KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT JATILUWIH, POTENSI WARISAN BUDAYA DUNIA.

(1)

LAPORAN PENELITIAN

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT JATILUWIH : POTENSI WARISAN BUDAYA DUNIA

TIM PENELITI :

Dr. I Nyoman Dhana, M.A Prof. Dr. A.A Bagus wirawan, S.U.

Dr. Putu sukardja, M.Si. Dr. Ni Made Wiasti, M.Hum.

Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Universitas Udayana Nomor : DIPA A-023.04.2.415253/2014 sesuai SPK Nomor : 276/UN

14.4.5/KU/2014 Tanggal 11 Juni 2014

PROGRAM STUDI DOKTOR KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERDITAS UDAYANA 2014


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Kearifan Lokal Masyarakat Desa Jatiluwih :

Potensi Warisan Budaya Dunia Peneliti :

a. Nama Lengkap : Dr. I Nyoman Dhana, M.A

b. NIDN : 0016095702

c. Jabatan Fungsional : Lektor

d. Program Studi : Antropologi

e. Nomor HP : 08124600481

f. Alamat Surel (e-mail) : nyomandhana@ymail.com Anggota Peneliti (1)

a. Nama Lengkap : Prof. Dr. A.A Bagus Wirawan, S.U.

b.NIDN : 0020074804

c. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana Anggota Peneliti (2)

a. Nama Lengkap : Dr. Putu Sukardja, M.Si.

b. NIDN : 0022065205

c. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana Anggota Peneliti 3

a. Nama Lengkap : Dr. Dra. Ni Made Wiasti, M.Hum

b.NIDN : 0008125913

c. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana

Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari Rencana 1 Tahun

Biaya Tahun Berjalan : Rp 10.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) Biaya Keseluruhan : Rp 10.000.000,00

-Denpasar, 29 Oktober 2014 Mengetahui,

Ketua Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana

Ketua Peneliti,

(Prof. Dr. A.A Bagus Wirawan, S.U) NIP 19480720197803 1 001

Dr. I Nyoman Dhana, M.A NIP 19570916198403 1 002


(3)

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT JATILUWIH : POTENSI WARISAN BUDAYA DUNIA

ABSTRAK

Masyarakat Desa Jatiluwih merupakan masyarakat yang hidup di kawasan Warisan Budaya Dunia Jatiluwih yang juga merupakan Daerah tujuan wisata. Untuk mengelola kawasan ini tentu saja kelestarian dan implementasi kearifan lokal menjadi penting adanya. Terkait dengan hal itu, penelitian ini berttujuan untuk mengidentifikasi dan memahami kearifan lokal masyarakart desa Jatiluwih, sehibngga hasilnya diharapkan berguna untuk mendukung pengelolaan kawasan warisan budaya dubia dan daerah tujuan wisata Jatiluwih.

Hasil penelitian dan pembahasannya menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Jatiluwih memang berkaitan dengan upaya pelestarian budaya dan lingkungan setempat. Olreh karena itu kearifan lokal tersebut berpotensi untuk membangun manajemen baik untuk melestarikan kawasan warisan budaya dunia Jatiluwih maupun daerah tujuan wisata jatiluwih.


(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Desa Jatiluwih dan Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan, Bali sejak beberapa tahun yang lalu memiliki status ganda, yaitu sebagai daerah tujuan wisata (DTW) dan sebagai warisan budaya dunia (WBD). Terkait dengan hal ini, maka dua lembaga ini perlu dikelola dengan dengan strategi yang relavan dengan statusnya itu. Sebagaimana diketahui, pariwisata di Bali diatur dalam peraturan khusus, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Pasal 1 angka 14 peraturan tersebut menyatakan bahwa :

“Kepariwisataan Budaya Bali adalah kepariwisataan Bali yang berlandaskan kepada Kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya, sehingga terwujud hubungan timbal-balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, kelestarian budaya dan lingkungan”.

Berdasarkan gagasan ini maka pengembangan pariwisata di Bali, termasuk pengembangan DTW Jatiluwih perlu dilakukan dengan tetap berorientasi pada pelestarian budaya dan lingkungan alam setempat. Begitu juga halnya dengan gagasan di balik WBD menekankan pada pentingnya pelestarian dan lingkungan alam setempat. Dengan demikian, pengelolaan Desa Jatiluwih dan Subak jatiluwih, baik sebagai DTW maupun sebagai WBD, diorientasikan untuk melestarikan budaya dan lingkungan alam setempat.


(5)

Mengingat masyarakat Desa Jatiluwih merupakan ujung tombak dalam pengelolaan DTW dan WBD Jatiluwih, maka pengelolaannya yang berorientasi pada pelestarian budaya dan lingkungan alam setempat perlu disesuaikan dengan kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih. Dengan demikian masyarakat Desa Jatiluwih dapat diharapkan mau dan mampu berpatisipasi secara optimal dalam proses pengelolaan DTW dan WBD itu. Dalam rangka mewujudkan gagasan inilah diperlukan penelitian tentang kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih. Terkait dengan kearifan lokal, Chambers (1983 : 106-118) menegaskan bahwa setiap masyarakat memiliki pengetahuan dan teknologi tradisional yang disebut ”pengetahuan rakyat pedesaan”. Pengetahuan dan teknologi tradisional, jika diwariskan secara turun temurun menjadi tradisi (Giddens, 2003). Suatu tradisi sangatlah luas cakupannya, salah sartu di antaranya adalah kearifan tradisional. Keraf (2002 : 289) mengemukakan bahwa kearifan tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis. Dengan demikian, kearifan tradisional ada yang berbentuk kearifan sosial, yaitu pengetahuan, keyakinan, dan adat kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan sesamanya, dan ada pula yang berbentuk kearifan lingkungan, yaitu pengetahuan, keyakinan, dan adat kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Jika kearifan sosial dan kearifan


(6)

lingkungan itu dimiliki oleh masyarakat pada lokasi tertentu maka disebut kearifan lokal.

Bertolak dari paparan di atas, maka dalam rangka menyusun strategi pengelolaan DTW dan WBD Jatiluwih yang berorientasi pada pelestarian budaya dan lingkungan alam setempat diperlukan penelitian tentang kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan memfokuskan perhatian pada kearifan lokal masyarakat desa Jatiluwih, baik yang berbentuk kearifan sosial maupun kearifan lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas tampaklah masalah yang perlu dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1) Bagaimana kearifan sosial masyarakat Desa Jatiluwih?

2) Bagaimana kearifan lingkungan masyarakat Desa Jatiluwih

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi, memahami, dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut.

1) Mengindentifikasi, memahami, dan menjelaskan kearifan sosial masyarakat Desa Jatiluwih, yaitu pengetahuan, keyakinan, dan adat kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan sesamanya. 2) Mengindentifikasi, memahami, dan menjelaskan kearifan lingkungan


(7)

kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

1.3.2 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis, yakni sebagai berikut.

1) Manfaat teoretis, yaitu menambah pengetahuan tentang kearifan sosial dan kearifan lingkungan masyarakat Desa Jatiluwih dalam konteks strategi pengelolaan Desa Jatiluwih dan Subak Jatiluwih, baik sebagai DTW maupun WBD.

2) Manfaat praktis, yaitu untuk menyusun strategi pengelolaan Desa Jatiluwih dan Subak Jatiluwih, baik sebagai DTW maupun WBD.

1.4 Kerangka Pemikiran

1.4.1 Pandangan Manusia terhadap Lingkungannya

Tujuan penelitian ini sebagaimana disebutkan di atas pada dasarnya tidak lepas dari telaah tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam menelaah hubungan manusia dengan lingkungannya, maka pandangan manusia terhadap lingkungan tidak dapat diabaikan karena berdasarkan pandangannya itulah manusia berusaha memanfaatkan potensi lingkungan dengan melakukan berbagai kegiatan. Sehubungan dengan hal ini, Soemarwoto dalam tulisannya berjudul Lingkungan Hidup dan Pembangunan (1989) menunjukkan bahwa perilaku manusia dalam memanfaatkan lingkungan sangat ditentukan oleh citra


(8)

lingkungan yang mereka miliki. Menurut Soemarwoto (1989 : 94) citra lingkungan adalah sebagai berikut.

“Citra lingkungan menggambarkan anggapan orang tentang struktur lingkungan, bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya terhadap tindakan orang serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Citra lingkungan itu memberi petunjuk tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan orang itu”.

Berdasarkan pengertian tentang citra lingkungan ini, maka dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya tidak lepas dari pandangannya atau anggapannya tentang lingkungan yang bersangkutan. Jika lingkungannya dianggap mengandung potensi yang bermanfaat baginya, maka mereka akan berusaha memanfaatkan potensi tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Soemarwoto (1989 : 94), citra lingkungan yang dimiliki suatu masyarakat bisa bersumber pada pengetahuan yang mereka dapatkan dari hubungan mereka dengan lingkungan dan/atau bisa pula bersumber pada agama, kepercayaan ataupun mistik. Dengan mengacu kepada pendapat Sanderson (1993), agama, kepercayaan ataupun mistik sebagai sumber citra lingkungan dapat dikatakan sebagai sub dari salah satu unsur sistem sosiokultural masyarakat yang bersangkutan, yaitu unsur sistem sosiokultural berupa superstruktur ideologis. Superstruktur ideologis meliputi cara-cara yang telah terpolakan yang dengan cara tersebut para anggota masyarakat berpikir serta melakukan konseptualisasi, menilai, dan merasa (Sanderson, 1993 : 62).

