lingkungan itu dimiliki oleh masyarakat pada lokasi tertentu maka disebut kearifan lokal.
Bertolak dari paparan di atas, maka dalam rangka menyusun strategi pengelolaan DTW dan WBD Jatiluwih yang berorientasi pada pelestarian budaya
dan lingkungan alam setempat diperlukan penelitian tentang kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan
memfokuskan perhatian pada kearifan lokal masyarakat desa Jatiluwih, baik yang berbentuk kearifan sosial maupun kearifan lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas tampaklah masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1 Bagaimana kearifan sosial masyarakat Desa Jatiluwih? 2 Bagaimana kearifan lingkungan masyarakat Desa Jatiluwih
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi, memahami, dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut.
1 Mengindentifikasi, memahami, dan menjelaskan kearifan sosial masyarakat Desa Jatiluwih, yaitu pengetahuan, keyakinan, dan adat
kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan sesamanya. 2 Mengindentifikasi, memahami, dan menjelaskan kearifan lingkungan
masyarakat Desa Jatiluwih, yaitu pengetahuan, keyakinan, dan adat
kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan lingkungan
alam sekitarnya.
1.3.2 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis, yakni sebagai berikut.
1 Manfaat teoretis, yaitu menambah pengetahuan tentang kearifan sosial dan kearifan lingkungan masyarakat Desa Jatiluwih dalam konteks strategi
pengelolaan Desa Jatiluwih dan Subak Jatiluwih, baik sebagai DTW maupun WBD.
2 Manfaat praktis, yaitu untuk menyusun strategi pengelolaan Desa Jatiluwih dan Subak Jatiluwih, baik sebagai DTW maupun WBD.
1.4 Kerangka Pemikiran 1.4.1 Pandangan Manusia terhadap Lingkungannya
Tujuan penelitian ini sebagaimana disebutkan di atas pada dasarnya tidak lepas dari telaah tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam
menelaah hubungan manusia dengan lingkungannya, maka pandangan manusia terhadap lingkungan tidak dapat diabaikan karena berdasarkan pandangannya
itulah manusia berusaha memanfaatkan potensi lingkungan dengan melakukan berbagai kegiatan. Sehubungan dengan hal ini, Soemarwoto dalam tulisannya
berjudul Lingkungan Hidup dan Pembangunan 1989 menunjukkan bahwa perilaku manusia dalam memanfaatkan lingkungan sangat ditentukan oleh citra
lingkungan yang mereka miliki. Menurut Soemarwoto 1989 : 94 citra lingkungan adalah sebagai berikut.
“Citra lingkungan menggambarkan anggapan orang tentang struktur lingkungan, bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya terhadap
tindakan orang serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Citra lingkungan itu memberi petunjuk tentang apa yang boleh dilakukan dan
apa yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan orang itu”.
Berdasarkan pengertian tentang citra lingkungan ini, maka dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya
tidak lepas dari pandangannya atau anggapannya tentang lingkungan yang bersangkutan. Jika lingkungannya dianggap mengandung potensi yang bermanfaat
baginya, maka mereka akan berusaha memanfaatkan potensi tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Soemarwoto 1989 : 94, citra lingkungan
yang dimiliki suatu masyarakat bisa bersumber pada pengetahuan yang mereka dapatkan dari hubungan mereka dengan lingkungan danatau bisa pula bersumber
pada agama, kepercayaan ataupun mistik. Dengan mengacu kepada pendapat Sanderson 1993, agama, kepercayaan ataupun mistik sebagai sumber citra
lingkungan dapat dikatakan sebagai sub dari salah satu unsur sistem sosiokultural masyarakat yang bersangkutan, yaitu unsur sistem sosiokultural
berupa superstruktur ideologis. Superstruktur ideologis meliputi cara-cara yang telah
terpolakan yang dengan cara tersebut para anggota masyarakat berpikir serta melakukan konseptualisasi, menilai, dan merasa Sanderson, 1993 : 62.
