawit ... 116

5. Tabel Susunan Sekuens Primer ... 123 6.1 Hasil Analisis RAF Penyimpangan Genetik dengan NTSYS ... 123 6.2 Hasil Analisis RAPD Penyimpangan Genetik dengan NTSYS ... 124


(17)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kelapa Sawit merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati terpenting di Indonesia. Ditinjau dari segi ekonomi, kelapa sawit memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan minyak , menghasilkan penerimaan negara terbesar disektor perkebunan, meningkatkan pendapatan negara dan menggerakkan pembangunan, khususnya di luar pulau jawa (Tondok 1988). Peningkatan permintaan kelapa sawit sejalan dengan meningkatnya kebutuhan hasil olahan kelapa sawit berupa crude palm oil (CPO) dan produk derivat lainnya. Volume produksi CPO di Indonesia pada tahun 2003 10 juta ton (Price et al. 2007). Potensi kebutuhan minyak sawit dunia tahun 1996 sebesar 15,5 juta ton, sedangkan pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 25,6 juta ton (ICBS 1997).

Salah satu usaha untuk memenuhi permintaan pasar dunia, Indonesia melakukan peningkatan produksi kelapa sawit dengan cara pembukaan lahan baru. Luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2002 diperkirakan telah mencapai 4.1 juta ha dengan laju pertumbuhan per tahun sekitar 10% selama 5 tahun terakhir (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2002). Untuk perluasan areal tanam dan peremajaan tanaman, perkiraan kebutuhan bibit kelapa sawit dalam periode tahun 2000 - 2009 berdasarkan perhitungan 9m x 9m adalah sebanyak 547.837.800 bibit (Kemala & Wahyudin 2000; Lubis 1992). Permintaan benih kelapa sawit secara langsung berhubungan dengan agenda perluasan dan penanaman kembali kebun kelapa sawit, jadi Indonesia memerlukan 70 juta benih berkecambah setiap tahun.

Penyediaan bibit kelapa sawit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara generatif dan vegetatif. Penyediaan bibit secara generatif menghasilkan bibit dengan keragaman genetik yang cukup besar karena merupakan hasil persilangan antar pohon induk terpilih. Hal itu kurang menguntungkan sebab yang


(18)

diharapkan adalah bibit yang seragam dalam pertumbuhan, perkembangan dan produktivitasnya.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan penyediaan bibit menggunakan teknik kultur jaringan. Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang relatif singkat. Perbanyakan kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit melalui proses embryogenesis dengan pembentukan embrio somatik. Perbanyakan melalui embrio somatik pada kelapa sawit dimulai dengan pemilihan pohon induk atau ortet yang sesuai dengan karakter-karakter yang diinginkan, selanjutnya dilakukan perbanyakan secara klonal. Pembentukan embrio somatik pada kelapa sawit dikembangkan melalui embriogenesis somatik dalam kultur cair dengan tujuan otomatisasi dan produksi plantlet serta meningkatkan pertumbuhan dan keseragaman kultur (Touchet et al. 1991).

Perbanyakan tanaman kelapa sawit melalui embrio somatik telah dilakukan di beberapa laboratorium. Pusat Penelitian Marihat sejak tahun 1980 telah merintis perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan embrio somatik dan sudah menghasilkan klon yang unggul yaitu MK 638, 636 dan 558 (Ginting et al. 1991). Teknologi kultur jaringan kelapa sawit telah dikembangkan di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia melalui embriogenesis somatik dalam

medium cair (Sumaryono et al. 1994; Tahardi 1998a, 1999). Ada dua mekanisme

yang penting dalam pembentukan embriogenik yaitu, pembelahan sel asimetrik dan pemanjangan sel kontrol (de Jong et al. 1993). Pembelahan sel asimetrik berkembang oleh zat pengatur tumbuh yang mengubah polaritas sel melalui interfensi dengan gradien pH di sekitar sel (Smith dan Krikorian 1990).

Embriogenesis somatik adalah proses dimana struktur bipolar berkembang membentuk embrio zigotik dari sel nonzigotik tanpa hubungan vascular dengan jaringan asal. Embriogenesis somatik terjadi melalui rangkaian dari beberapa tahapan karakteristik embriogenesis somatik. Embrio somatik dapat berdiferensiasi secara langsung melalui kalus atau tanpa fase kalus (Williams & Maheswaran 1986).

Embrio somatik yang dihasilkan melalui kultur jaringan menunjukkan keragaman somaklonal yang tinggi. Keragaman somaklonal ditunjukkan pada


(19)

abnormalitas secara sitologi dan mutasi fenotip secara kualitatif dan kuantitatif,

perubahan karyotipe dan perubahan sekuens DNA ( Duncan 1997 ; Kaeppler et

al. 2000). Keragaman somaklonal disebabkan oleh proses kultur jaringan yang diinduksi dari lingkungan dengan pemberian 2,4 D (Deambrogio & Dale 1980).

Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin & Scowcroft 1981). Keragaman genetik yang terjadi didalam kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah kromosom (fusi, endomitosis), perubahan struktur kromosom karena peristiwa delesi, duplikasi, translokasi dan inversi, perubahan kromatid, perubahan gen dan perubahan sitoplasma (Griffith et al. 1993; Kumar 1995). Menurut van Harten (1998) variasi somaklonal kemungkinan disebabkan oleh ketidakteraturan pembelahan mitotik yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom dan aplifikasi atau delesi gen.

Perubahan dalam kultur jaringan sering terjadi melalui mekanisme stress-response. Mekanisme yang berhubungan dengan kehilangan program kontrol seluler. Ada beberapa perubahan dalam kultur jaringan yaitu perubahan susunan kromosom atau mutasi, metilasi DNA. Mutasi yang terjadi pada kultur jaringan dengan fenomena mutasi salient yang disebut mutasi repeat-induced point (RIP) yang terjadi saat premeotik, pertama kali ditemukan pada fungi filamentous (Selker & Steven 1985).

Abnormalitas pembungaan pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan dikenal dengan istilah mantel (Corley et al. 1986) terjadi pada rata-rata 5-10 % dari populasi bibit asal kultur jaringan (Jaligot et al. 2000), bahkan dapat

mencapai 40% (Subronto et al. 1995) bergantung pada klon tanaman.

Masing-masing tanaman dapat menunjukkan keragaman abnormalitas pembungaan dan kadangkala terjadi pemulihan ke fenotipe normal seiring dengan waktu, karena kelainan ini bersifat epigenetik (Tregear et al. 2002). Abnormalitas yang terjadi pada bunga dan buah mungkin disebabkan oleh fitohormon (Jones 1991; Paranjothy et al. 1993), struktur kalus (Pannetier et al. 1981; Duran-Grasselin et al. 1993), lama subkultur dan umur kalus (Paranjothy et al. 1993), tekanan seleksi, jenis eksplan, level ploidi dan kecepatan proliferasi kalus (Skirvin et al. 1984; Karp 1995).


(20)

Keragaman somaklonal diduga berhubungan erat dengan perubahan pola metilasi DNA selama dalam kultur (Phillips et al. 1990). Hasil penelitian Jaligot et al. (2000) dan Matthes et al. (2001) menunjukkan adanya korelasi yang nyata antara hipometilasi dengan keragaman somaklonal pembungaan mantlet pada bibit kelapa sawit asal kultur jaringan. Untuk mengetahui apakah abnormalitas tersebut bersifat genetik atau bukan, perlu dilakukan pengamatan genetik pada tingkat DNA klon kelapa sawit. Analisis tingkat DNA dapat digunakan untuk deteksi dini pada embrio somatik yang dihasilkan melalui kultur jaringan. Pada penelitian ini dilakukan deteksi fenotipik dan genetik. Deteksi fenotipik dilakukan dengan karakterisasi embrio somatik secara morfologi dan histologi.

Deteksi genetik dilakukan dengan teknik Ramdom amplified Polymorphism DNA

(RAPD) dan Randomly Amplified DNA Fingerprinting (RAF).

Beberapa penelitian yang dilakukan dengan teknik RAPD dapat mendeteksi adanya perbedaan diantara klon-klon kelapa sawit hasil kultur jaringan pada pola pita polimorfik yang dihasilkan tetapi pola pita yang dihasilkan tidak spesifik (Wilde et al. 1992). Paranjothy et al. (1993) menyatakan dari 10 primer yang digunakan untuk analisis abnormalitas klon-klon kelapa sawit hasil kultur jaringan dengan teknik RAPD, dihasilkan polimorfisme klon normal dan abnormal, tetapi belum dapat digunakan untuk membedakan klon normal dan abnormal. Analisis RAPD mempunyai keterbatasan, yaitu sangat sensitif terhadap kondisi reaksi dan profil suhu. Selain itu, penanda RAPD tidak dapat membedakan individu homozigot dominan dan heterozigot karena keduanya sama-sama menghasilkan pita DNA pada pola pita yang dihasilkan (Ronning et al. 1995).

