Rekayasa Materia Absorber Gelombang Mikro Berbasis Lantanum Manganat

(1)

LAPORAN PENELITIAN KOLEKTIF

REKAYASA MATERIAL ABSORBER GELOMBANG

MIKRO BERBASIS LANTANUM MANGANAT

PENELITI

Ketua

SITTI AHMIATRI SAPTARI

19770416 200501 2 008

Anggota

PRIYAMBODO

19800507 200910 1 002

Pusat Penelitian dan Penerbitan

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013


(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

ii

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR TABEL viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 3

1.4. Batasan Penelitian 3

1.5. Manfaat Penelitian 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1. Lantanum Manganat 5

2.1.1. Struktur Kristal Lantanum Manganat 5

2.1.2. Sifat Magnetik Lantanum Manganat 7

2.1.3. Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat 10

2.2. Struktur Kristal 12

2.2.1. Kisi Kristal 13

2.2.2. Parameter Kisi 14

2.2.3. Sistem Kristal 15

2.2.4. Indeks Miller 18

2.2.5. Jarak Bidang Kristal 19


(3)

2.3.1. Brehmstrahlung 22

2.3.2. Sinar X Karakteristik 23

2.3.3. X Ray Diffractometer (XRD) 24

2.4. Metode Analisis Rietveld 27

2.4.1. Prinsip Dasar 29

2.4.2. Persamaan Profil Pola Difraksi 30

2.5. Magnetisasi Material 32

2.6. Teori Double Exchange 35

2.7. Teori Interaksi Superexchange 38

2.8. Ligand Field Theory (LFT) 39

2.9. Mechanical Alloying 45

2.10. Mekanisme Absorpsi Gelombang Elektromagnet 48

2.11. Gelombang Mikro 52

2.12. Scanning Electron Microscope (SEM) 53

BAB 3 METODE PENELITIAN 57

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 57

3.2. Alat dan Bahan 57

3.3. Analisis Data 59

3.3.1. Thermogravimetric Analysis (TGA) 59

3.3.2. Difraksi Sinar X (XRD) 60

3.3.3. SEM 61

3.3.4. Permagraf 62

3.3.5. VNA 62


(4)

3.5. Jadwal Penelitian 64

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 65

4.1. Karakterisasi TGA 65

4.2. Karakterisasi SEM 66

4.3. Karakterisasi Difraksi Sinar X (XRD) 69

4.3.1. XRD Sampel La0,67Ba0,33MnO3 69

4.3.2. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0.98Ni0.02O3 72

4.3.3. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0.96Ni0.04O3 74

4.3.4. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0.94Ni0.06O3 76

4.4. Karakterisasi Sifat Magnet 79

4.5. Karakterisasi Sifat Absorpsi Sampel La0,67Ba0,33Mn0.94Ni0.06O3 82

BAB 5 KESIMPULAN 88

DAFTAR PUSTAKA 89

PEMAKAIAN ANGGARAN DANA 92 CURICULUM VITAE


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur perovskite ideal 5

Gambar 2.2. Diagram fase La1-x CaxMnO3 8

Gambar 2.3. Diagram fase La1-xBaxMnO3 9

Gambar 2.4. Diagram fase La1-xSrxMnO3 10

Gambar 2.5. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang mikro pada La0,6Sr0,4MnO3 11

Gambar 2.6. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro pada La0,8Ba0,2MnO3 12

Gambar 2.7. Sistem dan kisi kristal 13

Gambar 2.8. Parameter kisi 14

Gambar 2.9. Tujuh sistem kristal dan 14-kisi bravais 16

Gambar 2.10. Bidang kristal pada berbagai indeks miller 18

Gambar 2.11. Skema produksi sinar-X 21

Gambar 2.12. Sinar-X bremsstarhlung 22

Gambar 2.13. Sinar-X karakteristik 23

Gambar 2.14. Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif 25

Gambar 2.15. Hamburan sinar-X pada kristal 26

Gambar 2.16. Skema XRD 27


(6)

Gambar 2.18. Skema Teori Double Exchange (DE) 37

Gambar 2.19. Mekanisme interaksi superexchange 39

Gambar 2.20. Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan kompleks 40

Gambar 2.21. Splitting octahedral pada level d5 41

Gambar 2.22. Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk d4 sistem 43

Gambar 2.23. Struktur elektronik dari Mn3+ dan Mn4+ sebelum dan setelah adanya distorsi Jahn-Teller 45

Gambar 2.24. Prinsip dan tahapan dari mechanical alloying 46

Gambar 2.25. Aplikasi metode mechanical alloying 47

Gambar 2.26. Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling 48

Gambar 2.27. Skema absorpsi gelombang electromagnet 49

Gambar 2.28. Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik 50

Gambar 2.29. Interaksi antara electron primer dengan benda 54

Gambar 2.30. Skematis pembentukan citra pada SEM 56

Gambar 3.1. TGA 60

Gambar 3.2. Alat Difraksi sinar-X (XRD) Shimadzu-7000 61

Gambar 3.3. SEM 61

Gambar 3.4. Permagraf 62

Gambar 3.5. VNA 62

Gambar 4.1. Kurva TGA campuran bahan dasar setelah milling 66

Gambar 4.2. SEM sampel La0,67Ba0,33MnO3 67

Gambar 4.3. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 67


(7)

Gambar 4.5. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 68

Gambar 4.6. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3 70

Gambar 4.7. Refinement sampel La0,67Ba0,33MnO3 71

Gambar 4.8. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 72

Gambar 4.9. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 73

Gambar 4.10. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 75

Gambar 4.11. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 76

Gambar 4.12. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 77

Gambar 4.13. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 78

Gambar 4.14. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3 79

Gambar 4.15. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 81

Gambar 4.16. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 82

Gambar 4.17. Skematik proses absorpsi gelombang elektomagnetik 83

Gambar 4.18. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33MnO3 84

Gambar 4.19. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 85

Gambar 4.20. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 86


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tujuh sistem kristal 17

Tabel 2.2. Energi ionisasi beberapa atom ringan 20

Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro 53


(9)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir ini, polusi interferensi gelombang elektromagnet cukup serius muncul akibat perkembangan yang pesat dari bisnis alat komunikasi, seperti telepon selular dan sistem radar [1]. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya sistem peralatan berbasis elektronik dan sistem keamanan yang sangat vital. Diyakini pula bahwa radiasi gelombang mikro yang berasal dari sinyal telepon selular dapat memicu terjadinya sel kanker [2]. Fenomena tersebut menarik minat banyak peneliti untuk mengembangkan material yang mampu menyerap gelombang elektromagnet. Material absorber ini dapat mengubah energi gelombang elektromagnet menjadi energi panas sehingga material ini sangat bermanfaat untuk melindungi suatu objek dari gelombang elektromagnet yang tidak diinginkan [3].

Material absorber secara umum dibagi menjadi dua tipe yaitu material dielektrik dan material magnetik. Magnet lunak seperti ferit tipe spinel dan campuran feromagnet adalah material yang biasa digunakan sebagai absorber [4]. Namun pada umumnya saat daerah frekuensi 1-5 GHz, absorber seperti ferit tipe spinel tidak dapat berfungsi dengan baik karena permeabilitasnya menurun

dengan drastis seperti yang ditentukan oleh Snoek (Snoek’s limit) [5]. Oleh

karena itu banyak peneliti melakukan riset untuk merekayasa atau pun mencari material baru yang memiliki permeabilitas tetap besar ketika daerah frekuensi tinggi.


(10)

Material lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr, Ba, Ca) telah beberapa dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para peneliti. Hal ini disebabkan karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, serta adanya fenomena magnetoresistansi yakni perubahan resistansi listrik ketika ada medan magnet

eksternal [6,7]. Sifat magnetoresistensi ini diaplikasikan untuk sensor magnetik

dan juga penyimpanan data (data storage) [8]. Selain itu, ditemukan pula bahwa

lantanum manganat dapat menjadi kandidat yang potensial sebagai material penyerap gelombang mikro pada frekuensi tinggi.

Pada tahun 2002 Li dkk [9] mensintesis La1-xSrxMnO3 dengan metode

solid state reaction kemudian absorbsi gelombang mikronya dikarakterisasi pada rentang frekuensi 8-14 GHz. Selanjutnya terdapat penelitian yang mendoping

material La1-xSrxMnO3 dengan ion Fe sehingga menjadi La1-xSrxMn1-yFeyO3

[10-12]. Penelitian tersebut menggunakan metode sol-gel dan sifat absorbsi

gelombang mikronya dipelajari dengan rentang frekuensi 2-18 GHz. Dari hasil

pendopingan tersebut diperoleh bandwidth dan intensitas gelombang mikro yang

lebih baik. Zhou dkk [13] melaporkan bahwa nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3

memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18 GHz, dengan puncak 13 dB pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing diatas 10 dB pada frekuensi 1,8 GHz.

Penelitian tentang material absorber gelombang mikro terus mengalami perkembangan dengan ditemukannya berbagai material baru atau pun rekayasa material. Berdasarkan deskripsi yang telah dipaparkan kami tertarik untuk melakukan sintesis La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3.


(11)

1.2. Rumusan Masalah

Kriteria sebuah material untuk dapat dijadikan material absorber gelombang elektromagnet salah satunya adalah bahan tersebut memililki nilai permeabilitas dan permitivitas setinggi mungkin dan saturasi magnet yang tinggi. Material lanthanum manganat diketahui memiliki criteria yang sesuai untuk keperluan sebagai bahan absorber gelombang elektromagnet terutama setelah adanya substitusi ion divalent terhadap La. Namun material ini masih memiliki permeabilitas yang rendah. Oleh karena itu masih diperlukan rekayasa material lanthanum manganat agar dapat menjadi material absorber gelombang electromagnet yang unggul.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan

a. Untuk menganalisis proses pembentukan sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3.

b. Untuk menganalisis struktur kristal sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3.

c. Untuk menganalisis karakteristik magnetik sampel La0,67Ba0,33Mn1-xNixO3.

d. Untuk menganalisis pengaruh dopan Ni pada sampel La0,67Ba0,33Mn

1-xNixO3 terhadap kinerja sampel sebagai material absorber gelombang

mikro.

1.4. Batasan Penelitian

Kajian penelitian hanya dibatasi pada pembuatan sampel dengan variasi


(12)

TGA (Thermogravimetry Analyser), XRD (X Ray Diffraction), SEM (Scanning Electron Microscope), Permagraf, dan VNA (Vector Network Analyser).

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini di lakukan dengan harapan mendapatkan material berbasis

lantanum manganat yakni La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3 yang dapat diaplikasikan


(13)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lantanum Manganat

Lantanum manganat, La1-xAxMnO3, dapat dianggap sebagai sistem biner

yang terdiri dari larutan padat LaMnO3 dan AMnO3, untuk x = 0 dan x = 1. G.H

Jonker dan J.H Van Saten [14] adalah pelopor penelitian bahan perovskite pada

tahun 1950, dengan menerbitkan kilasan dari sistem biner bahan perovskite

seperti LaMnO3– CaMnO3, LaMnO3– SrMnO3, dan LaMnO3– BaMnO3.

2.1.1. Struktur Kristal Lantanum Manganat

Struktur kristal lantanum manganat merupakan turunan dari struktur perovskite, yang memiliki formula umum ABO3. Gambar 2.1 menunjukkan

struktur perovskite kubik yang ideal. Dalam lantanum manganat kedudukan A

diisi oleh ion La3+ dan jika x>0 maka disubstitusi kation Ca2+, Sr2+, Ba2+, dan lain-lain. Sedangkan kedudukan B diisi oleh ion Mn.


(14)

Kestabilan struktur perovskite tergantung pada ukuran ion kedudukan A dan B. Jika ada ketidakcocokan antara ukuran ion kedudukan A dan B dalam kisi dimana mereka berada maka stuktur perovskite akan mengalami distorsi. Goldschmidt [16] mendefinisikan faktor toleransi sebagai berikut

(2.1)

Dengan rA dan rB adalah jari-jari ion kedudukan A dan kedudukan B, secara

bertuturut-turut., dan rO adalah jari-jari ion oksigen. Struktur perovskite kubik

yang ideal didapatkan jika harga t*=1.

.Norby dkk [17] melaporkan bahwa material dasar dari lantanum

manganat, LaMnO3, memiliki struktur ortorombik pada suhu ruang. Berbeda

halnya dengan lanthanum manganat yang telah didoping oleh ion lain, strukturnya tergantung dari ion dopingnya, variasi konsentrasi ion doping,

temperatur, dan lain-lain. Untuk La1-xSrxMnO3 ketika harga x sekitar 0,1 memiki

struktur ortorombik namun saat x=0,175 memiliki struktur rombohedral [18]. Ju

dkk [19] memperoleh struktur La0,62Ba0,38MnO3 adalah kubik dengan parameter

kisinya 3,906 Å. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sergei [20] La

1-xBaxMnO3, saat 0≤x≤0,05 memiliki struktur ortorombik, saat 0,1≤x≤0,β5

strukturnya rombohedral sedangkan saat 0,β7≤x≤0,5 strukturnya kubik.

Transformasi fasa struktur ini biasanya disertai dengan perubahan fasa magnetik dan elektriknya.


(15)

2.1.2. Sifat Magnetik Lantanum Manganat

Karakteristik mendasar dari manganat dengan valensi campuran adalah hubungan yang dekat antara transport elektronik dan kemagnetan. Ciri utamanya adalah transisi simultan dari antiferomagnetik dengan sifat isolator ke feromagnetik dengan sifat konduktor akibat adanya substitusi pada kedudukan A. Teori dasar dari fenomena ini telah dikemukan oleh Zener tahun 1951 [21] , yang

memperkenalkan konsep double exchange, yaitu terjadi karena transfer elektron

yang bergantung pada spin dari ion Mn3+ ke Mn4+ pada tetangga terdekat melalui

ion O2-. Teori ini selanjutnya diperbarui oleh Anderson dan Hasegawa tahun 1953

[22] dan de Gennes tahun 1960 [23] yang melibatkan distorsi Jahn-Taller.

Schiffer dan Ramirez [24] pada tahun 1995 melakukan penelitian tentang

diagram fase magnetik dari La1-x CaxMnO3 dengan variasi konsentrasi 0≤x≤1

(Gambar 2.2). Ketika x=0 dan x=0,1 bahan bersifat feromagneti isolator pada temperature rendah dengan temperature Currie sekitar 160K. Diantara x=0,2 dan

x=0,45 bahan bersifat feromagnetik logam dan menunjukkan fenomena colossal

magnetoresistance (CMR). Untuk x lebih besar dari 0,45 bahan bersifat antiferomanetik isolator.


(16)

Gambar 2.2. Diagram fase La1-x CaxMnO3 [24]

Penelitian diagram fase magnetik La1-xBaxMnO3 (Gambar 2.3) dilakukan

oleh Ju dkk [19]. Sampel keramik padatan La1-xBaxMnO3 (x=0; 0,06; 0,13; 0,19;

0,25; 0,31; 0,38; 0,44; 0,5; 0,63; 0,75; 0,88; 1,0) dibuat dengan metode solid state

reaction. Bahan La2O3, BaCO3, dan MnCO3 dicampur selanjutnya dipanaskan

pada suhu 1100oC-1300oC kemudian dikalsinasi pada suhu 1400oC-1550oC. Sifat

magnetic dikarakterisasi dengan menggunakan SQUID (superconducting quantum interference device). Ditemukan bahwa bahan bersifat feromagnetik untuk seluruh harga x, namun terdapat tiga fase. Untuk wilayah konsentrasi doping yang rendah

bahan bersifat feromagnetik isolator, wilayah 0,β≤x≤0,5 bahan bersifat

feromagnetik logam, sedangkan untuk konsentrasi doping yang tinggi bahan bersifat feromagnetik dengan multiphase.


(17)

Gambar 2.3. Diagram fase La1-xBaxMnO3 [19]

Urushibara dkk [18] pada tahun 1995 melakukan pendopingan Sr terhadap LaMnO3, ketika doping Sr kecil bahan bersifat isolator. Saat x mencapai titik kritis yakni sekitar 0,17 bahan bersifat metalik diserta dengan munculnya


(18)

Gambar 2.4. Diagram fase La1-xSrxMnO3 [18]

2.1.3. Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat

Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [25] menemukan bahwa

nanopartikel La0,6Sr0,4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu

menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai

12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41,1 dB pada frekuensi 8,2 GHz dengan

ketebalan 2,2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada

daerah frekuensi 5,5-11,3 GHz (Gambar 2.5). Dalam laporannya Cheng juga mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya semakin baik.


(19)

Gambar 2.5. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang

mikro pada La0,6Sr0,4MnO3 [25]

Zhou dkk pada tahun 2007 [13] melaporkan bahwa nanopartikel

La0,8Ba0,2MnO3 memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18

GHz, dengan puncak 13 dB pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing

diatas 10 dB pada frekuensi 1,8 GHz. Nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3 dibuat dengan

metode sol-gel dari bahan dasar La2O3, Mn(C2H4O2)2, dan Ba(OH)2 dengan berat

fraksi mol 2:5:1. Bahan dasar tersebut dicampur bersama pada suhu 70oC selama

6 jam dan selanjutnya dikalsinasi pada suhu 800oC selama 2 jam. Kurva


(20)

Gambar 2.6. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro

pada La0,8Ba0,2MnO3 [13]

2.2. Struktur Kristal

Zat padat yang terdapat di alam ini bila ditinjau secara mikrostruktur dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu zat padat yang memiliki susunan atom tidak teratur ( non kristal ) dan zat padat yang memiliki susunan atom yang teratur (kristal) [26].

Kristal didefinisikan sebagai material padat yang letak atom-atomnya membentuk barisan yang teratur rapih secara periodik dalam pola tiga dimensi, sehingga memiliki sifat fisika maupun kimia serba sama di seluruh bagiannya, adapun yang termasuk bahan-bahan kristal seperti: semua logam, sebagian besar keramik dan beberapa polimer.


(21)

2.2.1. Kisi kristal

Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan membayangkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik-titik mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dapat dibedakan walaupun dipandang dari segala arah. Bila tiap-tiap titik tersebut dihubungkan maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik memenuhi ruang. Gambar 2.1 adalah ilustrasi yang menunjukan kisi sebuah suatu sistem kristal [27].


(22)

2.2.2. Parameter Kisi

Panjang tiap-tiap ruang sel yang searah dengan sumbu kristalografi disebut dengan tetapan kisi (lattice constant), dan dinamakan dengan parameter kisi sumbu a, b, dan c. Sudut yang dibentuk oleh garis bc, ac, dan ab berturut-turut

disebut dengan α, , . Gambar β.8 adalah ilustrasi dari parameter kisi.


(23)

2.2.3. Sistem kristal

Terdapat tujuh sistem kristal yang dikembangkan menjadi empat belas kisi bravais dalam pengelompokan struktur kristal. Pengelompokan ini berdasarkan pada karakteristik unit selnya, antara lain sifat-sifat vektor basis, sudut antar vektor basis dan karakteristik elemen simetrinya. Pada karakteristik unit sel terdapat sifat-sifat geometri kristal antara lain ; indeks Miller, bidang kristal (hkl) dan konstanta kisi. Pada gambar 2.9 ditunjukkan tujuh system krsital berikut pengembangan empat belas kisi bravaisnya.


(24)

(25)

Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal Sistem

Kristalografi

Panjang sumbu dan sudut

Kisi Bravais Simbol

Kisi

Triklinik a ≠ b ≠ c

α ≠ ≠ =90 0

Simple P

Monoklinik a ≠ b ≠ c

α = =90 0 ≠ ataua ≠

b ≠ c

α = = 900

Simple

Base – centered

P

C

Ortorombik a ≠ b ≠ c

α = = =90 0

Simple Base centered Face centered Body centered P C F I

Tetragonal a = b ≠ c

α = = =90 0

Simple Body centered P I Trigonal/ Rombohedral

a = b = c

α = = ≠ 90 0 < 120 0

Simple P

Hexagonal a = b ≠ c

α = = 90 0 =1β0 0

Simple P

Kubus a = b = c

α = = =90 0

Simple Face centered Body centered P F I 5


(26)

2.2.4. Indeks Miller

Misalkan x adalah fraksi perkalian dari vektor basis a, y adalah fraksi perkalian dari vektor b dan z adalah perkalian dari vektor basis c, maka invers dari ketiga fraksi dapat dikalikan dengan suatu bilangan sedemikian rupa sehingga ketiga fraksi (triplet) menghasilkan bilangan bulat terkecil. Triplet atau set bilangan bulat ini disebut indeks miller, diberi simbol (hkl). Hubungan ketiga indeks miller ini akan membentuk bidang yang disebut dengan bidang Bragg.


(27)

2.2.5. Jarak Bidang Kristal ( d )

Untuk mengetahui jarak antara bidang di dalam kristal adalah harus mengetahui indeks miller dari bidang-bidang tersebut. Misalkan jarak antar

bilangan diberi symbol dhkl , maka secara matematis hubungan antara dhkl dengan

indeks miller basis kostanta kisi untuk sistem orthorombik, dapat ditulis sebagai berikut:

(2.2)

dimana : h k l itu merupakan bidang kristalografi atau indeks miller.

2.3. Teori Dasar Sinar-X

Sinar-X adalah salah satu bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik

yang memiliki panjang gelombang antara 0,01 – 100 Ǻ. Karena berbentuk

gelombang maka energi yang dimiliki oleh foton sinar-X ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan [28] berikut:

(2.3) Dengan h konstanta planck ( 6,626 x 10-34 [J.s] ), c kecepatan cahaya ( 3 x 108

[m/s ) dan λ sebagai panjang gelombang [m]. Sehingga untuk sinar-X dengan

panjang gelombang 1 Ǻ ( 10-10 m ) akan memiliki energi sebesar 1,9898 x 10-15 Joule atau 12400,8 eV. Dengan energi yang demikian besar, sinar-X dapat mengionisasi elektron terdalam dari beberapa unsur ringan seperti pada Tabel 2.2 [29]


(28)

Tabel 2.2 Energi ionisasi beberapa atom ringan

Atom Energi Ionisasi (eV)

I II III IV V VI VII

H 14 1

He 25 55 4

Li 5 76 123 9

Be 9 18 154 218 16

Be 8 25 38 260 341 25

C 11 24 48 64 393 492 36

N 14 30 48 78 98 523 668 49

Sinar-x ditemukan dengan tidak sengaja oleh seorang professor Fisika Wilhelm K. Rontgen 8 November 1895 ketika sedang melakukan percobaan dalam laboratorium yang berada di lantai dua apartemennya di Würzburg, Bavaria (sekarang bagian dari German). Dia melakukan percobaan dengan menggunakan tabung sinar katoda dengan sumber tegangan DC sebesar 20 Volt dan dengan menggunakan koil dia dapat menaikan tegangan sampai 35000 Volt dengan cara memutus secara periodik aliran arus ke rangkaian sebanyak 8 kali per detik. Dia menyimpulkan bahwa radiasi dengan kemampuan tembus yang besar dapat ditimbulkan jika elektron dengan energi kinetik yang besar menumbuk materi. Radiasi ini dapat menembus bahan dengan mudah, menyebabkan bahan fosforesen berkilau dan menghitamkan plat foto. Karena sifat-sifat dari radiasi ini


(29)

belum diketahui maka pada saat itu dinamakan sinar-X. Daya tembus sinar-X akan bertambah dangan bertambahnya energi kinetik elektronnya, juga intensitas yang makin besar dengan bertambahnya jumlah elektron.

Pada Gambar 2.11 diperlihatkan skema dari produksi sinar-X didalam

sebuah tabung katoda. Beda potensial Ua akan mempercepat gerakan elektron dari

katoda ke target anoda, sedangkan Uh menentukan banyaknya elektron yang

terlepas dari katoda. Elektron yang terlepas akan menumbuk target anoda sehingga akan kehilangan sebagian besar atau seluruh energi kinetiknya ketika mengalami tumbukan dengan dengan atom target; energi inilah yang berubah menjadi sinar-X.


(30)

2.3.1. Brehmsstrahlung

Elektron yang bergerak cepat dari katoda akan mengenai target anoda dan mengalami penghentian mendadak. Berdasarkan teori elektromagnetik, muatan listrik yang mengalami percepatan akan meradiasikan gelombang elektromagnetik dan elektron yang bergerak cepat yang tiba-tiba dihentikan jelas mengalami

percepatan. Sinar-X brehmsstrahlung atau “breaking radiation” merupakan

produksi sinar-x yang dihasilkan dari penghentian elektron yang bergerak dengan kecepatan yang tinggi oleh inti atom target. Kekuatan sinar-x yang dihasilkan merupakan selisih energi kinetik elektron mula-mula dan energi elektron setelah mengalami penghentian. Gambar 2.9 menjelaskan bagaimana proses terjadinya

sinar-X bremsstarhlung dan spektrum sinar-X tungsten pada berbagai potensial

pemercepat [29].


(31)

2.3.2 Sinar-X Karakteristik

Pada gambar 2.13 terlihat dua puncak dengan intensitas yang tajam pada panjang gelombang tertentu dari target unsur molybdenum. Puncak-puncak ini timbul pada berbagai panjang gelombang tertentu untuk masing-masing bahan target dan asalnya adalah penataan kembali struktur elektron atom target setelah diganggu oleh tembakan elektron energi tinggi.

Gambar 2.13 Sinar-X karakteristik

Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi, dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron tereksitasi dari atom, selanjutnya elektron lain yang berada pada sub kulit yang lebih tinggi akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh elektron tersebut


(32)

dengan memancarkan sinar-X yang memiliki energi sebanding dengan selisih level energi elektronnya.

Mekanisme munculnya K dan K adalah ketika kekosongan terjadi pada

kulit kulit-K (n=1), elektron dari kulit di atasnya (L, M, N dst) akan turun mengisi kekosongan tersebut sambil memancarkan foton dengan energi yang merupakan selisih energi dari kulit elektron asal (L,M,N dst) dan kulit-K . Sinar-X yang

dihasilkan oleh elektron dari L ke K dinamakan sinar-X Kα dan sinar-X K untuk

dari M ke K. Sedangkan pada kulit-L akan menghasilkan sinar-X Lα untuk

transisi M ke L dan L untuk transisi N ke L dan seterusnya. Sedangkan kekosongan pada kulit yang ditinggalkan elektron untuk mengisi level energi dibawahnya akan diisi oleh elektron dengan level energi yang ada diatasnya dan seterusnya sehingga dihasilkan sinar-X dengan berbagai panjang gelombang.

2.3.3. X-Ray Diffractometer (XRD)

Pada tahun 1912, Max Von Laue menyatakan bahwa panjang gelombang sinar-X ternyata bersesuaian dengan jarak antar atom-atom dalam kristal. Dengan alasan itu dia mengusulkan untuk menggunakan kristal untuk mendifraksikan sinar-X dengan kisi kristal berlaku sebagai kisi tiga dimensi.

Sebuah kristal terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masing-masing atom dapat menghamburkan gelombang elektromagnetik yang mengenainya. Berkas sinar-X monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada arah


(33)

tertentu gelombang hambur itu akan berineraksi konstruktif sedangkan yang lain berinteraksi destruktif. Atom-atom dalam kristal membentuk keluarga bidang datar dengan masing-masing keluarga mempunyai jarak tertentu untuk tiap komponen bidangnya. Analisis ini diusulkan oleh W. L. Bragg pada tahun 1913, yang kemudian bidang-bidang tersebut dinamai bidang Bragg.

Ketika suatu bidang kristal disinari, maka akan terjadi dua kemungkinan interferensi akibat difraksi atom-atom penyusun kristalnya; pertama interferensi konstruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling menguatkan karena mempunyai fasa yang sama dan kedua intrferensi destruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling melemahkan. Kedua jenis interferensi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.14


(34)

Gambar 2.15 Hamburan sinar-X pada kristal

Syarat yang diperlukan agar sinar-x membentuk interaksi konstruktifdapat

dilihat pada Gambar 2.15 diatas. Suatu berkas sinar-x dengan panjang gelombang

λ jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan bidang Bragg yang jarak

diantaranya d. Berkas sinar mengenai atom Z pada bidang pertama dan atom B pada bidang berikutnya, dan masing-masing atom akan menghamburkan sebagian berkas tersebut pada arah rambang. Interferensi konstruktif hanya terjadi antara

sinar yang terhambur sejajar dengan beda jarak jalannya tepat λ, β λ, γ λ dan

seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus nλ, dengan n sebagai bilangan bulat.

Maka syarat Bragg untuk berkas hamburan konstruktif adalah

- Sudut jatuh dan sudut hambur kedua berkas harus sama

- 2d sin θ = n λ ; n = 1, 2, 3, ... dst


(35)

bilangan bulat n menyatakan orde berkas sinar yang dihamburkan.

Gambar 2.16 Skema XRD

2.4. Metode Analisis Rietveld

Metode tradisional untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif pada teknik Difraksi sinar-X biasanya melibatkan pengukuran intensitas dari puncak

yang terpilih dan membandingkannya dengan data standar seperti International

Committee Difraction Data (ICDD). Bagaimanapun, metoda ini sangat membosankan, disamping memerlukan data standar yang sangat bervariasi pada saat muncul keganjilan intensitas yang disebabkan oleh penyimpangan sudut. Sehingga terkadang hasil analisisnya sulit untuk dipertanggungjawabkan.


(36)

Disamping itu pula metode ini tak dapat lagi memberikan hasil yang akurat jika

terdapat banyak puncak-puncak yang saling tumpang tindih (overlap) sehingga

akan menyebabkan hilangnya rincian informasi yang terkandung di dalam profil puncak difraksi tersebut. Dengan demikian diperkenalkan metode baru untuk menganalisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk.

