27
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PERANAN WALI
NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Pernikahan
1. Menurut Fiqih Islam
Pernikahan merupakan cara paling mulia yang dipilih Pencipta alam semesta untuk
mempertahankan proses
regenerasi, perkembangbiakan
dan keberlangsungan dinamika kehidupan. Fitrah diberikan Allah pada manusia
meniscayakan pentingnya penyatuan antara laki-laki dan perempuan demi keutuhan jenis manusia agar mereka dapat memakmurkan bumi, mengeluarkan
kekayaan alamnya, mengembangkan nikmat-nikmat yang dikandungnya, dan memanfaatkan kekuatan alami bumi selama waktu yang diinginkan Allah.
61
Pernikahan adalah pelindung individu maupun masyarakat, khususnya kaum perempuan. Allah SWT berfirman:
“Nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara yang sholeh dan telah pantas menikah. Jika mereka miskin, Allah akan membuat mereka kaya dengan karunia-
Nya. Allah Maha Luas pemberian-Nya. Dan Maha Mengetahui.” Surah An-Nur: 32.
62
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk
mengatur rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain dan
perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
63
Secara etimologi Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama
dengan kata kawin adalah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai
perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami istri.
64
61
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, Almahira,2001, hal.6-7
62
Syaikh Fuad Shalih, Untukmu yang Akan Menikah Dan Telah Menikah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005, hal.6
63
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam:Hukum Fiqh Lengkap, Sinar Baru Algesindo, Bandung 2012, hal.374
64
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal.453
27
Universitas Sumatera Utara
28
Tihami mengemukakan bahwa istilah “kawin” digunakan secara umum untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami.
Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama
makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab pernyataan penyerahan dari proses perempuan dan kabul
pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki. Selain itu nikah juga bisa diartikan sebagai bersetubuh.
65
Dalam bahasa Melayu terutama di Malaysia dan Brunai Darussalam, digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah ”Perikatan yang sah antara lelaki dan
perempuan menjadi suami istri, nikah.” Berkahwin maksudnya sudah mempunyai istri suami.
66
Nikah menurut bahasa berarti berkumpul menjadi satu. Menurut syara’, nikah berarti suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan
menggunakan lafaz inkahin menikahkan atau tazwajin mengawinkan. Kata nikah itu sendiri secara hakiki, menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al
Malibrary, berarti akad, dan secara majazi berarti bersenggamaan
67
. Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah kawin dapat didekati
dari tiga aspek pengertian makna, yakni makna lughawi etimologi, makna ushuli syar’i, dan makna fiqhi hukum.
68
Definisi pernikahan yang diberikan Wahbah al-Zuhaily sebagai berikut: “Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ persetubuhan dengan
seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan
wanita yang diharamkan baik dengan sebab
keturunan atau
sepersusuan.” Definisi lain yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhaily adalah:
65
Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat , Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal.7
66
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. RajaGrafindo Perkasa,
Jakarta,2004, hal.42
67
Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibrary, Fatchul Mu’in Jilid 3, Diterjemahkan oleh Ally As’ad Menara Kudus, Kudus, 1979, hal.1
68
Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.41
Universitas Sumatera Utara
29
“Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau
sebaliknya.”
69
Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya
melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.
70
Menurut Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut dengan an-nikh dan az- ziwaj az-zawj atau az-zijah. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u, adh-
dhammu dan al-jam’u. Al-wath’u berasal dari kata wathi’a- yatha’u- wath’an. Artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki,
menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.
71
Adh-dhammu, secara
harfiah berarti
mengumpulkan, memegang,
menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan, juga bersikap lunak dan ramah. Sedangkan al-
jam’u yang
berasal dari
kata jama’a-yajma’u-jam-an,
yang artinya
mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun.
72
Adapun sebab mengapa bersetubuh atau bersanggama dalam istilah fiqih
disebut dengan al-jima’ dikarenakan mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari
al-jam’u’. Sebutan lain untuk pernikahan ialah az-zawajaz-ziwaj, berasal dari kata
zawwaja-yuzawwiju-tazwijan yang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.
69
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.38-39
70
Ibid, hal.39
71
Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.42
72
Ibid, hal.43.
Universitas Sumatera Utara
30
Secara arti kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang
terdapat dalam Al-Qur’an memang mengandung dua arti kata tersebut. Kata nikah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 230:
“Maka jika suami mentalaknya sesudah talak dua kali, maka perempuan itu tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain”.
Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadist Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-
laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah melakukan hubungan kelamin dengan perempuan
tersebut.