Sebagaimana diketahui, citra lingkungan masyarakat Bali dalam arti demikian dapat dilihat dari ideologi yang mereka anut, yakni ideologi Tri Hita
Karana. Ideologi ini menekankan pada pentingnya keharmonisan hubungan
antara manusia dengan manusia pawongan, hubungan manusia dengan lingkungan alam nyata atau sekala palemahan dan hubungan manusia dengan
lingkungan alam tidak nyata atau niskala parhyangan. Dengan demikian, citra lingkungan masyarakat Bali terlihat bersifat ekosentrisme.
1.4.2 Kepentingan dan Partisipasi Masyarakat dalam Lingkungan
Beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai hutan menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan potensi sumberdaya hutan bisa terjadi kompetisi dan konflik
antarkelompok pemanfaat. Salah satu contohnya adalah kompetisi yang berlanjut dengan konflik antara masyarakat setempat dan pengusaha hutan di Irian jaya
sebagaimana ditunjukkan oleh Soehendra dan Aninung 1993. Selain itu bisa pula terjadi kerjasama warga masyarakat dalam mengelola hutan sehingga
menghasilkan masukan finansial bagi mereka sekaligus menghasilkan kelestarian hutan yang bersangkutan. Contohnya adalah kasus pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh orang Badui sebagaimana ditelaah oleh Iskandar 1992. Beberapa hasil penelitian tentang hutan di Bali khususnya menunjukkan
bahwa ada ada masyarakat-masyarakat yang mampu memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap melestarikan hutan yang
bersangkutan. Di antaranya adalah hasil penelitian Astika, dkk 1984 menunjukkan bahwa masyarakat Desa Adat
Tenganan Pegringsingan telah mampu memanfaatkan sekaligus melestarikan hutan setempat dengan
memberlakukan peraturan awig-awig dan sanksinya secara ketat. Begitu juga hasil penelitian Atmadja 1992; 1993, 1993a mengenai Hutan Wisata Kera
Sangeh 1992; 1993a dan Hutan Wisata Kera Kedaton 1993 menunjukkan
peran masyarakat setempat dalam mengelola hutan tersebut sehingga tetap lestari dan mampu memberikan masukan finansial, baik terhadap rumah tangga maupun
komunitas setempat. Mencermati hasil penelitian yang menunjukkan pemanfaatan hutan yang
menghasilkan masukan finansial bagi masyarakat yang bersangkutan sekaligus menghasilkan kelestarian hutan, maka segera dapat dipahami bahwa partisipasi
masyarakat dalam melestarikan hutan tidak lepas dari kepentingannya untuk meraih masukan finansial melalui pengelolaan hutan yang bersangkutan. Hal ini
dapat dilakukan tanpa dan danatau dengan menjadikan hutan sebagai objek wisata, tergantung dengan konteks ekologis serta kemauan dan kemampuan
masyarakat setempat. Dengan demikian, penelitian seperti itu, termasuk penelitian yang hendak dilakukan ini tetap perlu dilakukan untuk
mengembangkan model pengelolaan hutan yang berpoptensi untuk menghasilkan masukan finansial bagi para partisipannya sekaligus untuk melestarikan hutan
yang bersangkutan. Dikatakan demikian bukan hanya kerena keberhasilannya telah terbukti dari hasil penelitian terdahulu, melainkan juga karena masing-
masing hutan tentu memiliki kondisi ekologis yang tidak selalu sama, begitu pula masyarakat di sekitarnya tidak selalu memiliki kemauan dan kemampuan yang
sama dalam konteks pemanfaatan hutan. Menurut teori rasionalitas, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang
rasional. Artinya, manusia selalu berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas dalam melakukan setiap tindakan Basrowi dan Sukidin, 2003; Mustain, 2007.