Analisis DNA dengan RAPD dapat digunakan untuk menentukan penciri gen atau kromosom dan sidik jari genom dan juga dapat digunakan untuk membuat peta genom (Miklas et al. 1996). Toruan-Mathius et al. (2002, 2004) melaporkan bahwa tingkat protein pada buah dan bunga hanya mampu mengungkapkan perbedaan abnormalitas pada beberapa klon. Hal ini menunjukkan bahwa abnormalitas pada kelapa sawit hasil kultur jaringan terjadi akibat perubahan satu atau dua oligonukleotida saja.


(21)

Dugaan bahwa keragaman somaklonal pada tanaman kelapa sawit disebabkan oleh terjadinya perubahan pola metilasi DNA (Joligot et al 2000) semakin kuat sehingga dalam analisis abnormalitas perlu digunakan teknik yang lebih sensitif terhadap perubahan tersebut. Deteksi perubahan metilasi DNA dalam penelitian ini dengan teknik RAF dan RP-HPLC. Bauren et al. (2003) dilakukan ada tiga metode yang tersedia untuk mempelajari metilasi sitosin pada genom yaitu (1) pengukuran jumlah sitosin yang termetilasi pada tingkat genom, (2) DNA digest dengan endonuklease isoschizomers sensitif/insentif metilasi dan (3) bisulfida genom sequensing assays.

Teknik RAF dengan metode Waldron et al. (2002) dapat digunakan untuk

deteksi lokasi terjadinya metilasi sitosin. RAF yaitu teknik yang mengkombinasikan antara teknik RFLP dan DAF. Pada teknik RAF, pertama

dilakukan teknik (RLFP) yaitu DNA genom dipotong enzim restriksi yaitu Msp1

atau Hpa II. Tahap kedua, DNA yang telah terpotong diamplifikasi dengan teknik RAF. Dua enzim yang sering digunakan untuk mendeteksi metil sitosin adalah MspI dan Hpa II. McClelland et al. (1994) menyatakan bahwa kedua enzim tersebut mengenal sekuens tetranukleotida 5’-CCGG-3’. Hpa II tidak aktif apabila kedua sitosin termetilasi secara penuh (kedua utas DNA termetilasi) tetapi dapat memotong sekuens tersebut dalam keadaan hemimelitasi (hanya satu utas termetilasi), sebaliknya MspI dapat memotong C5mCGG tetapi tidak memotong

pada kondisi 5mCCGG (Bellucci et al. 2002).

Pengukuran jumlah sitosin yang termetilasi pada tingkat genom dapat dilakukan dengan teknik RP-HPLC. Menurut Bellucci et al. (2002) metoda deteksi terjadinya metilasi dilakukan dengan analisis DNA melalui biokimia seperti HPLC (High Performance Liquid Chromatography) yaitu untuk mengetahui persentase nukleotida yang termetilasi. Kubis et al. (2003)

membuktikan bahwa Reverse Phase - High Performance Liquid Chromatography

(RP-HPLC) mampu mengidentifikasi tiap nukleotida termasuk metilsitosin dan sitosin dari DNA tanaman normal dan abnormal.


(22)

Perumusan Masalah

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan teknik kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman kelapa sawit adalah:

(1) Terjadi abnormalitas organ reproduktif tanaman yang ada hubungannya dengan teknik perbanyakan melalui kultur jaringan.

(2) Belum diketahui apakah abnormalitas sudah terjadi pada fase

perkembangan embrio somatik (ES).

(3) Belum diketahui hubungan tingkat dan posisi metilasi sitosin DNA dengan

berbagai tipe abnormalitas pada fase ES.

(4) Belum tersedianya teknik deteksi abnormalitas pada fase ES pada tanaman

kelapa sawit.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mengkarakterisasi secara morfologi dan histologi abnormalitas pada tiap fase perkembangan embrio somatik (ES).

(2) Menganalisis perubahan DNA genom ES yang normal dan abnormal pada tiap fase perkembangan dengan teknik RAPD dan RAF.

(3) Menganalisis tingkat metilasi sitosin DNA genom ES yang normal dan abnormal dari tiap fase perkembangan dengan teknik RP-HPLC.

(4) Menganalisis lokasi metilasi sitosin DNA genom ES fase kotiledon yang normal dan abnormal dengan teknik RAF.


(23)

Hipotesis Penelitian

(1) ES dari berbagai fase perkembangan, yang normal dan abnormal dapat dibedakan berdasarkan karakter bentuk morfologi dan histologi.

(2) Terjadi perubahan sekuens DNA genom pada ES yang mengalami abnormalitas.

(3) Terjadi metilasi eksternal dan metilasi penuh pada sitosin DNA genom ES yang abnormal.

(4) Tidak ada hubungan langsung antara tingkat metilasi sitosin DNA genom ES dari berbagai tingkat perkembangan dengan abnormalitas.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk :

(1) Menetapkan abnormalitas pada berbagai fase perkembangan ES berdasarkan

bentuk morfologi dan histologi, sehingga dapat menurunkan tingkat abnormalitas secara dini.

(2) Informasi hubungan perubahan DNA genom pada berbagai bentuk abnormalitas dari beberapa fase perkembangan ES.

(3) Informasi lokasi terjadinya metilasi sitosin DNA genom ES yang normal dan abnormal dari tiap fase perkembangan.

(4) Informasi tingkat metilasi sitosin DNA genom ES yang normal dan abnormal dari tiap fase perkembangan

Peta Alir Penelitian

Pencapaian tujuan penelitian in dilakukan dalam beberapa seri percobaan seperti yang digambarkan pada diagram alir (Gambar 1.)


(24)

I. Karakterisasi abnormalitas embrio somatik kelapa sawit berdasarkan morfologi dan histologi

Tujuan : Mengkarakterisasi abnormalitas ES dari beberapa fase perkembangan, secara morfologi dan histologi

Output : Karakter morfologi dan histologi ES yang normal dan abnormal

II. Analisis abnormalitas embrio somatik dan planlet kelapa sawit dengan teknik Random Amplified Polymorfphism DNA(RAPD) dan Randomly Amplified DNA Fingerprinting (RAF)

Tujuan : Menganalisis perubahan DNA genom dari berbagai tingkat abnormalitas pada setiap fase perkembangan ES dengan teknik RAPD dan RAF.

Output : Informasi hubungan perubahan DNA genom pada berbagai bentuk abnnormalitas dari setiap fase perkembangan ES.

III. Analisis kuantitatif metilasi DNA genom embrio somatik kelapa sawit dan hubungannya dengan abnormalitas, dengan metode RP-HPLC.

Tujuan: Menganalisis tingkat metilasi

sitosin DNA ES yang normal dan abnormal dari tiap fase perkembangan, dengan teknik RP-HPLC

Output : Informasi kandungan metil sitosin DNA genom ES yang normal dan abnormal

IV. Analisis lokasi metilasi DNA Genom ES kelapa sawit dengan metode RAF

Tujuan : Menganalisis lokasi metilasi

sitosin DNA genom ES fase kotiledon yang normal dan abnormal dengan teknik RAF.

Output : Informasi lokasi metilasi sitosin

DNA genom ES yang normal dan abnormal

Gambar 1. Alir penelitian, tujuan dan output dari setiap tahap penelitian.

S A W I T (E l a e i s g u i n e e n s i s J a c q )

Tujuan :

Mengkarakterisasi abnormalitas embrio somatik dari beberapa fase perkembangan secara morfologi dan histologi.

2. Menganalisis perubahan DNA genom dari berbagai tingkat abnormalitas pada setiap fase perkembangan ES dengan teknik RAPD dan RAF. 3. Menganalisis tingkat metilasi sitosin DNA ES yang normal dan abnormal dari tiap fase perkembangan.

Menganalisis lokasi metilasi sitosin DNA genom ES fase kotiledon yang normal dan abnormal dengan teknik RAF.


