Syarat gas pembawa yaitu murni dan tidak reaktif, gas pembawa keadaan murni agar tidak berpengaruh pada detektor dan disimpan dalam tangki
bertekanan tinggi Gandjar dan Rohman, 2007. Gas pembawa dipilih berdasarkan sifat inert-nya. Fungsi utamanya
adalah membawa uap analit melalui system kromatografi tanpa berinteraksi dengan komponen-komponen sampel. Terkadang pemilihan gas pembawa
ditentukan oleh detektor yang digunakan Dean, 1995. Tabel II. Contoh Gas Pembawa dan Pemakaian Detektor Gandjar dan Rohman,
2007
Gas pembawa Detektor
Hidrogen Hantar panas
Helium Hantar panas
Ionisasi nyala Fotometri nyala
Termoionik
Nitrogen Ionisasi nyala
Tangkap elektron Fotometri nyala
Termoionik
Argon Ionisasi nyala
Argon + metana 5 Tangkap elektron
Karbon dioksida Hantar panas
Untuk kolom kapiler, aliran gas pembawa paling baik diungkapkan dengan kecepatan rata-rata linear µ, cmdetik, bukan dengan laju alir volumetrik
F, mLmenit. Kecepatan rata-rata linear dapat diartikan sebagai kecepatan rata- rata sampel melewati kolom atau kecepatan gas pembawa MSP KOFEL, 2005.
Tabel III. Kecepatan Linear Gas Pembawa untuk Kolom 30 m MSP KOFEL, 2005
Diameter Kolom mm
Kecepatan Linear cmdetik Laju Alir mLmenit
He H
2
He H
2
0.18 30-45
45-60 0,5-0,7
0,7-0,9 0.25
30-45 45-60
0,9-1,3 1,3-1,8
0.32 30-45
45-60 1,4-2,2
2,2-2,9 0.45
30-45 45-60
2,9-4,3 4,3-5,7
0.53 30-45
45-60 4,0-6,0
6,0-7,9
2. Sistem Injeksi Sampel
Fungsi tempat penginjeksian adalah untuk menyediakan jalan masuk bagi syringe dan juga sampel ke dalam aliran gas pembawa dan untuk menyediakan
panas yang cukup untuk menguapkan sampel Dean, 1995. Pada dasarnya, ada 4 sistem penginjeksian sampel pada KG, yaitu:
a. Injeksi langsung direct injection, yang mana sampel yang diinjeksikan akan
diuapkan dalam injektor yang panas dan dan 100 sampel masuk menuju kolom.
b. Injeksi terpecah split injection, yang mana sampel yang diinjeksikan
diuapkan dalam injektor yang panas dan selanjutnya dilakukan pemecahan. c.
Injeksi tanpa pemecahan splitness injection, yang mana hampir semua sampel diuapkan dalam injektor yang panas dan dibawa ke dalam kolom
karena katup pemecah ditutup. d.
Injeksi langsung ke kolom on column injection, yang mana ujung septum dimasukkan langsung ke dalam kolom
Rohman, 2009.
Cuplikan yang dapat dianalisis dengan teknik KG dapat berupa zat cair dan gas. Dengan syarat cuplikan tersebut mudah menguap dan stabil tidak rusak
pada kondisi operasional. Di tempat pemasukan cuplikan terdapat pemanas yang suhunya dapat diatur untuk menguapkan cuplikan. Suhu tempat penyuntikan
cuplikan biasanya sekitar 50 derajat di atas titik didih cuplikan. Bila cuplikan rusak pada suhu tersebut maka cuplikan tersebut tidak dapat dianalisis dengan
teknik KG. Untuk kolom analitik memerlukan antara 0,1-10 µL cuplikan cair sedangkan kolom preparatif memerlukan antara 20-1000 µL Hendayana, 2010.
Gambar 4. Sistem injeksi kromatografi gas Gandjar dan Rohman, 2007
3. Kolom
Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di dalamnya terdapat fase diam, sehingga merupakan komponen yang sentral
Gandjar dan Rohman, 2007. Kolom yang berfungsi sebagai pemisah
mengandung fase diam yang bias berupa adsorben kromatografi gas, padat atau cairan. Kolom tersebut terbuat dari logam, gelas, atau silika Dean, 1995.