Sehubungan dengan itu, setiap individu manusia dalam kehidupan masyarakat
memiliki kesadaran akan keuntungan yang dapat diperoleh melalui tindakan- tindakannya Yunita, 1986 : 68-69. Demikian juga teori insentif selektif
mengasumsikan bahwa keikutsertaan seseorang yang rasional dalam melakukan suatu kegiatan dipengaruhi oleh jenis, bentuk, dan isi harapan-harapan yang bakal
menguntungkan. Berdasarkan asumsi teori rasionalitas di atas, maka daoat diduga bahwa
warga masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan jika mereka memandang kegiatan tersebut memberi keuntungan bagi mereka, dan
sebaliknya. Berpegang pada dugaan ini maka tidak mengherankan jika masyarakat setempat telah berperan dalam melestarikan Hutan Wisata Kera di Bali
sebagaimana ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Atmadja 1992 dan 1993. Sebab dalam kenyataannya, hutan tersebut merupakan objek wisata yang
setiap hari dikunjungi banyak wisatawan, sehingga menghasilkan keuntungan finansial bagi masyarakat yang bersangkutan.
1.4.3 Refleksi tentang Model Pelestarian Hutan Berbasis Masyarakat
Berdasarkan pemikiran mengenai partisipasi masyarakat dalam program pelestarian lingkungan sebagaimana dipaparkan di atas, maka program pelestarian
hutan perlu disusun dengan mengakomodasi kepentingan semua pihak terkait. Dengan demikian dapat diharapkan semua pihak akan berpartisipasi dengan
penuh semangat dan berkelanjutan. Secara lebih konkret, model pelestarian hutan yang disusun dan dilaksanakan adalah model yang benar-benar didasarkan pada
kepentingan, kemauan, dan kemampuan para pihak terkait sehingga meyakinkan
akan memberi kuntungan finansial bagi para partisipannya. Salah satu model strategis dalam hal ini adalah model pelestarian hutan yang memberikan akses
kepada masyarakat untuk mengembangkan tanaman pangan di kawasan hutan lindung, namun tanpa merusak tanaman hutan. Selain itu mereka juga diberi
kewajiban untuk memelihara kayu yang tumbuh di hutan dengan catatan mereka juga diberi hak atas hasil kayu itu yang pengaturannya didasarkan pada system
pembangian hasil sesuai dengan semua pihak terkait. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa masyarakat akan mengembangkan rasa memiliki dan
tanggungjawab terhadap kelestarian hutan. Sebaliknya, jika program pelestarian hutan dilakukan hanya dengan
melarang orang untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sebagaimana sering dilakukan selama ini, maka orang akan selalu cenderung berusaha
memanfaatkannya secara maksimal bahkan secara illegal selama mereka memandang hutan itu berpotensi besar untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Apalagi jika hutan dipandangnya sebagai sumberdaya milik bersama common proverty, maka dengan mengacu kepada tesis Hardin sebagaimana dibahas oleh
Soemarwoto 2001 :94, kemungkinan besar pandangannya itu akan mendorong mereka untuk memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya hanya untuk diri mereka sendiri sehingga pada gilirannya terjadi kerusakan hutan yang berdampak negatif terhadap masyarakat setempat.
1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan motode penelitian kualitatif yang mengandalkan teknik pengamatan dan wawancara mendalam dalam proses
pengumpulan data; dan mengandalkan teknik interpretatif dalam proses analisis data kualitatif. Proses pengumpulan dan analisis data dalam penelitian ini
berorientasi pada paradigma kritis, yaitu mengacu teori-teori sosial kritis, dan metode dekonstruksi. Secara lebih konkret, penerapan metode dan teknik
penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
1.5.1 Penentuan Lokasi Penelitian
Berkenaan dengan kawasan Subak Jatiluwih ada Peta Desa Jatiluwih. Dalam peta desa ini ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sawah yang
merupakan bagian dari Subak Jatiluwih ternyata berada di dalam wilayah Desa Jatiluwih. Berdasarkan informasi yang diperoleh, para petani subak ini merupakan
warga atau penduduk Desa Jatiluwih. Oleh karena itu, lokasi pelaksanaan penelitian ini adalah di Desa Jatiluwih.
