38
sudah mulai berkurang. Korban harus bisa meghadapi realita yang ada dan optimis tentang masa depan yang dikenal dengan
fase “
Honey moon
”.Maka bisa di artikan pada tahap ini korban mulai membuka pikirannya untuk memulai hal yang baru dan
bangkit dari keterpurukannya. c.
Tahap Rehabilitasi dan Rekontruksi Fase ini sekitar satu tahun atau lebih setelah bencana.
Pada fase ini, sebagian besar korban bencana sudah sembuh namun resiko lain dapat meningkatkan seperti bunuh diri,
kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan, dan kesulitan berfikir logis, bahkan
hingga konflik internal dalam komunitas. Dampak psikologis yang mungkin terjadi pada korban bencana
berdasarkan tingkatan usia :
1. Anak Pra Sekolah
Menurut Norris dalam Berwi 2015 Anak – anak
korban bencana
mengalami gangguang
psikis seperti
mengompol, gigit jempol, mimpi buruk, mudah marah,
temper tantrum
, hip eraktif, agresif, “
Baby Talk
” dan peningkatan intensitas.
2. Anak Usia Sekolah
Menurut mandalakas dalam Berwi 2015 Anak usia sekolah biasanya menunjukkan reaksi ketakutan dan kecemasan,
39
keluhan somatic, dan gangguan tidur. Selain itu mereka juga mengalami gangguan prestasi sekolah, menarik diri dari
pertemanan, apatis, dan enggan berteman.Kondisi traumatic pasca bencana sangat memungkinkan terjadi pada mereka dan
pertengkaran sesame teman.
3. Anak Usia Remaja
Kondisi traumatik pada remaja menjadi mereka akan menarik diri dari aktivitas sosial dan sekolah, menjadi anak
pemberontak, mengalami gangguan makan, tidur, dan kurangnya konsentrasi. Hal yang paling ditakuti pada gangguan
psikologis yang terjadi pada usia remaja yaitu pelampiasan traumatik pada penyalahgunaan alcohol ataupun seks bebas
4. Wanita
Kaum perempuan mengalami berbagai goncangan psikologis akibat bencana seperti kehilangan rasa percaya diri,
khawatir yang berlebihan, gejala ketakutan berlebihan dan trauma yang tinggi dari tekanan hidup yang bertubi-tubi. Situasi
setelah bencana terkadang menurunkan motivasi bagi perempuan untuk mempertahankan hidup dan mereka pun akan
kembali mengalami traumatis untuk melakukan adaptasi kembali dengan lingkungan dan masyarakat skitar.
40
5. Lansia
Para lansia telah mengalami penurunan kemampuan fisik dan mental sehngga sulit untuk melakukan adaptasi
kembali setelah kejadian bencana.Kaum lansia juga telah kehilangan peran sehingga merasa dirinya tidak berarti dan
tidak lagi sibutuhkan orang – orang sekitarnya.
4. Gunung Sinabung
Menurut Tjetjep 2011 di wilayah Indonesia terdapat sekitar 129 buah gunung berapi tersebut, sebanyak 13 terbentang dari pulau Sumatra
menyusuri pulau Jawa kemudan menyebrang ke Bali dan Nusa tenggara hingga bagian timur Maluku dan berbelo kearah Sulawesi.Tipe gunung di
Indonesia disesuaikan dengan riwayat erupsinya. Tipe A yaitu gunung api yang pernah meletus sejak tahun 1600 dan aktif sampai sekarang, tipe B
adalah yang mempunyai kawah dan memiliki lapangan solfatara atau fumarole tetapi tidak diketahui erupsinya sejak tahun 1600, dan tipe C
adalah gunung api yang hanya mempunyai lapangan solfatara atau fumarole saja dan tidak ada rekaman erupsi sejak tahun 1600.
Gunung Sinabung terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Koordinat puncak Gunung Sinabung adalah 3
ᵒ 10’ LU dan 98ᵒ 23’ BT dengan ketinggian 2.460 meter dari permukaan laut dan disertai 4 kawah
yaitu Kawah I,II,III, dan IV. Gunung bertipe strato ini terakhir meletus pada tahun 1600 dan kembali meletus pada tahun 2010.Oleh karena itu,
41
gunung ini masuk ke dalam tipe B yang bersejarah erupsinya tidak diketahui sejak tahun 1600.
Tabel 2.1 Sejarah Erupsi Gunung Sinabung
Keadaan sosial warga berubah drastis pasca erupsi Gunung Sinabung. Sektor pertanian menjadi dampak terbesar yang mengakibatkan
warga beralih menjadi pekerja buruh lepas harian dalam bahasa Karo disebut
aron.
Masyarakat setiap hari membuat pos jaga yang dilakukan
Tahun Erupsi
1600 Memuntahkan batu piroklastik serta aliran lahar yang mengalir kea rah selatan
1912 Aktivitas Solfatara terlihat di puncak dan lereng atas
2010 7 April
– 27 Agustus Beberapa kali erupsi yang diantaranya merupakan freatik. Status Gunung Sinabung berubah
dari bertipe B menjadi A 7 September
Erupsi dengan lontaran sebu vulkanik hingga 5.000 meter ke udara dan suara erupsi terdengar hingga jarak 8KM
23 September Aktivitas Gunung Sinabung menurun menjadikan status dari AWAS level IV ke SIAGA
level II 7 Oktober
Status Gunung Sinabung kembali turun dari SIAGA level III menjadi WASPADA level II
2013 15 September pukul 02.51 WIB
Erupsi pada hari minggu dini hari masih terjadi hingga beberapa kali kemudian. Status gunung berada pada level III atau SIAGA
29 September Status Gunung Sinabung diturunkan dari SIAGA level III menjadi WASPADA level II
3 November pukul 16.18 WIB Erupsi mengeluarkan Debu Vulkanik setinggi 2.500 meter arah angina ke Barat. Radius 3
KM dari lokasi harus dikosongkan 4 Desa
2014 3 Januari
Guguran lava pijar dan awan panas masih terus terjadi. Warga yang dievakuasi mencapai 20.000 orang. Status gunung turun menjadi SIAGA level III
29 Juni pukul 19.50 WIB Gunung Sinabung mengeluarkan awan panas, dengan tinggi kolom erupsi setinggi 400 meter
dan 4,5 meter kearah tenggara.
2015 September
Gunung Sinabung mengeluarkan 2 kali awan panas sejauh 3000 meter dan terjadi 56 Kali gempa Guguran, lama gempa 5-10 detik.
November 2015 Guguran lava pijar sejauh 2000 meter dan terjadi 12 kali gempa.
2016 September
Selama bulan September terjadi 101 gempa vulkanik dangkal Oktober
2 kali gempa letusan, 5 kali gempa vulkanik.
42
oleh laki – laki secara bergantian, pakaian disusun dalam karung untuk
bersiaga jika tiba –tiba bencana datang.
Kondisi Ekonomi Penduduk sekitar Gunung Sinabung, Erupsi Gunung Sinabung sangat berdampak besar pada lahan pertanian yang
biasa digarap oleh masyarakat.Tanaman padi, yang ditanam petani tertutup oleh debu vulkanik yang menyebabkan gagal panen sehingg harga di
pasaran meningkat. Dampak Erupsi Gunung Sinabung terhadap budaya.Data yang
didapatkan dari Psychosocial Assessment Report pada 2013 dinyatakan bahwa pengungsi terbesar dari bencana erupsi Gunung Sinabung berasal
dari Desa Suka Meriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem.Mereka adalah masyarakat Karo yang masih memegang adat dengan kuat dan tradisi
keagamaan yang kental, membuat mereka memiliki berbagai aktivitas adat-ritual yang dapat digunakan dalam membantu memulihkan kondisi
psikologis mereka maupun meningkatkan resiliensi.
Rakut Sitelu,
yakni konsep lembaga sosial adat bagi masyarakat karo dapan menjadi sarana dalam pemuliham masyarakat yang
partisipatoris. Para pengungsi juga memiliki berbagai upacara adat yang dapat membuat mereka lebih tenang, misalnya
Releng Tendi
yang biasanya dilakukan untuk membersihkan jiwa setelah mengalami kejadian
yang berbahaya atau mengancam.Masyarakat Karo juga memiliki
Sangkep Sitelu
untuk memulihkan hubungan antara anggota masyarakatadat yang terbelah.
Sangkep Sitelu
dapat digunakan untuk memulihkan hubungan
43
antar pengungsi yang setempat memanas atau mengalami ekskalasi konflik selama tinggal di Posko Pengungsian.
Masyarakat Karo mayoritas beragama Nasrani, Khususnya Protestan, dengan sinode terbesar yakni Gereja Batak Karo Protestan
GBKP, dan Gereja injili Karo Indonesia. Kedua sinode ini ataupun sinode lain yang lebih kecil dapat menjadi media dalam melakukan
program pemulihan psikologis maupun meningkatkan resiliensi pada masyarakat di sekitar gunung Sinabung. Selain melibatkan Sinode Gereja
Protestan, sumber daya lain yang tersedia adalah Pengurus Masjid Agung Kabanjahe dan Paroki Berastagi.
D. Hasil Penelitian yang Relevan