Sebagaimana diketahui, citra lingkungan masyarakat Bali dalam arti demikian dapat dilihat dari ideologi yang mereka anut, yakni ideologi Tri Hita Karana. Ideologi ini menekankan pada pentingnya keharmonisan hubungan


(9)

antara manusia dengan manusia (pawongan), hubungan manusia dengan lingkungan alam nyata atau sekala (palemahan) dan hubungan manusia dengan lingkungan alam tidak nyata atau niskala (parhyangan). Dengan demikian, citra lingkungan masyarakat Bali terlihat bersifat ekosentrisme.

1.4.2 Kepentingan dan Partisipasi Masyarakat dalam Lingkungan

Beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai hutan menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan potensi sumberdaya hutan bisa terjadi kompetisi dan konflik antarkelompok pemanfaat. Salah satu contohnya adalah kompetisi yang berlanjut dengan konflik antara masyarakat setempat dan pengusaha hutan di Irian jaya sebagaimana ditunjukkan oleh Soehendra dan Aninung (1993). Selain itu bisa pula terjadi kerjasama warga masyarakat dalam mengelola hutan sehingga menghasilkan masukan finansial bagi mereka sekaligus menghasilkan kelestarian hutan yang bersangkutan. Contohnya adalah kasus pengelolaan hutan yang dilakukan oleh orang Badui sebagaimana ditelaah oleh Iskandar (1992).

Beberapa hasil penelitian tentang hutan di Bali khususnya menunjukkan bahwa ada ada masyarakat-masyarakat yang mampu memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap melestarikan hutan yang bersangkutan. Di antaranya adalah hasil penelitian Astika, dkk (1984) menunjukkan bahwa masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan telah mampu memanfaatkan sekaligus melestarikan hutan setempat dengan memberlakukan peraturan (awig-awig) dan sanksinya secara ketat. Begitu juga hasil penelitian Atmadja (1992; 1993, 1993a) mengenai Hutan Wisata Kera Sangeh (1992; 1993a) dan Hutan Wisata Kera Kedaton (1993) menunjukkan


(10)

peran masyarakat setempat dalam mengelola hutan tersebut sehingga tetap lestari dan mampu memberikan masukan finansial, baik terhadap rumah tangga maupun komunitas setempat.

Mencermati hasil penelitian yang menunjukkan pemanfaatan hutan yang menghasilkan masukan finansial bagi masyarakat yang bersangkutan sekaligus menghasilkan kelestarian hutan, maka segera dapat dipahami bahwa partisipasi masyarakat dalam melestarikan hutan tidak lepas dari kepentingannya untuk meraih masukan finansial melalui pengelolaan hutan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan tanpa dan dan/atau dengan menjadikan hutan sebagai objek wisata, tergantung dengan konteks ekologis serta kemauan dan kemampuan masyarakat setempat. Dengan demikian, penelitian seperti itu, termasuk penelitian yang hendak dilakukan ini tetap perlu dilakukan untuk mengembangkan model pengelolaan hutan yang berpoptensi untuk menghasilkan masukan finansial bagi para partisipannya sekaligus untuk melestarikan hutan yang bersangkutan. Dikatakan demikian bukan hanya kerena keberhasilannya telah terbukti dari hasil penelitian terdahulu, melainkan juga karena masing-masing hutan tentu memiliki kondisi ekologis yang tidak selalu sama, begitu pula masyarakat di sekitarnya tidak selalu memiliki kemauan dan kemampuan yang sama dalam konteks pemanfaatan hutan.

Menurut teori rasionalitas, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang rasional. Artinya, manusia selalu berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas dalam melakukan setiap tindakan (Basrowi dan Sukidin, 2003; Mustain, 2007). Sehubungan dengan itu, setiap individu manusia dalam kehidupan masyarakat


(11)

memiliki kesadaran akan keuntungan yang dapat diperoleh melalui tindakan-tindakannya (Yunita, 1986 : 68-69). Demikian juga teori insentif selektif mengasumsikan bahwa keikutsertaan seseorang yang rasional dalam melakukan suatu kegiatan dipengaruhi oleh jenis, bentuk, dan isi harapan-harapan yang bakal menguntungkan.

Berdasarkan asumsi teori rasionalitas di atas, maka daoat diduga bahwa warga masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan jika mereka memandang kegiatan tersebut memberi keuntungan bagi mereka, dan sebaliknya. Berpegang pada dugaan ini maka tidak mengherankan jika masyarakat setempat telah berperan dalam melestarikan Hutan Wisata Kera di Bali sebagaimana ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Atmadja (1992 dan 1993). Sebab dalam kenyataannya, hutan tersebut merupakan objek wisata yang setiap hari dikunjungi banyak wisatawan, sehingga menghasilkan keuntungan finansial bagi masyarakat yang bersangkutan.

1.4.3 Refleksi tentang Model Pelestarian Hutan Berbasis Masyarakat

Berdasarkan pemikiran mengenai partisipasi masyarakat dalam program pelestarian lingkungan sebagaimana dipaparkan di atas, maka program pelestarian hutan perlu disusun dengan mengakomodasi kepentingan semua pihak terkait. Dengan demikian dapat diharapkan semua pihak akan berpartisipasi dengan penuh semangat dan berkelanjutan. Secara lebih konkret, model pelestarian hutan yang disusun dan dilaksanakan adalah model yang benar-benar didasarkan pada kepentingan, kemauan, dan kemampuan para pihak terkait sehingga meyakinkan


(12)

akan memberi kuntungan finansial bagi para partisipannya. Salah satu model strategis dalam hal ini adalah model pelestarian hutan yang memberikan akses kepada masyarakat untuk mengembangkan tanaman pangan di kawasan hutan lindung, namun tanpa merusak tanaman hutan. Selain itu mereka juga diberi kewajiban untuk memelihara kayu yang tumbuh di hutan dengan catatan mereka juga diberi hak atas hasil kayu itu yang pengaturannya didasarkan pada system pembangian hasil sesuai dengan semua pihak terkait. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa masyarakat akan mengembangkan rasa memiliki dan tanggungjawab terhadap kelestarian hutan.

Sebaliknya, jika program pelestarian hutan dilakukan hanya dengan melarang orang untuk memanfaatkan sumberdaya hutan sebagaimana sering dilakukan selama ini, maka orang akan selalu cenderung berusaha memanfaatkannya secara maksimal bahkan secara illegal selama mereka memandang hutan itu berpotensi besar untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apalagi jika hutan dipandangnya sebagai sumberdaya milik bersama (common proverty), maka dengan mengacu kepada tesis Hardin sebagaimana dibahas oleh Soemarwoto (2001 :94), kemungkinan besar pandangannya itu akan mendorong mereka untuk memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya hanya untuk diri mereka sendiri sehingga pada gilirannya terjadi kerusakan hutan yang berdampak negatif terhadap masyarakat setempat.


(13)

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan motode penelitian kualitatif yang mengandalkan teknik pengamatan dan wawancara mendalam dalam proses pengumpulan data; dan mengandalkan teknik interpretatif dalam proses analisis data kualitatif. Proses pengumpulan dan analisis data dalam penelitian ini berorientasi pada paradigma kritis, yaitu mengacu teori-teori sosial kritis, dan metode dekonstruksi. Secara lebih konkret, penerapan metode dan teknik penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

1.5.1 Penentuan Lokasi Penelitian

Berkenaan dengan kawasan Subak Jatiluwih ada Peta Desa Jatiluwih. Dalam peta desa ini ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sawah yang merupakan bagian dari Subak Jatiluwih ternyata berada di dalam wilayah Desa Jatiluwih. Berdasarkan informasi yang diperoleh, para petani subak ini merupakan warga atau penduduk Desa Jatiluwih. Oleh karena itu, lokasi pelaksanaan penelitian ini adalah di Desa Jatiluwih.

1.5.2 Penentuan Informan

Mengingat penelitian ini menggunakana pendekatan penelitian kualitatif, maka data dan informasi yang dibutuhkan akan digali melalaui pengamatan dan wawancara mendalam. Oleh karena itu, informan (bukan responden) merupakan narasumber yang amat penting dalam penelitian ini, sebab tanpa informan akan sulit memperoleh data dan keterangan untuk mencapai tujuan penelitian. Sudah


(14)

dapat dipastikan informan dalam penelitian ini adalah warga masyarakat Desa dan Subak Jatiluwih. Namun untuk menentukan orangnya memerlukan petunjuk dari informan pangkal. Sehubungan dengan itu, kepala Desa Dinas dan Kepala Desa Adat setempat serta Kepala Subak Jatiluwih dijadikan informan pangkal dalam penelitian ini Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989 : 130), informan pangkal adalah orang-orang yang dapat memeberikan petunjuk kepada peneliti tentang adanya individu lain yang paham tentang berbagai sektor kehidupan masyarakat yang ingin dikaji oleh peneliti. Individu-individu lain ini disebut informan pokok atau informan kunci (key informant).