1.5.2 Penentuan Informan
Mengingat penelitian ini menggunakana pendekatan penelitian kualitatif, maka data dan informasi yang dibutuhkan akan digali melalaui pengamatan dan
wawancara mendalam. Oleh karena itu, informan bukan responden merupakan narasumber yang amat penting dalam penelitian ini, sebab tanpa informan akan
sulit memperoleh data dan keterangan untuk mencapai tujuan penelitian. Sudah
dapat dipastikan informan dalam penelitian ini adalah warga masyarakat Desa dan Subak Jatiluwih. Namun untuk menentukan orangnya memerlukan petunjuk dari
informan pangkal. Sehubungan dengan itu, kepala Desa Dinas dan Kepala Desa Adat setempat serta Kepala Subak Jatiluwih dijadikan informan pangkal dalam
penelitian ini Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat 1989 : 130, informan pangkal adalah orang-orang yang dapat memeberikan petunjuk kepada
peneliti tentang adanya individu lain yang paham tentang berbagai sektor kehidupan masyarakat yang ingin dikaji oleh peneliti. Individu-individu lain ini
disebut informan pokok atau informan kunci key informant. Oleh karena itu, berdasarkan petunjuk informan pangkal itu dikembangkan
jumlah informan, baik informan pangkal yang lainnya maupun informan kunci dan informan selanjutnya. Dengan demikian, pengembangan informan dalam
penelitian ini bersifat snowboll, yakni dari informan ke informana lain. Penambahan informan akan diakhiri apabila terdapat indikasi bahwa tidak ada
lagi variasi informasi dan kategorisasi data dan informasi telah jenuh.
1.5.3 Metode Pengumpulan Data dan Informasi : Pengamatan dan Wawancara Mendalam
1.5.3.1 Pengamatan
Metode pengamatan yang akan diterapkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencermati hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.
Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa dalam pengamatan juga dilakukan
wawancara dengan menanyakan sesuatu yang telah dilihat dan didengar terkait dengan masalah yang dikaji guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang
lebih jauh. Hal ini biasa dilakukan dalam pengamatan terlibat, sehingga para akhli mengatakan pengamatan terlibat sebagai pengamatan langsung bersama metode
lainnya dalam pengumpulan informasi Mulyana, 2006 : 162, atau sebagai pengamatan yang bercirikan interaksi peneliti dengan subjek Satori dan
Komariah, 2009 : 117. Aspek-aspek yang akan dicermati dalam pengamatan adalah 1 keadaansituasi di rumah informan; 2 orang-orang yang ikut serta
dalam situasi tersebut, termasuk jenis kelamin, usia, profesi, tempat asal, dan lain-lain; 3 kegiatan yang dilakukan orang dalam situasi tersebut; 4 benda-
benda yang ada di tempat itu serta letak dan penggunaannya; 5 perbuatan, yaitu tindakan para pelaku dalam proses berlangsungnya kegiatan dalam situasi yang
diamati; ekspresi wajah yang dapat dilihat sebagai cerminan perasan dan emosi.
1.5.3.2 Wawancara Mendalam
Teknik wawancara mendalam digunakan dalam penelitian ini terutama untuk menggali informasi mengenai pengalaman individu yang biasanya disebut
sebagai metode penggunaan data pengalaman individu individual life history atau dokumen manusia human document Koentjaraningrat, 1989 : 158. Dalam
hal ini peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara bebas dan leluasa tanpa terikat pada suatu daftar pertanyaan rinci yang disiapkan sebelumnya. Dengan
cara ini memungkinkan wawancara berlangsung luwes, arahnya bisa lebih terbuka sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya, pembicaraan tidak terlampau
terpaku atau tidak menjenuhkanmembosankan baik bagi peneliti maupun bagi informan.
