Jumlah anggota subak ini jelas merupakan sumber daya manusia yang jika dapat dikelola secara efektif memungkinkan untuk mengembangkan manajemen Subak
Jartiluwih sebagai WBD berbasis masyarakat dan budaya lokal. Selain potensi tersebut, para petani Subak Jatiluwih juga telah terhimpun
ke dalam beberapa kelompok yang secara khusus bergerak dalam bidang peternakan. Dengan adanya kelompok-kelompok tersebut maka ada peluang
untuk mewujudkan gagasan WBD menjadi kegiatan nyata. Adapun kelompok- kelompok tersebut meliputi 3 Gabungan Kelompok Tani Gapoktan. Dua dari 3
kelompok ini berusaha di bidang peternakan, yang satu bernama Gabungan Kelompok Tani Merta Jati berusaha di bidang peternakan sapi dan yang lainnya
bernama Gabungan kelompok Tani Dukuh Sari berusaha di bidang peternakan babi. Unsur kepolitikan dalam struktur sosial seperti ini berpotensi untuk
mengembangkan cara-cara terorganisasi suatu masyarakat dalam memelihara hukum, aturan internal dan hubungan individu-individu, termasuk mengendalikan
konflik-konflik sosial terkait dengan pengelolaan kawasan Subak Jatiluwih sebagai WBD.
2.3 Superstruktur Ideologis : Ideologi Umum, Agama, Ilmu Pengetahuan
Sebagaimana dikemukakan, salah satu unsur superstruktur ideologis adalah ideologi umum. Ideologi umum mengacu kepada kepercayaan dan norma
yang menonjol dalam masyarakat dalam konteks apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan tidak benar, dan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
Dalam konteks ini, subak dan desa pakraman di Bali, termasuk di Jatiluwih mempunyai peraturan yang disebut awig-awig yang terdiri atas sejumlah bab dan
pasal. Landasan dasarnya adalah filsafat Tri Hita Karana yang menekankan pentingnya keharmonisan hubungan manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan
manusia-lingkungan alam. Untuk mewujudkan keharmonisan dalam konteks ini, maka ditentukan hal-hal yang boleh danatau tidak boleh dilakukan, yang patut
dan tidak patut dilakukan dalam hubungan manusia dengan lingkungan sosiokultural dan lingkungan alam. Dengan dermikin, awig-awig subak dan awig-
awig desa pakraman merupakan dua peraturan yang mengandung potensi penting untuk dijadikan acuan dalam membangun manajemen kawasan WBD berbasis
masyarakat dan budaya lokal. Selain filsafat Tri Hita Karana, dalam agama Hindu yang dianut oleh
masyarakat di Jatiluwih juga ada beberapa konsep yang berpotensi penting untuk dijadikasn acuan dalam membangun manajemen WBD berbasis masyarakat dan
budaya lokal. Dikatakan demikian karena dalam ajaran agama Hindu dikenal berbagai macam konsep yang merupakan kearifan lokal yang memungkinkan
untuk membangun keharmonisan hubungan manusia dengan alam dan dengan sesamanya. Adapun konsep-konsep tersebut, antara lain konsep desa-kala-patra;
dharma, artha, kama, moksa; tatwamasi; dan konsep Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka. Konsep-konsep ini memungkinkan
untuk dipakai pedoman yang efektif dalam mencegah masalah konflik sosial karena mengandung makna-makna tersendiri yang telah membudaya. Konsep
desa-kala-patra yang mengandung makna yang menekankan pentingnya
pleksibilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat diketahui dari pendapat Mantra 1993 : 14 tentang konsep desa, kala, patra sebagai berikut.
”Konsep ini menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup bahwa dalam keseragaman ada keragaman, dalam kesatuan pasti
ada perbedaan. Hal ini memberi gambaran tentang bentuk komunikasi kebudayaan Bali, baik ke luar maupun ke dalam.
Menerima perbedaan dan variasi yang timbul sesuai desa, kala, patra waktu, tempat, dan keadaan”.