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

Kelapa sawit merupakan tanaman asli Afrika Barat yang selanjutnya menyebar ke Amerika Selatan dan sampai ke semenanjung Indo-Malaysia. Kelapa sawit pertama kali diintroduksi ke Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848, tepatnya di kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai dikenal di Indonesia dan dibudidayakan secara komersil dalam bentuk perusahaan perkebunan pada tahun 1911. Pada mulanya hanya berkembang di Sumatera Utara dan Riau yang kemudian berkembang di seluruh Indonesia (Hartley 1977).

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman monokotil anggota keluarga Arecaceae (Jones 1994) yang banyak dibudidayakan di Indonesia (Hartley 1977). Tanaman kelapa sawit termasuk dalam divisi

Tracheophyta, subdivisi Pteropsida, kelas Angiospermae, subkelas

Monocotyledoneae, ordo Cocoidea, famili Arecaceae, genus Elaeis dan spesies Elaeis guineensis Jacq, Elaeis oleifera (H.B.K) Cortes dan Elaeis odora (Pahan 2006).

Kelapa Sawit merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga di alam akan dihasilkan keturunan yang heterozigot heterogen. Menurut Madon dan Clyde (1995) tanaman kelapa sawit mengandung 32 kromosom. Tipe pembungaan tanaman kelapa sawit adalah berumah satu dengan bunga betina dan bunga jantan ada dalam satu tanaman, tetapi berbeda tandan bunga. Bunga akan tumbuh pada setiap ketiak pelepah daun setiap tanaman dapat menghasilkan bunga jantan atau bunga betina saja dan masing-masing mempunyai polinasi yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan terjadinya penyerbukan silang (Lubis 1992).

Berdasarkan warna buah maka spesies Elaeis guineensis Jacq

dikelompokkan atas : (1) Nigrescens yaitu memiliki warna buah violet sampai hitam waktu muda dan menjadi merah kuning (orange) setelah matang, (2) Virescens yaitu memiliki warna buah hijau waktu muda dan dan sesudah matang


(26)

berwarna orange, (3) Albescens yaitu buah muda berwarna kuning pucat, tembus cahaya karena mengandung sedikit karoteindan, (4) Poissoni yaitu tipe buah

abnormal bersayap yang disebut buah mantel. Buah bersayap yaitu stamen yang

rudimenter berkembang menjadi karpel tambahan pada bunga betina ( Price et al. 2007).

Menurut Hartley et al. (1977), kelapa sawit dibedakan ke dalam tiga tipe berdasarkan ketebalan cangkang buahnya yaitu dura, pisifera dan tenera. Dura memiliki tebal cangkang 2 – 8 mm, kandungan mesokarp rendah sekitar 35-55 %. Tenera memiliki tebal cangkang 0,5 - 4 mm, kandungan mesokarp sekitar 60- 96 %. Pisifera memiliki cangkang yang lebih tipis. Ketebalan cangkang dikendalikan oleh gen tunggal. Tipe buah alami ini dikontrol oleh monogenik yang menjadi dasar untuk klasifikasi minyak sawit yaitu: Dura (ShSh), Tenera (Shsh) dan Pisifera (shsh).

Buah kelapa sawit tersusun dalam satu tandan yang merupakan buah batu dan terdiri atas kulit buah, daging buah, cangkang dan inti. Minyak sawit diekstrak dari bagian kulit buah dan daging buah yang disebut bagian perikarp sebanyak 20 % - 27 % sedangkan bagian inti hanya mengandung minyak 4-6%. Varietas tanaman kelapa sawit cukup banyak dan dapat diklassifikasikan berdasarkan berbagai hal, antara lain tipe buah, bentuk luar, tebal cangkang dan warna buah (Pahan 2006).

Perakaran serabut tanaman kelapa sawit sangat dangkal (15 cm - 30cm), yaitu dekat dengan permukaan tanah. Batang tegak dan tidak bercabang dengan diameter 40 - 75 cm. Tinggi batang sangat bervariasi, tinggi tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan 15 m - 18 m, berdaun majemuk dengan pelepah daun majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Panjang pelepah daun kira-kira 9 m, lengan panjang helai daun mencapai 1,2 m dan berjumlah 100 - 160 pasang helai daun (Hartley 1977).


(27)

Media Kultur Jaringan

Keberhasilan kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan tergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tidak hanya mengandung unsur makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat (sukrosa) sebagai sumber karbon. Hasil yang lebih baik dapat dicapai apabila ke dalam media ditambahkan komponen organik seperti vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh. Beberapa

komponen media yang komposisinya tidak jelas (undifined component) misalnya

juice buah, ekstrak ragi, dan kasein hidrolisa, sering ditambahkan dalam media dan dapat memberikan hasil yang baik (George & Sherrington 1984).

Pemilihan komposisi media tergantung pada jenis tanaman yang dikulturkan (Pierik 1987). Saat ini terdapat banyak formulasi media yang biasa

digunakan untuk kultur in vitro. Beberapa macam media yang banyak digunakan

untuk menunjang perbanyakan tanaman secara in vitro adalah formulasi Murashige dan Skoog (MS), Vasin dan Went, Nitsch dan Nitsch, White dan Knudson C (Gunawan 1988). Sampai saat ini, regenerasi kelapa sawit melalui embriogenesis telah dicapai dengan menggunakan media Murashige dan Skoog (MS) (Tahardi 1988a ; Ginting & Fatmawati 1997; Sumaryono et al. 1994).

Unsur hara anorganik tersebut terdiri atas unsur hara makro yang meliputi N,P,K,Ca,Mg dan S serta unsur mikro yang meliputi Fe, Mn, Zn, B, Cu dan Mo (George & Sherington 1984). Vitamin yang sering digunakan dalam media kultur jaringan adalah tiamin (B1), asam nikotin (niacin) dan piridoksin (B6). Vitamin ini berperan dalam reaksi enzimatik yang penting bagi pertumbuhan jaringan tanaman (George & Sherington 1984). Selain itu penambahan mio-inositol ke dalam media juga diketahui dapat memperbaiki pertumbuhan bahan tanaman yang dikulturkan.

Gula merupakan komponen penting dalam media kultur untuk pertumbuhan dan perkembangan in vitro, sebab gula merupakan sumber energi yang biasa didapat tanaman dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Sukrosa merupakan sumber karbon terbaik diikuti glukosa, maltosa dan rafinosa. Sedangkan fruktosa, galaktosa, manosa dan laktosa kurang efektif digunakan (George & Sherington 1984). Agar sebagai bahan pemadat merupakan polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies alga. Penggunaan agar berfungsi untuk menyangga eksplan


(28)

sehingga kontak antara eksplan dengan media dengan udara terpenuhi (Pierik 1987). Umumnya konsentrasi agar yang ditambahkan dalam media kultur berkisar antara 0.6 - 1 % (Gunawan 1988).

Derajad asam (pH) media merupakan faktor penting yang mempengaruhi fungsi membran sel dan pH sitoplasma. Pengaruh pH juga harus mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kelarutan garam-garam penyusun media. Serapan dari zat pengatur tumbuh oleh eksplan, serta efisiensi pembekuan agar (Gunawan 1988). Sel-sel tanaman biasanya membutuhkan pH sedikit asam yang berkisar antara 5.5 - 5.8 (Gamborg & Shyluk 1981).

Auksin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah IAA (3indoleacetic acid), 3indolebutyric acid (IBA), 1asam naftalenat (NAA) dan 2,4 -asam dikloro penoksiacet (2,4-D) (George & Sherington 1984). Penggunaan bermacam-macam auksin ini sangat tergantung pada tipe pertumbuhan yang dikehendaki, kandungan auksin endogen, kemampuan jaringan mensintesis auksin dan zat pengatur tumbuh lain yang ditambahkan (Davies 1995). Senyawa 2.4-D, 2.4.5 T dan 4-CPA adalah jenis herbisida fenoksi yang dalam konsentrasi rendah berfungsi sebagai auksin (Davies 1995). Auksin yang banyak digunakan untuk induksi kalus adalah 2.4-D, 2.4.5-T dan picloram. Auksin 2,4 D yang paling sering digunakan untuk mendorong pembentukan embrio somatik. Embriogenesis sangat memerlukan zat pengatur tumbuh auksin maupun sitokinin (Wattimena, 1992).

Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang berperan dalam pertumbuhan akar, kalus, penghambatan pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar serta diferensiasi sel (Pierik 1987). Griffith et al. (1993), mengatakan bahwa pada beberapa tanaman, auksin dapat mengendalikan RNA dan sintesis protein dengan cara berperan sebagai pengaktif mRNA (messenger RNA). Dalam sintesis protein, terjadi proses transkripsi mRNA dari DNA template (cetakan) kemudian tRNA menerjemahkan sandi yang dibawa oleh mRNA menjadi asam amino. Sintesis protein terjadi di ribosom dan rRNA (ribosom RNA) berfungsi mengenali mRNA dan tRNA.