1.5.3.4 Teknik Analisis Data
Analisis datainformasi akan dilakukan dengan teknik analisis interpretatif, terutama secara emik tetapi juga secara etik, sehingga dapat dihindari
kemungkinan adanya masalah dengan informan yang telah melakukan sesuatu tindakan tetapi tidak mampu menginfoprmasikan maknanya sebagaimana
dikatakan oleh Brian Vay 2004. Proses analisis ini bisa sejalan dengan proses wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan
wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu. Secara konkret
mekanismenya bahwa setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membuat hipotesis-hipotesis kecil yang kemudian
digunakan untuk membuat pertanyaan yang diajukan berikutnya. Dengan demikian teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang oleh
Taylor dan Bogdan 1984 : 128disebut dengan istilah go hand-in-hand. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data
kualitatif. Data ini akan dianalisis dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman 1992, yaitu
reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan menarik simpulan. Kegiatan pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan
rangkaian kegiatan yang terkait dan bisa berlangsung secara ulang-alik, sampai mendapatkan hasil penelitian akhir, yakni etnografi yang bersifat holistik dan
sarat makna, dalam konteks pemberian jawaban terhadap masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
BAB II HASIL PENELITIAN :
SISTEM SOSIOKULTURAL DALAM KONTEKS SUBAK JATILUWIH
Kawasan Subak Jatiluwih pada dasarnya merupakan wilayah yang di dalamnya terdapat sawah dan para petani pemilik danatau penggagarap sawah
tersebut. Dilihat dari perspektif teori sistem sosiokultural Sanderson sebagaimana telah dipaparkan di atas, tampaklah bahwa di dalam kawasan tersebut terdapat
beberapa unsur sistem sosiokultural yang berpotensi untuk membangun manajemen kawasan subak yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.
Beberapa unsur sistem sosiokultural tersebut meliputi infrastruktur, struktur sosial, dan superstruktur ideologis yang dapat digambarkan sebagai berikut.
2.1 Infrastruktur : Ekologi, Demografi, Ekonomi, dan Teknologi
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, infrastruktur merupakan salah satu komponen pokok sistem sisiokultural yang terdiri dari empat
subkomponennya : ekologi, demografi, ekonomi, dan teknologi. Berkenaan dengan hal ini, melalui penelitian di kawasan Subak Jatiluwih Kecamatan
Penebel Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali diperoleh data yang menunjukkan adanya potensi sosiokultural untuk membangun manajemen WBD berbasis
masyarakat dan budaya di kawasan subak tersebut. Adapun data yang dimaksud dalam hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Arti istilah ekologi dalam hal mengacu kepada pendapat Sanbderson 2011 : 59-61, yaitu meliputi seluruh lingkungan fisik yang terhadapnya manusia harus
beradaptasi. Ia meliouti sifat-sifat tanah, sifat iklim, pola hujan, sifat kehidupan tanaman dan binatang, serta ketersediaan sumber daya alam. Sesuai dengan
pengertian ini, kawasan Subak Jatiluwih dilihat sebagai ekologi yang secara fisik berbatasan dengan kawasan atau wilayah di sekitarnya. Di sebelah utara
berbatasan dengan kawasan hutan, di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Desa Babahan, di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Desa Wangaya Gede,
dan di sebelah timur berbatasan dengan wilayah Desa Senganan. Jarak antara kawasan ini dengan Kota Kecamatan Penebel 13 km., Kota Kabupaten Tabanan
26 km., dan Kota Propinsi Bali 47 km.. Peta Desa Jatiluwih menunjukkan bahwa sawah Subak Jatiluwih
merupakan bagian dari wilayah Desa Jatiluwih. Luas keseluruhan desa ini adalah 2.233 ha., yang secara garis besar terbagi ke dalam 4 peruntukan : 1 tanah sawah
303 ha, 2 ladangkebun 814 ha, pekarangan 24 ha dan lain-lain jurang seluas 1.092 ha. Peruntukan lahan ini dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi
masyarakat terhadap kondisi lingkungan alam setempat dalam rangka memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup mereka. Kondisi lingkungan alam tersebut
dapat diketahui antara lain dari kondisi geografisnya, terutama ketinggian
letaknya tidak merata, yaitu antara 500-1500 meter di atas permukaan laut. Dengan demikian, kondisi ini menunjukkan bahwa kemiringan kawasan ini cukup
tajam. Secara topografis, kemiringan kawasan ini, memang cukup tajam dan tidak merata, yakni antara 26-29 derajat.
Berkenaan dengan bidang pertanian dalam arti luas, Petugas Penyuluhan Pertanian Lapangan PPL Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian Jatiluwih, yaitu
Tama 2009 : 11, menunjukkan data mengenai potensi wilayah ini di bidang pertanian.