Ada 2 tipe kolom yang digunakan dalam KG yaitu kolom kemas dan kolom kapiler. Kolom kemas adalah kolom tipe pertama dan telah digunakan
selama beberapa tahun. Kolom kapiler merupakan kolom yang paling banyak digunakan sekarang, tetapi kolom kemas tetap digunakan untuk penelitian yang
tidak membutuhkan resolusi tinggi atau ketika dibutuhkan peningkatan kapasitas kolom Christian, 2004.
a. Kolom kemas
Kolom yang biasanya dibuat dari gelas atau kaca yang disilanisasi untuk menghilangkan senyawa silanol polar Si-OH dari permukaannya yang
menyebabkan tailing pada peak dari analit polar. Internal diameternya 2-5 mm, kolomnya dikemas dengan partikel solid pendukung yang disalut dengan cairan
fase diam Watson, 1999. Dibandingkan dengan kolom kapiler, kolom kemas memiliki variasi
panjang jalur aliran fase gerak dan lapisan film diskontinyu dari fase diamnya yang tidak seragam Dean, 1995.
b. Kolom kapiler
Kolom kapiler terbuat dari lelehan silika yang disalut bagian luarnya dengan poliamida untuk memberikan sifat fleksibel kolom. Penyalutan dengan
aluminium juga telah dilakukan untuk pengerjaan pada suhu yang tinggi 400
o
C. Internal diameternya 0,15-0,5 mm. Dinding kolom disalut dengan cairan fase diam yang memberi lapisan tipis antara 0,1-5µm Watson,1999.
Memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kolom kemas yaitu fleksibel, awettahan lama, dan memiliki silika kapiler yang bersifat inert terhadap
bahan kimia Dean, 1995.
Gambar 5. Kolom kemas dan kolom kapiler Rohman, 2009
4. Fase Diam
Fase diam yang dipilih berdasarkan polaritas dari sampel yang akan diujikan, dengan prinsip “ like dissolve like ”, oleh karena itu fase diam yang polar
akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang lebih polar, dan begitulah sebaliknya fase diam yang non polar akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang
lebih non polar Christian, 2004. Komponen-komponen sampel harus teretensi di fase diam untuk
memperoleh resolusi. Retensi yang semakin lama dan selektif akan menghasilkan resolusi yang semakin baik. Selektivitas bisa divariasi hanya dengan mengubah
kepolaran fase diam atau dengan mengubah suhu kolom Dean, 1995.
Tabel IV. Jenis Fase Diam dan Penggunannya Gandjar dan Rohman, 2007 Fase diam
Polaritas Golongan sampel
Suhu maksimum
o
C Squalen
Non polar Hidrokarbon
125
o
C Apiezon L
Non polar Hidrokarbon, ester, eter
300
o
C Metil silikon
Non polar Steroid, pestisida,
alkaloida, ester 300
o
C Dionil ptalat
Semi polar Semua jenis
170
o
C Dietilenglikosuksinat
Polar Ester
200
o
C Carbowax 20M
Polar Alkohol, amina
aromatik, keton 250
o
C
5. Detektor
Detektor merupakan perangkat yang berada di ujung kolom tempat keluarnya fase gerak gas pembawa yang membawa komponen hasil pemisahan.
Pada garis besarnya detektor pada KG termasuk detektor diferensial, dalam arti respons yang keluar dari detektor memberikan relasi yang linier dengan kadar atau
laju aliran massa komponen yang teresolusi Rohman, 2009. Detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Sensitivitas yang tinggi
b. Tingkat noise yang rendah
c. Respon yang linier pada rentang dinamis yang lebar
d. Respon yang baik pada semua komponen organik
e. Tidak sensitive pada variasi alirah dah perubahan suhu
f. Stabil dan ruggedness
g. Kemudahan penggunaan
h. Positif untuk mengidentifikasi suatu komponen
Dean, 1995.
