Pengembangan Bahan Magnetik Berbasis BaNixAl6-xFe6O19 Untuk Bahan Absorber Gelombang Elektromagnetik

(1)

(2)

(3)

PERSETUJUAN

Judul : Pengembangan Bahan Magnetik Berbasis BaNixAl6-xFe6O19 Untuk Bahan Absorber

Gelombang Elektromagnetik

Kategori : Skripsi

Nama : Prahmadyana

Nomor Induk Mahasiswa : 110801070

Program Studi : Sarjana (S1) Fisika

Departemen : Fisika

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Juni 2015

Disetujui Oleh

Pembimbing 2, Pembimbing 1,

(Dr. Wisnu Ari Adi) (Prof.Dr. Zuriah Sitorus, MS) NIP. 197112131998031003 NIP. 195607261984032001

Departemen Fisika FMIPA USU Ketua,

(Dr.Marhaposan Situmorang) NIP. 195510301980031003


(4)

PERNYATAAN

PENGEMBANGAN BAHAN MAGNETIK BERBASIS BaNiXAl6-XFe6O19 UNTUK BAHAN ABSORBER GELOMBANG

ELEKTROMAGNETIK

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, yang di dalammya terdapat beberapa kutipan dan ringkasan sebagai referensi yang masing - masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juni 2015

Prahmadyana NIM. 110801070


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat, Karunia dan Bimbingan-Nya sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini yang berjudul Pengembangan Bahan Magnetik Berbasis BaNixAl6-xFe6O19 Untuk

Bahan Absorber Gelombang Elektromagnetik. Laporan Tugas Akhir ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Fisika. Penelitian ini dilakukan di Pusat Sains Dan Teknologi Bahan Maju (PSTBM) BATAN, Serpong, Tangerang Selatan, LIPI Bandung ( Karakterisasi VNA), dan P2F LIPI Serpong, Tangerang Selatan.

Disampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Sutarman, M.Sc sebagai dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) USU. Bapak Dr. Marhaposan Situmorang selaku Ketua Departemen Fisika FMIPA USU, Bapak Drs. Syahrul Humaidi, M.Sc selaku sekretaris Departemen Fisika FMIPA USU beserta seluruh Staf Pengajar dan Pegawai Departemen Fisika FMIPA USU.

2. Ibu Prof.Dr. Zuriah Sitorus, MS dan Bapak Dr. Wisnu Ari Adi M.Sc selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan panduan dan penuh kepercayaan serta banyak meluangkan waktu untuk membimbing serta menyempurnakan tugas akhir ini.

3. Orang tu tercinta Bapak Darmansah S.Pd MA dan Ibu Sawani Harahap yang telah bersusah payah, dan senantiasa memberikan dukungan dan perhatian beserta adik dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.

4. Seluruh teman- teman Furqon, Ryan, Lutfi, Lisa, Kak Pipin, Agrin, Dika di Pusat Sains Dan Teknologi Bahan Maju (PSTBM) BATAN yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Sahabat-sahabat satu Angkatan “PHYSIC PROLIXS (Putri, Henni, Sri


(6)

Handika, William, Russell, Wahyu, Trisno, Lilis, Widya, Tabita, David, Ancela, Juliana, Bg Hendra Gabe, Fahmi, Jefri, Jerry, Ilham, Intan, Tri Mala, Fitri, Rusti, Togar, Bg Jansius, Nensi, dkk) dan IMF USU”, dan adik-adik junior 2012 (Lyana, Eko, Hani, dkk), 2013, 2014 (Tri Gunaria, Windy, Yola, Gestin, Ivana, Devi, Wiwid, elvi, dkk) yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Seluruh teman- teman di PURITHAKARINA (Kak Carol, Mei, Uum, Bg Ricky, Bg Yogi, Bg Eka, Ria, Bg Lamhot) yang selalu memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.


(7)

PENGEMBANGAN BAHAN MAGNETIK BERBASIS BaNiXAl6-XFe6O19 UNTUK BAHAN ABSORBER GELOMBANG

ELEKTROMAGNETIK

ABSTRAK

Telah diteliti bahan absorber gelombang elektromagnetik berbasis Barium Heksaferit BaNixAl6-xFe6O19 (x=0; 0,5; 1; 2; 3) dari bahan baku lokal pasir besi

daerah Sukabumi. Bahan ini disintesis dengan metode kopresipitasi dan pencampurannya menggunakan solid state reaction. Bahan-bahan dimilling selama 5 jam, dan dipanaskan (sintering) dengan suhu 1000˚C selama 5 ja m. Selanjutnya sampel dikarakterisasi dengan alat XRD, VSM, VNA dan SEM/EDS . Identifikasi fasa dilihat melalui XRD. Struktur morfologi yang homogen dan komposisi paling optimum dilihat melalui SEM/EDS. Dari pengujian VSM dapat dilihat peningkatan substitusi Ni dan Al yang membuat sifat magnet yang awalnya memiliki pengaruh sifat magnet yang tinggi (hard magnetic) berhasil dibuat menjadi soft magnetic. Namun variasi optimum diperoleh pada x=1 yang ditandai dengan nilai medan koersivitas (Hc) yang kecil yaitu 473 oe, dan memiliki nilai magnetic remanent (Mr) besar yaitu 4,4 emu/gr. Dari pengujian VNA (Vector Network Analyzer) didapatkan kemampuan absorpsi gelombang elektromagnetiknya sebesar -36 dB dengan frekuensi 11,24 GHz. Artinya bahan dapat menyerap hingga 95% dengan ketebalan bidang absorps sebesar 2 mm.

Kata kunci : Barium Hexaferrite, Substitusi Ni-Al, Struktur, sifat magnetik, absorpsi gelombang elektromagnetik.


(8)

DEVELOPMENT BASED MAGNETIC MATERIALS BaNixAl6-xFe6O19 FOR THE ELECTROMAGNETIC WAVE

ABSORPTION MATERIAL

ABSTRACT

Material absorber based of Barium Hexaferrite BaNixAl6-xFe6O19 (x=0; 0,5; 1; 2; 3) made by iron from Sukabumi has been conducted. Using copresipitation method for synthesis, mixed by solid state reaction. The process is milling for 5 hours, and heating (sintering) for 5 hours. XRD, SEM/EDS, VSM, VNA use for characterization. Phase identification visible by XRD. The structure of morphology has been homogeneous and the best material indicated by SEM/EDS. VSM characterization show step-up the substitution of Ni and Al made the material of based hard magnetic hence soft magnetic. The best material lead to x=1 because coersivity field (Hc) small 473 oe and the magnetic remanent (Mr) big there are 4,4 emu/gr. VNA characterization show the ability of materials to absorp electromagnetic waves -36 dB with the frequency 11,24 GHz. Means, that the material can absorp up to 95% with the thickness of the field absorp 2 mm.

Keyword: Barium Hexaferrite, Substitution Ni-Al, structure, magnetic properties, electromagnetic wave absorption


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Lampiran xiv

Daftar Singkatan xv

Bab 1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Batasan Masalah 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Sistematika Penulisan 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Sintesis Fe2O3 Dari Pasir Besi 5

2.2 Absorpsi Gelombang Elektromagnetik 5

2.3 Barium Heksaferit 8

2.4 Alumina (Al2O3) 10

2.5 Nikel Oksida (NiO) 10

2.6 Sifat-Sifat Magnet 11

2.7 Jenis Kemagnetan 13

2.7.1 Diamagnetik 13

2.7.2 Paramagnetik 13 2.7.3 Ferromagnetik 14 2.7.4 Antiferromagnetik 15

2.7.5 Ferrimagnetik 15

2.8 Kurva Histerisis 16

2.9 Bahan Soft Magnetic 17

2.10 Bahan Hard Magnetic 17


(10)

3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian 19 3.1.1 Tempat Penelitian 19 3.1.2 Waktu Penelitian 19

3.2 Alat Dan Bahan 19

3.2.1 Alat Penelitian 19 3.2.2 Bahan Penelitian 20 3.3 Proses Pengendapan Fe3O4 21

3.4 Anneling 22

3.5 Mixing 22

3.6 High Energy Milling (HEM) 23

3.7 Proses Sintering 26

3.8 Karakterisasi 27

3.8.1 XRD (X-Ray Diffraction) 27

3.8.1.1 Sampel Dan Preparasi 27

3.8.1.2 Cara Penggunaan Dan Prinsip Kerja 27

3.8.2 SEM-EDS 29

3.8.2.1 Sampel Dan Preparasi 29

3.8.2.2 Cara Penggunaan Dan Prinsip Kerja 29 3.8.3 VSM (Vibrating Sampel Magnetometer) 31

3.8.3.1 Sampel Dan Preparasi 31

3.8.3.2 Cara Penggunaan Dan Prinsip Kerja 32 3.8.4 VNA (Vector Network Analyzer) 33 3.9 Diagram Alir Penelitian 36

Bab 4. Hasil Dan Pembahasan

4.1 Hasil karakterisasi Fasa Sampel BaNixAl6-xFe6O19 (x=0;

0,5; 1; 2; 3) Dengan Menggunakan Difraksi Sinar-X

37 4.1.1 Sampel BaAl6Fe6O19 (x=0) 37

4.1.2 Sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 (x=0,5) 38

4.1.3 Sampel BaNiAl5Fe6O19 (x=1) 39

4.1.4 Sampel BaNi2Al4Fe6O19 (x=2) 40

4.1.5 Sampel BaNi3Al3Fe6O19 (x=3) 41

4.2 Hasil analisa Magnetik Dengan Menggunakan Vibrating Sample Magnetometer (VSM)

42 4.2.1 Sampel BaAl6Fe6O19 (x=0) 43

4.2.2 Sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 (x=0,5) 43

4.2.3 Sampel BaNiAl5Fe6O19 (x=1) 44

4.2.4 Sampel BaNi2Al4Fe6O19 (x=2) 45

4.2.5 Sampel BaNi3Al3Fe6O19 (x=3) 46

4.3 Hasil analisa Absorpsi Gelombang Elektromagnetik Dengan Menggunakan Vector Network Analyzer (VNA)

46 4.3.1 Sampel BaAl6Fe6O19 (x=0) 47

4.3.2 Sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 (x=0,5) 48

4.3.3 Sampel BaNiAl5Fe6O19 (x=1) 48

4.3.4 Sampel BaNi2Al4Fe6O19 (x=2) 49

4.3.5 Sampel BaNi3Al3Fe6O19 (x=3) 49


(11)

4.4.1 Gabungan Hasil Karakterisasi XRD Pada Sampel BaNixAl6-xFe6O19

50 4.4.2 Gabungan Hasil Karakterisasi VSM

Pada Sampel BaNixAl6-xFe6O19

51 4.4.3 Gabungan Hasil Karakterisasi VNA

Pada Sampel BaNixAl6-xFe6O19

53 4.4.4 Hasil Komposisi Optimal BaNixAl6-xFe6O19 55

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 59

5.2 Saran 60

Daftar Pustaka 61


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

2.1 Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro 7 3.1 Stokiometri komposisi BaNixAl6-x Fe6O19 23

4.1 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaAl6Fe6O19 43

4.2 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaNi0,5Al5,5Fe6O19 44

4.3 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaNiAl5Fe6O19 45

4.4 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaNi2Al4Fe6O19 45

4.5 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaNi3Al6Fe6O19 46

4.6 Pengujian Serapan Gelombang Elektromagnetik 50


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar Judul Halaman

2.1 Struktur kristal BaO.6Fe2O3 8

2.2 Kurva histerisis 9

2.3 Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik sebelum diberi medan magnet luar

13

2.4 Arah domain dalam bahan paramagnetik setelah diberi medan magnet luar

14

2.5 Arah domain (a) diamagnetik (b) paramagnetik (c) ferromagnetik (d) antiferromagnetik

(e) ferrimagnetik

16

2.6 Kurva Induksi Normal 16

2.7 Skematik kurva magnetisasi untuk bahan soft dan hard magnetic

18

3.1 (a) Proses pengendapan Fe3O4 (b) Fe3O4 setelah di

oven dan dihaluskan (c) Hasil Furnance mineral magnetik (Fe3O4) yang diambil dari pasir besi menjadi mineral hematit (α-Fe2O3) melalui proses

sintering

22

3.2 Mixing bahan pada vial HEM 23

3.3 Alat HEM (High Energy Milling) TOSHIBA 25

3.4 Alat Furnance Advanced KL-600 26

3.5 Alat XRD (X-Ray Diffraction) PHILIPS Panalytical Empyrean PW1710

29

3.6 (a) Preparasi sampel pada hand blower (b) Sampel diletakkan pada sample chamber