”Pada umumnya WKPP Jatiluwih sangat potensial untuk pengembangan Peternakan dan Perikanan, terutama ternak sapi karena tersedianya pakan
ternak terutama rumput lapangan yang tersedia sepanjang tahun.terkecoali pada bulan-bulan tertentu misalnya bulan Juli sampai dengan September
pakan rumput agak berkurang. tetapi petani bisa menyiasati dengan tanaman pengganti seperti batang pisang, pelepah kelapa, pelepah pakis,
dllnya.tetapi juga banyak kendala yang dihadapi petani seperti modal yang masih
kecil serta
menganggap ternak
sapi merupakan
usaha sampingandiluar usaha pokok bertani padi. Adapun kelemahan petani
peternak sapi di WKPP Jatiluwih adalah sbb : 1. kandang terlalu sempit.
2. Kandang tidak berdinding pada umumnya sapi kedinginan. 3. Petani pada umumnya menengok sapinya sekali sehari”.
Jika disimak tampaklah bahwa pada dasarnya masalah yang terjadi di bidang peternakan sapi di Desa Jatiluwih berupa apa yang disebut oleh Tama sebagai
kendala, yakni kurang memadainya modal dan kurang layaknya kondisi kandang untuk beternak sapi secara efektif. Tampaknya masalah tersebut dapat ditangani
dengan memahami dan menggunakan teknologi tepat guna di bidang peternakan sapi sehingga dapat diharapkan sapi yang dipelihara bisa sehat dan gemuk
sehingga harga jualnya bisa tinggi. Dengan harga jual sapi yang tinggi tentu saja memungkinkan bagi peternak yang bersangkutan untuk memperbesar modalnya
untuk meningkatkan usaha peternakan sapinya. Sapi, selain bernilai ekonomis juga dapat digunakan untuk melestarikan budaya lokal. Budaya lokal yang
dimaksud seperti membajak, sehingga bisa menghemat biaya produksi pertabian
ketimbang menggunakan traktor yang memerlukan biaya ekonomi lebih tinggi, baik untuk membeli traktor maupun bahan bakar dan kemungkinan biaya untuk
perawatannya. Selain itu kotoran sapi pun bisa digunakan sebagai bahan pupuk organik untuk pertanian sehingga kelestarian tanah dapat dipertahankan sesuai
dengan gagasan terkait dengan WBD. Selain beternak sapi, masyarakat Desa Jatiluwih juga memelihara berbagai
macam ternak : kerbau, kuda, kambing, babi, ayam buras, petelur, itik, entok, angsa, merpati, burung puyuh, kelinci, bekisar, dan burung berkicau. Populasi
masing-masing jenis ternak ini adalah sebagaimana tampak pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Populasi Ternak di Desa Jatiluwih
No. Jenis Ternak
Ternak Besar Unggas
Jantan Betina
1 Sapi
462 802
2 Kerbau
12 22
3 Kuda
1 -
4 Kambing
4 10
5 Babi
528 388
6 Ayam buras
- -
4055 7
Ayam petelur -
- 303.400
8 Ayam pedaging
- -
9 Itik
- -
930 10
Entok -
- 12
11 Angsa
- -
4 12
Merpati -
- 22
13 Burung Puyuh
- -
4 14
Kelinci -
- 25
15 Bekisar
- -
5 16
Burung berkicau -
- 32
Sumber data : Tama 2009 : 12. Data pada tabel 1 di atas secara jelas menunjukkan bahwa ada 15 jenis
ternak yang dipelihara oleh masyarakat di Desa Jatiluwih. Populasinya beragam, dari yang terkecil 1 ekor kuda sampai yang terbesar 303.400 ekor ayam
petelur. Tentu saja semua jenis ternak tersebut bernilai jual, namun ada beberapa di antaranya yang populasinya sangatlah minim, seperti kambing hanya 14 ekor,
entok 12 ekor padahal sebagaimana diketahui, harga kambing dan entok relatif mahal. Pasar pun tampaknya membutuhkan jenis ternak ini. Misalnya kambing,