Oleh karena itu, berdasarkan petunjuk informan pangkal itu dikembangkan jumlah informan, baik informan pangkal yang lainnya maupun informan kunci dan informan selanjutnya. Dengan demikian, pengembangan informan dalam penelitian ini bersifat snowboll, yakni dari informan ke informana lain. Penambahan informan akan diakhiri apabila terdapat indikasi bahwa tidak ada lagi variasi informasi dan kategorisasi data dan informasi telah jenuh.

1.5.3 Metode Pengumpulan Data dan Informasi : Pengamatan dan Wawancara Mendalam

1.5.3.1 Pengamatan

Metode pengamatan yang akan diterapkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencermati hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa dalam pengamatan juga dilakukan


(15)

wawancara dengan menanyakan sesuatu yang telah dilihat dan didengar terkait dengan masalah yang dikaji guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih jauh. Hal ini biasa dilakukan dalam pengamatan terlibat, sehingga para akhli mengatakan pengamatan terlibat sebagai pengamatan langsung bersama metode lainnya dalam pengumpulan informasi (Mulyana, 2006 : 162), atau sebagai pengamatan yang bercirikan interaksi peneliti dengan subjek (Satori dan Komariah, 2009 : 117). Aspek-aspek yang akan dicermati dalam pengamatan adalah (1) keadaan/situasi di rumah informan; (2) orang-orang yang ikut serta dalam situasi tersebut, termasuk jenis kelamin, usia, profesi, tempat asal, dan lain-lain; (3) kegiatan yang dilakukan orang dalam situasi tersebut; (4) benda-benda yang ada di tempat itu serta letak dan penggunaannya; (5) perbuatan, yaitu tindakan para pelaku dalam proses berlangsungnya kegiatan dalam situasi yang diamati; ekspresi wajah yang dapat dilihat sebagai cerminan perasan dan emosi.

1.5.3.2 Wawancara Mendalam

Teknik wawancara mendalam digunakan dalam penelitian ini terutama untuk menggali informasi mengenai pengalaman individu yang biasanya disebut sebagai metode penggunaan data pengalaman individu (individual life history) atau dokumen manusia (human document) (Koentjaraningrat, 1989 : 158). Dalam hal ini peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara bebas dan leluasa tanpa terikat pada suatu daftar pertanyaan rinci yang disiapkan sebelumnya. Dengan cara ini memungkinkan wawancara berlangsung luwes, arahnya bisa lebih terbuka sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya, pembicaraan tidak terlampau


(16)

terpaku atau tidak menjenuhkan/membosankan baik bagi peneliti maupun bagi informan.

1.5.3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data/informasi akan dilakukan dengan teknik analisis interpretatif, terutama secara emik tetapi juga secara etik, sehingga dapat dihindari kemungkinan adanya masalah dengan informan yang telah melakukan sesuatu tindakan tetapi tidak mampu menginfoprmasikan maknanya sebagaimana dikatakan oleh Brian Vay (2004). Proses analisis ini bisa sejalan dengan proses wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu. Secara konkret mekanismenya bahwa setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membuat hipotesis-hipotesis kecil yang kemudian digunakan untuk membuat pertanyaan yang diajukan berikutnya. Dengan demikian teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang oleh Taylor dan Bogdan (1984 : 128)disebut dengan istilah go hand-in-hand. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif. Data ini akan dianalisis dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992), yaitu reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan menarik simpulan. Kegiatan pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan bisa berlangsung secara ulang-alik, sampai mendapatkan hasil penelitian akhir, yakni etnografi yang bersifat holistik dan


(17)

sarat makna, dalam konteks pemberian jawaban terhadap masalah yang dikaji dalam penelitian ini.


(18)

BAB II

HASIL PENELITIAN :

SISTEM SOSIOKULTURAL DALAM KONTEKS SUBAK JATILUWIH

Kawasan Subak Jatiluwih pada dasarnya merupakan wilayah yang di dalamnya terdapat sawah dan para petani pemilik dan/atau penggagarap sawah tersebut. Dilihat dari perspektif teori sistem sosiokultural Sanderson sebagaimana telah dipaparkan di atas, tampaklah bahwa di dalam kawasan tersebut terdapat beberapa unsur sistem sosiokultural yang berpotensi untuk membangun manajemen kawasan subak yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Beberapa unsur sistem sosiokultural tersebut meliputi infrastruktur, struktur sosial, dan superstruktur ideologis yang dapat digambarkan sebagai berikut. 2.1 Infrastruktur : Ekologi, Demografi, Ekonomi, dan Teknologi

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, infrastruktur merupakan salah satu komponen pokok sistem sisiokultural yang terdiri dari empat subkomponennya : ekologi, demografi, ekonomi, dan teknologi. Berkenaan dengan hal ini, melalui penelitian di kawasan Subak Jatiluwih Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali diperoleh data yang menunjukkan adanya potensi sosiokultural untuk membangun manajemen WBD berbasis masyarakat dan budaya di kawasan subak tersebut. Adapun data yang dimaksud dalam hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.


(19)

Arti istilah ekologi dalam hal mengacu kepada pendapat Sanbderson (2011 : 59-61), yaitu meliputi seluruh lingkungan fisik yang terhadapnya manusia harus beradaptasi. Ia meliouti sifat-sifat tanah, sifat iklim, pola hujan, sifat kehidupan tanaman dan binatang, serta ketersediaan sumber daya alam. Sesuai dengan pengertian ini, kawasan Subak Jatiluwih dilihat sebagai ekologi yang secara fisik berbatasan dengan kawasan atau wilayah di sekitarnya. Di sebelah utara berbatasan dengan kawasan hutan, di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Desa Babahan, di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Desa Wangaya Gede, dan di sebelah timur berbatasan dengan wilayah Desa Senganan. Jarak antara kawasan ini dengan Kota Kecamatan Penebel (13 km.), Kota Kabupaten Tabanan (26 km.), dan Kota Propinsi Bali (47 km.).

Peta Desa Jatiluwih menunjukkan bahwa sawah Subak Jatiluwih merupakan bagian dari wilayah Desa Jatiluwih. Luas keseluruhan desa ini adalah 2.233 ha., yang secara garis besar terbagi ke dalam 4 peruntukan : 1) tanah sawah (303 ha), 2) ladang/kebun (814 ha), pekarangan (24 ha) dan lain-lain (jurang) seluas 1.092 ha. Peruntukan lahan ini dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan alam setempat dalam rangka memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup mereka. Kondisi lingkungan alam tersebut dapat diketahui antara lain dari kondisi geografisnya, terutama ketinggian letaknya tidak merata, yaitu antara 500-1500 meter di atas permukaan laut. Dengan demikian, kondisi ini menunjukkan bahwa kemiringan kawasan ini cukup tajam. Secara topografis, kemiringan kawasan ini, memang cukup tajam dan tidak merata, yakni antara 26-29 derajat.


(20)

Berkenaan dengan bidang pertanian dalam arti luas, Petugas Penyuluhan Pertanian Lapangan (PPL) Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian Jatiluwih, yaitu Tama (2009 : 11), menunjukkan data mengenai potensi wilayah ini di bidang pertanian.

”Pada umumnya WKPP Jatiluwih sangat potensial untuk pengembangan Peternakan dan Perikanan, terutama ternak sapi karena tersedianya pakan ternak terutama rumput lapangan yang tersedia sepanjang tahun.terkecoali pada bulan-bulan tertentu misalnya bulan Juli sampai dengan September pakan rumput agak berkurang. tetapi petani bisa menyiasati dengan tanaman pengganti seperti batang pisang, pelepah kelapa, pelepah pakis, dllnya.tetapi juga banyak kendala yang dihadapi petani seperti modal yang masih kecil serta menganggap ternak sapi merupakan usaha sampingandiluar usaha pokok bertani padi. Adapun kelemahan petani peternak sapi di WKPP Jatiluwih adalah sbb :

1. kandang terlalu sempit.

2. Kandang tidak berdinding pada umumnya sapi kedinginan. 3. Petani pada umumnya menengok sapinya sekali sehari”.

Jika disimak tampaklah bahwa pada dasarnya masalah yang terjadi di bidang peternakan sapi di Desa Jatiluwih berupa apa yang disebut oleh Tama sebagai kendala, yakni kurang memadainya modal dan kurang layaknya kondisi kandang untuk beternak sapi secara efektif. Tampaknya masalah tersebut dapat ditangani dengan memahami dan menggunakan teknologi tepat guna di bidang peternakan sapi sehingga dapat diharapkan sapi yang dipelihara bisa sehat dan gemuk sehingga harga jualnya bisa tinggi. Dengan harga jual sapi yang tinggi tentu saja memungkinkan bagi peternak yang bersangkutan untuk memperbesar modalnya untuk meningkatkan usaha peternakan sapinya. Sapi, selain bernilai ekonomis juga dapat digunakan untuk melestarikan budaya lokal. Budaya lokal yang dimaksud seperti membajak, sehingga bisa menghemat biaya produksi pertabian


(21)

ketimbang menggunakan traktor yang memerlukan biaya ekonomi lebih tinggi, baik untuk membeli traktor maupun bahan bakar dan kemungkinan biaya untuk perawatannya. Selain itu kotoran sapi pun bisa digunakan sebagai bahan pupuk organik untuk pertanian sehingga kelestarian tanah dapat dipertahankan sesuai dengan gagasan terkait dengan WBD.