Tabel V. Jenis Detektor, Sampel, Batas Deteksi dan Kecepatan Alir Fase gerak Rohman, 2009
Jenis detektor Jenis sampel
Batas deteksi
Kecepatan alir ml menit Gas
pembawa H2
Udara Hantar panas
Senyawa umum 5-100 ng
15-30 -
- Ionisasi nyala
Hidrokarbon 10-100 pg
20-60 30-40
200- 500
Penangkap elektron
Halogen organik, pestisida
0,05-1 pg 30-60
- 70-100
Nitrogen-fosfor Senyawa nitrogen
organik dan fosfat organic
0,1-10 g 20-40
1-5 60-80
Fotometri nyala 393nm
Senyawa-senyawa sulful
10-100 pg 20-40
50-70 100-
150 Fotometri nyala
393nm Senyawa-senyawa
fosfor 1-10 pg
20-40 120-
170 -
Fotoionisasi Senyawa-senyawa
yang terionisasi dengan UV
2 pg 30-40
- -
Konduktifitas elektronik
Halogen, N, S 0,5 pg Cl
2 pg S 4 pg N
20-40 80
- Forier transform -
infra red Senyawa-
senyawa organik 1000 pg
3-10 -
- Selektif massa
Sesuai untuk senyawa apapun
10 pg- 10 ng
0,5-30 -
- Emisi atom
Sesuai untuk elemen apapun
0,1 – 20 pg
60-70 -
-
FID Flame Ionization Detector adalah detektor KG yang paling banyak digunakan dan sejauh ini telah umum digunakan dalam analisis KG. FID memiliki
rentang dinamis yang lebar, sensitivitas tinggi, dan akan mendeteksi semua senyawa yang mengandung karbon Scott, 2003.
Gambar 6. Skema FID Scott, 2003 Pada pemakaian FID, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: pertama,
kecepatan alir O
2
udara dan H
2
. Untuk memperoleh tanggapan FID yang optimal sebaiknya kecepatan aliran H
2
+ 30 mLmenit dan O
2
sepuluh kalinya. Kedua adalah suhu FID harus diatas 100
o
C. Hal ini bertujuan untuk mencegah kondensasi uap air yang mengakibatkan FID berkarat atau kehilangan menurun
sensitivitasnya Gandjar dan Rohman, 2007. Solut yang keluar dari kolom dicampur H
2
dan udara kemudian dibakar pada nyala di bagian dalam detektor. Atom karbon senyawa organik dapat
menghasilkan radikal CH yang selanjutnya menghasilkan ion CHO
+
dalam nyala hidrogen – udara.
CHO + O CHO
+
+ e
-
2
CHO
+
yang dihasilkan dalam nyala bergerak ke katoda yang berada di atas nyala. Arus yang mengalir di antara anoda dan katoda diukur dan diterjemahkan sebagai
sinyal pada rekorder. Detektor ini jauh lebih peka daripada detektor daya hantar panas. Kepekaan detektor ionisasi nyala akan lebih meningkat kalau N
2
digunakan sebagai gas pembawa Hendayana, 2010.
6. Pengaturan Suhu
Secara keseluruhan, pemilihan suhu dalam kromatografi gas
berhubungan dengan beberapa faktor. Suhu injektor harus relatif tinggi, konsisten dengan stabilitas thermal sampel, untuk memberikan kecepatan penguapan yang
paling tinggi agar sampel masuk ke kolom dalam volum kecil, menurunkan penyebaran dan meningkatkan resolusi. Suhu kolom berhubungan dengan
kecepatan, sensitifitas dan resolusi. Pada suhu tinggi, sampel berada pada fase gas terlama dan terelusi dengan cepat, tetapi resolusinya jelek. Pada suhu rendah,
sampel berada di fase diam paling lama dan terelusi dengan lamban; resolusi meningkat tetapi sensitifitas menurun. Suhu detektor harus cukup tinggi untuk
mencegah sampel terkondensasi Christian, 2004. KG didasarkan pada dua sifat senyawa yang dipisahkannya yakni
kelarutan senyawa dan titik didih senyawa. Karena titik didih senyawa berhubungan dengan suhu makan suhu merupakan faktor utama dalam
kromatografi gas Gandjar dan Rohman, 2007. a.
