Resiliensi Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Naman Teran Korban

61

B. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Resiliensi Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Naman Teran Korban

Bencana Alam Gunung Sinabung Berdasarkan penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa 100 siswa kelas VII SMP Negeri 1 Naman Teran Korban Bencana Alam Gunung Sinabung memiliki resiliensi yang sangat rendah, hal ini dapat disimpulkan bahwa seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Naman Teran belum memiliki resiliensi yang baik. Siswa yang memiliki resiliensi sangat rendah adalah siswa yang tidak mampu mengontrol emosi dan tidak bersikap tenang meskipun berada dibawah teknanan, tidak mampu mengontrol dorongannya yang mengarah pada pengendalian emosi, tidak optimis untuk masa depan dan tidak mampu mengindentifikasi penyebab dari masalah yang sedang dihadapi. Siswa yang memiliki resiliensi rendah adalah siswa yang tidak mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan. Grotberg dalam albinus 2014 menyatakan bahwa seseorang dengan tingkat resiliensi yang rendah tidak akan mampu menilai,mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Menurut Grotberg faktor pertama yang menjadi sumber resiliensi yaitu I Have aku punya, hal ini berhubungan dengan bagaimana siswa memaknai besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan terhadap dirinya. Rendahnya resiliensi siswa di SMP Negeri 1 Naman Teran 62 dipengaruhi oleh kurangnya dukungan yang diberikan lingkungan terhadap dirinya, contohnya dalam kehidupan di tenda pengungsian remaja tinggal bersama pengungsi lainnya, semuanya dalam keadaan yang sedang mengkhawatirkan keadaan gunung sinabung yang bisa saja meletus secara tiba-tiba,sehingga orang tua tidak memperhatikan bagaimana perkembangan anaknya, pada saat itu yang terpenting adalah memikirkan cara untuk menyelamatkan seluruh anggota keluarga. contoh lainnya ketika remaja dalam masa perkembangan ia tinggal bersama – sama dengan keluarga lainnya dan tidak merasakan kenyamanan di rumah. lingkungan sekolah juga kurang mendukung anak untuk berkembang dengan baik, hal ini bisa terjadi karena sekarang mereka numpang di sekolah orang lain dan dengan terpaksa remaja harus sekolah disiang hari yaitu pukul 13.30 – 18.00, pada jam tersebut biasanya remaja pergi bermain dan beristirahat namun sekarang mereka harus sekolah. Dengan kata lain lingkungan remaja sangat kurang mendukung untuk perkembangan resiliensi secarawalaupun sebenarnya keadaan ini terjadi dengan terpaksa. Faktor yang kedua adalah I am Aku ini. I am Aku ini merupakan faktor resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki siswa berkaitan dengan mencintai,empati, bertanggung jawab terhadap prilaku sendiri dan kepedulian terhadap orang lain. remaja merasa rendah diri karena dia tinggal di kota namun dengan status pengungsi. remaja juga merasa putus asa karena melihat orangtuanya yang 63 susah payah mendapatkan uang. kurangnya rasa empati,mencintai,bertanggung jawab dan kepedulian terhadap orang lain juga mendukung rendahnya resiliensi yang di miliki remaja SMP Negeri 1 Naman teran ini. Faktor ketiga adalah I Can Saya dapat, hal ini berkaitan dengan keterampilan sosial dan interpersonal seperti berkomunikasi,memecahkan masalah,mengelola perasaan,mengukur tempramen diri sendiri dan orang lain,menjalin hubungan dan saling mempercayai. Bagaimana remaja bisa mampu mempercayai orang lain dengan keadaan yang sedang mreka alami, keadaan memaksa untuk egois. Sulit juga bagi remaja untuk mengukur tempramen orang lain karena pada masa mereka harus belajar mengenal emosi orang lain namun orang lain disekitarnya sedang mengalami tempramen emosi yang tidak normal. Oleh sebab itu rendahnya resiliensi siswa SMP Negeri 1 Naman teran ini disebabkan oleh kurangnya faktor I can saya dapat. Rirkin dan Hoopman merumuskan definisi tentang resiliensi bahwa setiap individu memiliki kapasitas untuk bangkit kembali ketika mengalami kesulitan, sehingga orang tersebut mampu mengembangkan akademiknya maupun sosialnya walaupun tekanan dari kesulitan masih dihadapi.Rendahnya resiliensi siswa SMP Negeri 1 Naman Teran ini mungkin mereka belum mendapatkan dukungan dari pihak manapun untuk bangkit kembali dari keterpurukan mereka, sehingga mereka tidak mampu mengembangkan dirinya. 64 Rendahnya resiliensi siswa dapat juga disebabkan oleh faktor individu dan faktor keluarga.Untuk faktor individu, siswa beranggapan bahwa orang disekitartidak mencintainya. Siswa tidak menyadari bahwa dirinya penting dan tidak merasa puas dengan apa yang sudah dilakukannya. Siswa merasa gampang putus ada dan tidak mampu melakukan apapun.Siswa merasa bahwa dirinya tidak berharga. Untuk faktor keluarga, siswa mungkin tidak mendapatkan dukungan dari keluarga,tidak memiliki kasih sayang dari orangtua,merasa tidak dihargai dalam keluarga dan tidak diperlakukan adil sebagai anggota keluarga. Menurut Berwi 2015 dampak psikologis pada korban bencana alam anak usia sekolah biasanya menujukkan reaksi ketakutan, kecemasan, keluhan somatik dan gangguan tidur. Selain itu mereka juga mengalami gangguan prestasi sekolah,menarik diri dari pertemanan, apatis dan enggan berteman, sehingga rendahnya resiliensi siswa SMP Negeri 1 Naman Teran ini juga dipengaruhi oleh terganggunya psikologis anak karena bencana alam. Dampak dari bencana alam menyentuh semua aspek kehidupan baik secara fisik maupun psikologis, salah satu perubahan besar yaitu kehilangan kehidupan teratur. Keadaan seperti ini akan memaksa korban untuk beradaptasi cepat dengan lingkungan baru dan sangat memungkinkan munculnya stress. Pada saat seseorang dalam keadaan stress berat maupun ringan sudah dipastikan ia tidak akan berkembang secara optimal. Melalui penelitian ini peneliti menjadi tau bahwa siswa 65 kelas VII SMP Negeri 1 Naman teran memiliki resiliensi yang sangat rendah dengan kata lain anak kelas VII SMP Negeri 1 Naman teran ini tidak memiliki daya lentur ketika mendapatkan tekanan sehingga mereka sangat membutuhkan bantuan dari oranglain untuk berkembang secara optimal. Prinsip dasar keterampilan resiliensi menurut Reivich and Shatte yang pertama adalah manusia dapat berubah, maka hasil dari penelitian ini bukan semata-mata anak pasca bencana tidak mampu memiliki resiliensi, melainkan anak pasca bencana jika diberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan memiliki dorongan dari diri individu itu sendiri maka mereka akan memiliki keterampilan resiliensi itu sendiri. Hal ini sesuai dengan perkataan filsafat Jhon Locke dan Jean Rousseau yang berkata bahwa manusia bahwa manusia bukanlah korban dari leluhur masa lalunya.

2. Item