(14)

Sambungan …

3.7 Alat SEM-EDS (Scanning Electron Microscopy) SU3500 HITACHI

31

3.8 Preparasi Sampel VSM 32

3.9 Alat VSM (Vibrating Sample Magnotemeter) 33 3.10 Alat VNA ADVANTEST R3770 300 kHz-20 GHz 35

4.1 BaAl6Fe6O19 37

4.2 Identifikasi fasa pola difraksi sinar-X sampel BaAl6Fe6O19

38

4.3 BaNi0,5Al5,5Fe6O19 38

4.4 Identifikasi fasa pola difraksi sinar-X sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19

39

4.5 BaNiAl5Fe6O19 39

4.6 Identifikasi fasa pola difraksi sinar-X sampel BaNiAl5Fe6O19

40

4.7 BaNi2Al4Fe6O19 40

4.8 Identifikasi fasa pola difraksi sinar-X sampel BaNi2Al4Fe6O19

41

4.9 BaNi3Al3Fe6O19 41

4.10 Identifikasi fasa pola difraksi sinar-X sampel BaNi3Al3Fe6O19

42

4.11 Kurva histerisis BaAl6Fe6O19 43

4.12 Kurva histerisis BaNi0,5Al5,5Fe6O19 44

4.13 Kurva histerisis BaNiAl5Fe6O19 44

4.14 Kurva histerisis BaNi2Al4Fe6O19 45

4.15 Kurva histerisis BaNi3Al3Fe6O19 46

4.16 Reflection loss BaAl6Fe6O19 47

4.17 Reflection loss BaNi0,5Al5,5Fe6O19 48

4.18 Reflection loss BaNiAl5Fe6O19 48

4.19 Reflection loss BaNi2Al4Fe6O19 49


(15)

Sambungan …

4.21 Hasil karakterisasi XRD bahan BaNixAl6-xFe6O19 51

4.22 Kurva histerisis material ferromagnetik 52 4.23 Ilustrasi sifat magnetik hasil rekayasa struktur dari

bahan BaNiAlFeO19

53

4.24 Kurva histerisis sampel BaNixAl6-xFe6O19 53

4.25 Skematik proses absorpsi gelombang elektomagnetik

54

4.26 Kurva RL gelombang EM pada sampel BaNixAl6-xFe6O19

55

4.27 Identifikasi fasa pola difraksi Sinar-X sampel BaNiAl5Fe6O19

56

4.28 Foto hasil pengamatan morfologi partikel sampel BaNiAl5Fe6O19

56

4.29 Kurva histerisis sampel BaNiAl5Fe6O19 58

4.30 Hasil uji absorpsi gelombang elektromagnetik sampel BaNiAl5Fe6O19


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lamp Judul Halaman

A Gambar Bahan Dan Alat Penelitian L1 B Stokiometri wt% Sampel

BaNixAl6-xFe6O19

L4

C Hasil XRD Menggunakan MATCH Sampel BaNixAl6-xFe6O19

L6

D Hasil SEM/EDS Sampel BaNiAl5Fe6O19 L12

E Hasil VSM Kurva Histerisis Sampel BaNixAl6-xFe6O19

L13


(17)

DAFTAR SINGKATAN

HEM : High Energy Milling XRD : X-Ray Diffraction

SEM : Scanning Electron Microscopy VSM : Vibrating Sample Magnetometer VNA : Vector Network Analyzer

RL : Refflection Loss


(18)

PENGEMBANGAN BAHAN MAGNETIK BERBASIS BaNiXAl6-XFe6O19 UNTUK BAHAN ABSORBER GELOMBANG

ELEKTROMAGNETIK

ABSTRAK

Telah diteliti bahan absorber gelombang elektromagnetik berbasis Barium Heksaferit BaNixAl6-xFe6O19 (x=0; 0,5; 1; 2; 3) dari bahan baku lokal pasir besi

daerah Sukabumi. Bahan ini disintesis dengan metode kopresipitasi dan pencampurannya menggunakan solid state reaction. Bahan-bahan dimilling selama 5 jam, dan dipanaskan (sintering) dengan suhu 1000˚C selama 5 ja m. Selanjutnya sampel dikarakterisasi dengan alat XRD, VSM, VNA dan SEM/EDS . Identifikasi fasa dilihat melalui XRD. Struktur morfologi yang homogen dan komposisi paling optimum dilihat melalui SEM/EDS. Dari pengujian VSM dapat dilihat peningkatan substitusi Ni dan Al yang membuat sifat magnet yang awalnya memiliki pengaruh sifat magnet yang tinggi (hard magnetic) berhasil dibuat menjadi soft magnetic. Namun variasi optimum diperoleh pada x=1 yang ditandai dengan nilai medan koersivitas (Hc) yang kecil yaitu 473 oe, dan memiliki nilai magnetic remanent (Mr) besar yaitu 4,4 emu/gr. Dari pengujian VNA (Vector Network Analyzer) didapatkan kemampuan absorpsi gelombang elektromagnetiknya sebesar -36 dB dengan frekuensi 11,24 GHz. Artinya bahan dapat menyerap hingga 95% dengan ketebalan bidang absorps sebesar 2 mm.

Kata kunci : Barium Hexaferrite, Substitusi Ni-Al, Struktur, sifat magnetik, absorpsi gelombang elektromagnetik.


(19)

DEVELOPMENT BASED MAGNETIC MATERIALS BaNixAl6-xFe6O19 FOR THE ELECTROMAGNETIC WAVE

ABSORPTION MATERIAL

ABSTRACT

Material absorber based of Barium Hexaferrite BaNixAl6-xFe6O19 (x=0; 0,5; 1; 2; 3) made by iron from Sukabumi has been conducted. Using copresipitation method for synthesis, mixed by solid state reaction. The process is milling for 5 hours, and heating (sintering) for 5 hours. XRD, SEM/EDS, VSM, VNA use for characterization. Phase identification visible by XRD. The structure of morphology has been homogeneous and the best material indicated by SEM/EDS. VSM characterization show step-up the substitution of Ni and Al made the material of based hard magnetic hence soft magnetic. The best material lead to x=1 because coersivity field (Hc) small 473 oe and the magnetic remanent (Mr) big there are 4,4 emu/gr. VNA characterization show the ability of materials to absorp electromagnetic waves -36 dB with the frequency 11,24 GHz. Means, that the material can absorp up to 95% with the thickness of the field absorp 2 mm.

Keyword: Barium Hexaferrite, Substitution Ni-Al, structure, magnetic properties, electromagnetic wave absorption


(20)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Material magnet oksida BaO(6Fe2O3) merupakan jenis keramik yang banyak

dijumpai disamping material magnet lain, seperti SrO.6(Fe2O3) dan PbO.6(Fe2O3).

Pengembangan material BaFe12O19 (M-type feritte hexagonal) sebagai bahan

magnetik sangat dibutuhkan dalam berbagai bidang aplikasi, karena memiliki karakteristik : temperatur Curie yang relatif tinggi, nilai koersifitas, saturasi magnetik dan anisotropi magnetik tinggi serta stabilitas kimia yang sangat baik dan murah serta mudah didapat. Salah satu aplikasi material magnet permanen barium heksaferit yang menjadi perhatian saat ini adalah sebagai alat penyerap gelombang mikro (RAM). Hal ini karena sifat listrik dan magnetik dari material ferrimagnetik ini sangat mendukung dalam aplikasi tersebut, yaitu memiliki permeabilitas dan resistivitas yang tinggi (Silviana, 2013).