(29)

Pengaruh zat pengatur tumbuh dapat merangsang, menghambat atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore 1979). Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan 1988).

Zat pengatur tumbuh 2,4 D pada konsentrasi rendah akan menginduksi terbentuknya kalus, tetapi pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan timbulnya mutasi karena 2,4 D bersifat herbisida dan akan menyebabkan perubahan jaringan tanaman (Goldsworty & Mina 1991). Konsentrasi 2,4 D yang tinggi didalam media dapat meningkatkan jumlah metilasi DNA pada sel tanaman wortel (LoSchiavo et al. 1989). Total persentase residu metilasi sitosin dari sel embriogenik 16 %, embrio somatik preglobular 14% dan embrio somatik dewasa 19%.

Embrio Somatik

Embriogenesis somatik adalah perkembangan embrio dari sel somatik sampai struktrur yang menyerupai embrio zigotik yang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Pierik 1989). Embrio somatik yang dapat berdiferensiasi secara langsung yaitu pembentukan embrio dari sel atau jaringan tanpa melalui pembentukan kalus dan ada yang secara tidak langsung melalui kalus (Williams & Maheswaran 1986). Eksplan yang mengandung sel embriogenik dapat langsung memperbanyak diri dan berkembang menjadi embrio somatik berbentuk globular, hati, torpedo dan kotiledon pada tanaman dikotil (Jurgens et al. 1991). Pada tanaman monokotil tahap perkembangaan embrio somatik melalui fase globular, skutellar berbentuk hati dan kotiledon. Pembentukan embrio somatik pada kelapa sawit dikembangkan melalui embriogenesis somatik dalam kultur cair dengan tujuan otomatisasi dan produksi planlet serta meningkatkan pertumbuhan dan keseragaman kultur (Touchet et al. 1991 ; Duval et al. 1993; Sumaryono et al. 1994; Teixeira et al. 1995; Ginting & Fatmawati 1997; Tahardi 1998a, 1999).


(30)

Regenerasi planlet kelapa sawit dengan teknik kultur jaringan adalah melalui proses embriogenesis somatik tidak langsung (indirect somatic embryogenesis). Dalam proses ini jaringan atau sel pada eksplan mengalami dediferensiasi membentuk kalus yang selanjutnya berdiferensiasi untuk membentuk embrio somatik. Ada dua tipe kalus kelapa sawit, yaitu nodullar compact callus (NCC) dan fast growing callus (FGC). Kedua kalus ini dapat menghasilkan embrio somatik, namun diduga embrio somatik yang berasal dari FGC akan menghasilkan tanaman dengan bunga abnormal (Ginting & Samosir 1996).

Perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan meliputi beberapa tahap, yaitu inisiasi kalus embriogenik (EC), proliferasi dari kalus embriogenik (EG), dan pembentukan tunas dan akar. Inisiasi kalus embriogenik dilakukan dengan suspensi sel yang berlangsung kira-kira 3 bulan, kemudian disubkultur agar terjadi proliferasi dari kalus embriogenik tersebut. Setelah terjadi proliferasi embriogenik, dilanjutkan dengan pembentukan embrioid yang membutuhkan waktu kira-kira dua bulan yang selanjutnya disubkultur pada media padat untuk pembentukan tunas dan perakaran sehingga terbentuk plantlet (Wong et al. 1999).

Untuk menginisiasi kalus embriogenik yang di proliferasi menjadi embrio somatik diperlukan zat pengatur tumbuh 2,4-D. Pemakaian auksin tersebut pada tanaman dikotil harus dalam konsentrasi lebih rendah dari pada tanaman monokotil. Pada tanaman dikotil konsentrasi auksin 2.4-D, 2.4.5-T dan picloram yang digunakan berkisar 4.0 – 14 uM. Pada tanaman monokotil terutama tanaman serelia konsentrasi 2.4-D yang digunakan 9.0 – 45.0 uM (2.0 – 10.0 mg/l), kadang-kadang dibutuhkan sitokinin dalam konsentrasi rendah (Wattimena, 1992), sedangkan pada tanaman kelapa sawit sekitar 10 – 100 mg/l. Pannetier et al., (1991) menyatakan untuk menginduksi kalus yang embriogenik pada tanaman kelapa sawit dibutuhkan konsentrasi 2,4-D 80 - 100 mg/l.

Deambrogio dan Dale (1980) menyatakan konsentrasi 2,4-D yang tinggi sangat terkait dengan peningkatan variabilitas pada tanaman Hordeum vulgare. Shepard (1981) juga melaporkan bahwa penggunaan 2,4-D bersama-sama dengan NAA meningkatkan frekwensi tanaman abnormal pada regeneran


(31)

tanaman kentang. Zat pengatur tumbuh 2,4-D pada konsentrasi rendah akan menginduksi terbentuknya kalus, tetapi pada konsentrasi tinggi sering dianggap sebagai penyebab timbulnya mutasi karena bersifat herbisida dan akan menyebabkan perubahan jaringan tanaman untuk mempertahankan diri dengan mengubah sistem metabolismenya sehingga akan terjadi perubahan genetik atau epigenetik atau hanya perubahan fisiologi saja (Meins & Beinns 1977 ; Suryowinoto 1996). Penggunaan konsentrasi 2,4-D yang tinggi dapat menimbulkan keragaman somaklonal pada klon-klon kelapa sawit hasil kultur jaringan.

Keragaman Somaklonal Hasil Kultur Jaringan

Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin & Scowcroft 1981). Keragaman ini berasal dari keragaman genetik eksplan dan keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan. Dengan demikian perubahan genetik tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa segregasi maupun rekombinasi gen seperti biasa terjadi akibat proses hibridisasi.

Keragaman pada eksplan disebabkan adanya sel-sel bermutasi maupun adanya polisomik dari jaringan tertentu (Wattimena 1992). Keragaman somaklonal tidak muncul sebagai fenomena yang sederhana, dan mungkin merefleksikan perbedaan-perbedaan "pre-existing cellular genetic" atau keragaman yang di iduksi oleh kultur jaringan (Thorpe 1990). Keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah kromosom (fusi, endomitosis), perubahan struktur kromosom, perubahan gen dan perubahan sitoplasma (Griffith et al. 1993; Kumar 1995). Menurut van Harten (1998) keragaman somaklonal kemungkinan disebabkan oleh ketidakaturan mitotik yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom dan amplifikasi atau delesi gen.

Melalui teknik kultur jaringan ini terdapat dua hal yang berbeda kepentingannya bagi pemuliaan tanaman yaitu mempertahankan kestabilan genetik atau merangsang keragaman genetik. Kestabilan genetik dapat dicapai dengan mendorong sesingkat mungkin fase pertumbuhan yang tidak


(32)

berdiferensiasi, sedangkan keragaman genetik dapat dicapai dengan fase tidak berdiferensiasi yang relatif panjang (Wattimena & Mattjik 1992).

Keragaman somaklonal pada dasarnya terjadi akibat peristiwa mutasi, yaitu perubahan suatu karakter yang diwariskan yang disebabkan oleh berubahnya pembawa sifat menurun (inherited trait) baik pada tingkat morfologi, sitologi (jumlah dan struktur kromosom), sitokimia (ukuran genom), biokimia (protein dan isoenzim), dan tingkat molekuler (genom) (Rani & Raina 2000; D'Amato 1986). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keragaman somaklonal adalah : (1) genotipa, (2) lingkungan kultur, (3) sumber eksplan, dan (4) lama fase kalus, (5) lama durasi kultur (Evans et al. 1986; Koornneef 1991 ; Ignacimuthu 1997).

Pada tanaman yang berasal dari kultur jaringan dapat timbul keragaman yang disebabkan perubahan genetik atau epigenetik (faktor genetik tidak berubah tetapi ekspresi berubah). Keragaman somaklonal pada klon-klon kelapa sawit yang terjadi pada hasil kultur jaringan kelapa sawit yang muncul antara lain berupa keragaman bentuk buah yang abnormal (mantel) dan rasio bunga jantan/ betina yang meningkat sehingga menyebabkan penurunan produksi minyak. Muluk (1990) mengamati sifat pembungaan dari beberapa klon kelapa sawit hasil kultur jaringan yaitu terjadi bentuk bunga hermaprodit dan buah mantel yang banyak. Mantel diduga disebabkan oleh epigenetik yaitu hipometilasi.