Operasi isotermal Pemilihan suhu kolom untuk operasi isotermal merupakan permasalahan
yang kompleks dan biasanya diselesaikan dengan suatu kompromi. Sampel yang
komponen-komponennya memiliki titik didih dengan rentang yang luas menghasilkan hasil kromatograf yang tidak memuaskan hanya dengan single
isotermal run. Pemisahan pada suhu kolom yang sedang mungkin menghasilkan resolusi yang bagus untuk komponen dengan titik didih rendah tetapi
membutuhkan waktu yang panjang untuk mengelusi komponen dengan titik didih tinggi. Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan suhu kolom beberapa
poin lebih tinggi selama pemisahan sehingga komponen dengan titik didih tinggi akan terelusi lebih cepat dan dengan peak yang lebih berdekatan Dean,1995.
b. Suhu terprogram
Pemisahan konstituen-konstituen dalam sampel yang mempunyai daerah titik didih luas dapat diperbaiki dan dipercepat dengan menaikan temperatur
kolom pada suatu laju yang seragam. Cairan yang mempunyai titik didih rendah akan terelusi terlebih dahulu, sedangkan pada temperatur lebih tinggi zat yang
mempunyai titik didih lebih tinggi baru akan terelusi Khopkar, 1990. Sampel diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi ketika suhu kolom di
bawah suhu komponen sampel pada titik didih terendah, diutamakan di bawah suhu 90
o
C. Suhu kolom kemudian dinaikkan dengan kecepatan yang telah ditentukan. Pada aturan umumnya, waktu retensi dibagi pada peningkatan suhu
20-30
o
C. Suhu akhir seharusnya mendekati titik didih komponen yang terelusi terakhir tetapi tidak boleh melebihi batas maksimal suhu pada fase diam yang
digunakan. Kecepatan pemanasan 3-5
o
Cmenit harus dicoba pada awal operasi kemudian diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh pemisahan yang optimum
Dean, 1995.
7. Analisis kuantitatif
Analisis kuantitatif secara KG menggunakan metode standar internal. Metode standar internal digunakan karena terdapat ketidakpastian yang
disebabkan injeksi sampel, kecepatan aliran gas, dan variasi keadaan kolom dapat diminimalisasi. Dalam prosedur ini, standar internal yang telah diukur dengan
seksama dimasukkan ke dalam setiap larutan baku dan sampel, dan rasio luas puncak analit terhadap luas puncak standar internal adalah parameter analisisnya.
Puncak standar internal dan puncak lainnya harus terpisah dengan baik sebagai syarat keberhasilan metode ini Skoog, West, dan Holler, 1994.
Untuk menjamin kondisi yang digunakan dalam analisis kuantitatif bersifat stabil dan reprodusibel, baik pada penyiapan sampel atau proses
kromatografi, berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam analisis kuantitatif:
a. Analit solut harus telah diketahui dan terpisah sempurna dari komponen- komponen lain dalam kromatogram
b. Baku dengan kemurnian yang tinggi dan telah diketahui harus tersedia c. Prosedur kalibrasi yang sudah diketahui harus digunakan Rohman, 2009.
E. Parameter Optimasi Metode
Dalam kromatografi modern terdapat beberapa parameter yang berhubungan satu dengan yang lain dan perlu dimengerti untuk memahami konsep
kromatografi. Parameter tersebut adalah waktu retensi, faktor kapasitas, selektivitas, efisiensi, dan resolusi.
1. Waktu retensi
Waktu retensi t
R
adalah waktu mulai injeksi cuplikan hingga suatu komponen campuran keluar kolom, dengan kata lain waktu yang diperlukan suatu
komponen campuran solute untuk keluar dari kolom. Waktu retensi diukur melalui kromatogram dari menit ke-0 hingga muncul puncak peak Hendayana,
2010.