Petikan ini tampak mencerminkan bahwa konsep desa, kala, patra pada intinya menekankan pentingnya upaya penyesuaian sikap dan
perilaku dalam menjalankan kehidupan sosial di tengah fenomena keberagaman dan perbedaan,
baik dalam konteks keruangantempat desa maupun waktu kala, dan situasi patra. Ini berarti konsep
desa, kala, patra, mencerminkan ideologi fleksibilitasisme, yakni kelenturan sikap dan perilaku sosial sesuai dengan
keadaan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Jika konsep ini diterapkan oleh masyarakat di kawasan Subak Jatiluwih, maka semestinya mereka mampu
mengatur langkah mereka sesuai dengan aturan yang berlaku guna memperoleh masukan finansial dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam dan
keharmonisan hubungan dengan sesama warga masyarakat. Konsep dharma, artha, kama, moksa sebagaimana diketahui menekankan
bahwa kebenaran dharma perlu dipedomani dalam rangka mencari nafkah artha untuk memenuhi nafsu, keinginan, dan kebutuhan kama agar mencapai
kebahagiaan moksa. Jika hal ini dipadukan dengan konsep desa, kala, patra sebagaimana dipaparkan di atas, maka secara idealnya upaya mencari nafkah
artha untuk memenuhi kebutuhan kama, selain disesuaikan dengan kebenaran dharma juga dengan situasi dalam konteks ruangtempat desa, waktu kala,
dan keadaan masyarakat setempat patra. Dengan cara demikian memungkinkan
diperoleh hasil tanpa menimbulkan masalah, dan memungkinkan pula untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, aman, dan nyaman.
Serupa dengan itu, konsep Tat Tawam Asi dapat dimaknai sebagai larangan terhadap kekerasan guna mencapai kedamaian. Hal ini dapat dijadikan
sebagai kode etik karena mengandung arti ”Aku adalah Engkau” sehingga relevan untuk membangun sikap saling menyayangi antarsesama demi
terwujudnya kedamaian. Pandangan ini mencerminkan kesadaran bahwa dalam rangka mewujudkan kedamaian di tengah masyarakat yang satatus dan identitas
warganya berbeda-beda, maka diri sendiri aku dan orang lain engkau perlu diposisikan secara dialektis, bukan secara oposisi biner, sehingga bisa hidup
berdampingan secara damai. Jika disimak dengan mengacu gagasan G.W.F Hegel sebagaimana dikuitip oleh Sitorus 2004 : 167-168, Tat Twam Asi yang diartikan
sebagaimana dipaparkan di atas juga mengandung gagasan bahwa orang lain engkau sebenarnya tidak pernah hadir secara absolut sebagai orang lain. Orang
lain juga berperan dalam keberadaan diri sendiri aku, tanpa orang lain engkau maka diri sendiri aku pun tidak ada. Selain itu, diri sendiri aku dan orang lain
engkau saling membutuhkan dan dengan demikian saling tergantung. Oleh karena itu sikap saling menolak antara diri sendiri aku dan orang lain engkau
sesungguhnya adalah sebuah kekeliruan. Jika pemaknaan terhadap istilah Tat Twam Asi di atas dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas
ssosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker 1983 : 291, istilah Tat Twam Asi juga mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat organis, yakni
ideologi yang menekankan pada pentingnya kerjasama atas dasar rasa saling
membutuhkan dan saling tergantung antarawarga masyarakat yang memiliki ciri- cirinya masing-masing. Dengan demikian ideologi yang terkandung dalam istilah
Tat Twam Asi itu memang sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam
membangun manajemen berbasis masyarakat dan budaya lokal di kawasan Subak Jatiluwih.
Terkait dengan konsep Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya,
Salunglung Subayantaka menekankan pentingnya komitmen janji kepada
sesama, kesadaran kolektif senasib dan sepenanggungan, dan rasa hormat- menghormati dan seterusnya. Oleh karena itu, dikaji dengan mengacu gagasan
Durkheim tentang solidaritas sosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker 1983 : 290 tampaklah konsep ini mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang
bersifat mekanis. Solidaritas sosial seperti ini tentu saja merupakan potensi yang penting untuk membangun keharmonisan sosial dalam berbagai bidang
kerhidupan, termasuk dalam pengelolaan WBD. Mempunyai berbagai sarana fisik yang dapat dimaknai dan difungsikan sebagai pengikat masyarakat agar mereka
Subak Jatiluwih dan Desa Pakraman Jatiluwih mempunyai berbagai sarana fisik yang dapat dimaknai dan difungsikan sebagai pengikat masyarakat agar
mereka secara bersama-sama melakukan tindakan nyata untuk melestarikan budaya dan lingkungan alam setempat. Sarana fisik yang dimaksudkan dalam hal
ini adalah pura subak, bendungan, dan pura desa. Terkait dengan sarana fisik ini, masyarakat memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan supernatural diyakini
dapat mengadili manusia jika melakukan hal-hal yang tidak patut dilaksanakan.