Selain beternak sapi, masyarakat Desa Jatiluwih juga memelihara berbagai macam ternak : kerbau, kuda, kambing, babi, ayam buras, petelur, itik, entok, angsa, merpati, burung puyuh, kelinci, bekisar, dan burung berkicau. Populasi masing-masing jenis ternak ini adalah sebagaimana tampak pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1

Populasi Ternak di Desa Jatiluwih

No. Jenis Ternak Ternak Besar Unggas

Jantan Betina

1 Sapi 462 802

2 Kerbau 12 22

3 Kuda 1

-4 Kambing 4 10

5 Babi 528 388

6 Ayam buras - - 4055

7 Ayam petelur - - 303.400


(22)

9 Itik - - 930

10 Entok - - 12

11 Angsa - - 4

12 Merpati - - 22

13 Burung Puyuh - - 4

14 Kelinci - - 25

15 Bekisar - - 5

16 Burung berkicau - - 32

Sumber data : Tama (2009 : 12).

Data pada tabel 1 di atas secara jelas menunjukkan bahwa ada 15 jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat di Desa Jatiluwih. Populasinya beragam, dari yang terkecil (1 ekor kuda) sampai yang terbesar (303.400 ekor ayam petelur). Tentu saja semua jenis ternak tersebut bernilai jual, namun ada beberapa di antaranya yang populasinya sangatlah minim, seperti kambing hanya 14 ekor, entok 12 ekor padahal sebagaimana diketahui, harga kambing dan entok relatif mahal. Pasar pun tampaknya membutuhkan jenis ternak ini. Misalnya kambing, selain dibutuhkan untuk bahan sate dan gule kambing yang banyak penggemarnya juga untuk keperluan upacara agama Hindu di Bali. Jika peternakan di Desa Jatiluwih dilakukan dengan menggunakan teknologi tepat guna, kiranya bermacam-macam jenis ternak tersebut di atas dapat ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan peternak yang bersangkutan. Seperti halnya ternak sapi, jenis ternak sebagaimana


(23)

tercantum dalam tabel di atas juga dapat dilihat sebagai potensi untuk mendukung gagasan WBD, yakni melestarikan lingkungan alam, terutama dengan menggunakan kotoran ternak tersebut sebagai bahan pupuk organik.

Seiring dengan perkembangan bidang peternakan, ternyata data tahun 2011 mengenai ternak tertentu di Jatiluwih menunjukkan penurunan populasinya dibandingkan dengan populsinya pada tahun 2009 sebagaimana tampak pada tabel 1 di atas. Data mengenai perbandingan populasinya itu dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2

Perbandingan Pupulasi Ternak (2009 dan 2011) di Jatiluwih

No. Jenis Ternak Ternak Besar Unggas

2009 2011 2009 2011

1 Sapi 1.264 500 -

-2 Kerbau 34 6 -

-3 Kuda 1 - -

-4 Kambing 14 - -

-5 Babi 916 900 -

-6 Ayam buras - - 4055

-7 Ayam petelur - - 303.400 150.000

8 Ayam pedaging - - 0

-9 Itik - - 930 30


(24)

-11 Angsa - - 4

-12 Merpati - - 22

-13 Burung Puyuh - - 4

-14 Kelinci - - 25

-15 Bekisar - - 5

-16 Burung berkicau - - 32

-Sumber data : Diolah dari Tama (2009 : 12), dan Data Monografi Desa Jatiluwih (2011)

Khusus berkenaan dengan budidaya perikanan di Desa Jatiluwih menurut Tama (2009 : 12-13) tidak berkembang, karena terbatasnya air, terutama di musim kemarau sering terjadi kekeringan karena letaknya tinggi, dan masyarakat belum biasa memelihara ikan bersama tanaman padi (mina padi). Akan tetapi masih ada warga masyarakat di desa ini yang memelihara ikan di kolam, seperti ikan mujair, ikan mas, ikan nila. Jika masyarakat diberi pengetahuan dan keterampilan mengenai teknologi tepat guna di bidang perikanan, maka tidak tertutup kemungkinannya mereka bisa berhasil dalam usaha memelihara ikan. Keberhasilan memelihara ikan bisa mendorong masyarakat untuk menambah populasi ikan peliharaannya melalui berbagai cara termasuk dengan cara mengembangkan budidaya ikan dengan sistem mina padi. Sistem ini bisa berfungsi ganda, tidak saja untuk menambah pendapatan masyarakat juga bisa berfungsi ekologis, bahwa secara alamiah ikan menjadi predotor atau pemangsa serangga yang merupakan hama tanaman padi seperti wereng.


(25)

Dilihat dari sudut demografi, ekonomi, dan teknologinya, masyarakat Desa Jatiluwih tampak mempunyai kondisi tertentu. Menurut buku Data Monografi Desa Jatiluwih (2011 : 3), penduduknya yang tergolong sebagai tenaga kerja berjumlah 2389 orang. Dari segi usia, mereka dapat dikelompokkan menjadi 6 kelompok usia dengan jumlah setiap kelompoknya sebagaimana tampak pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4

Jumlah Angkatan Kerja di Jatiluwih Menurut Kelompok Umur

No. Kelompok Usia (Tahun) Jumlah Persentase

1 10-14 203 8,50

2 15-19 416 17,40

3 20-26 389 16,29

4 27-40 311 13,02

5 41-56 462 19,36

6 57- ke atas 607 25,43

Total 2388 100

Sumber Data : Diolah dariBuku Data Monografi Desa Jatiluwih(2011 : 3) 2.2 Struktur Sosial : Perilaku Aktual

Struktur sosial mengacu kepada perilaku aktual yang berkaitan dengan kepolitikan, keluarga, kerabat, dan pendidikan. Dalam konteks ini ada beberapa organisasi selain subak tersebut yang justru sudah berperan aktif dalam pengelolaan Subak Jatiluwih. Organisasi tersebut adalah desa Dinas Jatiluwih dan desa Adat Jatiluwih. Perannya itu tampak antar lain dalam surat pernyataan bersama para tokoh beberapa organisasi tertanggal 14 Mei 2003, tentang kiesediaan dan persetujuan mereka atas dimasukkannya Subak Jatiluwih dalam


(26)

daftar usulan WBD. Para tokoh tersebut adalah Ketua BPD Jatiluwih, Kepala Desa Jatiluwih, Kepala Subak Jatiluwih, Bendesa Adat Jatiluwih, Bendesa Adat Guning Sari, dan Camat Penebel. Surat pernyataan tersebut jelas menunjukkan adanya potensi untuk mendukung gagasan WBD, yakni melestarikan alam dan budaya setempat. Potensi tersebut jelas pula merupakan potensi sosiokultural, karena masing-masing tokoh itu atas nama organisasi yang dipimpinnya yang tentu saja memiliki aturan.

Nama Subak Jatiluwih sesungguhnya adalah Subak Gede Jatiluwih. Subak ini merupakan gabungan dari beberapa subak yang merupakan bagiannya. Adapun beberapa subak yang menjadi bagian dari Subak Gede Jatiluwih dan jumlah anggotanya adalah sebagasimana tampak pada tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3

Jumlah Anggota Subak-Subak yang Menjadi Bagian dari Subak Gede Jatiluwih

No. Nama Subak Jumlah Anggota

(orang)

1 Subak jatiluwih 70

2 Subak Besi Kalung 79

3 Subak kedamaian 55

4 Subak Medui (Kedamaian Selatan) 51

5 Subak Gunung Sari Desa 35

6 Subak Gunung Sari Mekayu 25

Total Anggota 315


(27)

Jumlah anggota subak ini jelas merupakan sumber daya manusia yang jika dapat dikelola secara efektif memungkinkan untuk mengembangkan manajemen Subak Jartiluwih sebagai WBD berbasis masyarakat dan budaya lokal.

Selain potensi tersebut, para petani Subak Jatiluwih juga telah terhimpun ke dalam beberapa kelompok yang secara khusus bergerak dalam bidang peternakan. Dengan adanya kelompok-kelompok tersebut maka ada peluang untuk mewujudkan gagasan WBD menjadi kegiatan nyata. Adapun kelompok-kelompok tersebut meliputi 3 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Dua dari 3 kelompok ini berusaha di bidang peternakan, yang satu bernama Gabungan Kelompok Tani Merta Jati berusaha di bidang peternakan sapi dan yang lainnya bernama Gabungan kelompok Tani Dukuh Sari berusaha di bidang peternakan babi. Unsur kepolitikan dalam struktur sosial seperti ini berpotensi untuk mengembangkan cara-cara terorganisasi suatu masyarakat dalam memelihara hukum, aturan internal dan hubungan individu-individu, termasuk mengendalikan konflik-konflik sosial terkait dengan pengelolaan kawasan Subak Jatiluwih sebagai WBD.

2.3 Superstruktur Ideologis : Ideologi Umum, Agama, Ilmu Pengetahuan Sebagaimana dikemukakan, salah satu unsur superstruktur ideologis adalah ideologi umum. Ideologi umum mengacu kepada kepercayaan dan norma yang menonjol dalam masyarakat dalam konteks apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan tidak benar, dan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Dalam konteks ini, subak dan desa pakraman di Bali, termasuk di Jatiluwih mempunyai peraturan yang disebut awig-awigyang terdiri atas sejumlah bab dan


(28)

pasal. Landasan dasarnya adalah filsafat Tri Hita Karana yang menekankan pentingnya keharmonisan hubungan manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-lingkungan alam. Untuk mewujudkan keharmonisan dalam konteks ini, maka ditentukan hal-hal yang boleh dan/atau tidak boleh dilakukan, yang patut dan tidak patut dilakukan dalam hubungan manusia dengan lingkungan sosiokultural dan lingkungan alam. Dengan dermikin, awig-awigsubak dan awig-awig desa pakraman merupakan dua peraturan yang mengandung potensi penting untuk dijadikan acuan dalam membangun manajemen kawasan WBD berbasis masyarakat dan budaya lokal.

Selain filsafat Tri Hita Karana, dalam agama Hindu yang dianut oleh masyarakat di Jatiluwih juga ada beberapa konsep yang berpotensi penting untuk dijadikasn acuan dalam membangun manajemen WBD berbasis masyarakat dan budaya lokal. Dikatakan demikian karena dalam ajaran agama Hindu dikenal berbagai macam konsep yang merupakan kearifan lokal yang memungkinkan untuk membangun keharmonisan hubungan manusia dengan alam dan dengan sesamanya. Adapun konsep-konsep tersebut, antara lain konsepdesa-kala-patra; dharma, artha, kama, moksa; tatwamasi; dan konsep Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka. Konsep-konsep ini memungkinkan untuk dipakai pedoman yang efektif dalam mencegah masalah konflik sosial karena mengandung makna-makna tersendiri yang telah membudaya. Konsep desa-kala-patra yang mengandung makna yang menekankan pentingnya pleksibilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat diketahui dari pendapat Mantra (1993 : 14) tentang konsepdesa, kala, patrasebagai berikut.


(29)

”Konsep ini menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup bahwa dalam keseragaman ada keragaman, dalam kesatuan pasti ada perbedaan. Hal ini memberi gambaran tentang bentuk komunikasi kebudayaan Bali, baik ke luar maupun ke dalam. Menerima perbedaan dan variasi yang timbul sesuai desa, kala, patra(waktu, tempat, dan keadaan)”.

Petikan ini tampak mencerminkan bahwa konsep desa, kala, patra pada intinya menekankan pentingnya upaya penyesuaian sikap dan perilaku dalam menjalankan kehidupan sosial di tengah fenomena keberagaman dan perbedaan, baik dalam konteks keruangan/tempat (desa) maupun waktu (kala), dan situasi (patra). Ini berarti konsep desa, kala, patra, mencerminkan ideologi fleksibilitasisme, yakni kelenturan sikap dan perilaku sosial sesuai dengan keadaan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Jika konsep ini diterapkan oleh masyarakat di kawasan Subak Jatiluwih, maka semestinya mereka mampu mengatur langkah mereka sesuai dengan aturan yang berlaku guna memperoleh masukan finansial dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan alam dan keharmonisan hubungan dengan sesama warga masyarakat.

Konsep dharma, artha, kama, moksasebagaimana diketahui menekankan bahwa kebenaran (dharma) perlu dipedomani dalam rangka mencari nafkah (artha) untuk memenuhi nafsu, keinginan, dan kebutuhan (kama) agar mencapai kebahagiaan (moksa). Jika hal ini dipadukan dengan konsep desa, kala, patra sebagaimana dipaparkan di atas, maka secara idealnya upaya mencari nafkah (artha) untuk memenuhi kebutuhan (kama), selain disesuaikan dengan kebenaran (dharma) juga dengan situasi dalam konteks ruang/tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan masyarakat setempat (patra). Dengan cara demikian memungkinkan


(30)

diperoleh hasil tanpa menimbulkan masalah, dan memungkinkan pula untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, aman, dan nyaman.

Serupa dengan itu, konsep Tat Tawam Asi dapat dimaknai sebagai larangan terhadap kekerasan guna mencapai kedamaian. Hal ini dapat dijadikan sebagai kode etik karena mengandung arti ”Aku adalah Engkau” sehingga relevan untuk membangun sikap saling menyayangi antarsesama demi terwujudnya kedamaian. Pandangan ini mencerminkan kesadaran bahwa dalam rangka mewujudkan kedamaian di tengah masyarakat yang satatus dan identitas warganya berbeda-beda, maka diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) perlu diposisikan secara dialektis, bukan secara oposisi biner, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai. Jika disimak dengan mengacu gagasan G.W.F Hegel sebagaimana dikuitip oleh Sitorus (2004 : 167-168),Tat Twam Asi yang diartikan sebagaimana dipaparkan di atas juga mengandung gagasan bahwa orang lain (engkau) sebenarnya tidak pernah hadir secara absolut sebagai orang lain. Orang lain juga berperan dalam keberadaan diri sendiri (aku), tanpa orang lain (engkau) maka diri sendiri (aku) pun tidak ada. Selain itu, diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) saling membutuhkan dan dengan demikian saling tergantung. Oleh karena itu sikap saling menolak antara diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) sesungguhnya adalah sebuah kekeliruan. Jika pemaknaan terhadap istilah Tat Twam Asi di atas dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas ssosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 291), istilahTat Twam Asi juga mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat organis, yakni ideologi yang menekankan pada pentingnya kerjasama atas dasar rasa saling


(31)

membutuhkan dan saling tergantung antarawarga masyarakat yang memiliki ciri-cirinya masing-masing. Dengan demikian ideologi yang terkandung dalam istilah Tat Twam Asi itu memang sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam membangun manajemen berbasis masyarakat dan budaya lokal di kawasan Subak Jatiluwih.

Terkait dengan konsep Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka menekankan pentingnya komitmen (janji kepada sesama), kesadaran kolektif (senasib dan sepenanggungan), dan rasa hormat-menghormati dan seterusnya. Oleh karena itu, dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas sosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 290) tampaklah konsep ini mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat mekanis. Solidaritas sosial seperti ini tentu saja merupakan potensi yang penting untuk membangun keharmonisan sosial dalam berbagai bidang kerhidupan, termasuk dalam pengelolaan WBD. Mempunyai berbagai sarana fisik yang dapat dimaknai dan difungsikan sebagai pengikat masyarakat agar mereka

Subak Jatiluwih dan Desa Pakraman Jatiluwih mempunyai berbagai sarana fisik yang dapat dimaknai dan difungsikan sebagai pengikat masyarakat agar mereka secara bersama-sama melakukan tindakan nyata untuk melestarikan budaya dan lingkungan alam setempat. Sarana fisik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pura subak, bendungan, dan pura desa. Terkait dengan sarana fisik ini, masyarakat memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan supernatural diyakini dapat mengadili manusia jika melakukan hal-hal yang tidak patut dilaksanakan.


(32)

BAB III

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN :

PERSPEKTIF MANAJEMEN WARISAN BUDAYA DUNIA BERBASIS MASYARAKAT DAN BUDAYA LOKAL DALAM PENGELOLAAN KAWASAN SUBAK JATILUWIH

Sebagaimana diketahui, manajemen kelembagaan berproses secara dinamis melalui tahapan-tahapannya yang secara garis besar meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Oleh karena itu, dalam rangka membangun manajemen warisan budaya dunia berbasis masyarakat dan budaya lokal berdasarkan potensi sistem sosiokultural dalam pengelolaan Subak Jatiluwih, maka langkah yang patut dilakukan adalah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan sosial budaya dan lingkungan alam setempat. Untuk itu, berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab II di atas, model manajemen warisan budaya dunia yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih dapat digambarkan sebagai berikut.


(33)

Perencanaan merupakan satu tahapan yang paling awal dalam membangun suatu manajemen. Definisi perencanaan dalam hal ini mengacu kepada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional yang menyatakan perencanaan pembangunan adalah suatu proses untuk menentukan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sejalan dengan itu, Dror sebagaimana dikutip oleh Schoorl (1980 : 294), mendefinisikan perencanaan sebagai proses dalam penyiapan seperangkat keputusan mengenai tindakan di kemudian hari yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan menggunakan cara-cara yang optimal.

