34
b. Mengais pahala yang besar akibat melaksanakan perintah Allah dan Rasul-
Nya dalam hal pernikahan. c. Mewujudkan kemitraan dan persahabatan antara suami istri yang menepis rasa
sepi dan
menjauhkan penyakit
psikis dan fisik akibat
kesendirian, keterasingan dan perselibatan.
d. Menghasilkan keturunan
yang saleh
yang sangat
penting dalam
memperbanyak kuantitas kaum muslimin dan mendatangkan pahala yang besar bagi orang tua dalam mendidik dan bersabar atas kematian anak-anak
mereka.
e. Merajut relasi sosial, mengukuhkan ikatan cinta, kesepahaman dan keakraban antar anggota masyarakat, sehingga dapat membawa kemajuan bagi mereka
dalam aspek ekonomi. f. Saling bersinergi dalam perkara agama dan dunia. Betapa banyak istri salehah
yang menjadi penyebab suaminya mendapatkan hidayah dan demikian sebaliknya.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam pandangan
Islam, pernikahan
merupakan ketentraman,
cinta, kelembutan kasih, perpaduan, pengertian dan penyatuan antara laki-laki dan
perempuan dengan menggunakan fisik, roh dan kalbu. Allah berfirman sebagai berikut:
“ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untuk kalian istri- istri dari jenismu sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir .”QS ar-Ruum ayat 21”
87
Perkawinan selain sebagai perbuatan ibadah juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul.Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam
menciptakan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.
88
87
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Op.Cit, hal.7
88
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.41
Universitas Sumatera Utara
35
Sifatnya sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut:
89
a. Allah menciptakan
mahluk ini
dalam bentuk
berpasang-pasangan sebagaimana fiman Allah dalam surah adz-Dzaariyat 51 ayat 49 yang
artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah.
b. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam surah an- Najm ayat 45 yang artinya:
“Dan Dia-lah
yang menciptakan
berpasang-pasangan laki-laki
dan perempuan.”
c. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan Allah
dalam surah an-Nisa’ ayat 1 yang artinya: “Hai
sekalian manusia
bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang
telah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak.” d. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda dari
kebesaran Allah dalam surah al-ar-Rum ayat 21 yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untuk kamu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”
Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya
selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam Hadist yang berasal dari Anas bin Malik, sabda Rasulullah artinya :
“Tetapi aku sendiri melakukan sholat, tidur, aku berpuasa dan juga aku berbuka, aku mengawini perempuan. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku,
maka ia bukanlah dari kelompokku.”
90
89
Ibid, hal.41-42
90
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit , hal.43
Universitas Sumatera Utara
36
Hadist Nabi riwayat al-Bayhaqi mengajarkan: “Apabila seseorang telah melakukan perkawinan berarti telah menyempurnakan separuh agamanya karena
telah sanggup menjaga kehormatannya, maka bertakwalah kepada Allah dalam mencapai kesempurnaan pada separuh yang masih tinggal.”
91
Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa menikah bagi seorang muslim sebagai “Separuh dari Agamanya” karena hal itu akan melindunginya dari
kekacauan, perbuatan akibat perzinahan, dan kehidupan yang pada akhirnya akan menjerumuskannya ke dalam berbagai tindak kriminal lainnya seperti
timbul fitnah,pertikaian, pembunuhan, perampasan hak milik dan akhirnya mengakibatkan rusaknya tatanan kekeluargaan ideal yang sangat ditekankan
oleh Nabi Muhammad SAW.
92
Para ahli dari berbagai golongan dan bangsa menetapkan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan persahabatan yang erat antara laki-laki dan perempuan,
memperlihatkan suatu kerjasama yang baik dan teratur dalam rumah tangga yang bahagia.
93
Pada dasarnya apa yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan penikahan semuanya telah dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan jo.Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang. Hanya di dalam Kompilasi Hukum Islam
muatannya lebih terperinci, larangan lebih dipertegas dan menambah beberapa poin sebagai aplikasi dari peraturan perundang-undangan yang telah ada.
91
A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Pena, Banda Aceh, 2010, hal.31
92
Hasballah Thaib dan Marahalim, Op.Cit,hal.20
93
T.Jafizham, Op.Cit, hal.255
Universitas Sumatera Utara
37
Disamping definisi yang diberikan oleh Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 memberikan definisi
yang tidak mengurangi arti-arti definisi undang-undang perkawinan tersebut, namun bersifat
menambah penjelasan dengan rumusan sebagai berikut yaitu perkawinan menurut Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan
penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang- undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata
perjanjian yang bersifat keperdataan. Kata miitsaqan ghalizhan diambil dari firman Allah SWT yang terdapat dalam
surah an-Nisa ayat 21 yang artinya: “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada
istrimu, padahal sebagain kamu telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka istri-istrimu telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat miitsaqan ghalizhan.”
94
Al Qur’an menjuluki pernikahan dengan miitsaqan ghalizhan, janji yang sangat kuat. Mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian serius antara
mempelai pria suami dengan mempelai wanita istri, oleh karena itu pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan kelangsungannya. Perceraian itu
dimungkinkan dibolehkan dalam Islam, tetapi Rasulullah SAW menjulukinya
94
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit,hal.44
Universitas Sumatera Utara
38
sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah SWT. Hal itu yang mendasari mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang, di samping wali nikah dari
pihak mempelai wanita. Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang, artinya perkawinan itu tidak terjadi begitu
saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk beradab. Karena itu perkawinan dilakukan secara beradab pula,
sesuai dengan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia
95
. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan
peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.
96
Ada beberapa tujuan perkawinan dari disyariatkannya perkawinan atas umat Islam, antara lain:
1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang.
Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri bagi umat manusia bahkan juga naluri bagi mahluk hidup yang diciptakan Allah SWT. Untuk itu Allah
SWT menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidup untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi
saluran yang sah dan legal bagi nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga perkawinan.
95
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian,UNS,Semarang, 2005, hal.74
96
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.41
Universitas Sumatera Utara
39
Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya:
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan bagimu dari istri- istri kamu itu, anak-anak dan cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik……”
Surah an-Nahl: 72
97
2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.
Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih dan menyayangi antara suami istri, berarti tujuan rumah tangga itu tidak sempurna.
Sebagai akibatnya bisa saja masing-masing suami istri mendambakan kasih sayang dari pihak luar yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam suatu rumah tangga.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”Surah ar-Ruum: 21
98
Diantara hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara’ dan menjaga
kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. Sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam Hadistnya :
97
M.Ali Hasan, Op.Cit, hal.15
98
Ibid, hal.14
Universitas Sumatera Utara
40
“Wahai para pemuda, siapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan dari
maksiat dan lebih menjaga kehormatan dari kerusakan seksual. Siapa yang belum mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat.”
99
Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk:
100
a. Menentramkan jiwa. Bila telah terjadi akad, istri merasa jiwanya tentram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga.
Suami pun merasa tentram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga,
tempat menumpahkan
perasaan suka
dan duka
serta teman
bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan
seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia dan kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga
perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.
c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang
timbul dari pertanggungjawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan yang penuh kasih sayang dan
saling menyantuni satu sama lain keluarga sakinah.
Adapun tujuan pernikahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 yang berbunyi:
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah tentram cinta dan kasih sayang.”
Tujuan ini juga dirumuskan melalui firman Allah SWT yang terdapat dalam surah ar-Ruum ayat 21 yang artinya:
99
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Op.Cit, hal.48
100
Ibid, hal.13-21
Universitas Sumatera Utara
41
“Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikannya di antaramu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir.
101
Selain merupakan sunnah kehidupan dan sendi daya tahan¸ pernikahan juga merupakan pelindung dari penyimpangan dan keterjerumusan dalam pelanggaran
etika moral maupun sosial kemasyarakatan. Perkawinan dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan, memadamkan api syahwat, menenangkan jiwa dan menjaga
kesehatan. Menurut hukum Islam, perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan:
102
a. Perkawinan diihat dari segi hukum Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Al
Qur’an dalam surat an-Nisa’ menyatakan “……perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “miitsaqan ghalizhan”. Hal ini
juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan merupakan suatu perjanjian karena adanya:
1. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu
dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu. 2. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur
sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.
b. Perkawinan dilihat dari segi sosial Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa
orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum tidak menikah.
c. Pandangan dari segi agama Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci. Upacara
perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan
101
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit, hal. 44
102
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,UI Press, Jakarta, 1986, hal.47-48
Universitas Sumatera Utara
42
menjadi pasangan suami istri atau saling meminta untuk menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana diingatkan oleh Al-
Qur’an surat an-Nisa ayat 1.
B. Hukum-Hukum Dalam Pernikahan
Pernikahan merupakan dasar dan asas peradaban dari umat manusia. Nikah pada hakikatnya merupakan suatu perikatan akad yang suci antara calon suami dan
calon istri, yang harus dilaksanakan oleh setiap kaum muslim kecuali bila ada sebab- sebab penting untuk tidak melaksanakannya. Pernikahan membuka kesempatan
berkasih sayang antara suami dan istri lalu meneruskan kasih sayang tersebut kepada anak dan cucu, kaum keluarga, tetangga, kawan-kawan dan kepada umat manusia.
Dengan demikian pernikahan adalah tempat latihan dari umat manusia untuk mengabdikan diri satu sama lain dan menghormati perasaan satu sama lain.
Pernikahan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk melaksanakan
pernikahan. Adapun ayat- ayat tersebut: Al Qur’an surah an-Nur ayat 32:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak untuk kawin di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”
103
103
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.43
Universitas Sumatera Utara
43
Al Qur’an surah ar-Ra’d ayat 38: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.”
104
Membujang sesungguhnya merupakan suatu pelanggaran atas naluri manusia. Inilah sebabnya mengapa Islam tak mengizinkan membujang atau paham
kebiaraan sebagai suatu jalan hidup. Al-Qur’an mengatakan: “Dan mereka mengadakan rahbaniyyah kerahiban, padahal kami tidak
mewajibkan kepada mereka melainkan merekalah yang mengada-adakannya sebagai jalan untuk memperoleh keridhaan Allah”.QS 52:27.
105
Di dalam Al-Qur’an, Surat Ash-Shaffat ayat 20, disampaikan kepada kita bahwa tidak sepatutnya kita hanya memburu kesenangan dunia dan menumpuk-
numpukkan harta mengejar kehidupan, lalu ayat ini mengingatkan kita pun tak sepatutnya menuju dunia ekstrim yang lain dengan meninggalkan semua usaha
duniawi dan mengambil jalan sebagai rahib. Membujang dilarang dengan tegas dalam Islam HR Bukhari.
Asal hukum melakukan pernikahan menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal.
106
Dasar dari pendapat ini adalah Q.S.an-Nissa 4:1,3,4 dan 24 juga dari Hadist Rasul. Hadist-hadist Rasul itu antara lain:
1. Hadist riwayat Bukhari-Muslim “Hai golongan pemuda, barangsiapa diantara kamu telah sanggup kawin,
maka kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih
104
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003, hal.1
105
Abdul Rahman I.Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 12
106
Sayuti Thalib, Op.Cit, hal.49
Universitas Sumatera Utara
44
memelihara farajkehormatan dan barangsiapa yang belum sanggup maka berpuasa itu melemahkan syahwat.”
107
2. Hadist Riyawat Bukhari dan Muslim. “Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan kawin. Barangsiapa yang
tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku.
108
” Sebagai hasil usaha mempelajari Al’Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam
kitab-kitab hadist, para ahli hukum Islam telah menyusun suatu teori yang merupakan penilaian mengenai perbuatan manusia. Jumlahnya lima, karena itu
disebut al –ahkamal-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai perbuatan manusia dan benda. Nikah adalah suatu perbuatan manusia ia juga
adalah dapat dinilai menurut ukuran tersebut.
109
Kalau perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah atau hukum yang lima itu, maka kaidah asalnya adalah ja’iz atau mubah atau ibahah, diindonesiakan menjadi
kebolehan.
110
Berdasarkan kepada perubahan illahnya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh, mubah
dan haram.
111
1. Hukumnya yang Sunnah. Apabila seseorang dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar
dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka menjadi
sunnahlah baginya untuk melakukan perkawinan. Kalau dia nikah maka dia mendapat
107
Ibrahim Hosen,Op.Cit, hal.76
108
Ibid, hal.77
109
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.3.
110
Ibid, hal.4
111
Sayuti Thalib, Op.Cit, hal.49-50
Universitas Sumatera Utara
45
pahala dan kalau dia tidak atau belum nikah, dia tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala.
Rasulullah SAW bersabda: “Kaliankah yang mengatakan begini-begini? Demi Allah, aku lebih takut dan
lebih bertakwa kepada Allah SWT daripada kalian. Tapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan tidur, serta aku juga kawin dengan perempuan. Barangsiapa
yang membenci Sunahku maka ia bukan termasuk golonganku.” HR. Bukhari
112
2. Hukumnya yang Wajib. Apabila
seseorang dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk
nikah, sehingga apabila dia tidak menikah maka dia akan terjerumus kepada penyelewengan, sehingga menjadi wajiblah kalau dia menikah dan akan mendapat
pahala baik dia seorang laki-laki atau seorang perempuan. Kaidah fiqih mengatakan : Sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan
suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib; atau dengan kata lain: ”apabila suatu kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, maka hal itu wajib pula
hukumnya.”
113
Penetapan kaidah tersebut apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, sehingga perkawinan itu hukumnya
wajib bagi dirinya.
112
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal.11
113
A.Hamid Sarong ,Op.Cit, hal.34
Universitas Sumatera Utara
46
Firman Allah SWT : “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak kawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba- hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan
karuniaNya. Dan
Allah Mahaluas
pemberianNya lagi Maha Mengetahui.” An-Nur:32
114
3. Hukumnya yang Makruh. Apabila seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah
wajar untuk menikah walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka makruh
baginya untuk menikah. Kalau dia menikah dia tidak berdosa dan tidak pula dapat pahala.
Sedangkan kalau dia tidak menikah dengan pertimbangan yang telah dikemukakan itu maka dia akan mendapat pahala.
Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat bekerja
dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada apa yang telah disebutkan di atas.
115
Mazhab Hanafi membagi makruh ada dua macam yaitu makruh tahrimi mendekati haram dan tanzihi mendekati halal, sesuai dengan kuat dan lemahnya
kekhawatirannya.
116
114
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal.12
115
A.Hamid Sarong, Op.Cit, hal.36
116
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Gema Insani, Jakarta, 2007, hal.42
Universitas Sumatera Utara
47
4. Hukumnya yang Mubah Apabila seseorang yang memiliki harta, tetapi apabila tidak menikah tidak
merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikan menikah tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajiban kepada istrinya.
Al Qur’an menyebutkan pernikahan dengan lafal halal dan kata tersebut menandakan bahwa perbuatan itu diperbolehkan.
Firman Allah SWT: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri-istri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati campuri di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya dengan
sempurna, sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” An-Nisa’:24
117
Pada umumnya pernikahan anak-anak di bawah umur yang dilakukan oleh walinya juga digolongkan sebagai pernikahan yang mubah. Sebab tidak ada nash Al-
Qur’an atau sunnah Rasul yang melarangnya. Meskipun demikian para fuqaha memberikan hak kepada anak-anak yang
bersangkutan apabila telah dewasa nanti, untuk melangsungkan pernikahan yang pernah dilaksanakan oleh walinya atau memutuskannya dengan jalan fasakh. Hak ini
disebut juga dengan hak khiyar. 5. Hukumnya yang Haram.
Apabila seorang laki-laki hendak menikahi seorang perempuan dengan maksud untuk menganiaya atau memperolok-olokannya maka haram bagi laki-laki tersebut
117
Abdul Majid Mahmud Mathlub Op.Cit, hal.13
Universitas Sumatera Utara
48
menikah dengan perempuan bersangkutan. Bila dia menikah juga untuk maksud terlarang itu, dia berdosa walaupun pernikahan itu tetap sah asal dan telah memenuhi
ketentuan-ketentuan formil yang telah digariskan. Sedangkan kalau dia tidak jadikan perkawinan itu sehingga tidak langsung perkawinannya dengan maksud yang tidak
diiziinkan Al-Qur’an itu maka dia akan mendapat pahala. Imam al-Qurthubi, salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki
berpendapat bahwa apabila calon suami tidak akan mampu memenuhi
kewajiban nafkah dan membayar mahar mas kawin untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal menikahi seseorang kecuali
apabila ia menjelaskan keadaannya kepada calon istri; atau ia bersabar sampai merasa dapat memenuhi hak-hak istrinya, barulah boleh dilangsungkan
pernikahan. Ditambahkan pula bahwa orang yang mengetahui ada penyakit pada dirinya yang dapat menghalangi kemungkinan melakukan hubungan
dengan calon istri, maka harus menjelaskan kepada calon istri, sehingga pihak istri tidak merasa tertipu.
118
Pendapat Imam al-Qurthubi ini sangat penting bagi kelangsungan pernikahan. Dalam bentuk apapun, penipuan harus dihindari. Bukan hanya mengenai cacat atau
penyakit yang dialami oleh calon suami, tetapi juga mengenai nasib keturunan, kekayaan, kedudukan atau pekerjaan jangan sampai tidak dijelaskan, sehingga pihak
istri tidak merasa tertipu. Hal yang disebutkan untuk calon suami juga berlaku bagi calon istri.
Dalam hal menetapkan hukum asal suatu pernikahan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu
adalah sunnah. Dasar hukum dari pendapat jumhur ulama ini adalah begitu
118
A.Hamid Sarong, Op.Cit,hal.35
Universitas Sumatera Utara
49
banyaknya suruhan Allah dalam Al-Qur’an dan suruhan Nabi dalam sunnahnya untuk melangsungkan pernikahan.
Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah golongan Zhahiriyah yang mengatakan hukum pernikahan bagi orang yang mampu melakukan
hubungan kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardhu. Dasar dari pendapat ulama Zhahariyah ini adalah perintah Allah dan Rasul yang begitu banyak
untuk melangsungkan pernikahan. Hukum asal menurut dua golongan tersebut berlaku secara umum dengan tidak
memperhatikan keadaan tertentu dan orang tertentu. Dalam merinci hukum menurut perbedaan keadaan dan orang tertentu itu berbeda pula pandangan ulama.
Ulama Syafi’i secara rinci menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu adalah sebagai berikut:
119
1. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk nikah, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan
pernikahan. 2. Makruh
bagi orang-orang
yang belum pantas
untuk kawin,
belum berkeinginan untuk nikah, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga
belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk pernikahan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua
bangka dan kekurangan fisik lainnya.
Ulama Hanafi menambahkan hukum secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:
1. Wajib apabila berdasarkan empat persyaratan
120
a. Bila seorang laki-laki yakin akan berbuat zina jika tidak menikah
119
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.45-46
120
Abdul Rahman I.Doi,Op.Cit, hal.9
Universitas Sumatera Utara
50
b. Bila dia tidak mampu berpuasa atau sekalipun dia dapat berpuasa namun tetap tidak dapat membantunya untuk mengendalikan hawa nafsu
syahwatnya. Tetapi bila puasa itu dapat membantunya, maka dia diharuskan lebih baik wanita untuk digauli.
c. Bila dia tidak mendapatkan budak wanita untuk digaulinya. d. Bila dia mampu membayar mahar dan mampu memperoleh nafkah hidup
yang halal. Namun bila dia tidak mampu mendapatkan biaya hidupnya dengan halal, maka tidak wajib baginya untuk menikah.
2. Makruh, bagi seorang laki-laki yang tidak memiliki keinginan seksual sama sekali atau memiliki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakininya akan
mengakibatkan lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah itu.
121
Ulama lain menambahkan hukum pernikahan secara khusus untuk keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:
122
a. Haram bagi orang-orang yang tidak akan memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan pernikahan atau ia yakin pernikahan itu tidak akan mencapai
tujuan syara’, sedangkan dia meyakini pernikahan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
b. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk nikah dan pernikahan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada
siapa pun.
Terlepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini, yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad SAW menganjurkan para pemuda yang memiliki
kemampuan biaya hidup supaya melakukan pernikahan. Sementara pada sisi lain Nabi Muhammad SAW melarang keras umat Islam melakukan tabattul membujang
selamanya. Khusus bagi pemuda karena satu dan lain hal, terutama alasan ekonomi sehingga belum mampu melakukan pernikahan, maka dianjurkan supaya melakukan
saum puasa. Saum itu dalam pengertiannya yang harfiah yakni sekedar menahan,
121
Abdul Rahman I.Doi, Op.Cit, hal.10
122
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.45-46
Universitas Sumatera Utara
51
maupun dalam konteks kesyariahan yakni benar-benar melakukan ibadah shiyam puasa.
Hadist Rasulullah SAW : “Dari Abdillah bin Mas’ud, dia berkata: “Suatu ketika Rasulullah SAW
pernah menyeru kami: “Hai para pemuda Siapa saja di antara kalian yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah
itu lebih memejamkan pandangan mata dan lebih dapat memelihara kemaluan: dan siapa yang belum tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa,
karena puasa itu adalah obat pengekang baginya.” HR Muttafaq’alaih
123
C. Prinsip dan Asas Dalam Pernikahan
Suatu perkawinan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat, yaitu kebahagiaan akhirat, maka Islam menggariskan beberapa prinsip yang
harus dipedomani sebagai berikut:
124
1. Prinsip Kebebasan dalam Memilih Jodoh.
Memilih jodoh merupakan hak pilih yang bebas bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan yang digariskan syari’ah. Sebelum
Islam, anak perempuan sama sekali tidak memiliki hak pilih, bahkan dirinya sepenuhnya dimiliki oleh ayahnya atau walinya.
Ayah atau walinya dapat menentukan siapa yang menjadi jodohnya. Kemudian tradisi ini diubah oleh Nabi Muhammad SAW.
Meskipun Islam memberikan hak pilih yang bebas dalam mencari pasangan, namun terdapat rambu-rambu yang diberikan agar tidak salah dalam memilih
suami ataupun istri,misal dilarang menikahi orang musyrik, dilarang menikahi orang yang termasuk dalam kategori mahram yang tidak boleh dinikahi
menurut syar’i ,dan dilarang menikahi pezina dan orang-orang yang berperilaku keji QS An-Nisa’4:23-24,An-Nur24:3 dan 26.
2. Prinsip Mawaddah wa Rahmah Cinta dan Kasih Sayang.
Mawaddah dan rahmah ini hanya dikhususkan kepada manusia, bukan kepada mahluk lainnya. Perkawinan pada mahluk lain, seperti pada tumbuh-tumbuhan
dan binatang, tujuannya adalah semata-mata untuk menjamin kelangsungan perkembangbiakan
mereka jadi penekanannya
untuk berkembangbiak.
123
Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.93-94
124
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal 11-15
Universitas Sumatera Utara
52
Perkawinan manusia, meskipun mengandung tujuan untuk berkembang biak, namun yang hakiki adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT.
3. Prinsip Saling Melengkapi dan Melindungi.
Prinsip ini ditemui dalam QS Al-Baqarah ayat 187: “..Istri-istri kamu para suami adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah
pakaian untuk mereka.” Mengisyaratkan
bahwa sebagai laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Tidak ada yang sempurna dalam segala
hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba kekurangan. Karena itu dalam kehidupan suami istri, manusia saling membutuhkan. Masing-masing harus
dapat berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya ibarat pakaian menutupi tubuh.
4. Prinsip Mu’asyarah bil-Ma’ruf Memperlakukan Istri dengan Sopan
Setiap suami dalam kehidupan rumah tangga harus menetapkan satu pilihan diantara dua pilihan: pertama memenuhi semua hak istrinya dan melaksanakan
segala kewajiban dengan sopan santun dan kedua, memutuskan ikatan perkawinan dan membebaskan istrinya secara ma’ruf dengan cara-cara yang
patut dan sopan.
Perkawinan merupakan salah satu bentuk perjanjian yang suci antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki segi-segi hukum perdata.
Asas-asas hukum perkawinan Islam adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan memilih pasangan, kemitraan suami istri, untuk selama-lamanya
dan monogami terbuka:
125
a. Asas kesukarelaan Asas kesukarelaan merupakan azas terpenting dalam perkawinan Islam.
Kesukarelaan tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami istri tetapi juga
125
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta,2004, hal 139-141
Universitas Sumatera Utara
53
antara kedua orang tua calon mempelai. Kesukarelaan orang tua adalah sendi asasi perkawinan Islam.
126
b. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak Persetujuan perkawinan itu pada dasarnya tidaklah sama dengan persetujuan-
persetujuan yang lain, misal: persetujuan jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain.
Perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuan-persetujuan yang lainnya adalah bahwa dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya menentukan
sendiri isi dari persetujuannya itu, asal persetujuan itu tidak bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam suatu perkawinan
sudah sejak semula ditentukan oleh hukum, isi dari persetujuan antara suami istri itu. Apabila seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk
melakukan perkawinan satu sama kain berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-
hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya.
Juga dalam menghentikan perkawinan, suami istri tidak leluasa penuh untuk menghentikan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat
juga pada peraturan hukum tentang itu
127
. c. Asas Kebebasan Memilih Pasangan
Perkawinan itu tidak boleh dipaksakan. Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang perempuan perawan datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menceritakan bahwa
bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki-laki, sedangkan ia tidak mau
126
Sylvana Amelia Fauzi, Tesis Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan,
2012, hal.66-67
127
Prodjodikoro R. Wirjono, Op.Cit, hal.8
Universitas Sumatera Utara
54
tidak suka, sehingga Rasulullah menyerahkan keputusan itu kepada gadis itu, apakah ia mau meneruskan perkawinan itu atau minta cerai. Menurut hukum Islam,
pernikahan merupakan akad perjanjian yang didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak calon istri dan suami. Karena pihak wanita tidak langsung melaksanakan
ijab, diisyaratkan izin atau persetujuannya sebelum pernikahan dilaksanakan. Adanya syarat ini berarti tidak boleh pihak ketiga yang melaksanakan ijab memaksakan
kemauannya tanpa persetujuan calon istri. d. Asas Kemitraan Suami Istri
Dengan terlaksananya akad nikah maka seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh berbagai hak dan kewajiban, demikian juga seorang perempuan yang
menjadi istri dalam suatu perkawinan memperoleh berbagai-bagai hak pula. Disamping itu mereka pun memikul pula kewajiban-kewajiban sebagai akibat dari
mengikatkan diri dalam perkawinan. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik kehidupan rumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
e. Asas Untuk Selama-Lamanya Pernikahan bukanlah untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat namun untuk
seumur hidup. Oleh karena itu seseorang harus menentukan pilihan pasangan hidupnya secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi. Pernikahan dilaksanakan
untuk selama-lamanya tanpa ada jangka waktu.
Universitas Sumatera Utara
55
Adapun karena prinsip pernikahan dalam Islam untuk selamanya dan bukan untuk masa tertentu, maka Islam tidak membenarkan:
1. Akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu pernikahan, misal: tiga bulan atau satu tahun.
2. Nikah Mut’ah. Nikah Mut’ah yang disebut juga Ziwaj Muaqqat dan Ziwaj Munqathi
hukumnya adalah haram, artinya nikah yang ditentukan untuk sesuatu waktu tertentu, atau perkawinan yang terputuskan. Nikah Mut’ah nikah sementara
merupakan bentuk perkawinan terlarang yang dijalin dalam tempo tertentu bagi seseorang
agar dapat
bersenang-senang untuk
melepaskan keperluan
syahwatnya. Diriwayatkan pula oleh Ali bin Abi Thalib : “Aku telah menjelaskan kepada
Ibnu Abbas pada waktu perang Khaibar: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang Mut’ah kawin sementara dan
makan daging keledai.”
128
3. Nikah Muhallil Nikah Muhallil ialah nikah yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang
wanita yang telah dicerai oleh suaminya yang pertama setelah selesai masa iddahnya. Wanita tersebut dikumpuli dan diceraikan oleh suami keduanya agar
dapat menikah kembali dengan suami pertamanya. Terlaksananya nikah
128
Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadist-Hadist Muttafaq’Alaih, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.63
Universitas Sumatera Utara
56
Muhallil itu ada unsur perencanaan dan bukan untuk niat selamanya. Hukum pernikahan itu haram dan akibatnya tidak sah, tidaklah batal wanita yang telah
dicerai oleh Muhallil orang yang melangsungkan pernikahan kedua tersebut untuk menikah dengan suami pertamanya.
Hadist Nabi Muhammad SAW riwayat Ahmad dari Abu Hurairah artinya: “Allah melaknati orang yang menghalalkan muhallil dan orang yang
dihalalkan baginya muhallalah.”
129
4. Nikah Syighar Nikah syighar ialah seorang wali menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki
dengan syarat agar laki-laki tersebut menikahkan putrinya dengan si wali tanpa membayar mahar.
Rasulullah SAW melarang pernikahan seperti itu sebagaimana sabdanya: Dari Ibnu Umar, katanya: Rasulullah SAW melarang kawin syighar. Kawin
syighar yaitu seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain: Kawinkanlah putrimu atau saudara perempuanmu dengan saya, nanti saya kawinkan kamu
dengan putriku atau saudara perempuanku dan perkawinan keduanya tanpa mahar .HR.Ibnu Majah
130
f. Asas Monogami Terbuka Monogami bermakna perkawinan dengan seorang perempuan saja pada satu
waktu.
131
Monogami merupakan asas perkawinan dalam hukum Islam. Asas ini terdapat dalam Q.S.4:3 yang berbunyi:
129
Abd.Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal.40
130
Ibid,hal.42
131
Osman Raliby, Kamus Internasional, Bulan Bintang, Jakarta, hal.360
Universitas Sumatera Utara
57
“…..jika kamu takut tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu itu, seyogyanya kamu mengawini seorang wanita saja, sebab kawin dengan seorang wanita saja lebih
baik bagimu agar kamu tidak berbuat aniaya.”
132
Maksud anjuran Allah SWT untuk beristri satu saja adalah untuk menghindari perbuatan sewenang-wenang dan membuat orang lain menderita apabila beristri lebih
dari satu. Laki-laki boleh memiliki istri maksimal empat orang apabila bisa berlaku adil diantara istri-istrinya. Poligami hanyalah untuk keadaan darurat dan terhindar
dari dosa. Pernikahan seorang suami dengan lebih dari dari seorang istri, walaupun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan
apabila telah memenuhi persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Menurut M.Yahya Harahap asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam UU
Perkawinan adalah:
133
1. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang Perkawinan menampung di dalamnya
segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. 2. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan
zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, disamping perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan tekhnologi yang
telah membawa implikasi di segala lapangan hidup dan pemikiran.
3. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal. Pertama, suami istri saling
bantu membantu serta saling lengkap melengkapi. Kedua, masing-masung dapat
mengembangkan kepribadiannya
dan untuk
mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami istri itu harus
saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.
132
Neng Djubaidah, Sulaikin Lubis, Farida Prihartini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, PT.Hecca Mitra Utama, Jakarta, 2005, hal.97
133
Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Mimbar Hukum No.4 Tahun II, Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Departemen Agama, Jakarta, 1991, hal.27-29
Universitas Sumatera Utara
58
4. Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga Negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama
dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusial point yang hampir menenggelamkan undang-undang ini. Di samping itu perkawinan harus
memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan akta nikah.
5. Undang-undang perkawinan menganut asas monogami akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya.
6. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya.
7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Menurut Asaf A.A. Pyzee tiga aspek yang dikandung dalam sebuah pernikahan: a.
Sisi hukum, bahwa pernikahan bukan hanya sekedar untuk keabsahan melakukan persetubuhan, tetapi lebih jauh dari itu bertujuan untuk
mencapai sesuatu yang lebih luhur karena sutu pernikahan itu dipandang sebagai sebuah perikatan atau kontrak.
b. Secara sosial, bahwa pernikahan itu sendiri berhasil untuk mengangkat
derajat seorang wanita ke tingkat yang lebih tinggi di masyarakat dengan kondisinya sebelum melangsungkan pernikahan.
c. Dilihat dari sudut pandang agama bahwa pernikahan itu merupakan sesuatu
yang suci dan sakral, untuk itu pernikahan harus dilakukan oleh orang- orang yang suci agar tujuan pernikahan yang luhur dapat tercapai. Lebih
penting dari itu, dalam kacamata agama bahwa pernikahan merupakan langkah awal untuk membentuk keluarga sebagai asas masyarakat.
Adapun dari sisi ini sehingga dapat dipahami bahwa pernikahan sebagai langkah awal untuk membentuk keluarga yang selanjutnya kumpulan keluarga inilah
yang akan membentuk warga masyarakat yang pada akhirnya menjadi sebuah negara.
Universitas Sumatera Utara
59
Dapatlah disimpulkan apabila suatu pernikahan itu dilangsungkan sesuai
dengan peraturan agama dan perundang-undangan, maka bisa dipastikan akan terbentuk keluarga-keluarga yang baik, sehingga negara pun akan menjadi baik.
D. Pengertian Wali Nikah
Pengertian wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya ia bertindak terhadap dan
atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam
urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Secara etimologis, perwalian al-wilayah adalah pertolongan dan kemampuan.
Menurut etomologi, wali mengandung dua makna; penolong atau orang yang mewakilkan urusan seseorang.
134
Perwalian al-wilayah menurut para fuqaha adalah kekuatan syariah yang membuat pemiliknya dapat melaksanakan sebuah akad dan segala tindak lanjutnya,
tanpa harus mendapatkan izin dari pihak lain, baik akad itu untuk dirinya sendiri atau orang lain, baik apakah hal itu tentang urusan umum seperti tanggungan hakim, atau
tentang urusan khusus seperti orang tua pada anaknya atau orang waras terhadap orang gila.
Secara terminologi istilah yang dimaksud perwalian ialah kekuasaan melakukan akad dan transaksi, baik akad maupun akad lainnya tanpa ketergantungan
kepada orang lain. Para Fuqaha ahli hukum Islam membagi perwalian atas diri
134
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal 177
Universitas Sumatera Utara
60
pribadi dan atas harta kekayaan. Perwalian atas diri pribadi dimaksud adalah kekuasaan melakukan akad perkawinan tanpa ketergantungan kepada pihak lain,
dan atas harta kekayaan ialah kekuasaankewenangan mengurusi akad yang berkaitan dengan
hartakekayaan yang
dimiliki oleh
yang dibawah perwalian
tanpa ketergantungan kepada orang lain
135
. Sayid Sabiq mengemukakan bahwa secara umum yang dimaksud dengan wali
adalah ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya
136
. Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf h perwalian adalah kewenangan
yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua.
Perwalian yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wali. Wali mempunyai banyak arti, antara lain:
137
1. Orang yang menurut hukum agama dan adat diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak tersebut dewasa.
2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
3. Orang saleh suci, penyebar agama. 4. Kepala pemerintah dan sebagainya.
Dalam pernikahan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu
135
Marahalim, Tesis Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Program Studi Magister Hukum USU, Medan, 2007, hal.8
136
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunah, terjemahan Moh.Thalib, PT.Al Maarif, Jilid 728, Bandung ,1994, hal.1
137
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Prenada Media Jakarta, 2003, hal.165
Universitas Sumatera Utara
61
pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya
138
. Menurut Muhammad Jawad Mughniyah yang dimaksud wali dalam perkawinan
adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang
yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.
139
Sementara Zahri Hamid menjelaskan bahwa wali nikah adalah seorang laki-laki yang dalam suatu akad nikah
berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan, adanya wali nikah itu merupakan rukun yang dipenuhi dalam suatu akad perkawinan.
140
1. Pembagian Wali Nikah