BAB III PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN :
PERSPEKTIF MANAJEMEN WARISAN BUDAYA DUNIA BERBASIS MASYARAKAT DAN BUDAYA LOKAL
DALAM PENGELOLAAN KAWASAN SUBAK JATILUWIH
Sebagaimana diketahui, manajemen kelembagaan berproses secara dinamis melalui tahapan-tahapannya yang secara garis besar meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Oleh karena itu, dalam rangka membangun manajemen warisan budaya dunia berbasis masyarakat dan budaya
lokal berdasarkan potensi sistem sosiokultural dalam pengelolaan Subak Jatiluwih, maka langkah yang patut dilakukan adalah perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan sosial budaya dan lingkungan alam setempat. Untuk itu, berdasarkan hasil penelitian yang telah
dipaparkan pada bab II di atas, model manajemen warisan budaya dunia yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih dapat
digambarkan sebagai berikut.
Perencanaan merupakan satu tahapan yang paling awal dalam membangun suatu manajemen. Definisi perencanaan
dalam hal ini mengacu kepada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan
Pembangunan Nasional yang menyatakan perencanaan pembangunan adalah suatu proses untuk menentukan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan,
dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sejalan dengan itu, Dror sebagaimana dikutip oleh Schoorl 1980 : 294, mendefinisikan perencanaan
sebagai proses dalam penyiapan seperangkat keputusan mengenai tindakan di kemudian hari yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan
menggunakan cara-cara yang optimal. Jika perencanaan dalam arti seperti itu disusun dalam rangka pengelolaan
Subak Jatiluwih sebagai WBD berdasarkan potensi sistem sosiokultural sebagaimana dipaparkan pada bab II di atas, maka model perencanaan yang
memungkinkan untuk itu adalah perencanaan yang sesuai dengan filsafat Tri Hita Karana. Artinya, bahwa keharmonisan hubungan antara manusia-Tuhan,
manusia-alam lahan sawah, air, dan binatang, hubungan antara warga masyarakat setempat warga subak, desa pakraman, dan deasa dinas tetap
dijadikan sebagai pegangan utama dalam proses perencanaan tersebut. Filsafat yang demikian itu tentu saja dapat dijadikan acuan penting dalam membangun
manajemen warisan budaya dunia berbasis masyarakat dan budaya lokal. Dikatakan sebgai acuan penting, karena dengan filsafat tersebut dapat diharapkan
terjadi sinergi antara para pihak terkait, meskipun masing-masing pihak mempunyai status yang berbeda-beda. Berdasarkan sinergi yang memadai dapat
diharapkan mereka membangun konerja sesuai dengan tujuan penetapan Subak Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia.
Selain itu, konsep-konsep yang sejalan dengan itu yang ada dalam ajaran agama Hindu di Bali pun tidak kalah pentingnya untuk dijadikan acuan utama
dalam perencanaan pembangunan Subak Jatiluwih. Ada beberapa konsep merupakan kearifan lokal masyarakat dan kebudayaan Bali, antara lain berupa
konsep-konsep yang mengandung nilai budaya yang patut dijadikan pedoman dalam rangka menciptakan keharmonisan sosial. Konsep-konsep tersebut antara
lain desa-kala-patra; dharma, artha, kama, moksa; tatwamasi; dan konsep Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka. Konsep-konsep ini
memungkinkan untuk dipakai pedoman yang efektif dalam mencegah masalah konflik sosial karena mengandung makna-makna tersendiri yang telah
membudaya. Konsep desa-kala-patra
yang mengandung makna yang menekankan pentingnya pleksibilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
dapat diketahui dengan mencermati pendapat Mantra 1993 : 14 tentang konsep desa, kala, patra sebagai berikut.