Jika perencanaan dalam arti seperti itu disusun dalam rangka pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai WBD berdasarkan potensi sistem sosiokultural sebagaimana dipaparkan pada bab II di atas, maka model perencanaan yang memungkinkan untuk itu adalah perencanaan yang sesuai dengan filsafat Tri Hita Karana. Artinya, bahwa keharmonisan hubungan antara manusia-Tuhan, manusia-alam (lahan sawah, air, dan binatang), hubungan antara warga masyarakat setempat (warga subak, desa pakraman, dan deasa dinas) tetap dijadikan sebagai pegangan utama dalam proses perencanaan tersebut. Filsafat yang demikian itu tentu saja dapat dijadikan acuan penting dalam membangun manajemen warisan budaya dunia berbasis masyarakat dan budaya lokal. Dikatakan sebgai acuan penting, karena dengan filsafat tersebut dapat diharapkan terjadi sinergi antara para pihak terkait, meskipun masing-masing pihak mempunyai status yang berbeda-beda. Berdasarkan sinergi yang memadai dapat


(34)

diharapkan mereka membangun konerja sesuai dengan tujuan penetapan Subak Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia.

Selain itu, konsep-konsep yang sejalan dengan itu yang ada dalam ajaran agama Hindu di Bali pun tidak kalah pentingnya untuk dijadikan acuan utama dalam perencanaan pembangunan Subak Jatiluwih. Ada beberapa konsep merupakan kearifan lokal masyarakat dan kebudayaan Bali, antara lain berupa konsep-konsep yang mengandung nilai budaya yang patut dijadikan pedoman dalam rangka menciptakan keharmonisan sosial. Konsep-konsep tersebut antara laindesa-kala-patra; dharma, artha, kama, moksa; tatwamasi; dan konsepSagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka. Konsep-konsep ini memungkinkan untuk dipakai pedoman yang efektif dalam mencegah masalah konflik sosial karena mengandung makna-makna tersendiri yang telah membudaya. Konsep desa-kala-patra yang mengandung makna yang menekankan pentingnya pleksibilitas dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dapat diketahui dengan mencermati pendapat Mantra (1993 : 14) tentang konsep desa, kala, patrasebagai berikut.

”Konsep ini menunjukkan penerimaan terhadap kenyataan hidup bahwa dalam keseragaman ada keragaman, dalam kesatuan pasti ada perbedaan. Hal ini memberi gambaran tentang bentuk komunikasi kebudayaan Bali, baik ke luar maupun ke dalam. Menerima perbedaan dan variasi yang timbul sesuai desa, kala, patra(waktu, tempat, dan keadaan)”.

Petikan ini tampak mencerminkan bahwa konsep desa, kala, patra pada intinya menekankan pentingnya upaya penyesuaian sikap dan perilaku dalam menjalankan kehidupan sosial di tengah fenomena keberagaman dan perbedaan, baik dalam konteks keruangan/tempat (desa) maupun waktu (kala), dan situasi


(35)

(patra). Ini berarti konsep desa, kala, patra, mencerminkan ideologi fleksibilitasisme, yakni kelenturan sikap dan perilaku sosial sesuai dengan keadaan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Jika konsep ini diterapkan dalam rangka membangun manajemen Subak Jatiluwih, maka apat diharapkan bahwa para pihak terkait akan mampu mengatur langkah mereka sesuai dengan aturan yang berlaku guna mencapai tujuan pembangunan Subak Jatiluwih.

Konsep dharma, artha, kama, moksa sebagaimana diketahui menekankan bahwa kebenaran (dharma) perlu dipedomani dalam rangka mencari nafkah (artha) untuk memenuhi nafsu, keinginan, dan kebutuhan (kama) agar mencapai kebahagiaan (moksa). Jika hal ini dipadukan dengan konsep desa, kala, patra sebagaimana dipaparkan di atas, maka secara idealnya upaya mencari nafkah (artha) untuk memenuhi kebutuhan (kama), selain disesuaikan dengan kebenaran (dharma) juga dengan situasi dalam konteks ruang/tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan masyarakat setempat (patra). Dengan cara demikian memungkinkan diperoleh hasil tanpa menimbulkan masalah, dan memungkinkan pula untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis, aman, dan nyaman.

Serupa dengan itu, konsep Tat Tawam Asi dapat dimaknai sebagai larangan terhadap kekerasan guna mencapai kedamaian. Hal ini dapat dijadikan sebagai kode etik karena mengandung arti ”Aku adalah Engkau” sehingga relevan untuk membangun sikap saling menyayangi antarsesama demi terwujudnya kedamaian. Pandangan ini mencerminkan kesadaran bahwa dalam rangka mewujudkan kedamaian di tengah masyarakat yang satatus dan identitas warganya berbeda-beda, maka diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) perlu


(36)

diposisikan secara dialektis, bukan secara oposisi biner, sehingga bisa hidup berdampingan secara damai. Jika disimak dengan mengacu gagasan G.W.F Hegel sebagaimana dikuitip oleh Sitorus (2004 : 167-168),Tat Twam Asi yang diartikan sebagaimana dipaparkan di atas juga mengandung gagasan bahwa orang lain (engkau) sebenarnya tidak pernah hadir secara absolut sebagai orang lain. Orang lain juga berperan dalam keberadaan diri sendiri (aku), tanpa orang lain (engkau) maka diri sendiri (aku) pun tidak ada. Selain itu, diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) saling membutuhkan dan dengan demikian saling tergantung. Oleh karena itu sikap saling menolak antara diri sendiri (aku) dan orang lain (engkau) sesungguhnya adalah sebuah kekeliruan. Jika pemaknaan terhadap istilah Tat Twam Asi di atas dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas ssosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 291), istilahTat Twam Asi juga mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat organis, yakni ideologi yang menekankan pada pentingnya kerjasama atas dasar rasa saling membutuhkan dan saling tergantung antarawarga masyarakat yang memiliki ciri-cirinya masing-masing. Dengan demikian ideologi yang terkandung dalam istilah Tat Twam Asi itu memang sangat relevan untuk dijadikan acuan dalam membangun kerjasama (bukan perseteruan) antara kelompok sosial yang berbeda seperti antara para pihak terkait dalam pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai warisan budaya dunia dan/atau sebagai daerah tujuan wisata.

Terkait dengan konsep Sagilik Saguluk, Paras Paros Sarpanaya, Salunglung Subayantaka menekankan pentingnya komitmen (janji kepada sesama), kesadaran kolektif (senasib dan sepenanggungan), dan rasa


(37)

hormat-menghormati dan seterusnya. Oleh karena itu, dikaji dengan mengacu gagasan Durkheim tentang solidaritas sosial sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 290) tampaklah konsep ini mencerminkan adanya ideologi solidaritasisme yang bersifat mekanis. Ideologi solidaritasisme yang bersifat mekanis ini memang tampak penting dan relevan dalam rangka mencegah perseteruan antara para pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan bersama, seperti halnya dalam pengelolaan Subak Jatiluwih.

Agar dapat menyusun perencanaan seperti itu serta melaksanakan, maka konsep Tri Hita Karana dan konsep-konsep lain yang sejalan dengan itu perlu dipahami dan diimplementasikan secara sungguh-sungguh. Tanpa demikian bukan tidak mungkin akan timbul berbagai masalah yang mengganggu langkah pencapaian tujuan pengelolaan Subak Jatiluwih sebagai WBD, yakni melestarikan lingkungan alam dan budaya setempat. Dikatakan demikian karena sebagaimana dikemukakan oleh Basrowi dan Sukidin (2003), Mustain (2007), dan Yunita (1986), bahwa setiap manusia yang bersifat rasional akan memiliki motivasi kuat untuk melakukan suatu kegiatan yang menjanjikan keuntungan bagi dirinya sendiri. Dilihat dari perspektif teori pertukaran, maka keuntungan dalam konteks teori rasionalitas itu lebih mengarah kepada keuntungan finansial berupa uang tunai sebagai hasil dari pertukaran. Dalam konteks ini pendapat Damsar (2006 : 33), penting untuk dicermati, yakni sebagai berikut.

“Teori pertukaran melihat bahwa uang sebagai salah satu rujukan utama orang untuk terus menerus terlibat dalam memilih di antara perilaku-perilaku alternatif. Suatu tindakan sosial dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomis. Suatu tindakan dipandang rasional apabila seseorang menghasilkan uang. Oleh sebab itu, makin tinggi uang yang diperoleh makin besar kemungkinan suatu tingkah laku akan diulang”.


(38)

Dengan mengacu teori rasionalitas dan teori pertukaran ini, maka pengelolaan Subak Jatiluwih berpeluang menimbulkan upaya para pihak terkait untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri melalui cara-cara yang membuat pihak tertentu merasa diperlakukan secara kurang adil. Masalah seperti ini berpotensi menjadi penghambat para pihak yang merasakan ketidakadilan dalam ikut serta melestarikan alam dan budaya setempat. Dengan demikian tujuan penetapan Subak Jatiluwih sebagai WBD sulit dicapai.

Untuk mengantisipasi timbulnya masalah seperti itu, maka suatu langkah yang penting untuk dilaksanakan adalah menempatkan wakil dari kelompok-kelompok masyarakat (subak, desa pakraman, desa dinas) secara proporsional dalam personel badan pengelola Subak Jatiluwih, baik sebagai WBD maupun sebagai daerah wisata. Penempatan wakil kelompok-kelompok masyarakat tersebut hendaknya sesuai dengan kemauan, kompetensi, dan kemampuannya pada bidang-bidang tugas yang ada dalam pengelolaan Subak Jatiluwih. Hal ini penting agar mereka dapat bersinergi dan berkinerja kinerja secara optimal. Selain itu, pembagian hasil pengelolaan Subak Jatiluwih pun perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan pemerataan. Dengan demikian dapat diharapkan semua pihak merasa puas atas tata cara pengelolaan subak tersebut, dan dengan demikian pula semua pihak dapat diharapkan akan ikut berperan aktif dan sungguh-sungguh dalam upaya melestarikan lingkungan alam dan budaya setempat secara bersama-sama dan berkelanjutan sesuai dengan tugasnya masing-masing.


(39)

Agar terwujud keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan alam, maka teknologi yang mesti digunakan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih adalah teknologi pertanian dalam arti luas yang tetapt guna dan ramah lingkungan. Hal ini perlu dilakukan dalam bidang bercocok tanam di sawah dan diladang, bidang peternakan, dan bidang perikanan. Dengan mengimplementasikan nulai-nilai Tri Hita Karana, usaha di bidang pertanian dalam arti luas ini dapat diharapkan dapat berjalan secara lancar, tertib dan aman.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan


(40)

Berdasarkan hasil penelitian ini dan pembahasannya dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Sistem sosiokultural : infrastruktur material, struktur sosial, dan superstruktur ideologis yang berkaitan dengan Subak Jatiluwih terlihat mempunyai potensi yang memungkinkan untuk mendukung pengembangan manajemen berbasis masyarakat dan budaya setempat dalam pengelolaan subak tersebut.

2) Model manajemen berbasis masyarakat dan budaya lokal yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih adalah yang manajemen yang berlandaskan para filsafat Tri Hita Karana serta konsep-konsep yang sejalan dengan filsafat tersebut dan merupakan kearifan lokal masyarakat Bali. Pada intinya konsep-konsep tersebut menekankan betapa pentingnya keharmonisan dalam hubungan manusia – Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-lingkungan alam. Selain itu konsep-konsep tersebut menekankan pentingnya kebenaran (dharma) untuk menuntun langkah mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan, namun tetap dengan sikap yang luwes sesuai dengan konteks waktu dan ruang. Hal ini perlu dijadikan acuan utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan pembangunan Subak Jatiluwih guna mencapai tujuan penetapan subak tersebut sebagai warisan budaya dunia.


(41)

Berdasarkan simpulan di atas, saran yang dapat diajukan dalam hal ini adalah sebagai berikut.

1) Agar kelestarian alam dan budaya lokal yang terkait dengan Subak Jatiluwih dapat dicapai, maka para pihak terkait (petani subak, masyarakat Desa Pakraman Jatiluwih, Masyarakat Desa Dinas Jatiluwih, Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan, dan Pemerintah Provinsi Bali), mesti benar-benar menjadikan filsafat Tri Hita Karana sebagai pedoman dalam pengelolaan Subak Jatiluwih.

2) Untuk itu, semua pihak tersebut perlu memahami dan mengimplementasikan filsafat Tri Hita Karana secara sungguh-sungguh dan dinamis, yakni menyesuaikan pelaksanaannya dengan situasi yang aktual dalam konteks waktu dan tempat pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, I. 1998. “Perspektif Pembangunan Jangka Panjang : Globalisasi, Demokrasi, dan Wawasan Nusantara”. Dalam Y.M.A. Aziz (ed.) Visi Global Antisipasi Indonesia Memasuki Abad ke-21. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Halalam 44-52.

Basrowi dan Sukidin. 2003. Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Surabaya : Penerbit Insan Cendekia.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies : Teori dan Praktik. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka.

Brian Fay. 2002.Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta, Penerbit Jendela. Dhana, I Nyoman. 2010 Penguatan Strategi Pembangunan Ekonomi yang Berwawasan Nusantara Guna Menjaga Ketahanan Nasional dalam Rangka


(42)

Memperkokoh NKRI : Perspektif Sosial Budaya. Makalah dalam Rangka FGD, diselenggarakan oleh MPR RI Bekerjasama dengan Universitas Udayana, Denpasar, 27 Nopember 2010.

Deperindag. 2008. Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025. Makalah dalam Creative Converence, di Bali.

Depbudpar. 2009. Kegiatan Tahun Indonesia Kreatif 2005. Makalah dalam Seminar Indonesia Kreatif, di Bogor.

Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bordieu.Yogyakarta : Juxtapose.

Geriya, I Wayan dkk.2009. Kebudayaan Unggul Inventori Unsur Unggulan sebagai Basis Kota Denpasar Kreatif. Denpasar Bappeda Kota denpasar. Geriya, I Wayan dkk. 2010. Inovasi Budaya Pengembangan Kewirausahaan dan

Partisipasi Masyarakat untuk Penguatan Industri dan Kota Kreatif Denpasar. Laporan Penelitian. Denpasar : Bappeda Kota Denpasar.

Geertz, C. 1971.The Interpretation of Cultures. New York : Basic Book.

Geertz, C. 1984. ”Tihingan : Sebuah Desa di Bali”. Dalam Koentjaraningrat (ed), Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Halalam 246-277.

Geertz, C. 1989.Penjaja dan Raja.Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Harris, Marvin. 1979 Cultural Materialism The Struggle for a Science of Culture. New York : Random House.

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. 1989. “Metode Penggunaan Data Pengalaman Individu”, dalamMetode-Metode Penelitianm Masyarakat(Koentjaraningrat, red.). Jakarta, Penerbit PT Gramedia. Halaman 158-172.

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. 1989. “Metode Wawancara”. DalamMetode-Metode Penelitian Masyarakat(Koentjaraningrat, red.). Jakarta, Penerbit PT Gramedia. Halaman 129-157.

Laeyendecker, Leonardus. 1983.Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Jakarta : Penerbit PT Gramedia.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru(Tjetjep Rohindi, penerjemah). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2006.Metodologi Kualitatif : Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Mustain. 2007. Petani VS Negara Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta : AR-Ruzz Media.

Nash, Dennison. 1987. “Tourism as a Form of Imperialism”. Dalam Valeme L. Smith (ed)Hosts and Guests The Anthropology of Tourism. Oxford : Basil Blackwell. Halaman 33-47.


(43)

Nothing Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi (I. Lucianda,penerjemah). Yogyakarta : Universitas Atmadjaja. Halaman xxiii-xxx.

Piliang, Y.A. 2005. “Antara Minimalisme dan Pluralisme”. Dalam. A. Adlin (ed.). Menggeledah Sebuah Hasrat Sebuah Pendekatan Pulti Perspektif. Yogyakarta : Jalasutra. Halaman 1-24.

Pronk. J.P. 1993. Sedunia Perbedaan Sebuah Acuan dalam Kerjasama Pembangunan Tahun 1990-an (S. Maimoen, penerjemah. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Ramanthra, I Wayan, 2010. Alam dan Budaya Bali Sebagai Basis Pembangunan Ekonomi Kreatif. Makalah dalam Seminar Nasional Kebudayaan Bali dalam Rangka Dies Natalis Ke-48 Universitas Udayana. Denpasar, 17 September 2010.

Richard, G. 1997.Cultural Tourism in Europe. Wallingford: CAB International. Ritzer, G. 2006. The Globalization of Nothing Mengkonsumsi Kehampaan di Era

Globalisasi (I. Lucianda,penerjemah). Yogyakarta : Universitas Atmadjaja.

Ryan, Chris and Micelle Aiken (eds). 2005. Indigenous Tourism: The Commodification and Management of Culture. Amsterdam: Elsevier. Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap

Realitas Sosial(Farid Widjidi dan S.Menno, penerjemah). Jakarta : Rajawali Press.

Satori, Djaman dan Aan Komariah. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Shiva, Vandana. 1993. “Kata pengantar”. Dalam Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman Hayati (Hira Jamtani, ed.). Jakarta : Kophalindo. Halalam 7-13.

Sitorus, F.K. 2004. “Identitas Dekonstruksi Permanen”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.).Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta : Kanisius. Halaman 155-171.

Soemardjan, Selo. 1993 “Beberapa Pemikiran tentang Pembangunan”, dalam Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan : Pokok-PokokPikiran Selo Soemardjan(Desiree Zuraida dan Jufrina Rizal, penyunting). Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Halaman 25-230.

Steger, Manfred B. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta : Lafadl.Suparlan, Parsudi. 1986. “Masalah-Masalah Sosial dan IlmuSosial Dasar”. Dalam Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat (A.W. Widjaja, penyunting). Jakarta : Akademika Pressindo. Halaman 61-74.

Taylor, Steven dan Bogdan Robet, 1984.Introduction to Qualitative Research Methods. New York, John Wiley & Sons.