Radar (Radar Detection And Ranging) adalah suatu system pendeteksi obyek yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk identifikasi jarak (range), arah (direction) atau kecepatan (speed) baik obyek bergerak maupun diam seperti pesawat terbang, kapal kendaraan, keadaan cuaca, dan lain-lain. Sistem radar terdiri dari transmitter dan receiver yang letaknya pada lokasi yang sama atau dapat terpisah. Transmitter akan mengimisikan radio wave pada frekuensi dan daya tertentu. Ketika energi dari emisi gelombang radio mengenai obyek akan dipantulkan ke semua arah (scattered). Sebagian dipantulkan kembali (reflected back) ke receiver dan mempunyai sedikit perubahan panjang gelombang (wavelength) bahkan frekuensi apabila target bergerak. Energi sinyal yang kembali biasanya sangat lemah sehingga perlu diperkuat menggunakan teknik elektronika direceiver dan dikonfigurasi antenna (Rustamaji, Elan, 2012).


(21)

Di bidang pertahanan, penyerapan gelombang mikro ini digunakan untuk pelapisan atau coating pada pesawat tempur (stealth aircraft), kapal perang atau kapal selam (war ship), dan untuk baju tentara terutama bagian garda depan (I Putu, dkk 2012). Pesawat radar sejauh ini telah diduga mempunyai dampak terhadap manusia yang berada pada sekitar instalasi radar. Dampak tersebut adalah kempuan radar mengagitasi molekul air yang ada dalam tubuh manusia. Kalau intensitas radiasi elektromagnetiknya cukup kuat, maka molekul-moleku air terionisasi, dampak yang ditimbulkan mirip dengan dampak yang ditimbulkan oleh radiasi nuklir (Wisnu, 2000).

Untuk mengatasi dampak perkembangan teknologi informasi tersebut diperlukan suatu material yang mampu mengabsorpsi radiasi gelombang elektromagnetik guna memperkecil atau mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik tersebut. Material magnetik barium heksaferit memiliki keunggulan antara lain nilai koersivitas (Hc) dan saturasi magnet (Ms) tinggi, suhu transisi (Tc = suhu curie) tinggi serta sifat kimia yang stabil dan tahan korosi (Sebayang, Muljadi, 2011).

Pasir merupakan bahan alam yang tersedia sangat melimpah di Indonesia. Pasir biasa dimanfaatkan untuk bahan bangunan sebagai campuran semen dalam pembuatan tembok sebagai pelapis batu bata. Pasir besi pada umumnya mempunyai komposisi utama besi oksida (Fe2O3 dan Fe2O3) (Sholihah, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan oleh wisnu Ari Adi pada tahun 2010 yang membuat barium heksaferit dengan substitusi Mn dan Ti menunjukkan bahwa pendopingan telah berhasil dilakukan dengan memperkecil Hc (medan koersivitas) akan tetapi magnetisasi saturasi (Ms) yang dihasilkan juga rendah (Wisnu, 2010). Sehingga pada penelitian, saya membuat dengan sistem yang sama dengan substitusi Al2O3 dan NiO. Pasir besi yang digunakan dalam penelitian ini

berasal dari pasir besi daerah Sukabumi. Pada tahap awal penelitian ini menggunakan metode kopresipitasi (pengendapan) untuk mendapatkan Fe3O4.

Metode kopresipitasi merupakan salah satu metode sintesis senyawa anorganik yang didasarkan pada proses pengendapan. Proses selanjutnya menggunakan


(22)

metode reaksi padatan (solid state reaction). Dalam penelitian ini dilakukan pembuatan material penyerap gelombang dari campuran oksida besi (Fe2O3) dari

bahan lokal pasir besi yang ditambahkan dengan BaCO3. Al2O3, NiO.

1.2. Rumusan Masalah

1. Untuk meningkatkan kualitas bahan absorber gelombang elektromagnetik perlu dipertimbangkan penambahan Ni-Al pada material barium heksaferit. 2. Dengan demikian perlu diperhitungkan bagaimana pengaruh struktur Kristal,

struktur mikro dan sifat magnetik material barium heksaferit.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk melihat bagaimana pengaruh pemberian Ni-Al yang berbeda (x = 0; 0,5; 1; 2; 3) pada material barium heksaferit.