”Konsep ini menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup bahwa dalam keseragaman ada keragaman, dalam kesatuan pasti
ada perbedaan. Hal ini memberi gambaran tentang bentuk komunikasi kebudayaan Bali, baik ke luar maupun ke dalam.
Menerima perbedaan dan variasi yang timbul sesuai desa, kala, patra waktu, tempat, dan keadaan”.
Petikan ini tampak mencerminkan bahwa konsep desa, kala, patra pada intinya menekankan pentingnya upaya penyesuaian sikap dan perilaku dalam
menjalankan kehidupan sosial di tengah fenomena keberagaman dan perbedaan, baik dalam konteks keruangantempat desa maupun waktu kala, dan situasi
patra. Ini berarti konsep desa, kala, patra, mencerminkan ideologi
fleksibilitasisme, yakni kelenturan sikap dan perilaku sosial sesuai dengan keadaan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Jika konsep ini diterapkan
dalam rangka membangun manajemen Subak Jatiluwih, maka apat diharapkan bahwa para pihak terkait akan mampu mengatur langkah mereka sesuai dengan
aturan yang berlaku guna mencapai tujuan pembangunan Subak Jatiluwih. Konsep dharma, artha, kama, moksa sebagaimana diketahui menekankan
bahwa kebenaran dharma perlu dipedomani dalam rangka mencari nafkah artha untuk memenuhi nafsu, keinginan, dan kebutuhan kama agar mencapai
kebahagiaan moksa. Jika hal ini dipadukan dengan konsep desa, kala, patra sebagaimana dipaparkan di atas, maka secara idealnya upaya mencari nafkah
artha untuk memenuhi kebutuhan kama, selain disesuaikan dengan kebenaran dharma juga dengan situasi dalam konteks ruangtempat desa, waktu kala,
dan keadaan masyarakat setempat patra. Dengan cara demikian memungkinkan diperoleh hasil tanpa menimbulkan masalah, dan memungkinkan pula untuk
menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, aman, dan nyaman. Serupa dengan itu, konsep Tat Tawam Asi dapat dimaknai sebagai
larangan terhadap kekerasan guna mencapai kedamaian. Hal ini dapat dijadikan sebagai kode etik karena mengandung arti ”Aku adalah Engkau” sehingga
relevan untuk membangun sikap saling menyayangi antarsesama demi terwujudnya kedamaian. Pandangan ini mencerminkan kesadaran bahwa dalam
rangka mewujudkan kedamaian di tengah masyarakat yang satatus dan identitas warganya berbeda-beda, maka diri sendiri aku dan orang lain engkau perlu
diposisikan secara dialektis, bukan secara oposisi biner, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai. Jika disimak dengan mengacu gagasan G.W.F Hegel
sebagaimana dikuitip oleh Sitorus 2004 : 167-168, Tat Twam Asi yang diartikan sebagaimana dipaparkan di atas juga mengandung gagasan bahwa orang lain
engkau sebenarnya tidak pernah hadir secara absolut sebagai orang lain. Orang lain juga berperan dalam keberadaan diri sendiri aku, tanpa orang lain engkau
maka diri sendiri aku pun tidak ada. Selain itu, diri sendiri aku dan orang lain engkau saling membutuhkan dan dengan demikian saling tergantung. Oleh
karena itu sikap saling menolak antara diri sendiri aku dan orang lain engkau sesungguhnya adalah sebuah kekeliruan. Jika pemaknaan terhadap istilah Tat
Twam Asi di atas dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas ssosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker 1983 : 291, istilah Tat Twam Asi
juga mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat organis, yakni ideologi yang menekankan pada pentingnya kerjasama atas dasar rasa saling
membutuhkan dan saling tergantung antarawarga masyarakat yang memiliki ciri- cirinya masing-masing. Dengan demikian ideologi yang terkandung dalam istilah
Tat Twam Asi itu memang sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam
membangun kerjasama bukan perseteruan antara kelompok sosial yang berbeda seperti antara para pihak terkait dalam pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai
warisan budaya dunia danatau sebagai daerah tujuan wisata. Terkait dengan konsep
Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka
menekankan pentingnya komitmen janji kepada sesama, kesadaran kolektif senasib dan sepenanggungan, dan rasa hormat-