Dasar untuk analisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk secara lengkap pertama kali diperkenalkan oleh Rietveld tahun 1969. Rietveld menunjukkan bahwa kemungkinan mereplika hasil sebuah pengukuran pola difraksi dengan pola hitungan/kalkulasi. Kelebihannya adalah di kala terjadi kesalahan yang disebabkan oleh penyimpangan intensitas dari preparasi cuplikan atau ketidaksempurnaan model struktur cenderung akan meninggalkan sisa intensitas baik negative maupun positif selama factor-faktor dari kalkulasi tersebut tidak diubah oleh Taylor tahun 1991. Kemudian para peneliti lain seperti Hewat tahun 1973, Wiles & Young tahun 1981, Will, Huang dan Parrish tahun 1983, Hill dan Howard tahun 1986, dan Taylor tahun 1991 melengkapi hasil refinement program Rietveld ini dengan memberikan sebuah parameter kualitas.

Setiap titik pada pola difraksi dipandang sebagai satu pengamatan tunggal

yang kemungkinan mengandung kontribusi dari sejumlah refleksi Bragg yang

berbeda. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah

kontribusi intensitas akibat overlap dapat dihitung berdasarkan nilai

parameter-parameter yang didapat dengan asas perhitungan Siroquant. Siroquant adalah

suatu program analisis multi fasa jenis Rietveld yang dapat mereplika pola

difraksi hasil pengukuran/observasi dengan memanfaatkan least-square fitting


(37)

terbaik mendekati pola difraksi yang terukur. Sehingga perbedaan yang dihasilkan dari pola difraksi observasi dan kalkulasi ditandai dengan derajat tingkat

replikasinya. Derajat tingkat replika (degree of fit) dilambangkan dengan sebuah

parameter statistik χ2 (

chi-squared). Idealnya nilai dari chi-squaredχ2 = 1. Namun nilai ini sangat sulit dicapai, umumnya kurang dari 3. Namun program Rietveld

versi Izumi (1994) memberikan parameter lain, dimana goodness of fit yang

dilambangkan dengan parameter S terbaik kurang dari 1,3 [30].

2.4.1. Prinsip Dasar

Prinsip dasar analisis Rietveld adalah mencocokkan (fitting) profil puncak

perhitungan terhadap profil puncak pengamatan. Pencocokan profil tersebut

dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear

yang diberi syarat batas. Jadi analisis Rietveld tidak lain adalah problem optimasi

fungsi non linear dengan pembatas (constraints). Sehingga minimumkan fungsi

obyektif dapat dinyatakan sebagai berikut :

2

1

( ) N i i( ) i( )

i

f x w y o y c

 (2.4)

dengan wi( 1/ ( )) dan ( ) y oi y oi berturut-turut adalah faktor bobot (weighting

factor) dan intensitas pengamatan (observation) pada posisi 2i. Sedangkan yi(c)


(38)

2.4.2. Persamaan Profile Pola Difraksi

Fungsi intensitas secara fisis yang dinyatakan :

2

( )k k( ) ( )k

I  s F hkl ML (2.5)

dengan s, Fk(hkl), M, dan L berturut-turut adalah factor skala, factor struktur,

multiplisitas, dan faktor Lorentz-polarization. Persamaan tersebut menyatakan

bahwa banyaknya elektron akan didifraksikan hanya jika sudut hamburan ()

sama dengan sudut Bragg (k). Jadi fungsi intensitas tidak lain adalah persamaan

intensitas garis. Namun pada kenyataannya bahwa pengukuran intensitas difraksi

tersebut tidak terbentuk garis tetapi berupa puncak-puncak Bragg yang melebar.

Berdasarkan hasil pengembangan program analisis Rietveld ini bahwa

fungsi bentuk puncak merupakan fungsi pseudo-voigt yang telah dimodifikasi,

yakni kombinasi linear dari fungsi Gauss dan fungsi Lorentz dengan tinggi

puncak dan lebar penuh setengah tinggi puncak maksimum (FWHM) tidak sama.

Fungsi pseudo-Voigt yang telah dimodifikasi dituliskan sebagai berikut :

 

   

2

2 2

2 2

2 exp 4ln 2

( )

2 2

2 2

1 1 4 1

( ) tan

k k k k k k G C H G At H L                                            (2.6) dengan 1 1

2 (1 ) ( )

( )

4ln 2 2

k k

H L

C  H G  

             (2.7)


(39)

1

2 2

( ) (tan ) (tan )

k k s k s

H GU  CV  CW (2.8)

( )

( ) k

k

H G H L

 (2.9)

Pada persamaan-persamaan (2.6) hingga (2.9) di atas,  = fraksi

komponen Gauss, H Gk( )= FWHM komponen Gauss, H Lk( )= FWHM

komponen Lorentz, Cs 0atau 0,6 dan

2

2 2

1 k tan

k

At  

  = faktor koreksi

bentuk puncak asimetris. Faktor koreksi bentuk asimetris perlu diberikan karena pada sudut hamburan yang sangat rendah dan sangat tinggi, puncak-puncak difraksi menjadi tidak simetris akibat terbatasnya divergensi vertikal berkas. A = parameter asimetris dan t = konstanta yang diberi nilai +1, 0 atau -1 tergantung

pada apakah selisih (22 )k berturut-turut positif, nol atau negatif.

Persamaan (2.8) menyatakan ketergantungan H Gk( ) pada k, U V dan W

disebut parameter FWHM. Bila korelasi antara parameter-parameter FWHM

sangat tinggi, maka Cs sebaiknya diberi nilai 0,6. Dalam persamaan (2.6)

terdapat lima buah parameter variabel yakni : U, V, W,  dan . Fungsi bentuk

puncak dapat diubah-ubah tergantung pada berapa nilai parameter . Jika  = 1

bentuk puncak memenuhi fungsi Gauss dan bentuk puncak memenuhi fungsi


(40)

Untuk pola difraksi neutron, profile puncak difraksinya tepat memenuhi fungsi

Gauss ( = 1).

Dengan demikian nilai intensitas profile pola difraksi pada posisi 2i

dapat dihitung dengan mengalikan persamaan (2.4) dengan persamaan (2.6),

setelah dikoreksi dengan fungsi latar belakang yib( )c dan fungsi orientasi

preferredPk, diperoleh : 2

( ) ( ) ( ) (2 ) ( )

i k k k k i ib

k

y c

s F hkl M P LG  y c (2.10)

k

 melambangkan penjumlahan jika terdapat puncak-puncak Bragg yang saling

tumpang tindih. Penjumlahan dilakukan terhadap semua refleksi yang dianggap

masih dapat menyumbangkan intensitasnya pada y ci( ) [28].

2.5. Magnetisasi Material

Ketika suatu material ditempatkan pada medan magnet, maka material tersebut akan mengalami magnetisasi. Momen magnet persatuan volume yang

terbentuk dalam material disebut magnetisasi M. Pada suatu material dengan n

magnetic dipole atomic elementer persatuan volume dengan masing-masing m

momen magnet, maka saat momen-momen ini tersusun secara paralel akan

memiliki magnetisasi yang disebut magnetisasi saturasi M [31]. Parameter yang

penting adalah suseptibilitas magnetic , yang menyatakan kualitas dari suatu


(41)

(2.11)

dimana H adalah kuat medan magnet eksternal.

Medan magnet dapat di deskripsikan sebagai dua vektor, yaitu induksi

magnet B dan medan magnet H yang memiliki hubungan seperti pada persamaan

dalam kondisi vakum berikut ini

(2.12)

Dimana adalah permeabilitas pada ruang vakum (4 x 10-7 Hz/m)

Ketika sebuah material diletakkan pada medan magnet, maka material tersebut

akan mengalami magnetisasi. Magnetisasi ini dinyatakan dengan vektor M, yang

menyatakan besaran momen magnet persatuan volume. Induksi magnetik didalam

material dinyatakan dengan

(2.13)

Jika magnetisasi diinduksi oleh medan magnet H, maka magnetisasi yang ada

akan berbanding lurus dengan medan magnet, yaitu :

(2.14)

Dimana koefisien disebut suseptibilitas magnetic material. Jadi persamaan B


(42)

(2.15)

Pada bahan ferromagnetic, nilai dan tidak memiliki nilai yang konstan.

Permeabilitas dan suseptibilitas sangat dipengaruhi oleh medan magnet luar.

Kurva magnetisasi mempresentasikan densitas fluks induksi magnet B terhadap

kekuatan medan magnet luar untuk bahan ferromagnetic dapat dilihat pada Gambar 2.17.

Gambar 2.17. Kurva Histerisis

Kurva magnetisasi untuk bahan yang belum termagnetisasi disebut dengan initial curve magnetization. Kurva diawali dengan permeabilitas awal, dengan

bertambahnya medan magnet H, induksi magnetic B dengan cepat naik (disebut

dengan easy magnetization) dan selanjutnya menjadi menjadi lebih rendah hingga tercapai nilai maksimum tertentu atau disebut dengan saturasi magnetik. Jika

medan magnet H diturunkan kembali, maka fluks induksi magnet B juga ikut

turun, tetapi lebih pelan dari medan magnet H nya. Dengan kata lain, menurunnya

kurva magnetisasi tidak mengikuti kurva ketika medan magnet dinaikkan pertama


(43)

ketika medan magnet telah mencapai nol. Untuk mengembalikan B kembali ke

nol, diperlukan medan magnet negative yang disebut dengan coercive force. Jika

medan magnet negative terus dinaikkan, maka material akan termagnetisasi dengan arah polaritas kearah negative. Ketika medan magnet dinaikkan hingga

nol, maka juga akan didapati residu induksi medan magnet –B yang

membutuhkan medan magnet positif untuk membuat induksi medan magnet menjadi nol kembali. Kurva seperti ini yang disebut dengan kurva loop histerisis [31].

Berdasarkan koersivitasnya, bahan magnetik dapat dibedakan menjadi soft

magnetic dan hard magnetic. Untuk bahan yang memiliki koersivitas yang besar

(di atas 10 kA/m) disebut hard magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki

koersivitas kecil (dibawah 1 kA/m) disebut soft magnetic [32].

2.6. Teori Double Exchange (DE)

Mekanisme Double Exchange (DE) merupakan tipe magnetik exchange

yang muncul diantara ion yang berdekatan dengan keadaan oksidasi yang berbeda [33]. Teori ini pertama kali diajukan oleh Zener (1951) dan mempunyai implikasi yang penting dari sifat magnetik dari suatu material. Energi sistem berada pada nilai terendah jika spin inti yang bertetangga saling sejajar atau parallel. Demikian juga dengan keadaan spin elektron, energi akan menjadi lebih rendah ketika spin elektron parallel dengan spin inti ion Mn [34]. Teori ini sesuai dengan aturan Hund untuk membuat energi sistem menjadi seminimal mungkin. Aturan pertama Hund menyatakan bahwa energi akan minimum bila susunan spin-spin elektron saling sejajar satu dengan yang lainnya.


(44)

Teori Double Exchange (DE) merupakan salah satu dari sekian banyak

teori pertukaran yang ada dalam material. Mekanisme Double Exchange (DE)

pada material perovskite manganites terjadi perpindahan spin elektron yang

parallel pada tetangga terdekat dengan melakukan dua kali hopping secara

bersamaan dari Mn3+ ke Mn4+ melalui O2-. Pada sistem sampel LaSrMnO3, yang

berperan sebagai ion ialah atom Mn karena atom Mn telah menjadi ion Mn3+ dan

Mn4+ akibat adanya doping unsur Sr pada site La.

Zener (1951) telah mendapatkan persamaan yang menggambarkan korelasi antara konduktivitas listrik terhadap sifat magnetiknya, yang dikaitkan

terhadap temperatur Curie (Tc) ferromagnetik pada sistem sampel La1-xAxMnO3

(A = Ca atau Sr), tetapi hanya berlaku untuk variasi doping

Berikut persamaan yang menyatakan hubungan tersebut

(2.16)

Dimana x adalah konsentrasi doping A (untuk ),

, h = konstanta Planck, e = muatan elektron, T adalah

temperature, dan Tc adalah temperature Curie. Berdasarkan persamaan (2.16)

dapat diketahui bahwa untuk sistem sampel La1-xAxMnO3 dimana

membuka hubungan linier antara magnetoresistansi terhadap magnetisasi dari sampel, sehingga dapat disimpulkan konduktivitas listrik dan sifat magnetik sampel saling berhubungan.


(45)

Gambar 2.18. Skema Teori Double Exchange (DE) [35]

Gambar 2.18 mengilustrasikan mekanisme Double Exchange (DE) yang

terjadi pada Mn3+-O-Mn4+. Elektron dari orbital eg pada ion Mn3+ melompat ke

orbital O2- dan secara bersamaan elektron pada orbital 2p O2- melompat ke orbital

eg ion Mn4+ yang kosong. Kedua elektron yang terlibat dalam pertukaran harus

memiliki spin yang sama (sesuai prinsip larangan pauli). Hal ini menyebabkan

terjadinya sifat feromagnetik dari elektron eg [35].

Teori lebih lanjut telah dilakukan oleh Anderson & Hasegawa yang menyatakan bahwa sudut antara spin inti ion Mn tetangga terdekat turut

mempengaruhi pada proses Double Exchange (DE) [22]. Hal ini diperkuat oleh

de Gennes [23] membahas tentang batas besarnya coupling Hund (JH), spin

elektron pada eg terikat pada inti spin t2g yang mengubah parameter hopping (t),

yang dipenuhi oleh persamaan berikut :

(2.17)


(46)

Dimana θij adalah sudut antara spin inti pada t2g yang berdekatan dengan ion

manganese, dan tijhanya bergantung pada orientasi relatif pada dua spin. Energi

kinetik pada elektron eg adalah sebanding terhadap t. Dengan demikian, jika spin

tersusun secara feromagnetik (spin parallel) maka nilai t akan maksimum

sehingga resistivitas sampel bernilai minimum [22].

2.7. Teori Interaksi Superexchange

Superexchange merupakan coupling kuat antara interaksi spin antiferomagnetik terhadap tetangga terdekat kation melalui anion non magnetik [36]. Gagasan bahwa pertukaran dapat dimediasi oleh sebuah atom non magnetik telah diajukan pada tahun 1934, dan secara resmi dikembangkan oleh Anderson pada tahun 1950.

Pada superexchange, interaksi magnetik antara ion yang berdekatan di

mediasi oleh ion non-magnetik dengan spin elektron yang berpasangan. Hal ini

merupakan interaksi yang lazim terjadi pada oksida manganiat terisolasi, dimana

ion penghubungnya adalah O2-. Pada kasus manganat, orbital yang telibat adalah

orbital eg yang kosong dari ion Mn dan orbital 2p pada O2- yang terisi. Jadi

elektron pada orbital 2p pada O2- terbagi diantara dua ion Mn yang berdekatan

yang mengisi orbital eg yang kosong. Ini merupakan transfer elektron secara tidak

langsung yang menjadi ciri khas dari mekanisme interaksi superexchange [36].


(47)

Gambar 2.19. Mekanisme interaksi superexchange (a) sesama ion Mn3+

dan (b) sesama ion Mn4+[36].

2.8. Ligand Field Theory (LFT)

Ligand Field Theory (LFT) merupakan salah satu teori yang digunakan untuk menjelaskan struktur elektronik kompleks [37]. Awalnya teori ini adalah

aplikasi dari Crystal Field Theory (CFT). Menurut LFT, interaksi antara metal

transisi dan ligand muncul karena adanya gaya tarik antara muatan positif pada metal sebagai kation bebas dengan muatan negatif pada elektron yang tidak berikatan pada ligand. Ketika ligand tertarik mendekati ion metal, elektron-elektron pada ligand juga akan semakin mendekati elektron-elektron-elektron-elektron yang ada pada orbital d, sehingga menghasilkan gaya tolak diantara kedua muatan yang sama tersebut. Elektron-elektron pada orbital d yang mempunyai jarak paling dekat dengan ligand akan memiliki energi yang lebih tinggi di bandingkan dengan


(48)

yang lain, sehingga akan terjadi perbedaan energi. Perbedaan energi ini disebut d-orbital splitting energy.

Oktahedral kompleks merupakan bentuk paling umum yang membentuk ikatan dengan metal-metal transisi. Lima orbital d dalam kation logam transisi

terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, dimana probabilities density

elektron berbanding lurus dengan satuan level energi yang akan ditempati elektron pada orbital d tersebut, dan adanya ligand akan menimbulkan pemisahan level energi pada beberapa sub orbitalnya.

Gambar 2.20. Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan kompleks [37]

Gambar 2.20 di atas menyatakan bahwa medan listrik negatif sferik di sekitar kation logam akan menghasilkan tingkat energi total yang lebih rendah dari tingkat energi kation bebas yang disebabkan karena adanya interaksi elektrostatis. Interaksi repulsif antara elektron dalam orbital logam dan medan listrik mendestabilkan sistem dan sedikit banyak mengkompensasi stabilisasinya.


(49)

Sekarang ion tidak berada dalam medan negatif yang seragam, tetapi dalam logam yang dihasilkan oleh enam ligand yang terkoordinasi secara octahedral pada atom logam. Medan negatif dari ligand disebut medan ligand. Level energi

yang lebih rendah diberi simbol t2g (triply degenerate orbital) dan level energi

yang lebih tinggi diberi simbol eg (exited degenerate orbital).

Bila ligand ditempatkan di sumbu, reaksi repulsifnya lebih besar untuk

orbital eg dari pada untuk t2g , dan orbital eg di

stabilkan dan orbital t2g distabilkan dengan penstabilan yang sama. Perbedaan

energi antara orbital t2g dan eg sangat penting dan energi rata-rata orbital-obital ini

dianggap sebagai skala nol. Bila perbedaan energi dua orbital eg dan tiga orbital

t2gdianggap Δo, tingkat energi eg adalah dan energi total t2g adalah .

Gambar 2.21. Splitting octahedral pada level d5 [37]

Ion logam transisi memiliki 0 sampai 10 elektron d dan bila orbital d yang

terbelah diisi dari tingkat energi rendah, konfigurasi elektron yang


(50)

ditentukan sebagai tingkat energi rata-rata, energi konfigurasi elektron relatif terhadap energi nol adalah

(2.18)

Nilai ini disebut energi penstabilan medan ligand (Ligand Field Stabilization

Energy LFSE). Konfigurasi elektron dengan nilai LFSE lebih kecil (dengan memperhitungkan tanda minusnya). LFSE merupakan parameter penting untuk menjelaskan kompleks medan transisi.

Syarat lain selain tingkat energi yang diperlukan untuk menjelaskan

pengisian elektron dalam orbital t2g dan eg adalah energi pemasangan (pairing

energy Pe), yaitu energi yang diperlukan untuk memasangkan dua elektron dalam level energi yang sama namun dengan syarat spin berlawanan. Ada dua kemungkinan yang muncul bila ada 4 jumlah elektron di orbital d. orbital yang

energinya lebih rendah t2g lebih disukai, tetapi pengisian orbital ini akan

memerlukan energi pemasangan (Pe). Energi totalnya menjadi

(2.19)

Bila elektron mengisi orbital yang energinya lebih tinggi eg, maka energi totalnya

menjadi


(51)

Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)

karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh

ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan

menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [37].

Pada keadaan high-spin state ∆O > Pe, konfigurasi t2g4 lebih disukai dan

konfigurasinya disebut medan kuat (strong field) karena gaya tolakan yang terjadi

lebih besar dibandingkan pada kasus low-spin state. Sedangkan pada keadaan

low-spin state ∆O < Pe yaitu konfigurasi t2g3 eg1 lebih disukai dan disebut

konfigurasi medan lemah (weak field) atau konfigurasi elektron spin tinggi.

Gambar 2.22. Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk

d4 sistem [37]

Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)


(52)

ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [37].

Pada sifat elektrik dari lantanum manganat La1-xSrxMnO3 sangat terkait

dengan adanya ion manganese dengan valensi yang berbeda. Untuk x = 0 dan 1 ion manganese hanya memiliki satu jenis valensi dan biasanya bersifat antiferromagnetic-insulator (AF-I). Untuk konsentrasi doping intermediate, ion manganese muncul dengan valensi yang berbeda, dan mengubah sifatnya menjadi ferromagnetic- metallic (F-M). Orbital yang aktif secara elektronik adalah orbital

d manganese, dimana konfigurasi keadaan dasar dari trivalent dan quadrivalent

Mn adalah 3d4 dan 3d3.

Kelima orbital d masing-masing dapat mengakomodasi elektron dengan

satu spin up dan satu spin down akan terpecah (splitting) akibat adanya medan

kristal octahedral yang berasal dari 6 atom oksigen yang berada disekeliling ion

Mn. Pemisahan energi ini membagi orbital d menjadi tiga orbital pada energi rendah t2g dan dua orbital pada level energi yang lebih tinggi eg

. Terjadinya pemisahan orbital ini berada pada orde 1,5 eV,

sehingga elektron mengisi pada keadaan orbital dengan spin maksimum sesuai

dengan aturan Hund. Oleh karena itu, konfigurasi elektronik pada Mn3+ adalah

, dan Mn4+ adalah


(53)

Gambar 2.23. Struktur elektronik dari Mn3+ dan Mn4+ sebelum dan setelah adanya distorsi Jahn-Teller [15]

Gambar 2.23 mengilustrasikan splitting Jahn-Teller, energi dari Mn3+

menjadi lebih rendah sekitar 0,6 eV, sedangkan Mn4+ tidak mengalami apapun

akibat distorsi octahedron oksigen [37].

2.9. Mechanical Alloying

Proses mechanical alloying dengan mekanisme mechanical milling atau

pun dengan menggunakan high energy ball milling (HEBM) pada prinsipnya

adalah pengurangan ukuran butir atau partikel dan proses substitusi yang

diakibatkan oleh tumbukan yang terus menerus antar bola logam (ball mill) dan

sampel di dalam alat milling, seperti pada Gambar 2.24. Aplikasi metode


(54)

(55)

Gambar 2.25. Aplikasi metode mechanical alloying [38]

Parameter yang harus diperhatikan di dalam proses mechanical milling,

yang akan mempengaruhi kualitas produk akhir dari serbuk yang dicampur adalah seperti pada Gambar 2.26 [40].


(56)

Gambar 2.26. Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling [40]

Ball mill adalah alat yang baik untuk grinding banyak material menjadi

bubuk halus. Ball Mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis tambang dan

bahan lainnya. Ada dua jenis proses grinding yaitu proses kering dan proses

basah. Setelah bahan mengalami proses grinding maka bahan padat akan berubah:

ukuran, bentuk partikelnya, dan lain-lainnya.

2.10. Mekanisme Absorpsi Gelombang Elektromagnet

Pada dasarnya suatu material jika dikenai gelombang electromagnet

maka akan mengalami interaksi antara material dengan gelombang electromagnet. Misalkan suatu bahan memiliki ketebalan x dikenai gelombang electromagnet

dengan intensitas maka gelombang electromagnet akan mengalami attenuasi


(57)

(2.21)

dengan µ adalah konstanta. Dari persamaan (2.21) terlihat semakin tebal bahan

maka energi gelombang electromagnet semakin banyak yang diserap.

x

Gambar 2.27. Skema absorpsi gelombang electromagnet

Namun seiring dengan perkembangan zaman, material absorber yang dibutuhkan adalah bahan yang tipis tapi memiliki kemampuan absorpsi yang maksimal. Selain karena ketebalan suatu bahan, absorpsi gelombang elektomagnet juga terjadi akibat interaksi gelombang dengan material yang menghasilkan efek rugi-rugi energy yang umumnya didisipasikan dalam bentuk panas. Dalam hal ini material absorber dibagi menjadi dua yakni material dielektrik dan magnetic. Pada bahan dielektrik energy gelombang electromagnet diserap sehingga terjadi polarisasi yang mengikuti arah medan listrik. Ketika gelombang electromagnet berubah-ubah terhadap waktu maka arah polarisasi juga berubah-ubah sehingga terjadi gesekan antar molekul yang menimbulkan panas.


(58)

Gambar 2.28. Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik (telah diolah kembali)

Hal yang analog juga terjadi pada bahan ferromagnetik. Ketika medan magnet mengenai bahan ferromagnet maka energy gelombang electromagnet akan digunakan untuk menyearahkan momen magnet. Untuk material absorber yang baik dibutuhkan bahan magnetic yang memiliki koersifitas yang rendah.

Karakteristik dielektrik dan magnetik suatu bahan direpresentasikan oleh permitifitas kompleks dan permeabilitas kompleks [41]

(2.22)

(2.23)

Dimana , tanda ‘ dan ‘’ bagian real dan imaginer. Impedansi yang tiba

pada material ditunjukkan

(2.24)


(59)

(2.25)

f adalah frekuensi dan c adalah kecepatan gelombang elektomagnet dalam ruang

vakum.

Reflektifitas radiasi electromagnet, Γ, dalam gelombang normal yang tiba

pada permukaan material ditunjukkan

(2.26)

Dan reflection loss- nya, R (dB), didefinisikan sebagai

= (2.27)

Dimana adalah bilangan kompleks dan adalah modulus dari . Sedangkan

adalah impedansi pada ruang hampa.

(2.28)

Nilai H/m dan F/m, sehingga diperoleh

. Kondisi impedansi yang cocok saat menunjukkan bahwa terjadi penyerapan yang sempurna.

Secara umum criteria material absorber yang baik haruslah memiliki permeabilitas dan permitifitas yang tinggi. Selain itu diperlukan resistifitas yang tinggi dan saturasi magnet tinggi.


(60)

2.11. Gelombang Mikro

Gelombang electromagnet ketika sampai pada material maka sebagian gelombang tersebut akan direfleksikan dan sebagian lagi diabsorpsi. Karakter ini bisa kita manfaatkan untuk mengurangi pantulan radiasi. Beberapa material memantulkan banyak radiasi namun ada juga yang hampir tidak memantulkan sama sekali. Sebagai contoh air, yang hampir tidak memantulkan radiasi sama sekali oleh karena itu air termasuk absorber yang bagus. Material magnetic misalnya ferit juga dapat menyerap gelombang electromagnet. Hal ini dikarenakan adanya perubahan arah momen magnetic ketika dikenai medan electromagnet [42].

Gelombang mikro adalah bagian dari gelombang electromagnet yang memiliki daerah frekuensi sekitar 0,3-300 GHz atau panjang gelombang 1m-1mm. Gelombang mikro digunakan pertama kali untuk teknologi RADAR pada awal perang dunia kedua. Saat ini gelombang mikro umum digunakan sebagai

oven microwave atau pun perangkat-perangkat komunikasi dan teknologi

informasi. Gelombang mikro dibagi dalam beberapa daerah jangkauan yang telah ditetapkan secara internasional (Tabel 2.3).


(61)

Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro [43].

Simbol Daerah Frekuensi (GHz)

L 1.22 - 1.70

R 1.70 - 2.60

S 2.60 - 3.95

H 3.95 - 5.85

C 5.85 - 8.20

X 8.20 - 12.4

Ku 12.4 - 18.0

K 18.0 - 26.5

Ka 26.5 - 40.0

U 40.0 - 60.0

E 60.0 - 90.0

F 90.0 - 140.0

G 140.0 - 220.0

2.12. Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah suatu alat yang digunakan untuk mengamati dan menganalisis karakteristik strukturmikro dari material baik yang konduktif maupun non konduktif. Dibandingkan dengan MO, SEM mempunyai daya pisah (resolusi) yang lebih tinggi yaitu 5nm, sehingga SEM dapat menghasilkan perbesaran hingga 500.000 kali. Perbedaan daya pisah ini ditimbulkan dari sumber radiasi yang berbeda. Elektron sebagai sumber radiasi


(62)

pada SEM mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada sinar foton pada MO.

Berkas elektron primer yang datang mengenai permukaan benda uji akan berinteraksi dan menghasilkan berbagai macam sinyal secara serentak, sinyal-sinyal tersebut diantaranya adalah elektron, sinar-X dan foton. Secara skematik ditunjukan pada Gambar 2.29. Interaksi elektron primer dengan benda uji

tersebut mengakibatkan hamburan elektron (elastic scattering) dan hamburan

nonelastik (inelastic scattering).

Hamburan elastik ditimbulkan akibat adanya tumbukan berkas elektron primer dengan inti atom benda uji (sampel) tanpa perubahan energi. Pada saat

Gambar 2.29. Interaksi antara electron primer dengan benda uji


(63)

terjadinya hamburan elastik, arah komponen kecepatan elektron, v, akan berubah,

tetapi besarnya |v| relatif konstan, sehingga energi kinetik E = 1/2 mev2, dengan me adalah massa elektron, tidak berubah. Dalam hal ini energi sebesar <1eV dipindahkan dari elektron [primer ke benda uji, perpindahan energi ini relatif kecil bila dibandingkan dengan energi elektron primer sebesar 10 keV, karenanya perpindahan enrgi tersebut dapat diabaikan. Hamburan elektron dari permukaan benda uji setelah berkas elektron primer masuk ke dalam benda uji dan melintasi

jarak beberapa nm dengan distribusi energi 0≤E≤Eo, dimana Eo adalah energi

elektron p[rimer, disebut sebagai backscattered electron (elektron terhambur balik

– BSE).

Hamburan nonelastik (inelastic scattering) diakibatkan adanya tumbukan

elektron primer dengan elektron benda uji. Dalam proses tumbukan ini terjadi perpindahan energi dari elektron primer ke atom dan elektron benda uji, sehingga terjadi penurunan energi kinetik dari berkas elektron. Energi yang berada dalam benda uji tersebut akan didistribusikan dan menghasilkan sinyal-sinyal yang

digunakan untuk analisis mikro. Sinyal-sinyal tersebut adalah secondary electron

(elektron sekunder – SE), Auger electron, continuum X-ray atau bremsstrahlung,

characteristic X-ray dan secondary fluorescence emission.

Secondary electron (elektron sekunder) adalah elektron yang dipancarkan dari benda uji akibat dari interaksi antara berkas elektron primer dengan elektron-elektron pada pita penghantar benda uji. Interaksi ini hanya menghasilkan perpindahan energi yang relatif rendah (3-5 eV) ke elektron pita penghantar. Karena elektron sekunder ini mempunyai energi rendah, maka elektron-elektron ini mudah dibelokan pada sudut tertentu dan menimbulkan bayangan topografi,


(64)

dengan kata lain elektron sekunder dari suatu area tertentu akan memberikan

informasi benda uji pada area tersebut dalam bentuk image (citra) .

Mekanisme terbentuknya citra pada SEM meliputi beberapa hal penting diantaranya; sistem scanning untukpembentukan citra, mekanisme kontras sebagai hasil interaksi elektron dan benda uji, karakteristik detektor dan pengaruhnya terhadap kualitas citra, kualitas sinyal dan pengaruhnya terhadap kualitas citra dan proses pen-sinyal-an untuk tampilan pada layar monitor. Ilustrasi proses pembentukan citra pada SEM diilustrasikan pada Gambar 2.30.


(65)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai November 2013. Untuk tahap preparasi/pembuatan sampel dilakukan di laboratorium Departemen Fisika FMIPA UI. Sedangkan tahap karakterisasi sampel dilaksanakan di PLT UIN Jakarta, Departemen Fisika FMIPA UI, dan LIPI Bandung.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan sebagai berikut:

a. Timbangan digital, digunakan untuk menimbang bahan dasar

b. Spatula, beaker glass

c. Dies (cetakan specimen/sampel) berbentuk silindris.

d. Planetary Ball Milling untuk mencampur serbuk bahan dasar

e. Bola baja (ball mill) digunakan untuk menumbuk campuran di dalam vial

Planetary Ball Milling.

f. Furnace (dapur pemanas) untuk men-sintering sampel

g. Universal testing machine atau pressing mechine digunakan untuk

membuat/mengkompaksi sampel (green body).

h. Cawan kramik digunakan untuk tempat sampel ketika disintering

i. Thermogravimetric Analyser (TGA) digunakan untuk mengetahui suhu kalsinasi yang tepat dalam pembuatan sampel


(66)

j. X Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk melihat struktur kristal sampel

k. Permagraph Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH digunakan untuk pengujian sifat magnetik sampel

l. Vector Network Analyzer (VNA) digunakan untuk pengujian sifat absorber sampel.

Bahan habis pakai yang digunakan sebagai berikut

a. Serbuk bahan dasar La2O3, MnCO3, BaCO3, dan NiO selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 3.1 b. Tissue, aquabidest

c. Serbuk karbon diunakan untuk membersihkan vial planetary ball mill

d. PVAc, digunakan sebagai perekat pada saat mencetak spesimen dengan

kompaksi.

e. Sabun cream diunakan untuk membersihkan vial dan ball mill


(67)

Tabel 3.1 Bahan Dasar Penelitian

No. Nama Formula

Kimia

Mr Produk Kemurnian

1. Lantanum

oksida

La2O3 325,79 Merck 99,5%

2. Barium

karbonat

BaCO3 197,35 Aldrich 99,0%

3. Manganis

carbonate

MnCO3 114,95 Aldrich 99,9%

4. Nikel Oksida NiO 74,71 Merck 99,9%

3.3. Analisis Data

3.3.1. Thermogravimetric analysis (TGA)

Dasar dari TGA adalah mengamati perubahan massa sampel terhadap kenaikan temperatur. Kurva kontinu perubahan massa terhadap temperatur diperoleh ketika sampel dipanaskan dengan kecepatan yang seragam. Kurva thermogravimetric (TG) umumnya merupakan plot antara penurunan massa pada sumbu y (ordinat) dan kenaikan temperatur pada sumbu x (absis).

Karakterisasi sampel dengan TGA dilakukan di Pusat Laboratorium

Terpadu UIN Jakarta. TGA (TA Instrument) tersebut menggunakan gas oksigen


(68)

Gambar 3.1. TGA

3.3.2. Difraksi Sinar-X (XRD)

Analisa kuantitas dan kualitas fasa-fasa yang ada dalam sampel menggunakan XRD merek Shimadzu. Berkas sinar-x dihasilkan dari tube anode Cu, dengan panjang gelombang 1,5405Å, mode: continous-scan, step size: 0,2 dan timer per step 0,5 detik, dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.

Pola difraksi sinar X yang diperoleh selanjutnya di olah dengan program High Score Plus (HSP). Dari hasil pengolahan tersebut maka diperoleh informasi struktur kristal, parameter kisi, fasa yang terkandung pada sampel dan juga densitas sampel.


(69)

Gambar 3.2. Alat Difraksi sinar-X (XRD) Shimadzu-7000

3.3.3. SEM

Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan

untuk mengetahui morfologi dari sampel. Karakterisasi SEM dilakukan di PTBIN BATAN, Serpong. Dengan spesifikasi alat Jeol JED-2300.


(70)

3.3.4. Permagraf

Karakterisasi dengan permagraf dilakukan dengan tujuan mengetahui sifat magnetik dari sampel, seperti saturasi dan koersifitas magnet. Karakterisasi permagraf dilakukan di laboratorium UI Depok.

Gambar 3.2. Permagraf

3.3.5. VNA (Vector Network Analyser)

Karakterisasi sampel dengan VNA betujuan untuk mengukur nilai absorbsi

material dan juga nilai reflection loss. Pengukuran ini dilakukan di LIPI Bandung.


(71)

3.4. Diagram Alir Penelitian

Preparasi Material

Bahan-bahan dasar

Pencampuran (Mixing)

Proses mechanical milling,

Kalsinasi

Kompaksi

Sintering

Karakterisasi

Pengolahan data dan Analisis

Material


(72)

3.5. Jadwal Penelitian

Penelitian dilakukan selama enam bulan dari bulan Juni – November 2013

Uraian Penelitian Juni Juli Ags Sept Okt Nov

Studi literature

Penyediaan bahan-bahan dan persiapan instrument

Proses sintesis material absorber Karakterisasi material


(73)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakterisasi TGA(Thermogravimetric Analysis)

Sampel La0.67Ba0.33Mn1-xNixO3 disintesa dari beberapa bahan dasar yaitu

La2O3, BaCO3, MnCO3, dan NiO yang memiliki tingkat kemurnian rata-rata

diatas 99%. Seluruh bahan dasar tersebut dimilling dengan Planetary Ball Mill

selama 25 jam. Hasil milling tersebut selanjutnya dikarakterisasi dengan alat

TGA (Thermogravimetric Analysis) yang memliki kemampuan mengkarakterisasi

sampel dari 0oC sampai 1000oC. Hasil TGA campuran bahan dasar yang selesai

dimilling dapat dilihat dalam Gambar 4.1

Dari kurva TGA tersebut tampak adanya penurunan berat sampel ketika

terjadi kenaikan suhu sekitar 50oC 800oC. Penurunan berat sampel

dimungkinkan karena ada ion karbon yang berasal dari bahan dasar BaCO3 mau

pun MnCO3 terbuang ketika terjadi pemanasan. Atas dasar inilah tahapan

selanjutnya dilakukan kalsinasi pada suhu 800oC selama 10 jam untuk


(74)

Gambar 4.1. Kurva TGA campuran bahan dasar setelah milling

4.2. Karakterisasi SEM

Untuk mengetahui morfologi dari sampel, maka sampel La0,67Ba0,33Mn

1-xNixO3 yang telah disintesa dikarakterisasi dengan SEM. Hasil SEM dapat di lihat


(75)

Gambar 4.2. SEM sampel La0,67Ba0,33MnO3


(76)

Gambar 4.4. SEM sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3


(77)

4.3. Difraksi Sinar X

Untuk mengetahui struktur kristal, parameter kisi, dan fasa yang terkandung dari sampel, maka sampel yang telah disintesa dikarakterisasi dengan alat difraksi sinar X (XRD). Berkas sinar-X dihasilkan dari tube anode Cu, dengan panjang gelombang 1,5405Å, mode continous-scan, step size 0,2 dan time per step 0,5 detik. Data diambil dari sudut dua theta 10 derajat sampai 80 derajat. Karakterisasi ini dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.

4.3.1. XRD Sampel La0,67Ba0,33MnO3

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33MnO3 dapat dilihat pada

Gambar 4.6. Untuk mengetahui lebih lanjut struktur kristal atau pun analisa kuantitatif lainnya dari sampel yang telah disintesa, maka pola difraksi sinar X

yang telah diperoleh di olah dengan menggunakan software High score Plus


(78)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0

500 1000 1500 2000 2500

In

te

n

si

ta

s

2theta

La

0,67

Ba

0,33

MnO

3


(79)

Gambar 4.7. Refinement sampel La0,67Ba0,33MnO3

Dari hasil pengolahan data dengan program High Score Plus diperoleh

informasi bahwa fasa yang terkandung dalam sampel adalah 100%

La0,67Ba0,33MnO3. Parameter kisi ; ; dan

dengan sudut . Struktur kristal monoklinik , ukuran kristal 74,35 nm,


(80)

4.3.2. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 dapat dilihat pada Gambar 4.8. Untuk mengetahui lebih lanjut struktur kristal atau pun analisa kuantitatif lainnya dari sampel yang telah disintesa, maka pola difraksi

sinar X yang telah diperoleh di olah dengan menggunakan software High score

Plus (HSP). Hasil refinement sampel La0.67Ba0.33Mn0,98Ni0,02O3 dapat dilihat pada

Gambar 4.9.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

In

te

n

si

ta

s

2 theta

La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3


(81)

Gambar 4.9. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 (Gambar 4.8)

menunjukkan adanya perbedaan dengan pola difraksi sinar X sampel

La0,67Ba0,33MnO3 (Gambar 4.6) , ditandai dengan adanya penambahan beberapa

puncak di sudut dua theta. Dari hasil pengolahan data dengan program High

Score Plus diperoleh informasi bahwa fasa yang terkandung dalam sampel ada

dua yakni fasa La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 dan fasa BaMnO3. Fraksi berat

masing-masing fasa dalam sampel adalah 93,7% untuk fasa La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 dan


(82)

Fasa La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3 memiliki parameter kisi ; ; dan dengan sudut . Struktur kristal

monoklinik , ukuran kristal 26,25 nm, densitas 6,72 g/cm3, volume 238,40 Å3.

Sedangkan untuk fasa keduanya, fasa BaMnO3 memiliki parameter kisi

; ; dan dengan sudut dan Struktur kristal heksagonal , ukuran kristal 2791,3 nm, densitas 5,73

g/cm3, volume 626,53 Å3.

4.3.3. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 dapat dilihat pada Gambar 4.10. Untuk mengetahui lebih lanjut struktur kristal atau pun analisa kuantitatif lainnya dari sampel yang telah disintesa, maka pola difraksi

sinar X yang telah diperoleh di olah dengan menggunakan software High score

Plus (HSP). Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 dapat dilihat pada

Gambar 4.11.

Sama halnya dengan sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3, pola difraksi sinar

X sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 (Gambar 4.10) menunjukkan adanya

perbedaan dengan pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3 (Gambar 4.6) ,

ditandai dengan adanya penambahan beberapa puncak di sudut dua theta. Dari

hasil pengolahan data dengan program High Score Plus diperoleh informasi

bahwa fasa yang terkandung dalam sampel ada dua yakni fasa La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 dan fasa BaMnO3. Fraksi berat masing-masing fasa


(83)

dalam sampel adalah 92,6% untuk fasa La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 dan 7,4% untuk

fasa BaMnO3.

Fasa La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3 memiliki parameter kisi ;

; dan dengan sudut . Struktur kristal

monoklinik , ukuran kristal 40,72 nm, densitas 6,74 g/cm3, volume 238,06 Å3.

Sedangkan untuk fasa keduanya, fasa BaMnO3 memiliki parameter kisi

; ; dan dengan sudut dan Struktur kristal heksagonal , ukuran kristal 2791,3 nm, densitas 5,68

g/cm3, volume 631,72 Å3.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 In te n si ta s 2theta

La0,67Ba0,33Mn0,96Ni0,04O3


(84)

Gambar 4.11. Refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3

4.3.4. XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 dapat dilihat pada Gambar 4.12. Untuk mengetahui lebih lanjut struktur kristal atau pun analisa kuantitatif lainnya dari sampel yang telah disintesa, maka pola difraksi

sinar X yang telah diperoleh di olah dengan menggunakan software High score

Plus (HSP). Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 dapat dilihat pada


(85)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 In te n si ta s 2theta La

0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

Gambar 4.12. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3

Sama halnya dengan sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ni0,02O3, pola difraksi sinar

X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 (Gambar 4.12) menunjukkan adanya

perbedaan dengan pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3 (Gambar 4.6) ,

ditandai dengan adanya penambahan beberapa puncak di sudut dua theta. Dari

hasil pengolahan data dengan program High Score Plus diperoleh informasi

bahwa fasa yang terkandung dalam sampel ada dua yakni fasa La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 dan fasa BaMnO3. Fraksi berat masing-masing fasa

dalam sampel adalah 95,4% untuk fasa La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,06O3 dan 4,6% untuk


(1)

[32] G. Bertotti, Hysteresis in Magnetism for Physicists, Materials Scientists, and Engineers (1998)

[33] C. Zener. J. Phys. Rev. 82 (1951) 440

[34] M. B. Salamon, Review of Modern Physics 73 (2001)

[35] J.C. Chapman, Phase Coexistence in Manganites, University of Cambridge (2005)

[36] P. W. Anderson, Phys. Rev. 75 (1950) [37] Ismunandar, Kimia Anorganik (2004)

[38] P. R. Soni, Mechanical Alloying Fundamentals and Applications (2001) [39] Suryanarayana, Mechanical Alloying and Milling (2004)

[40] M. S. El-Eskandarany, Mechanical Alloying for Fabrication of Advanced Engineering (2001)

[41] V. T. Truong, S. Z. Riddell, R. F. Muscat, J. Mat. Sci. 33 (1998) 4971-4976

[42] N. Andersson, R. Andersson, V. Bergman, M. Ek, K. Mamberg, Royal Institute of Technology Stockholm Sweden (2006)

[43] Y. Liu, D.J. Sellmyer, D. Shindo, Handbook of Advance Magnetic Materials, Springer (2006)


(2)

PEMAKAIAN ANGGARAN DANA 1. Honorarium

No Pelaksana Jumlah Pelaksana Bulan Satuan Biaya (Rp)

1. Ketua 1 5 500.000 2.500.000

2. Anggota 1 5 300.000 1.500.000

Jumlah Honorarium 4.000.000

2. Bahan habis pakai dan peralatan

Bahan habis pakai

No Nama Bahan dan Peralatan Volume

Biaya (Rp)

Harga (Rp) Satuan/ Set

1. Serbuk La2O3 100 gr 10.000 1.000.000

2. Serbuk MnCO3 500 gr 4.000 2.000.000

3. Serbuk Barium Karbonat 500 gr 4.000 2.000.000

4. Serbuk NiO 100 gr 10.000 1.000.000

5. Serbuk Karbon 500 gr 1.000 500.000

6. alkohol 96% 4 liter 45.000 180.000

7. Abrasive paper 5 lembar 5.000 25.000

9. doubeltape 1 buah 5.000 5.000

10. Tissue 1 paket 10.000 10.000

12. Aqua Bidestilasi 1 liter 150.000 150.000

13. Sabun cream 500 gr 10.000

14. Aseton 1 liter 50.000 50.000


(3)

Jumlah Biaya Bahan Habis Pakai 7.180.000 Peralatan

1. Dies (cetakan spesimen) 1 buah 1.250.000 1.250.000

2. Spatula 2 buah 7.500 15.000

3. Ball Mill 20 buah 40.000 800.000

4. Pinset 1 buah 5.000 5.000

9. Cawan keramik 50 ml 5 buah 30.000 150.000

13. Mangkuk penumbuk dari keramik 1 buah 100.000 100.000 Jumlah Biaya Peralatan 2.320.000 Total Biaya Bahan Habis Pakai dan Peralatan 9.500.000

3. Lain-lain

No Kegiatan Volume Biaya

Satuan (Rp)

Jumlah (Rp) 1. Pengadaan Laporan Hasil Penelitian 2 eks. 50.000 100.000 2. Biaya karakterisasi SEM 4 sampel 350.000 1.400.000 Jumlah Biaya Lain-lain 1.500.000

Jadi total anggaran penelitiannya:

No Jenis Pengeluaran Biaya yang Diusulkan

(Rp)

1. Gaji dan upah (Honorarium) 4.000.000

2. Bahan habis pakai dan peralatan 9.500.000

3. Lain-lain 1.500.000


(4)

CURRICULUM VITAE

DATA PRIBADI

Nama : Sitti Ahmiatri Saptari Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 16 April 1977

Alamat : Komp. Timah Blok DD/17 Cimanggis Depok

NIP : 19770416 200501 2 008

Pangkat/Golongan : Penata / III/c Jabatan Fungsional : Lektor

No. Telp. : 0811 820 6396

Email : siti_ahmiatri@yahoo.co.id

PENDIDIKAN

S1 : Departemen Fisika, FMIPA,

Universitas Indonesia (1995 2000)

S2 : Departemen Fisika, FMIPA,

Universitas Indonesia (2000 2003)

PUBLIKASI

1. Sitti Ahmiatri Saptari, Djarwani S.S, Pengaruh Ion Karbonat dalam Proses Presipitasi Senyawa Kalsium Fosfat, Makara Seri Sains, UI, Jakarta, 2002.


(5)

2. Sitti Ahmiatri Saptari, Studi Spektroskopi Infra Merah Transformasi Fourier Kristal Apatit dalam Tulang Ayam, Al Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2007

3. Sitti Ahmiatri Saptari, Hidroksiapatit, Al Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2008 4. Sitti Ahmiatri Saptari, Identifikasi Hidroksiapatit dalam Gigi Manusia, Al

Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2009

5. Sitti Ahmiatri Saptari, Studi Hidrosiapatit dalam Gigi Manusia: Spektrometer Infra Merah Transformasi Fourier, Al Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2010

6. Elvan Yuniarti, Sitti Ahmiatri Saptari, Kajian Sifat Optik Glukosa Darah, Prosiding Seminar Nasional, FMIPA IPB, 2012

7. Sitti Ahmiatri Saptari, Karakterisasi Ukuran Partikel, Struktur Kristal, dan Sifat Magnet Bahan NiZn Ferit dengan Variasi Lama Milling, Al Fiziya, FST UIN, Jakarta, 2013

LAPORAN PENELITIAN

1. Sitti Ahmiatri Saptari, Efek Doping Ti terhadap Struktur Kristal Bahan Manganat La0,67Ca0,33MnO3, FST UIN, Jakarta, 2011

2. Sitti Ahmiatri Saptari, Karakteristik Struktur Kristal pada Bahan Ni0,3Zn0,7Fe3O4 dengan Variasi Lama Milling, FST UIN, Jakarta, 2012


(6)

CURRICULUM VITAE

DATA PRIBADI

Nama : Priyambodo

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 07 Mei 1980

Alamat : Jl. Khayar RT 10/06 No. 12 Ciganjur, Jakarta Selatan, 12630

NIP : 19800507 200910 1 002

Pangkat/Golongan : Penata Muda / III/a

Jabatan Fungsional : Pranata Laboratorium Pendidikan Ahli Pertama

No. Telp. : 081315880617

Email : pri_all_mail@yahoo.com

PENDIDIKAN

S1 : Departemen Fisika, FMIPA,

Universitas Indonesia (1998 – 2004)

PUBLIKASI

8. Mirzan T. Razzak, Sandra Hermanto, Priyambodo, Pengukuran Karakterisasi Difraksi Sinar-X (XRD) terhadap Beberapa Jenis Antibiotika, Lembaga Penelitian - UIN Jakarta Press, Jakarta, 2008.

9. Mirzan T. Razzak, Thamzil Las, Priyambodo, Karakterisasi Zeolit Alam untuk Sistem Penjernihan Air, Lembaga Penelitian - UIN Jakarta Press,