KONFLIK DI AMBON TINJAUAN PUSTAKA

prisons : ketika stereotipe telah terbentuk, stereotipe akan membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga informasi baru tentang orang ini akan diinterpretasikan sebagai penguatan terhadap stereotipe kita, bahkan ketika hal ini tidak terjadi. Menurut Baron dan Byrne 2004 sterotipe memberikan efek kuat bagaimana kita memproses informasi, bahkan menurut Kunda OLeson ; O’sullivan 7 Durso dalam Baron dan Byne 2004 sterotipe bahkan mendorong seseorang memperhatikan jenis- jenis informasi tertentu saja. Informasi yang diperhatikan ini khususnya informasi yang konsisten dengan stereotipe tersebut dan bahkan ketika informasi tersebut tidak konsisten dengan stereotipe yang disadari, maka seseorang secara aktif menolak atau sedikit merubahnya sehingga tampaknya konsisten dengan stereotipe tersebut. Menurut Sarwono 2006 stereotipe memang berhubungan dengan prasangka, yaitu prasangka mengaktifkan stereotipe dan stereotipe menguatkan prasangka.

C. KONFLIK DI AMBON

Kota Ambon merupakan ibu kota propinsi dari Maluku dan merupakan sentral dari kegiatan pemerintahan dan politik, ekonomi maupun pendidikan. Keadaan ini membuat kota Ambon mempunyai daya tarik tersendiri untuk masyarakat dari segala penjuru desa di Maluku maupun dari luar Maluku untuk datang dan hidup di Ambon www.fica.orghrambonidRusuh1.hmtl . Masyarakat di Ambon maupun di Maluku pada umumnya hidup dalam keberagaman dan jauh sebelum tanggal 19 Januari1999 keberagaman tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dapat berjalan dengan damai. Keberagaman tersebut dapat berjalan dengan damai karena diikat oleh sebuah sistem adat-istiadat yang sering disebut Pela Gandong. Sistem ini memungkinkan warga yang berbeda agama ataupun suku mengangkat sumpah melalui suatu upacara khusus, berjanji untuk saling setia dan saling membantu, membela dalam suka dan duka Suedy, 2000. Menurut F. L Cooley dalam Suedy, 2000 Pela ini terbentuk dalam abad ke XVI di Maluku dengan latar belakang yang berbeda-beda tetapi mempunyai yang sama yaitu ‘bekerja sama untuk kepentingan bersama’. Hal diatas menunjukan walaupun kehidupan masyarakat di Ambon dan Maluku memiliki agama, suku, jenis pekerjaan , dll yang berbeda tetapi mereka dipersatukan oleh sebuah sistem yang disebut Pela Gandong. Keadaan yang tenang dan damai ini rusak oleh sebuah konflik yang terjadi sejak 19 Januari 1999. Konflik yang terjadi ini menyebabkan masyarakat diliputi ketegangan dan ketakutan baik yang beragama Muslim maupun Kristen dan wilayah kota Ambon tersegresi secara ketat antara wilayah Muslim dan Kristen. Hal ini mengakibatkan mereka yang berbeda agama hampir tidak pernah berhubungan secara fisik, kecuali para relawan kemanusian, sedikit pelaku bisnis, atau petugas pemerintahan. Itu pun terbatas dilakukan di tempat-tempat netral Margawati dan Aryanto, 2000. Konflik yang berlangsung ini tidak hanya menyebabkan ketegangan dan segresi wilayah tetapi juga menyebabkan banyaknya jatuh korban baik berupa fisik maupun nyawa serta permasalahan lain seperti pengungsian Sarwono, 2006. Konflik yang terjadi tidak hanya membawa dampak sebatas pada orang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dewasa tapi juga anak-anak yang beranjak remaja. Dalam laporan salah satu organisasi yang memperhatikan hak-hak anak Save the Children UK SCKU yang bekerja di Indonesia khususnya wilayah Ambon dan sekitarnya melaporkan bahwa dalam konflik di Ambon ada anak-anak yang terlibat secara aktif dalam konflik ataupun anak yang menjadi korban langsung dan anak yang menjadi saksi konflik yang terjadi di Ambon. Dampak yang dirasakan anak-anak mulai dari rasa takut, rasa tegang, sedih, gangguan makan dan tidur sampai dengan menyimpan dendam dan merasakan kebencian yang terus menerus. Save the Children juga mencatat bahwa konflik di Ambon mengakibatkan anak-anak terpisah dari teman-teman mereka yang pergi atau tewas karena koflik. Ketakutan dan kebencian baru terhadap anggota komunitas dan agama lain mengakibatkan hilangnya pertemanan yang dulu ada serta munculnya keterbatasan dalam membentuk hubungan-hubungan baru dengan teman sebaya. Situasi seperti ini mendorong SCUK melakukan tindakan-tindakan rekonsiliasi yang juga melibatkan anak-anak sebagai fasilitator perdamaian untuk sesama anak-anak sendiri juga.

D. TINGKAT PRASANGKA REMAJA PADA TEMAN YANG BERBEDA AGAMA SETELAH KONFLIK DI AMBON