Sebab-sebab Timbul Prasangka Ada beberapa faktor penyebab timbulnya prasangka antara lain :

informasi yang diterima kurang tepat atau generalisasi yang kurang tepat 2. Prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya dengan memikirkan anggota kelompok yang tidak disukai Baron dan Bryne, 1994. Komponen afektif pada prasangka berisi perasaan ataupun emosi negatif terhadap kelompok lain. Emosi-emosi negatif tersebut berupa perasaan tidak suka, membenci, tidak simpati, dll Ahmadi Abu,1991 3. Komponen konatif yang menunjukkan pada pengalaman dengan kelompok. Merujuk pada perilaku diskriminatif kepada kelompok lain atau orang lain. Menurut Baron dan Byrne 2004 diskriminasi adalah tingkah laku negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok sosial yang menjadi objek prasangka.

3. Sebab-sebab Timbul Prasangka Ada beberapa faktor penyebab timbulnya prasangka antara lain :

a. Proses Belajar Proses belajar yang salah bisa menjadi salah satu penyebab seseorang khususnya anak-anak sudah berada dalam sebuah lingkungan yang penuh dengan prasangka. Anak-anak akan belajar dari orang tuanya, teman- temannya ataupun dari gurunya. Anak-anak akan melihat, memperhatikan dan mendengar apa saja yang dilakukan oleh orang tuanya dan akan terekam dalam pikiran mereka Baron dan Byrne 2004. Berdasarkan pandangan proses pembelajaran sosial social learning, sesorang mengadopsi informasi baru, tingkah laku, atau sikap dari orang lain Baron dan Byrne 2004. Hal ini akan semakin diperkuat apabila diberikan sebuah reinforcement positif berupa sikap teman-teman sebaya yang bersikap sama, informasi-informasi dari media massa yang kurang proposional, ataupun lingkungan yang mendukung seseorang bersikap seperti itu Baron dan Byrne 2004. Hal ini sejalan dengan penjelasan Bandura, bahwa prasangka dapat terjadi karena subjek belajar dari orang-orang disekitarnya yang berprasangka terhadap kelompok lain dengan cara meniru atau mendapatkan pengaruh reinforcement positif dari orang-orang disekitarnya dalam Atmadji 2002. Hal ini menunjukkan bahwa prasangka merupakan sebuah sikap yang bisa dipelajari. b. Realistic Conflict Theory Penyebab lain terjadinya prasangka adalah adanya kompetisi yang menyebabkan konflik dan berakibat timbulnya prasangka. Menurut Realistic Conflict Theory, prasangka timbul karena adanya kompetisi antara dua kelompok sosial yang disebabkan kerena perebutan kesempatan ataupun karena sebuah komoditas. Jika kompetisi ini terus berlanjut maka akan meningkatkan pandangan-pandangan negatif diantara anggota kelompok lain tersebut. Suatu kelompok dilabelkan sebagai musuh dan menganggap kelompoknya sebagai yang terbaik White dalam Baron dan Byrne 2004. Menurut Sherif dan Sherif dalam Baron dan Byrne 2004 kompetisi yang rasional terhadap sumber daya yang sedikit dapat dengan cepat berkembang menjadi konflik berskala penuh sehingga menimbulkan sikap negatif terhadap lawannya dan pada akhirnya bisa membentuk akar prasangka. Selanjutnya hubungan yang dipenuhi dengan konflik dapat menimbulkan jarak sosial antara kelompok atau individu. Menurut Sherif Sherif dalam Atmadji, 2002 jarak sosial adalah sikap negatif anggota kelompok tertentu pada anggota kelompok lain yang dijadikan norma- norma kelompok. Akibatnya jarak sosial ini menimbulkan batasan-batasan negatif diantara kelompok-kelompok. c. Kategorisasi Sosial Situasi lain yang dapat meningkatkan prasangka dalam kelompok adalah kategorisasi sosial. Menurut Baron dan Byrne 2004 kategorisasi sosial merupakan kecenderungan untuk membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda : in group dan out group. Perbedaan antara in group dan out group dapat terjadi karena adanya perbedaan latar belakang seperti ras, agama, jenis kelamain, usia, latar belakang etnis, pekerjaan dan pendapatan. Kategorisasi sosial tidak hanya menyebabkan prasangka tetapi juga terjadi perbedaan perasaan dan keyakinan antara kelompok in group dan out group. Perbedaan perasaan dan keyakinan antar in group dan out group ini juga mengakibatkan terjadi kesalahan atribusi. Kesalahan atribusi merupakan kecenderungan untuk memberikan atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompoknya sendiri daripada anggota kelompok lain. Menurut Lambert ; Linville dan Fischer dalam Baron dan Byrne 2004 kelompok out group diasumsikan memiliki traits yang tidak diinginkan dan dipersepsikan lebih serupa daripada anggota dari in group dan sering tidak disukai. Perbedaan antara in group dan out group juga membentuk persepsi lebih superior dari kelompok lain yang menjadi pesaingnya. Menurut Tajfel dan Turne dalam Baron dan Byrne 2004 persepsi superior ini terjadi dikarenakan individu berusaha meningkatkan self esteem mereka dengan mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosial lainnya. d. Stereotipe Prasangka juga bersumber dari aspek dasar kognisi sosial yaitu berpikir mengenai orang lain, menyimpan dan mengintegrasikan informasi tentang mereka, dan kemudian menggunakan informasi ini untuk menarik kesimpulan tentang mereka atau membuat penilaiaan sosial. Aspek kognisi yang dimaksud adalah stereotipe. Menurut Judd, Ryan dan Parke dalam Baron dan Bryne 2004 stereotipe merupakan kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok lain. Dunning dan Sherman dalam Baron dan Byrne 2004 juga mendeskripsikan stereotipe sebagai penjara kesimpulan inferential prisons : ketika stereotipe telah terbentuk, stereotipe akan membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga informasi baru tentang orang ini akan diinterpretasikan sebagai penguatan terhadap stereotipe kita, bahkan ketika hal ini tidak terjadi. Menurut Baron dan Byrne 2004 sterotipe memberikan efek kuat bagaimana kita memproses informasi, bahkan menurut Kunda OLeson ; O’sullivan 7 Durso dalam Baron dan Byne 2004 sterotipe bahkan mendorong seseorang memperhatikan jenis- jenis informasi tertentu saja. Informasi yang diperhatikan ini khususnya informasi yang konsisten dengan stereotipe tersebut dan bahkan ketika informasi tersebut tidak konsisten dengan stereotipe yang disadari, maka seseorang secara aktif menolak atau sedikit merubahnya sehingga tampaknya konsisten dengan stereotipe tersebut. Menurut Sarwono 2006 stereotipe memang berhubungan dengan prasangka, yaitu prasangka mengaktifkan stereotipe dan stereotipe menguatkan prasangka.

C. KONFLIK DI AMBON