73
Tetapi dalam Al’Quran terdapat pula kata nikah dengan arti akad seperti tersebut dalam firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 22:
“Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang sudah berlalu”.
Ayat tersebut mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah melangsungkan pernikahan dengan
perempuan tersebut, meskipun di antara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin.
74
R.Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah
“persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersamabersekutu yang kekal”.
75
Golongan Ulama Syafi’i berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya hakiki dapat berarti pula untuk hubungan kelamin namun
dalam arti tidak sebenarnya majazi. Penggunaan untuk bukan arti sebenarnya itu
73
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.36
74
Ibid
75
R.Soetojo Prawirohamidjijo, hal 35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.61
Universitas Sumatera Utara
31
memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri.
76
Menurut mazhab Syafi’i, nikah dirumuskan sebagai “akad yang menjamin kepemilikan untuk bersetubuh dengan
menggunakan redaksi lafal “inkah atau tazwij; atau turunan makna dari keduanya.
77
Sebaliknya, ulama Hanafi berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti akad
adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut.
78
Definsi nikah menurut ulama Hanafi : “Nikah adalah akad yang memberikan faedah mengakibatkan kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar sengaja bagi
seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis.
79
Menurut mazhab Maliki, nikah adalah: “sebuah ungkapan sebutan bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan seksual
semata-mata.”
80
Ulama Hambali mendefinisikan nikah dengan “akad yang dilakukan dengan menggunakan kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan
bersenang-senang.
81
Definisi-definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqih klasik tersebut di atas begitu pendek dan sederhana hanya
mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu kebolehan melakukan
76
Amir Syarifuddin, Op.Cit , hal. 37
77
Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.45
78
Amir Syarifuddin,Op.Cit, hal.37
79
Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.45.
80
Ibid
81
Ibid
Universitas Sumatera Utara
32
hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu.
82
Nikah hanya dilihat sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal ini semakin
tegas sebab menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang arab adalah al-wat’ persetubuhan.
83
Beberapa definisi dari pakar Indonesia tentang pernikahan juga akan dikutip di sini.
Menurut Sayuti Thalib, pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.
84
Sedangkan Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. Secara
lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual bersetubuh.
85
Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan oleh dua
orang laki-laki. Sehingga dapat diperoleh bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah: “suatu akad atau perikatan laki-laki dan perempuan dalam rangka
mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih
82
Muhammad Amin Suma,Op.Cit,hal.39
83
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit, hal. 40
84
Ibid
85
Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Rujuk dan Hukum Kewarisan, jilid 1, Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘Ulumiddin Indonesia,
Jakarta,1971, hal.65
Universitas Sumatera Utara
33
sayang dengan cara yang diridhai Allah”. Apabila pengertian tersebut dibandingkan dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut undang-undang tidak terdapat perbedaan prinsipil, sebab pengertian
perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat
kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah pasal 2.
Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan apabila
ia sudah menikah, maka nafkahnya biaya hidupnya wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu
keturunan, sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak jelas siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang akan bertanggung jawab. Nikah juga dipandang
sebagai kemaslahatan umum, sebab bila tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurunkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan,
bencana dan permusuhan antara sesamanya. Secara ringkas faedah pernikahan adalah sebagai berikut:
86
a. Menjaga kehormatan dan pandangan mata, melindungi agama dan akhlak.
86
Syaikh Fuad Shalih, Op.Cit, hal.8-9
Universitas Sumatera Utara
34
b. Mengais pahala yang besar akibat melaksanakan perintah Allah dan Rasul-
Nya dalam hal pernikahan. c. Mewujudkan kemitraan dan persahabatan antara suami istri yang menepis rasa
sepi dan
menjauhkan penyakit
psikis dan fisik akibat
kesendirian, keterasingan dan perselibatan.
d. Menghasilkan keturunan
yang saleh
yang sangat
penting dalam
memperbanyak kuantitas kaum muslimin dan mendatangkan pahala yang besar bagi orang tua dalam mendidik dan bersabar atas kematian anak-anak
mereka.
e. Merajut relasi sosial, mengukuhkan ikatan cinta, kesepahaman dan keakraban antar anggota masyarakat, sehingga dapat membawa kemajuan bagi mereka
dalam aspek ekonomi. f. Saling bersinergi dalam perkara agama dan dunia. Betapa banyak istri salehah
yang menjadi penyebab suaminya mendapatkan hidayah dan demikian sebaliknya.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam