BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG MENGABULKAN
PENINJAUAN KEMBALI JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
1. Dasar Materiil
Upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Bab XVII bagian kedua Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bukan ketentuan baru dalam sistem
hukum acara pidana. Pengaturan peninjauan kembali secara jelas dan tegas, dimulai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang
peninjauan kembali Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap sebagai awal yurisprudensi oleh kasus Sengkon dan Karta, ditinjau dari sejarah
hukumnya lembaga peninjauan kembali ini sudah diatur sejak era Reglement of de Straf Vordering Tahun 1926, dengan demikian ketentuan yang telah dirumuskan
dalam Peraturan Mahkamah Agung ataupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sekarang ini merupakan aturan yang ditransfer dari Sv.
Sv adalah hukum acara pidana yang diberlakukan pada masa Hindia Belanda. Di dalamnya terdapat ketentuan yang mengatur tentang peninjauan
kembali, antara lain sebagai berikut : a. Pasal 536 menyatakan :
Permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap, yang berisi pemidanaan, dapat diajukan:
1 atas dasar kenyataan bahwa dalam berbagai putusan terdapat pernyataan yang telah dinyatakan terbukti ternyata bertentangan satu dengan yang
lainnya. 2 Atas dasar keadaan yang pada waktu pemeriksaan di pengadilan tidak
diketahui dan tidak mungkin diketahui, baik berdiri sendiri maupun sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Dan apabila keadaan
itu diketahui, pemeriksaan akan berupa putusan bebas, putusan lepas dari
32 31
segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Alasan-alasan tersebut dapat diajukan dalam suatu permohonan peninjauan kembali apabila dalam suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap suatu perbutan yang telah didakwakan telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.
b. Pasal 357 menyatakan “peninjauan kembali diajukan ke Mahkamah Agung oleh Jaksa Agung atau suatu permohonan oleh seorang terpidana yang
terhadapnya dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan melalui kuasa yang khusus diberi kuasa untuk itu atau oleh
pengacaranya”. Berdasarkan hal-hal tersebut, dalam Sv, hanya disebutkan dua alasan
dalam mengajukan peninjauan kembali yaitu kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata tidak dicantumkan sebagai salah satu dasar alasan pengajuan
peninjauan kembali seperti yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, selain itu dalam Sv juga menyebutkan secara eksplisit mengenai pihak
yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah Jaksa Penuntut Umum Jaksa Agung, dan terpidana atau orang yang diberi kuasa khusus untuk itu atau melalui
pengacaranya. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tentang peninjauan
kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan yang tetap, yaitu : a. Pasal 3 menyatakan :
Mahkamah Agung dapat meninjau kembali atau memerintahkan ditinjau kembali suatu putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua
tuduhan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, atas dasar :
1 Apabila putusan dengan jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang mencolok,
2 Apabila dalam putusan terdapat keterangan-keterangan yang dianggap terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain saling bertentangan,
3 Apabila terdapat keadaan baru sehingga menimbulkan pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan-keadaan itu diketahui waktu siding
masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana, melepaskan dari segala tuntutan atas dasar bahwa
perbuatan yang dituduhkan itu tidak merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan oleh jaksa kepada pengadilan, atau
penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebuih ringan,
4 Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah dinyatakan terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti
itu diikuti oleh suatu pemidanaan. b. Pasal 4 ayat 1 menyatakan :
Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh :
1 Terpidana 2 Pihak
yang berkepentingan
3 Jaksa Agung.
Ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969, terdapat tambahan mengenai alasan dalam mengajukan peninjauan kembali yang
sebelumnya tidak terdapat dalam Sv, yaitu apabila putusan tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan, dasar alasan yang
terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tersebut hampir mirip dengan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
hanya terdapat sedikit perbedaan mengenai bunyi atau kalimatnya, yaitu dalam Peraturan Mahkamah Agung berbunyi :
kekhilafan hakim yang mencolok sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana berbunyi, kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Jadi
jelaslah bahwa pengertian antara menyolok dan nyata sangat berbeda dimana hal tersebut hanya dapat ditafsirkan oleh hakim dalam memberikan putusannya,
36
mengenai pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali dalam Peraturan
36
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2007 Cetakan I, h. 291.
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 mengambil alih dari Pasal 357 Sv, yaitu selain terpidana juga dicantumkan Jaksa Penuntut Umum dan pihak yang
berkepentingan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali, kemudian Peraturan Mahkamah Agung ini dicabut oleh Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang peninjauan
kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. a. Pasal 9 menyatakan :
1 Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang mengandung pemidanaan yang telah berkekuatan hukum yang tetap
a apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-
keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan.
b apabila terdapat suatu keadan sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang
berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum
atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan
perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan.
2 Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan
sebagai bukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.
b. Pasal 10 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung 1 Tahun 1980 sama bunyinya dengan Pasal 4 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969
yang mengatur tentang siapa saja yang berhak mengajukan peninjauan kembali, hanya beda tata urutannya. yakni sebagai berikut :
1 Jaksa Agung, Jaksa Agung memberikan instruksi kepada Jaksa Penuntut Umum
2 Terpidana, atau ahli warinya, dan 3 Pihak yang berkepentingan Intervensi
Ketentuan yang mengatur dasar alasan pengajuan peninjauan kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 hampir sama dengan
dasar alasan yang terdapat dalam Sv, yaitu tidak dicantumkannya kakhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata sebagai salah satu dasar alasan pengajuan
peninjauan kembali, hal tersebut menjadi pertanyaan para ahli hukum, mengapa justru pada saat dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1980 hal tersebut tidak dicantumkan, padahal pada saat itu sedang hangat- hangatnya kasus Sengkon dan Karta yang mana putusan-putusan yang dinilai
sebagai kekhilafan hakim yang nyata memerlukan peninjauan kembali. Pola pikir yang menghilangkan kakhilafan hakim atau kekeliruan yang
nyata untuk dijadikan dasar peninjauan kembali dianggap oleh sebagian kalangan ahli hukum sebagai suatu pola pikir yang mundur ke masa Sv, Dengan kata lain
seolah-olah para hakim adalah manusia yang tanpa cacat dan tidak dapat diganggu gugat karena kesalahan yang dilakukannya didalam tugas menjalankan peradilan,
padahal pencantuman dasar alasan tersebut sangat diperlukan melihat banyaknya putusan-putusan pengadilan yang dirasakan oleh para pencari keadilan sebagai
suatu kekhilafan atau kekeliruan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 21 Menyatakan : “Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan
Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,dalam perkara perdata dan pidana
oleh pihak-pihak yang berkepentingan.” Sedangkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan dalam Pasal 23 ayat 1,
Menyatakan : “Terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak- pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.”
Jadi dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, para pihak yang dapat mengajukan upaya peninjauan kembali adalah para pihak yang
bersangkutan, dalam hal ini untuk kasus tindak pidana korupsi Majelis Mahkamah Agung menafsirkan para pihak yang bersangkutan adalah terpidana atau ahli
warisnya dan Jaksa Penuntut Umum. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengenai pihak-pihak dan syarat-syarat pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Bab
XVIII bagian ke II, antara sebagai berikut : a. Pasal 263 ayat 1 menyatakan “Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hokum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
b. Pasal 263 ayat 2 menyatakan : 1 Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika
dugaan itu sudah diketahui pada waktu siding masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hokum
atau tuntutan dari penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
2 Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alas an putusan
yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
3 Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkana suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
c. Pasal 263 ayat 3 menyatakan “Terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidaan.”
Ketentuan mengenai dasar alasan dalam pengajuan peninjauan kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kembali mencantumkan
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, yaitu dalam Pasal 263 ayat 2 butir c, seperti dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan yang tetap.
Guna memelihara konsistensi dan keseragaman hukum maka terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yurisprudensi tentang permintaan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum diterima oleh Mahkamah Agung yaitu :
a. Putusan Mahkamah Agung nomor 55 PKPid1996 tanggal 25 Oktober 1996 tentang peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara atas
nama terpidana Dr. Muchtar Pahpahan, SH, MM, di mana dalam pertimbangannya menyatakan:
“Dalam menghadapi problema yuridis Hukum Acara Pidana ini, di mana tidak diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka
Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan Hukum Acara Pidana sendiri, guna menampung kekurangan
pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali dalam perkara
pidana”.
b. Putusan Mahkamah Agung nomor 15 PKPid2006 tanggal 19 Juni 2006 tentang peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara atas
nama terpidana Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih, dalam pertimbangannya menyatakan:
“Bahwa dalam hubungan dengan permintaan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung mengenai tujuan hukum akan mengikuti Redburch yang
menggunakan ‘asas prioritas’ di mana prioritas pertama selalu ‘keadilan’, barulah ‘kemanfaatan’, dan terakhir barulah ‘kepastian’ sehingga karena itu
Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan perkara pidana yang ternyata ada hal-hal
yang belum diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan cara membentuk hukum acara sendiri demi untuk keadilan, kemanfaatan dan
baru kepastian hukum”.
c. Putusan Mahkamah Agung nomor 3 PKPid2000 tanggal 2 Agustus 2001 tentang peninjauan kembali oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Ram
Gulumal al. V. Ram. Berkenaan dengan kewenangan Kejaksaan dalam mengajukan peninjauan kembali, putusan ini memberikan pertimbangannya
sebagai berikut : 1 Pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak
secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin terpidana atau ahli
warisnya akan mengajukan peninjauan kembali dalam hal Vrijspraak Onslag Van Rechtvervolging, Dalam hal ini yang berkepentingan adalah
Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan-alasan tersebut pada Pasal 263 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2 Pasal 263 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga tidak mungkin dimanfaatkan bagi terpidana atau ahli warisnya, sebab cenderung
akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis apabila Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk peninjauan kembali melalui Pasal ini. Pernah
diatur dalam Reglemen op de Rechtvordering Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1980, bahwa Jaksa Agung dapat mengajukan peninjauan kembali.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya, bahwa permohonan upaya hukum peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa
dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka biaya perkara pada semua tingkat peradilan dibebankan kepada terdakwa.
2. Dasar Pendapat Ahli