2. Faktor Kapasitas
Faktor kapasitas k’ merupakan suatu ukuran kekuatan interaksi suatu komponen dengan fasa diam yang diformulasikan sebagai berikut:
3
K’= faktor kapasitas t
R
= waktu retensi yaitu waktu yang diperlukan oleh suatu komponen yang berinteraksi dengan fasa diam untuk meninggalkan kolom
t = waktu yang diperlukan oleh suatu komponen yang tidak berinteraksi
dengan fasa diam untuk meninggalkan kolom n
s
= jumlah mol suatu senyawa di dalam fasa diam n
m
= jumlah mol suatu senyawa di dalam fasa gerak V
S
= volume fasa diam V
m
= volume fasa gerak Senyawa yang mempunyai harga faktor kapasitas tinggi menunjukkan
komponen tersebut berinteraksi dengan fase diam secara kuat. Sebaliknya,
senyawa yang mempunyai faktor kapasitas yang rendah menunjukkan komponen tersebut berinteraksi dengan fase diam secara lemah Hendayana, 2010.
3. Selektivitas
Selektivitas α diartikan sebagai ukuran keterpilihan dua komponen campuran yang dipisahkan, difromulasikan sebagai berikut:
α = 4
K’1 dan k’2 masing-masing adalah faktor kapasitas komponen pertama dan komponen kedua. Harga selektivitas dapat sama dengan satu atau lebih besar dari
satu. Bila harga α = 1 berarti senyawa 1 dan senyawa 2 keluar dari kolom bersama-sama, dengan kata lain senyawa 1 dan senyawa 2 tidak dapat dipisahkan.
Sebaliknya bila α 1 maka senyawa 1 keluar lebih cepat dari senyawa 2. Semakin besar nilai α maka semakin baik pemisahan Hendayana, 2010.
4. Efisiensi
Tingkat pemisahan dengan kromatografi tercermin pada peak-peak kromatogram yang dihasilkan. Semakin lebar suatu peak kromatogram maka
dapat dikatakan pemisahan semakin kurang efisien. Secara kuantitatik, efisiensi dapat dijelaskan dengan teori plat N. Pemahaman teori plat sebagai berikut:
dalam proses kromatografi terjadi kesetimbangan distribusi di antara fase gerak dan fase diam ketika solute bergerak melalui kolom Hendayana, 2010.
Dengan kata
lain, kromatografi
merupakan proses
ekstraksi berkesinambungan. Semakin banyak proses ekstraksi dilakukan maka semakin
baik pemisahan. Teori plat dapat diartikan bahwa sepanjang kolom terjadi proses
ekstraksi sebanyak N kali. Semakin besar nilai N maka semakin baik pemisahan Hendayana, 2010.
5. Resolusi
Tujuan utama dari kromatografi adalah memisahkan komponen- komponen campuran secara sempurna. Derajat pemisahan dua komponen
campuran dalam proses kromatografi dinyatakan dengan istilah resolusi R
S
Hendayana, 2010. Rumus perhitungan resolusi:
R
S
=
B A
A R
B R
W W
t t
2
5 Skoog, West, dan Holler, 1994.
Nilai resolusi 0,6 digunakan untuk melihat terbentuk “lembah” dari 2 puncak dengan tinggi yang sama. Nilai 1,0 menghasilkan 2,3 overlap pada 2
puncak dengan tinggi yang sama dan diyakini sebagai pemisahan yang minimum untuk menghasilkan hasil kuantitatif yang bagus. Hasil 1,5 hanya menyebabkan
0,1 overlap pada puncak yang sama tinggi dan menjadi dasar suatu nilai resolusi yang cocok dan bagus untuk puncak yang sama tinggi Christian, 2004.
F. Landasan Teori
Metode kromatografi gas digunakan dalam penetapan kadar etanol dan profil senyawa yang terdapat dalam hasil produksi “ciu” berdasarkan perbedaan
titik didih senyawa–senyawa golongan alkohol yang terkandung di dalam hasil produksi “ciu” dan interaksinya dengan fase gerak dan fase diam di dalam kolom
KG yang digunakan. Sistem KG menggunakan sistem pengaturan suhu terprogram karena senyawa–senyawa alkohol di dalam “ciu” memiliki titik didih
yang berdekatan sehingga perlu dilakukan pengaturan suhu yang tepat untuk memperoleh kromatogram hasil pemisahan senyawa yang memenuhi parameter-
parameter optimasi. Alat KG perlu diketahui kondisi optimalnya agar memperoleh hasil yang memenuhi parameter validasi pada proses selanjutnya.
G. Hipotesis
Metode kromatografi gas pada penetapan kadar dan profil alkohol hasil produksi “ciu” rumahan daerah kabupaten Sukoharjo memenuhi parameter
optimasi yang meliputi waktu retensi, efisiensi kolom, resolusi dan asymetri factor.
26
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan
rancangan penelitian deskriptif dikarenakan mendeskripsikan keadaan yang ada dan dilakukan manipulasi terhadap subjek uji.
1. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah alkohol hasil produksi industri
rumahan daerah Sukoharjo 2. Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah waktu retensi, resolusi, asimetri faktor, dan efisiensi kolom yang dihasilkan.
3. Variabel pengacau terkendali Variabel pengacau terkendali yang terdapat dalam penelitian ini adalah:
a. Pelarut, untuk mengatasinya digunakan pelarut pro analisis dengan kemurnian tinggi.
b. Kondisi lingkungan, dikarenakan etanol mudah menguap, oleh karena itu wadah sampel selalu dalam posisi tertutup.
B. Variabel Penelitian
C. Definisi Operasional
1. Sampel yang digunakan adalah alkohol hasil produksi industri rumahan daerah Sukoharjo.
2. Optimasi metode kromatografi gas menggunakan sistem kromatografi gas dengan pengaturan awal yaitu kolom kapiler CP-Wax CB 25 i.d. 0,32 mm,
Flame Ionization Detector FID, serta suhu terprogramkan. 3. Optimasi yang dilakukan meliputi optimasi temperatur awal kolom, optimasi
initial time, dan optimasi tekanan kolom. 4. Parameter optimasi yang digunakan meliputi waktu retensi, resolusi, asimetri
faktor, dan efisiensi kolom.
D. Bahan-bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah “ciu” Bekonang dari fermentasi tetes tebu, baku etanol p.a.E. Merck, , n-butanol p.a. E. Merck,
akuabides Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, gas hydrogen HP 99,995 CV. Perkasa, udara Laboratorium Analisis Pusat Universitas Sanata
Dharma, gas nitrogen HP 99,9995 CV. Perkasa.
E. Alat-alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat Kromatografi Gas HP 5890 dengan Flame Ionization Detector FID, kolom
kapiler CP-Wax 25 m, i.d. 0,32 mm, alat-alat gelas yang lazim digunakan untuk penelitian di laboratorium analisis PYREX-GERMANY.
F. Prosedur Kerja
1. Pemilihan sampel
Penelitian ini menggunakan sampel yang berasal dari desa Bekonang yang merupakan hasil industri rumahan produksi alkohol. Sampel diambil
sebanyak 600 mL setiap produksi dan diambil sebanyak tiga kali produksi yang dilakukan di 15 rumah produksi dari 70 rumah produksi, pemilihan tempat
produksi dengan cara random yaitu dengan mengambil undian dan dipilih sebanyak 15 rumah produksi dari total rumah produksi.
2. Preparasi sampel
Sampel yang didapat dihomogenkan terlebih dahulu dengan cara digojog pada setiap botol, lalu sejumlah 100 mL sampel kemudian disaring dengan kertas
Whatman no 1 agar lebih jernih. Kemudian disimpan dalam botol tertutup untuk menghindari penguapan sampel.
3. Optimasi metode kromatografi gas A. Pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang
Larutan etanol p.a. sejumlah 600 µL diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, kemudian ditambahkan standar internal sejumlah 600 µL n-
butanol ke dalam labu ukur. Encerkan dengan aquabidest hingga batas tanda dan gojog homogen sehingga diperoleh konsentrasi larutan baku etanol 6vv.
Larutan ini dibuat masing-masing satu kali untuk pengerjaan 18 parameter optimasi kromatografi gas.