menghormati dan seterusnya. Oleh karena itu, dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas sosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker 1983
: 290 tampaklah konsep ini mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat mekanis. Ideologi solidaritasisme yang bersifat mekanis ini memang
tampak penting dan relevan dalam rangka mencegah perseteruan antara para pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan bersama, seperti halnya dalam pengelolaan
Subak Jatiluwih. Agar dapat menyusun perencanaan seperti itu serta melaksanakan, maka
konsep Tri Hita Karana dan konsep-konsep lain yang sejalan dengan itu perlu dipahami dan diimplementasikan secara sungguh-sungguh. Tanpa demikian bukan
tidak mungkin akan timbul berbagai masalah yang mengganggu langkah pencapaian tujuan pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai WBD, yakni melestarikan
lingkungan alam dan budaya setempat. Dikatakan demikian karena sebagaimana dikemukakan oleh Basrowi dan Sukidin 2003, Mustain 2007, dan Yunita
1986, bahwa setiap manusia yang bersifat rasional akan memiliki motivasi kuat untuk melakukan suatu kegiatan yang menjanjikan keuntungan bagi dirinya
sendiri. Dilihat dari perspektif teori pertukaran, maka keuntungan dalam konteks teori rasionalitas itu lebih mengarah kepada keuntungan finansial berupa uang
tunai sebagai hasil dari pertukaran. Dalam konteks ini pendapat Damsar 2006 : 33, penting untuk dicermati, yakni sebagai berikut.
“Teori pertukaran melihat bahwa uang sebagai salah satu rujukan utama orang untuk terus menerus terlibat dalam memilih di antara perilaku-
perilaku alternatif. Suatu tindakan sosial dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomis. Suatu tindakan dipandang rasional apabila seseorang
menghasilkan uang. Oleh sebab itu, makin tinggi uang yang diperoleh makin besar kemungkinan suatu tingkah laku akan diulang”.
Dengan mengacu teori rasionalitas dan teori pertukaran ini, maka pengelolaan Subak Jatiluwih berpeluang menimbulkan upaya para pihak terkait untuk
memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri melalui cara-cara yang membuat pihak tertentu merasa diperlakukan secara kurang adil.
Masalah seperti ini berpotensi menjadi penghambat para pihak yang merasakan ketidakadilan dalam ikut serta melestarikan alam dan budaya setempat. Dengan
demikian tujuan penetapan Subak Jatiluwih sebagai WBD sulit dicapai. Untuk mengantisipasi timbulnya masalah seperti itu, maka suatu langkah
yang penting untuk dilaksanakan adalah menempatkan wakil dari kelompok- kelompok masyarakat subak, desa pakraman, desa dinas secara proporsional
dalam personel badan pengelola Subak Jatiluwih, baik sebagai WBD maupun sebagai daerah wisata. Penempatan wakil kelompok-kelompok masyarakat
tersebut hendaknya sesuai dengan kemauan, kompetensi, dan kemampuannya pada bidang-bidang tugas yang ada dalam pengelolaan Subak Jatiluwih. Hal ini
penting agar mereka dapat bersinergi dan berkinerja kinerja secara optimal. Selain itu, pembagian hasil pengelolaan Subak Jatiluwih pun perlu dilakukan
dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan pemerataan. Dengan demikian dapat diharapkan semua pihak merasa puas atas tata cara pengelolaan subak
tersebut, dan dengan demikian pula semua pihak dapat diharapkan akan ikut berperan aktif dan sungguh-sungguh dalam upaya melestarikan lingkungan alam
dan budaya setempat secara bersama-sama dan berkelanjutan sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Agar terwujud keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan alam, maka teknologi yang mesti digunakan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih adalah
teknologi pertanian dalam arti luas yang tetapt guna dan ramah lingkungan. Hal ini perlu dilakukan dalam bidang bercocok tanam di sawah dan diladang, bidang
peternakan, dan bidang perikanan. Dengan mengimplementasikan nulai-nilai Tri Hita Karana, usaha di bidang pertanian dalam arti luas ini dapat diharapkan dapat
berjalan secara lancar, tertib dan aman.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan