2 Pasal 263 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga tidak mungkin dimanfaatkan bagi terpidana atau ahli warisnya, sebab cenderung
akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis apabila Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk peninjauan kembali melalui Pasal ini. Pernah
diatur dalam Reglemen op de Rechtvordering Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1980, bahwa Jaksa Agung dapat mengajukan peninjauan kembali.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, bahwa permohonan upaya hukum peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa
dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat peradilan dibebankan kepada terdakwa.
2. Dasar Pendapat Ahli
Upaya hukum peninjauan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh terdakwa Joko Soegiarto Tjandra yang
dikabulkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusannya nomor 12 PKPid.Sus2009 menimbulkan banyak kontroversi dikalangan ahli hukum di
Indonesia. Para ahli hukum sebagaian tidak sependapat apabila Mahkamah Agung mengabulkan peninjauan kembali yang permohonannya diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum, mereka berpendapat bahwa apa yang diputuskan oleh Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 263 ayat 1 secara tegas disebutkan bahwa yang
berhak mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana dan ahli warisnya. Mereka berargumen bahwa pasal ini bersifat limitatif, artinya pihak-pihak
diluar yang disebutkan Pasal itu termasuk Jaksa Penuntut Umum tidak dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, diantara yang berpendapat seperti
ini adalah Rusli Muhammad, dia menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pihak-pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali hanyalah terpidana atau ahli warisnya, sedangkan Jaksa
Penuntut Umum atau pihak yang berkepentingan tidak termasuk dalam pihak yang dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung,
37
pendapat ini seolah menguatkan pendapat Martiman Prodjohamidjojo yang berpendapat bahwa Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
membuka kemungkinan bagi terpidana atau ahli warisnya mengajukan upaya peninjauan kembali terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
kepada Mahkamah Agung.
38
Kedua pendapat para ahli tersebut, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum tidaklah bertentangan dengan ketentuan perundang- undangan. Pendapat ini menggunakan argumentasi sebagai berikut:
a. Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak ada aturan yang melarang bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak diperbolehkan untuk
mengajukan peninjauan kembali, sehingga putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum
tidak bertentangan dengan aturan manapun yang ada, bahkan Mahkamah Agung berhak untuk menafsirkan dan menggali hukum demi menemukan
ketentuan hukum yang belum diatur secara jelas. b. Bahwa ketentuan Pasal 263 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana,, menurut penafsiran mereka adalah ayat yang menjadi dasar bagi Jaksa
37
Rusli Muhammad, Op.Cit., h. 294.
38
Martiman Prodjohamodjojo, Komentar Atas KUHAP, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. III, 1990, h. 185.
Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena ayat tersebut menjelaskan bahwa peninjauan kembali diajukan karena putusan
pengadilan menyatakan bahwa dakwaan telah terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Apabila dakwaan telah terbukti tetapi tidak diikuti oleh
suatu pemidanaan, maka jelas sangat menguntungkan bagi terdakwa dan merugikan kepentingan umum yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.
Dengan demikian sangatlah tidak mungkin kalau dalam hal ini terdakwa atau ahli warisnya akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, karena
justru akan merugikan mereka jika peninjauan kembali diterima lalu putusan diikuti oleh suatu pemidanaan.
Penafsiran tersebut tidak sesuai dengan penafsiran Andi Hamzah, karena menurutnya ketentuan Pasal 263 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara ini
adalah berarti untuk merehabilitasi nama terdakwa saja, karena putusan tidak diikuti pemidanaan sehingga dia meminta namanya dipulihkan atau
direhabilitasi.
39
Ketentuan Undang-Undang apabila kita perhatikan secara cermat, ternyata Undang-Undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi
seringkali juga tidak jelas, walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada
hakim untuk menetapkan sendiri maknanya kententuan Undang-Undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan Undang-Undang, dan
39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta, Jakarta, 1993 h. 361.
hakim boleh menafsir suatu ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau historis, baik recht maupun wetshistoris.
40
Ada yang berpendapat, meskipun hukum acara Indonesia tergolong hukum publik yang bersifat imperatif, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau
diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih
hakiki serta manusiawi atau disebut According to The Principle of Justice, bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau diskresi
dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai
ketentuan publik memang diakui imperatif, tetapi tidak seluruhnya absolut. Ada ketentuan yang dapat dilenturkan Flexible, dikembangkan Growth bahkan
disingkirkan Overrule sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep to Improve The Quality of Justice and to Reduce
Injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bertitik tolak pada
motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis peninjauan kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada
Jaksa Penuntut Umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum membuktikan
40
Lie Oen Hock, Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, PT. Penerbitan Universitas, Bandung, Cetakan keempat, 1965, h. 11.
bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan tidak adil “In Justice” karena didasarkan ada alasan ”non yuridis”.
41
Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dianggap sesuai dengan konsep Daad-
Dader-Stra-Recht yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus
dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban
kejahatan dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang
menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana.
42
3. Dasar Jaksa Penuntut Umum