Keragaman somaklonal tanaman diduga berhubungan erat dengan perubahan pola metilasi DNA selama dalam kultur (Phillips et al. 1990). Hasil penelitian Jaligot et al. (2000) dan Matthes et al. (2001) menunjukkan adanya korelasi yang nyata antara hipometilasi DNA dengan keragaman somaklonal pembungaan mantel pada bibit kelapa sawit hasil kultur jaringan.

Abnormalitas Tanaman Kelapa Sawit Hasil Kultur Jaringan

Abnormalitas pada pembungaan kelapa sawit asal kultur jaringan disebabkan oleh keragaman somaklonal atau epigenetik. Meins dan Binns (1977) mengemukakan dua hipotesis mengenai variasi somaklonal yang menyebabkan gejala abnormalitas pada tingkat sel berkaitan dengan sumber jaringan tanaman yang digunakan sebagai eksplan, yaitu karena adanya sel yang berbeda dalam


(33)

merespon kondisi kultur dan adanya proliferasi dari klon yang bersifat chimera. Pembentukan tumor pada suatu jaringan akibat pelukaan dapat meyebabkan terjadinya epigenetic cellular sehingga perubahan hanya bersifat seluler saja tidak seluruh bagian tanaman.

Abnormalitas pembungaan pada tanaman kelapa sawit asal kultur jaringan dikenal dengan istilah mantel, hal ini berkaitan dengan lamanya waktu subkultur (Corley et al, 1986). Menurut Paranjothy et al. (1993) menyatakan abnormalitas yang terjadi berhubungan erat dengan frekuensi subkultur yang kontinyu dan umur kalus. Semakin sering frekuensi sub-kultur, semakin besar kemungkinan terjadinya abnormalitas.

Abnormalitas pembungaan terjadi pada rata-rata 5 - 10 % dari populasi bibit asal kultur jaringan (Jaligot et al. 2000), bahkan dapat mencapai 40 % (Subronto et al. 1995) bergantung pada klon tanaman. Masing-masing tanaman dapat menunjukkan keragaman abnormalitas pembungaan dan kadangkala terjadi pemulihan ke fenotipe normal seiring dengan waktu, karena kelainan ini bersifat epigenetik (Tregear et al. 2002). Perubahan ekspresi gen ini mungkin disebabkan oleh fitohormon (Jones 1991; Paranjothy et al. 1993), struktur kalus (Pannetier et al. 1981; Duran-Grasselin et al. 1993), lama subkultur dan umur kalus (Paranjothy et al. 1993), tekanan seleksi, jenis eksplan, tingkat ploidi dan kecepatan proliferasi kalus (Skirvin et al. 1984 ; Karp 1995).

Metilasi DNA pada Tanaman Hasil Kultur Jaringan

Metilasi adalah penambahan kelompok metil ke nukleotida DNA dan asam amino pada protein. Metilasi DNA pada tanaman diimplikasikan pada pengaturan ekspresi gen (Antequera & Bird 1988) yaitu berpengaruh langsung terhadap transkripsi DNA atau tidak langsung melalui perubahan struktur kromatin (Adams 1990; Razin & Cedar 1991). Bentuk metilasi yang umum adalah metilasi pada basa sitosin yang dikatalisis oleh enzim metiltransferase dengan menambahkan kelompok metil kebasa sitosin (Martienssen & Colot 2001).

Kalisz dan Purugganan (2004) bahwa dua tipe utama metilasi yang dihubungkan dengan perubahan epigenetik adalah metilasi DNA dan metilasi Histon. Keterlibatan metilasi dalam kontrol ekspresi gen pada eukariot didasarkan


(34)

dengan metilasi tinggi maka ekspresi gen rendah atau sebaliknya dan adanya pola metilasi jaringan spesifik pada beberapa kasus (Gardner et al. 1991). Muncul beberapa pendapat bahwa regulasi ekspresi gen terjadi melalui perubahan struktur kromatin lokal (Davey et al. 1997). Metilasi dan demetilasi sitosin pada daerah promotor merupakan mekanisme yang penting meregulasi ekspresi gen pada sel dan jaringan spesifik (Boyes & Bird 1991; Renkens et al. 1992).

Fraga dan Esteller (2002) menyatakan bahwa metilasi sitosin pada posisi 5 dari cincin pirimidin merupakan epigenetik yang sangat penting pada tanaman, metil sitosin umumnya ditemukan pada sitosin yang terikat pada basa guanin dengan sekuens trinukleotida (CpNpG). Ehrlich dan Ehrlich (1998)

mengemukakan bahwa adanya 5 metilsitosin pada promoter gen spesifik akan mengubah pelekatan faktor transkripsional dan protein lainnya pada DNA. Di samping itu dapat juga terjadi penarikan metil-DNA-binding protein dan histon deasetilase yang akan mengubah struktur kromatin di sekitar daerah awal trasnkripsi pada gen. Kedua mekanisme tersebut menghambat transkripsi dan menyebabkan gen.

Pada tanaman tingkat tinggi 5m-C ditemukan pada beberapa sekuens genom nuklear yang lebih sering pada dinukleotida CG dan trinukleotida CNG. Metilasi sitosin pada nukleotida CG dan CNG ditemukan sepanjang kromosom dan bertindak meregulasi ekspresi gen yang terjadi pada level gen atau secara regional yang mempengaruhi daerah kromosom. Fungsi metilasi regional untuk menginaktifkan heterokromatin dan elemen pada atau dekat heterokromatin menyebabkan frekuensi metilasi pada daerah heterokromatin lebih besar (Bird, 1986). Struktur heterokromatin memperlambat transkripsi sedangkan struktur eukromatin mengaktivasi ekspresi gen (Richards & Elgin 2002).

Kelapa sawit yang berasal dari kultur jaringan mengalami abnormalitas pada bunga dan buah. Abnormalitas bunga meliputi bunga jantan tidak menghasilkan serbuk sari dan atau serbuk sarinya steril serta terjadi feminisasi organ jantan (Corley et al. 1986). Abnormalitas ini dapat disebabkan keragaman somaklonal pada masa kultur. Keragaman somaklonal diduga berhubungan erat dengan perubahan pola metilasi DNA selama dalam kultur (Phillips et al. 1990). Hasil penelitian Jaligot et al. (2000) dan Matthes et al. (2001) menemukan adanya


(35)

korelasi yang nyata antara hipometilasi dengan keragaman somaklonal pembungaan mantlet pada bibit kelapa sawit asal kultur jaringan. Demetilasi terjadi selama kondisi kultur jaringan menunjukkan bahwa gen-gen dapat diaktifkan melalui proses kultur jaringan (Finnegan et al. 1998).

Menurut Kakutani et al. (1996) hipometilasi DNA yang terjadi dapat meningkatkan laju mutasi disebabkan terjadinya peningkatan transposisi elemen atau peningkatan laju rekombinasi yang dimediasi pengaturan genom kembali dan mengakibatkan tanaman arabidopsis menderita cacat atau penyimpangan lain. Kaeppler (1992) mengemukakan terjadinya hipometilasi DNA memiliki frekuensi yang sangat tinggi pada kultur jaringan. Akan tetapi pada kultur jaringan tidak selalu terjadi penurunan metilasi siotosin. Menurut Smulders et al. (1995) mendeteksi terjadi peningkatan metilasi pada kalus tomat dibandingkan dengan daun induk, sama halnya terjadi pada kacang hasil turunan dari kultur jaringan menunjukkan terjadi proses hipermetilasi (Cecchini et al. 1992), perubahan metilasi DNA pada tanaman kultur jaringan kentang (Hardining 1994), pisang (peraza-Echeverria et al. 2001).

Tanaman dengan penurunan metilasi sitosin memperlihatkan sejumlah fenotip dan perkembangan abnormal meliputi menurun dominasi apikal, ukuran tanaman lebih kecil, ukuran dan bentuk daun berubah, fertilisasi menurun dan waktu pembungaan berubah (Finnegan et al. 1996). Woffe et al. (1999) metilasi pada C dalam DNA genomik memainkan peran kunci dalam regulasi ekspresi gen. Sebagian besar hipotesis mengatakan bahwa pola metilasi yang terbentuk selama perkembangan mengalami demetilasi pada jaringan spesifik dimana kelompok metil dilepaskan dari tempat kritis dari suatu gen yang telah dijadwalkan terekspresi pada tipe sel tertentu.

Analisis Genotipik Embrio Somatik dengan Marka Molekuler

Potensi penggunaan marka sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik dalam program pemuliaan telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Marka dapat dikategorikan sebagai marka morfologi, sitologi dan yang terbaru adalah marka molekuler (Sessions 1996). Saat ini, kemajuan dalam biologi berkembang sangat cepat dan pesat. Biologi molekuler merupakan salah satu


(36)

cabang ilmu yang mempelajari organisme ditingkat DNA. Teknik ini sangat membantu dalam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat. Untuk mendapatkan informasi genetik dapat dilakukan dengan menggunakan

marka molekuler, seperti isozim, RFLP, RAPD, SSR, AFLP (Powell et al. 1996;

Vos et al. 1995 ; Karp et al. 1995), DAF dan RAF (Waldron et al. 2002).

Marka RAPD yang dikembangkan oleh William et al. (1990) dihasilkan

melalui amplifikasi DNA secara in vitro dengan menggunakan teknik PCR. PCR

yang ditemukan Mullis (1980) berkembang sangat cepat sebagai teknik dalam biologi molekuler. RAPD-PCR adalah metode sintesis DNA secara in vitro atau teknik memperbanyak molekul DNA dengan menggunakan sekuen acak primer oligonukleotida (10 basa primer) dan DNA polymerase tahan panas yang dapat mempertahankan aktivitas sampai suhu 94 oC. Prosedur dalam teknik PCR terdiri

dari proses : (1) denaturasi yaitu DNA cetakan menjadi DNA utas tunggal dengan suhu sekitar 94oC, (2) penempelan primer ke ujung utas DNA dengan suhu sekitar

55oC, dan (3) pemanjangan DNA atau amplifikasi DNA yang dimulai dari primer

diujung 5’ ke ujung 3’ dengan suhu sekitar 72oC.

PCR membutuhkan DNA polymerase, dNTPs, DNA cetakan, primer dan

buffer reaksi. DNA polymerase yang digunakan Taq polimerase yang diperoleh

dari bakteri yang tahan suhu tinggi yaitu Thermus aquaticus. DNA cetakan, diperoleh dari hasil isolasi DNA yang akan diamplifikasi. Primer, merupakan beberapa nukleotida yang berfungsi sebagai inisiasi proses sintesis DNA. Dalam PCR dibutuhkan 2 primer yaitu leftprimer (forward) dan right primer (reverse), sedangkan apabila menggunakan satu primer, teknik ini disebut RAPD-PCR (Hoy 1994). Hallden et al. (1996) menyatakan reaksi PCR sangat dipengaruhi oleh komponen reaksi (MgCl2, buffer, enzim, DNA cetakan, primer, nukleotida dan

H2O), suhu denaturasi, suhu penempelan primer pada DNA cetakan, suhu

pemanjangan, jumlah siklus serta keutuhan dan kemurnian DNA cetakan.

Teknik RAPD lebih sederhana dibandingkan dengan marka RFLP yaitu (1) DNA tidak dipotong dengan enzim restriksi, (2) contoh DNA yang diperlukan relatif sedkit, (3) tidak memerlukan prosedur penanda, (4) tidak memerlukan hibridisasi DNA, dan (5) tidak memerlukan pemindahan DNA ke membran nilon (Nair, 1993). Penanda RAPD juga dapat memberikan efisiensi pengujian untuk


(37)

polimorfisme, yang dapat mempercepat identifikasi dan isolasi fragmen DNA yang spesifik (Williams et al. 1990)

Toruan-Mathius dan Hutabarat (1997) menyatakan analisis DNA dapat mengevaluasi klon, varietas atau hibrida dan kestabilan genetik. Rongwen et al. (1995); Akagi et al. (1996) dan Ayeres et al. (1997) menyatakan bahwa amplifikasi penanda molekuler telah berkembang dan ditujukan untuk mengatasi masalah, melengkapi atau menguatkan penanda lainnya misalnya penanda morfologi, sitologi, histologi, isoenzim dan biokimia. Analisis RAPD mempunyai keterbatasan, yaitu sangat sensitif terhadap kondisi reaksi dan profil suhu. Selain itu, penanda RAPD tidak dapat membedakan individu homozigot dominan dan heterozigot karena keduanya sama-sama menghasilkan pita DNA pada pola pita yang dihasilkan (Ronning et al. 1995). Analisis DNA dengan RAPD dapat digunakan untuk penciri gen atau kromosom dan sidik jari genom dan juga dapat digunakan untuk membuat peta genom (Miklas et al. 1996).

Abnormalitas pada kelapa sawit dapat terjadi akibat perubahan oligonukleotida atau metilasi DNA. Metilasi adalah suatu proses epigenetik yang

mempengaruhi ekspresi DNA tanpa merubah sekuens DNA. Jaligot et al. (2000)

menduga bahwa keragaman somaklonal pada tanaman kelapa sawit disebabkan oleh terjadinya perubahan pola metilasi DNA. Methylation-Sensitive Amplified Polymorphism merupakan suatu teknik baru mengenai DNA finger printing yang didasarkan pada fragmen PCR yang selektif dari sebuah total genom. Teknik MSAP menggunakan primer semi-arbitrary untuk melakukan annealing lebih spesifik pada fragmen DNA hasil restriksi dari suatu total genom DNA. Sebelum amplifikasi PCR, DNA genom mengalami pemotongan dengan dua enzim restriksi HpaII dan MspI sehingga dihasilkan potongan fragmen yang digunakan sebagai DNA cetakan dalam PCR untuk proses amplifikasi (Xiong at al. 2000).

Isozomer HpaII dan MspI digunakan menggantikan MseI sebagai enzim restriksi. Teknik Methylation-Sensitive Amplified Polymorphism merupakan teknik AFLP standar (Vos et al. 1995) dimodifikasi untuk mengkorporasi penggunaan enzim restriksi sensitif terhadap metilasi (Portis et al. 2004). Teknik Methylation-Sensitive Amplified Polymorphism merupakan metode yang


(38)

digunakan untuk tujuan deteksi abnormalitas pada variasi somaklonal hasil kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit (Matthes et al. 2000).

Polimorfisme DNA yang diidentifikasi melalui MSAP memiliki pola yang mengikuti model pewarisan segregasi Mendel sehingga hal ini bermanfaat untuk typing dan identifikasi pertautan penanda molekuler untuk lokus yang bertanggung jawab pada suatu karakter tertentu, misalnya perubahan pola metilasi DNA yang menyebabkan tanaman abnormalitas hasil kultur jaringan (Portis et al. 2004 ; Joligot et al. 2000).

Di samping itu dapat juga digunakan teknik RAF- sensitif metilasi untuk deteksi situs terjadinya metilasi sitosin pada DNA genom. Teknik RAF–sensitif metilasi adalah modifikasi dari metode Waldron et al.(2002). Teknik RAF-sensitif yaitu teknik yang mengkombinasikan antara teknik RFLP dan DAF. Pada teknik RAF, pada tahap awal dilakukan teknik (RLFP) yaitu DNA genom dipotong enzim restriksi yaitu MspI ataua Hpa II. Tahap kedua, DNA yang telah terpotong diamplifikasi dengan teknik DAF yang dimodifikasi yang disebut RAF–sensitif

metilasi. Menurut Lewin (1997) enzim HpaII memotong sekuen CCGG tetapi

jika C keduanya mengalami metilasi sekuen tersebut tidak terpotong. MspI tidak memotong bila C eksternal termetilasi (mCCGG) tetapi akan memotong bila

sitosin internal termetilasi (CmCGG) (McClelland et al. 1994). Matthes et al.

(2001) membuktikan penurunan metilasi diperoleh pada situs CCGG.

Teknik RAF lebih efisien, tegas dan sensitif serta memiliki beberapa keunggulan, yaitu tidak membutuhkan kemurnian DNA template yang tinggi, tahapan relatif lebih sederhana dan deteksi dilakukan menggunaan primer bertanda dengan radioaktif atau fluoresens. Kunci teknik RAF adalah : (1) memiliki primer oligonukleotida 10-mer dengan konsentrasi yang tinggi, suhu penempelan (annealing) yang tinggi pada 53 – 59 oC dan menggunakan fragmen

DNA polymerase Soffel; (2) primer dilabel dengan radioaktif atau fluoresens; (3) pemisahan fragmen dan deteksi hasil amplifikasi dengan sekuensing gel poliakrilamid atau mesin DNA sekuensing (Waldron et al. 2002).

Berbagai analisis digunakan untuk mengungkapkan kejadian abnormalitas bunga dan buah kelapa sawit yang berasal dari kultur jaringan. Studi ploidi (Rival et al. 1997) dan transposon (Kubis et al. 2003) menunjukkan bahwa tidak ada


(39)

hubungan abnormalitas buah bersayap dengan perbedaan ploidi dan aktivitas transposon tetapi berhubungan dengan perubahan pola metilasi. Penelitian mengenai metilasi DNA dapat didekati melalui beberapa cara dan teknik untuk mengetahui keberadaan dan daerah lokasi terjadinya metilsitosin dalam genom (Grigg & Clark 1994; Rein et al. 1998; Saluz & Jost 1993). Sedang tingkat metilsitosin dalam DNA genomik dapat diukur dengan Reverese Phase High Performance Liquid Chromatography (RP-HPLC) atau dengan sistem enzim maupun kimiawi (Fraga et al. 2000). Matthes et al. (2001) membuktikan penurunan metilasi diperoleh pada situs CCGG.

Pengukuran jumlah sitosin yang termetilasi pada tingkat genom dapat dilakukan dengan teknik RP-HPLC. Menurut Bellucci et al. (2002) metode deteksi terjadinya metilasi yaitu dengan analisis DNA melalui biokimia seperti HPLC yaitu untuk mengetahui persentase nukleotida yang termetilasi. Kubis et al. (2003) membuktikan bahwa RP-HPLC mampu mengidentifikasi tiap nukleotida termasuk metilsitosin dan sitosin dari DNA tanaman normal dan abnormal.


(40)

BAB 3

KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN HISTOLOGI ABNORMALITAS EMBRIO SOMATIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)

ABSTRAK

Pembentukan planlet dalam kultur jaringan kelapa sawit terjadi melalui kalus yang berkembang secara embriogenesis somatik. Proses perkembangan embrio somatik (ES) dalam medium dapat menimbulkan abnormalitas khususnya organ reproduktif pada tanaman dewasa. Abnormalitas pada fase ES belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi abnormalitas ES dari beberapa fase perkembangan secara morfologi dan histologi. Bahan tanam yang digunakan adalah kalus embrioid klon MK558, MK 636, dan MK638. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perkembangan morfologi ES terdiri dari fase globular, skutelar berbentuk hati, dan kotiledon. Tampak adanya keragaman morfologi yang menunjukkan adanya penyimpangan atau abnormalitas dalam setiap fase perkembangan ES. ES fase globular, yang normal berbentuk bulat dan bipolar, sedangkan yang abnormal berbentuk oval dan kehilangan sifat polaritasnya. ES fase skutelar berbentuk hati, yang normal tampak memiliki polarisasi yang simetri, sedangkan yang abnormal memiliki bidang polarisasi yang tidak simetri. ES fase kotiledon, yang normal memiliki satu kotiledon, sedangkan yang abnormal memiliki lebih dari satu kotiledon. Histologi ES fase globular, skutelar berbentuk hati, dan kotiledon masing-masing memiliki sel meristematik, jaringan prokambial dan protoderm. Tidak tampak adanya perbedaan histologi yang jelas antar ES fase globular yang normal dengan yang abnormal. ES fase skutelar berbentuk hati dan ES fase kotiledon yang normal, masing-masing memiliki jaringan prokambial tunggal yang tidak bercabang. Sedang protodermnya memiliki lapisan sel yang tersusun secara teratur. Histologi penampang melintang ES skutelar berbentuk hati yang abnormal menunjukkan adanya jaringan prokambial yang menyebar, sedang lapisan protoderm tidak terlihat jelas. Hal ini disebabkan terjadinya de-differensiasi sel yang sangat aktif.

---Kata kunci :Elaeis guineensis, embrio somatik,embrio somatik - normal, embrio somatik – abnormal, morfologi-embrio somatik, histologi -embrio somatik.

PENDAHULUAN

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman monoecious dan tidak dapat diperbanyak secara vegetatif dengan metode konvensional. Embriogenesis somatik digunakan sebagai alat untuk perbanyakan vegetatif. Perkembangan embrio somatik yang tidak seragam, perkecambahan yang rendah dan pembentukan planlet yang tidak efisien merupakan kendala utama untuk


(41)

penerapan embriogenesis somatik dalam perbanyakan massal tanaman unggul Tahardi et al 2003). Teknik kultur jaringan kelapa sawit pada saat ini lebih banyak dikembangkan melalui embriogenesis somatik dalam kultur cair dengan tujuan otomatisasi dan produksi embrio somatik serta meningkatkan pertumbuhan dan keseragaman kultur (Touchet et al. 1991 ; Duval et al. 1993; Sumaryono et al. 1994; Teixeira et al. 1995; Ginting & Fatmawati 1997; Tahardi 1998a, 1999).

Embriogenesis somatik adalah perkembangan embrio dari sel somatik sampai struktur yang menyerupai embrio zigotik yang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Pierik 1987). Embrio somatik dapat berdiferensiasi secara langsung adalah pembentukan embrio dari sel atau jaringan tanpa melalui pembentukan kalus (Williams & Maheswaran 1986). Eksplan yang mengandung sel embriogenik dapat langsung memperbanyak diri dan berkembang menjadi embrio somatik berbentuk globular, hati, torpedo dan kotiledon (Jurgens et al. 1991).

Auksin 2,4 D lebih efektif dibandingkan dengan auksin yang lain untuk meningkatkan perkembangan dan proliferasi kultur embriogenik. 2,4-D mendorong pertumbuhan embrio somatik dari embriogenesis. Kultur embriogenesis dipindahkan ke medium 2,4 D yang lebih rendah. Dengan 2,4 D yang lebih rendah sehingga memblok ekspresi gen-gen yang dibutuhkan untuk perubahan bentuk ketahap hati (Zimmerman 1993). Kebutuhan 2,4 D atau zat pengatur tumbuh lain untuk inisiasi embriogenesis somatik sangat besar ditentukan oleh tahap perkembangan dari jaringan eksplan. Kalus embrio somatik umumnya dibentuk pada medium yang mengandung auksin. Salah satu mekanisme, auksin dapat mengatur embriogenesis melalui asidifikasi pada sitoplasma dan /atau dinding sel (Kutschera 1994).

Ada dua mekanisme yang penting dalam pembentukan sel embriogenesis yaitu, pembelahan sel asimetrik dan pemanjangan sel kontrol (de Jong et al. 1993). Pembelahan sel asimetrik berkembang oleh zat pengatur tumbuh yang mengubah polaritas sel melalui interfensi dengan gradien pH disekitar sel (Smith & Krikorian 1990). Auksin mempunyai dua peranan dalam perkembangan tanaman. Auksin berperanan dalam pemanjangan sel pada jaringan tanaman seperti pada koleoptil jagung atau internode kacang dan berperanan juga dalam


(42)

pembelahan, diferensiasi , morpogenesis sel. Menurut Reinert (1958) melaporkan bahwa auksin berperanan penting dalam regenerasi dinding sel pada beberapa spesies tanaman seperti dalam embriogenik wortel. Auksin dapat mengendalikan RNA dan sintesis protein dengan cara berperan sebagai pengaktif mRNA ( Griffith et al. 1993).

Zat pengatur tumbuh 2,4-D dengan konsentrasi rendah akan menginduksi terbentuknya kalus, namun pada konsentrasi tinggi akan menyebabkan timbulnya mutasi karena 2,4-D bersifat herbisida pada tanaman dikotil dan akan menyebabkan perubahan jaringan tanaman (Goldsworty & Mina 1991). Embrio somatik yang dihasilkan melalui kultur jaringan menunjukkan keragaman somaklonal yang tinggi. Keragaman somaklonal ditunjukkan pada abnormalitas secara sitologi dan mutasi fenotip secara kualitatif dan kuantitatif, perubahan kariotipe dan perubahan sekuens DNA (Duncan 1997). Keragaman somaklonal disebabkan oleh proses kultur jaringan yang diinduksi oleh pemberian 2,4-D dengan konsentrasi tinggi (Deambrogio & Dale 1980).

Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang dihasilkan melalui kultur jaringan (Larkin & Scowcroft 1981). Keragaman genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah set kromosom (fusi, endomitosis), endoreduplikasi, perubahan jumlah kromosom (lagging, non disjunction), perubahan struktur kromosom, perubahan gen dan perubahan sitoplasma (Griffith et al. 1993; Kumar 1995).

Menurut van Harten (1998) variasi somaklonal kemungkinan disebabkan oleh ketidakaturan mitotik yang berperan dalam terjadinya ketidakstabilan kromosom dan amplifikasi atau delesi gen. Keunggulan teknik kultur jaringan adalah mampu menghasilkan bibit secara massal dalam waktu yang relative singkat, seragam, memiliki sifat identik dengan induknya, masa non produktif lebih singkat dan produktivitasnya lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan menentukan secara morfologi dan histologi abnormalitas pada embrio somatik dari beberapa perkembangan embrio.

Tujuan penelitian ini adalah untuk karakterisasi secara morfologi dan histologi abnormalitas pada setiap fase perkembangan embrio somatik (ES) beberapa klon kelapa sawit.


(43)

BAHAN DAN METODE Bahan

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Anatomi Institut Pertanian Bogor, di mulai bulan September 2005 sampai Januari 2006. Bahan tanaman yang digunakan adalah kalus embrio somatik (ES) Tenera unggul hasil seleksi (ortet terpilih) klon MK638, MK636 dan MK558 dari Balai Penelitian Marihat.

Metode

Penelitian terdiri atas dua percobaan, yaitu karakterisasi morfologi dan histologi ES dari berbagai fase perkembangan.

A. Karakterisasi Morfologi Embrio Somatik

Karakterisasi morfologi ES normal atau abnormal dilakukan berdasarkan bentuk dan bidang polaritas, bidang pembelahan sel asimetri atau simetri, dan jumlah kotiledon. Morfologi masing masing fase perkembangan embrio didokumentasi menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 40x (stereomicroscope Technical, Japan).

B. Karakterisasi Histologi Embrio Somatik

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah ES normal dan abnormal yang telah dikarakterisasi pada percobaan (A). Teknik preparasi contoh dilakukan dalam bentuk sediaan anatomi berdasarkan metode Nakamura (1995).

Pematian dan Fiksasi

Pematian dilakukan dengan cara contoh di rendam dalam larutan Formalin 40%, Alkohol 70 %, Asam asetat glasial dengan perbandingan 1 : 8 : 1 (FAA) dengan komposisi 10 ml formalin, 80 ml alkohol, dan 10 ml asam asetat dalam setiap 100 ml larutan dan direndam minimal selama 24 jam. Tujuan perendaman dalam FAA adalah untuk mematikan sel contoh secara cepat akan tetapi seolah-olah contoh seperti kondisi masih segar (masih hidup).


(44)

Dehidrasi

Tujuan dehidrasi untuk menghilangkan air dari jaringan pada contoh untuk memungkinkan parafin menyerap masuk ke dalam jaringan tanaman. Dehidrasi dilakukan dengan merendam contoh secara bertahap melalui seri alkohol bertingkat yaitu 0%, 15%, 20%, 25% dan 30%, yang masing-masing selama 1 jam .

Praparafinasi

Praparafinasi bertujuan untuk menghilangkan alkohol dari jaringan agar dapat dimasuki larutan parafin. Contoh dimasukan ke dalam campuran alkohol 100 % dan xilol dengan perbandingan 4 : 0 ; 3 : 1 ; 2 : 2 ; 1 : 3 dan 0 : 4 (vol/vol) secara berturut-turut masing-masing dilakukan tiga kali selama 5 menit.

Parafinasi

Parafinasi adalah memasukan parafin ke dalam rongga-rongga yang kosong dalam jaringan agar tidak terjadi kerusakan sampel pada saat penyayatan. Bahan yang digunakan adalah xilol dan parafin yang sudah dicairkan dengan perbandingan 3 : 1 ; 2 : 2 ; 1 : 3 ; 1 : 3 (vol/vol); berturut-turut sebanyak tiga kali selama 5 menit dan 0 : 4 (vol/vol) selama 24 jam. Proses ini dilakukan dalam tabung gelas di dalam oven pada suhu 55oC. Setelah kegiatan tersebut selesai,

semua parafin dibuang dan digantikan dengan parafin murni pada suhu 60°C. Perendaman dengan parafin murni ini dilakukan minimal selama satu hari.

Penanaman dalam Balok Parafin (Embedding)

Embedding adalah penanaman contoh yang sudah diproses sebelumnya ke dalam balok parafin untuk memudahkan penyayatan. Penanaman dilakukan pada kotak dari cetakan besi. Sebelum parafin membeku contoh yang sudah difiksasi dimasukkan ke dalam cetakan dengan menggunakan pinset. Setelah parafin mengeras, contoh di keluarkan dari cetakannya. Sebelum penyayatan, balok parafin dibentuk sesuai dengan kemampuan/kondisi mikrotom yang digunakan agar potongan yang terbentuk lurus, dan tidak pecah.


(45)

Penyayatan

Balok parafin yang sudah di masukkan contoh kemudian dipasang pada pemegang yang terdapat pada mesin mikrotom putar (rotary microtome). Pemegang dapat diatur dengan sekrup sedemikian rupa sehingga ketebalan sayatan sesuai dengan yang dikehendaki dan sisi horisontal dari permukaan parafin dibuat sejajar dengar pisau penyayat. Sayatan yang baik apabila membentuk pita tipis yang lurus dan tidak terputus-putus.

Penempelan sayatan pada obyek gelas

Sayatan yang baik ditempelkan pada gelas obyek dengan menggunakan zat perekat putih telur Meyer (zat putih telur ditambah air dan gliserin dalam volume yang sama dan kristal thinol). Setelah penempelan dilakukan, obyek gelas diletakkan pada alat pemanas dengan suhu 40oC (hangat kuku) agar

sayatan melekat dengan baik, dan sebagian parafin yang mengisi jaringan akan mencair untuk mempercepat proses penjernihan.

Penjernihan

Penjernihan tujuannya untuk menghilangkan parafin dari jaringan, dengan memasukkan sediaan ke dalam xilol, xilol - alkohol, alkohol - air (hidrasi), dengan perbandingan 100% xilol, 1:1 xilol-alkohol, dan alkohol secara bertahap 100%, 95%, 70%, 50%, 30% dan akuades selama 3 menit.

Pewarnaan

Pewarnaan tujuannya agar bagian-bagian tertentu dari sel dan jaringan menjadi lebih jelas, sehingga mudah diamati. Tahapan pewarnaan meliputi contoh yang sudah jernih di masukkan ke dalam larutan pewarna Safranin 0,2% selama 4 hari. Selanjutnya contoh dicuci kembali dengan akuades diikuti dengan alkohol secara bertahap yaitu 30%, 50%, 70%, 95% dan 100% serta 100 % xilol sebanyak dua kali. Pencucian terakhir adalah dengan cara merendam contoh dalam alkohol dan xilol, masing-masing 3 menit dan 5 menit.

Pengamatan dan pemotretan dilakukan menggunakan mikroskop setelah pewarnaan jaringan dan mendapatkan perlakuan pengeringan. Karakterisasi histologi embrio somatik kelapa sawit normal dan abnormal meliputi : ada


(1)

bersambung ... lampiran 4. sambungan

Gambar 4.7 Profil RP-HPLC dari DNA genom daun planlet klon 558


(2)

bersambung ... lampiran 4. sambungan

Gambar 4.9 Profil RP-HPLC dari DNA genom kotiledon normal klon 638


(3)

bersambung ... lampiran 4. sambungan

Gambar 4.11 Profil RP-HPLC dari DNA genom globular normal klon 638


(4)

bersambung ... lampiran 4. sambungan ...


(5)

Lampiran 5. Tabel Susunan Sekuens Primer

No. Primer Oligonukleotida

5’---3’ 1 2 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. OPB-06 OPC-02 OPC-08 OPC-09 OPE-14 SC-10-19 SC 10-76 AE-11 AP-20 W-15

5’- TGCTCTGCCC- 3’ 5’- GTGAGGCCTC- 3’ 5’- TGGACCGGTG-3’ 5’- CTCACCGTCC-3’ 5’- TGCGGCTGAG-3’ 5’- CGTCCGTCAG-3’ 5’-CGCAGACTTG-3’ 5’-AAGACCGGGA3’ 5’-CCCGGATACA-3’ 5’-ACACCGGAAC-3’

Lampiran 6.1 Hasil Analisis RAF Penyimpangan Genetik dengan NTSYS

RAF Klon 638

Coefficient

0.29 0.47 0.65 0.82 1.00

2K+ 2G+ 2G- 2D 2K- DN


(6)

Lampiran 6.2 Hasil Analisis RAPD Penyimpangan Genetik dengan NTSYS

RAPD KLON 558

Coefficient

0.52 0.64 0.76 0.88 1.00

G+ G- K- D K+ DN

RAPD KLON 638

Coefficient

0.53 0.61 0.70 0.79 0.88

G+ G- D K+ K- DN