selain dibutuhkan untuk bahan sate dan gule kambing yang banyak penggemarnya juga untuk keperluan upacara agama Hindu di Bali. Jika peternakan di Desa
Jatiluwih dilakukan dengan menggunakan teknologi tepat guna, kiranya bermacam-macam jenis ternak tersebut di atas dapat ditingkatkan, baik kuantitas
maupun kualitasnya, sehingga memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan peternak yang bersangkutan. Seperti halnya ternak sapi, jenis ternak sebagaimana
tercantum dalam tabel di atas juga dapat dilihat sebagai potensi untuk mendukung gagasan WBD, yakni melestarikan lingkungan alam, terutama dengan
menggunakan kotoran ternak tersebut sebagai bahan pupuk organik. Seiring dengan perkembangan bidang peternakan, ternyata data tahun 2011
mengenai ternak tertentu di Jatiluwih menunjukkan penurunan populasinya dibandingkan dengan populsinya pada tahun 2009 sebagaimana tampak pada tabel
1 di atas. Data mengenai perbandingan populasinya itu dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Perbandingan Pupulasi Ternak 2009 dan 2011 di Jatiluwih
No. Jenis Ternak
Ternak Besar Unggas
2009 2011
2009 2011
1 Sapi
1.264 500
- -
2 Kerbau
34 6
- -
3 Kuda
1 -
- -
4 Kambing
14 -
- -
5 Babi
916 900
- -
6 Ayam buras
- -
4055 -
7 Ayam petelur
- -
303.400 150.000
8 Ayam pedaging
- -
- 9
Itik -
- 930
30 10
Entok -
- 12
-
11 Angsa
- -
4 -
12 Merpati
- -
22 -
13 Burung Puyuh
- -
4 -
14 Kelinci
- -
25 -
15 Bekisar
- -
5 -
16 Burung berkicau
- -
32 -
Sumber data : Diolah dari Tama 2009 : 12, dan Data Monografi Desa Jatiluwih 2011
Khusus berkenaan dengan budidaya perikanan di Desa Jatiluwih menurut Tama 2009 : 12-13 tidak berkembang, karena terbatasnya air, terutama di musim
kemarau sering terjadi kekeringan karena letaknya tinggi, dan masyarakat belum biasa memelihara ikan bersama tanaman padi mina padi. Akan tetapi masih ada
warga masyarakat di desa ini yang memelihara ikan di kolam, seperti ikan mujair, ikan mas, ikan nila. Jika masyarakat diberi pengetahuan dan keterampilan
mengenai teknologi tepat guna di bidang perikanan, maka tidak tertutup kemungkinannya mereka bisa berhasil dalam usaha memelihara ikan.
Keberhasilan memelihara ikan bisa mendorong masyarakat untuk menambah populasi ikan peliharaannya melalui berbagai cara termasuk dengan cara
mengembangkan budidaya ikan dengan sistem mina padi. Sistem ini bisa berfungsi ganda, tidak saja untuk menambah pendapatan masyarakat juga bisa
berfungsi ekologis, bahwa secara alamiah ikan menjadi predotor atau pemangsa serangga yang merupakan hama tanaman padi seperti wereng.
Dilihat dari sudut demografi, ekonomi, dan teknologinya, masyarakat Desa Jatiluwih tampak mempunyai kondisi tertentu. Menurut buku Data
Monografi Desa Jatiluwih 2011 : 3, penduduknya yang tergolong sebagai tenaga kerja berjumlah 2389 orang. Dari segi usia, mereka dapat dikelompokkan menjadi
6 kelompok usia dengan jumlah setiap kelompoknya sebagaimana tampak pada tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4 Jumlah Angkatan Kerja di Jatiluwih Menurut Kelompok Umur
No. Kelompok Usia Tahun
Jumlah Persentase
1 10-14
203 8,50
2 15-19
416 17,40
3 20-26
389 16,29
4 27-40
311 13,02
5 41-56
462 19,36
6 57- ke atas
607 25,43
Total 2388
100
Sumber Data : Diolah dari Buku Data Monografi Desa Jatiluwih 2011 : 3
2.2 Struktur Sosial : Perilaku Aktual