Yunita, T Winarto. 1986. “Perberdaan Antara Interpretasi Neofungsionalisme dan Tindakan Individu yang Rasional”, dalam Berita Antropologi. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Jakarta. Halaman 66-80


(44)

LAMPIRAN : DAFTAR INFORMAN

1) I Wayan Diasa, mantan Kepala Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan.

2) I Nengah Wirata, ST, mantan Kepala Desa Jatiluwih.

3) I Nengah Kartika, Kepala Desa Jatiluwih.


(1)

Agar terwujud keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan alam, maka teknologi yang mesti digunakan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih adalah teknologi pertanian dalam arti luas yang tetapt guna dan ramah lingkungan. Hal ini perlu dilakukan dalam bidang bercocok tanam di sawah dan diladang, bidang peternakan, dan bidang perikanan. Dengan mengimplementasikan nulai-nilai Tri Hita Karana, usaha di bidang pertanian dalam arti luas ini dapat diharapkan dapat berjalan secara lancar, tertib dan aman.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan


(2)

Berdasarkan hasil penelitian ini dan pembahasannya dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Sistem sosiokultural : infrastruktur material, struktur sosial, dan superstruktur ideologis yang berkaitan dengan Subak Jatiluwih terlihat mempunyai potensi yang memungkinkan untuk mendukung pengembangan manajemen berbasis masyarakat dan budaya setempat dalam pengelolaan subak tersebut.

2) Model manajemen berbasis masyarakat dan budaya lokal yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam pengelolaan Subak Jatiluwih adalah yang manajemen yang berlandaskan para filsafat Tri Hita Karana serta konsep-konsep yang sejalan dengan filsafat tersebut dan merupakan kearifan lokal masyarakat Bali. Pada intinya konsep-konsep tersebut menekankan betapa pentingnya keharmonisan dalam hubungan manusia – Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-lingkungan alam. Selain itu konsep-konsep tersebut menekankan pentingnya kebenaran (dharma) untuk menuntun langkah mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan, namun tetap dengan sikap yang luwes sesuai dengan konteks waktu dan ruang. Hal ini perlu dijadikan acuan utama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan pembangunan Subak Jatiluwih guna mencapai tujuan penetapan subak tersebut sebagai warisan budaya dunia.


(3)

Berdasarkan simpulan di atas, saran yang dapat diajukan dalam hal ini adalah sebagai berikut.

1) Agar kelestarian alam dan budaya lokal yang terkait dengan Subak Jatiluwih dapat dicapai, maka para pihak terkait (petani subak, masyarakat Desa Pakraman Jatiluwih, Masyarakat Desa Dinas Jatiluwih, Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan, dan Pemerintah Provinsi Bali), mesti benar-benar menjadikan filsafat Tri Hita Karana sebagai pedoman dalam pengelolaan Subak Jatiluwih.

2) Untuk itu, semua pihak tersebut perlu memahami dan mengimplementasikan filsafat Tri Hita Karana secara sungguh-sungguh dan dinamis, yakni menyesuaikan pelaksanaannya dengan situasi yang aktual dalam konteks waktu dan tempat pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, I. 1998. “Perspektif Pembangunan Jangka Panjang : Globalisasi, Demokrasi, dan Wawasan Nusantara”. Dalam Y.M.A. Aziz (ed.) Visi Global Antisipasi Indonesia Memasuki Abad ke-21. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Halalam 44-52.

Basrowi dan Sukidin. 2003. Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif. Surabaya : Penerbit Insan Cendekia.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies : Teori dan Praktik. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka.

Brian Fay. 2002.Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta, Penerbit Jendela. Dhana, I Nyoman. 2010 Penguatan Strategi Pembangunan Ekonomi yang Berwawasan Nusantara Guna Menjaga Ketahanan Nasional dalam Rangka


(4)

Memperkokoh NKRI : Perspektif Sosial Budaya. Makalah dalam Rangka FGD, diselenggarakan oleh MPR RI Bekerjasama dengan Universitas Udayana, Denpasar, 27 Nopember 2010.

Deperindag. 2008. Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025. Makalah dalam Creative Converence, di Bali.

Depbudpar. 2009. Kegiatan Tahun Indonesia Kreatif 2005. Makalah dalam Seminar Indonesia Kreatif, di Bogor.

Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bordieu.Yogyakarta : Juxtapose.

Geriya, I Wayan dkk.2009. Kebudayaan Unggul Inventori Unsur Unggulan sebagai Basis Kota Denpasar Kreatif. Denpasar Bappeda Kota denpasar. Geriya, I Wayan dkk. 2010. Inovasi Budaya Pengembangan Kewirausahaan dan

Partisipasi Masyarakat untuk Penguatan Industri dan Kota Kreatif Denpasar. Laporan Penelitian. Denpasar : Bappeda Kota Denpasar.

Geertz, C. 1971.The Interpretation of Cultures. New York : Basic Book.

Geertz, C. 1984. ”Tihingan : Sebuah Desa di Bali”. Dalam Koentjaraningrat (ed), Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Halalam 246-277.

Geertz, C. 1989.Penjaja dan Raja.Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Harris, Marvin. 1979 Cultural Materialism The Struggle for a Science of Culture. New York : Random House.

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. 1989. “Metode Penggunaan Data Pengalaman Individu”, dalamMetode-Metode Penelitianm Masyarakat(Koentjaraningrat, red.). Jakarta, Penerbit PT Gramedia. Halaman 158-172.

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. 1989. “Metode Wawancara”. DalamMetode-Metode Penelitian Masyarakat(Koentjaraningrat, red.). Jakarta, Penerbit PT Gramedia. Halaman 129-157.

Laeyendecker, Leonardus. 1983.Tata, Perubahan, dan Ketimpangan. Jakarta : Penerbit PT Gramedia.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru(Tjetjep Rohindi, penerjemah). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2006.Metodologi Kualitatif : Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Mustain. 2007. Petani VS Negara Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta : AR-Ruzz Media.

Nash, Dennison. 1987. “Tourism as a Form of Imperialism”. Dalam Valeme L. Smith (ed)Hosts and Guests The Anthropology of Tourism. Oxford : Basil Blackwell. Halaman 33-47.


(5)

Nothing Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi (I. Lucianda,penerjemah). Yogyakarta : Universitas Atmadjaja. Halaman xxiii-xxx.

Piliang, Y.A. 2005. “Antara Minimalisme dan Pluralisme”. Dalam. A. Adlin (ed.). Menggeledah Sebuah Hasrat Sebuah Pendekatan Pulti Perspektif. Yogyakarta : Jalasutra. Halaman 1-24.

Pronk. J.P. 1993. Sedunia Perbedaan Sebuah Acuan dalam Kerjasama Pembangunan Tahun 1990-an (S. Maimoen, penerjemah. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Ramanthra, I Wayan, 2010. Alam dan Budaya Bali Sebagai Basis Pembangunan Ekonomi Kreatif. Makalah dalam Seminar Nasional Kebudayaan Bali dalam Rangka Dies Natalis Ke-48 Universitas Udayana. Denpasar, 17 September 2010.

Richard, G. 1997.Cultural Tourism in Europe. Wallingford: CAB International. Ritzer, G. 2006. The Globalization of Nothing Mengkonsumsi Kehampaan di Era

Globalisasi (I. Lucianda,penerjemah). Yogyakarta : Universitas Atmadjaja.

Ryan, Chris and Micelle Aiken (eds). 2005. Indigenous Tourism: The Commodification and Management of Culture. Amsterdam: Elsevier. Sanderson, Stephen K. 1993. Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan Terhadap

Realitas Sosial(Farid Widjidi dan S.Menno, penerjemah). Jakarta : Rajawali Press.

Satori, Djaman dan Aan Komariah. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Shiva, Vandana. 1993. “Kata pengantar”. Dalam Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman Hayati (Hira Jamtani, ed.). Jakarta : Kophalindo. Halalam 7-13.

Sitorus, F.K. 2004. “Identitas Dekonstruksi Permanen”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.).Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta : Kanisius. Halaman 155-171.

Soemardjan, Selo. 1993 “Beberapa Pemikiran tentang Pembangunan”, dalam Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan : Pokok-PokokPikiran Selo Soemardjan(Desiree Zuraida dan Jufrina Rizal, penyunting). Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Halaman 25-230.

Steger, Manfred B. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Yogyakarta : Lafadl.Suparlan, Parsudi. 1986. “Masalah-Masalah Sosial dan IlmuSosial Dasar”. Dalam Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat (A.W. Widjaja, penyunting). Jakarta : Akademika Pressindo. Halaman 61-74.

Taylor, Steven dan Bogdan Robet, 1984.Introduction to Qualitative Research Methods. New York, John Wiley & Sons.

Yunita, T Winarto. 1986. “Perberdaan Antara Interpretasi Neofungsionalisme dan Tindakan Individu yang Rasional”, dalam Berita Antropologi. Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Jakarta. Halaman 66-80


(6)

LAMPIRAN : DAFTAR INFORMAN

1) I Wayan Diasa, mantan Kepala Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan.

2) I Nengah Wirata, ST, mantan Kepala Desa Jatiluwih.

3) I Nengah Kartika, Kepala Desa Jatiluwih.