2. Untuk meneliti karakteristik absorpsi gelombang elektromagnetik pada barium heksaferit dengan penambahan Ni-Al (x = 0; 0,5; 1; 2; 3).

1.4. Batasan Masalah

Agar permasalahan yang akan dibahas dapat menjadi terarah, maka penulis membatasi ruang lingkup yaitu difokuskan pada pengaruh variasi konsentrasi Al2O3 dan NiO terhadap struktur kristal, struktur mikro, sifat

magnetik dan absorpsi gelombang elektromagnetik pada bahan barium heksaferit dengan perlakuan sintering pada suhu 1000˚C selama 5 jam. 1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diambil dari penelitian ini adalah : Diharapkan riset penelitian ini mampu memberikan informasi dalam pembuatan absorber anti radar di bidang pertahanan dan berperan dalam pengembangan teknologi serta aplikasi bahan magnetik absorber berbasis


(23)

barium M-Heksaferit.

1.6. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada masing-masing Bab adalah sebagai berikut:

Bab I PENDAHULUAN

Bab ini mencakup latar belakang penelitian, batasan masalah yang akan diteliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tempat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini membahas tentang landasan teori yang menjadi acuan untuk proses pengambilan data, analisa data serta pembahasan.

Bab III METODE PENELITIAN

Bab ini membahas tentang peralatan dan bahan penelitian, diagram alir penelitian, prosedur penelitian, pengujian sampel.

Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang data hasil penelitian dan analisa data yang diperoleh dari penelitian.

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian dan memberikan saran untuk penelitian yang lebih lanjut.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sintesis Fe2O3 Dari Pasir Besi

Dalam rangka meningkatkan nilai ekonomis pasir besi dapat dilakukan dengan pengolahan mineral magnetik (Fe3O4) yang diambil dari pasir besi menjadi mineral hematit (α-Fe2O3) melalui proses oksidasi. Hasil oksidasi mempunyai

susceptibility magnetik yang lebih kecil jika dibandingkan dengan mineral magnetit awalnya. Dikarenakan semakin tingginya suhu oksidasi (Yulianto, 2007). Ferit dapat diaplikasikan terutama pada teknologi seperti gelombang elektromagnetik dengan frekuensi tinggi berkisar seperti Radar. Namun Penyerapan gelombang membutuhkan subsitusi Fe kation dengan rasio tetap. Pada tingkat subsitusi yang lebih tinggi anisotropi uniaksial berubah menjadi planar magnetocystalline (Wisnu, Azwar, 2012).

Magnetit dan maghemit memiliki fasa kubus sedangkan hematit memiliki fasa hexagonal. Fasa maghemit dan hematit diperoleh melalui proses oksidasi pada temperatur sintering yang berbeda. Transisi fasa maghemit menjadi hematit telah terjadi pada suhu 550 ˚C. P ada saat suhu pemanasan 250 ˚C dan ter us meningkat hingga suhu 350 ˚C dimana pada keadaan tersebut, maghemit merupakan fasa yang mendominasi sampel. Sedangkan pada suhu 550 ˚C, telah muncul hematit yaitu fasa Fe2O3 (Mashuri dkk, 2007).

2.2. Absorpsi Gelombang Elektromagnetik

Absorpsi gelombang elektromagnetik adalah sebuah bentuk energi yang dapat dipancarkan atau diserap oleh partikel bermuatan, yang menunjukkan arah seperti gelombang karena perjalanan melalui ruang. Gelombang elektromagnetik dapat diabsorpsi dengan absorber yang bersifat magnetik. Gelombang elektromagnetik


(25)

terdidri dari couple (pasangan) medan listrik dan medan magnet yang saling tegak lurus satu sama lain. Jenis penyerapan gelombang elektromagnetik terbagi 2 (dua) yaitu rekayasa material dan rekayasa geometri (Bentuk). Rekayasa material adalah ketika membuat suatu material dengan menambahkan beberapa unsur strukturnya tetap. Sedangkan rekayasa geometri pembuatannya harus memperhatikan bentuk partikel, ketebalan morfologi permukaan, medan listrik dan medan magnet. Teknologi penyerapan gelombang elektromagnetik telah melahirkan material baru yaitu Radar Absopsing Material (RAM). Material ini bersifat meredam pantulan atau penyerap gelombang mikro, sehingga benda yang dilapisi dengan RAM tidak terdeteksi oleh radio detection and ranging (RADAR). Bahan absorber dipengaruhi oleh impedance matching dari bahan dengan gelombang elektromagnetik melalui mekanisme frekuensi resonansi yang drumuskan dengan Reflection Loss (RL) :

    + − = 0 0 log 20 z z z z RL in in (2.1)

Untuk mendapatkan single phase dari bahan magnet berbasis ferrite ini tidak mudah dilakukan. sintesis barium hexaferrite dapat menghasilkan fasa pengotor, yaitu: hematite (Fe2O3) dan monoferrite (BaFe2O4) (Wisnu, 2011).

Batuan besi yang disintesis digunakan sebagai material filler pada material komposit penyerap gelombang mikro. Batuan besi tersebut disintesis menjadi nanopartikel magnetik, seperti Fe3O4. Besi yang teroksidasi tersebut mempunyai

permeabilitas yang sangat tinggi (Erika, Astuti, 2012).

Menurut Alvin lie, seorang pemerhati penerbangan, dampak gangguan pesawat terbang sebenarnya sangat kecil. Dengan catatan hanya satu ponsel saja yang aktif. Dikarenakan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari satu ponsel masuk dalam skala mikro. Alvin menyimpulkan bahwa cukup berpengaruh bagi keselamatan penerbangan berpotensi mengganggu komunikasi dan navigasi (Dessy, dkk, 2013). Serapan gelombang mikro terjadi akibat interaksi gelombang dengan material yang menghasilkan efek Refflection loss energi yang umumnya didisipasikan dalam bentuk panas. Gelombang mikro dibagi dalam beberapa


(26)

daerah jangkauan yang telah ditetapkan secara internasional. Sesuai tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Pembagian Daerah Jangkauan Gelombang Mikro (Athessia, 2014) Band Frequncy Range (GHz)

L 1,22-1,70

R 1,70-2,60

S 2,60-3,95

H 3,95-5,85

C 5,85-8,20

X 8,20-12,4

Ku 12,4-18,0

K 18,0-26,5

Ka 26,5-40,0

U 40,0-60,0

E 60,0-90,0

F 90,0-140,0

G 140,0-220,0

Karakteristik suatu material absorber yang baik yaitu memiliki magnetik dan listrik yang baik pula. Material tersebut harus memiliki nilai impedansi

tertentu yang nilai permeabilitas relatif (µr) dan permitivitas relatifnya (εr) sesuai dengan nilai µ dan ε udara atau vakum agar terjadi resonansi impedansi, sehingga

nilai dari reflection loss yang yang dihasilkan bahan cukup besar (Elwindari, 2012). Mekanisme serapan gelombang elektromagnetik pada material secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor ketebalan terjadi pada semua material dan semakin tebal material absorbsinya juga semakin besar. Dan serapan radiasi elektromagnetik pada material magnetik disamping karena faktor ketebalan juga terjadi interaksi lain yaitu gelombang elektromagnetik dari luar akan memutar dipol magnetik sehingga terjadi impedansi material (Priyono, Musni, 2010). Barium hexaferrite yang memiliki sifat lossy material, mempunyai faktor loss dieletrik dan loss magnetik yang tinggi sehingga membuat material tersebut mempunyai sifat yang baik untuk absorpsi gelombang elektromagnetik (Sulistyo, 2012).


(27)

2.3 Barium Heksaferit

Barium Heksaferit merupakan tipe-M, yang lebih dikenal dengan sebutan barium heksagonal ferit (BaM) merupakan oksida keramik yang paling banyak dimanfaatkan secara komersial (Darminto, dkk. 2011). Magnet permanen anisotropi adalah magnet pada pembentukannya dilakukan di dalam medan magnet sehingga arah dominan partikel-partikelnya mengarah pada satu arah tertentu (Efhana P.D, dkk, 2013).

BaFe12O19 merupakan golongan heksaferit tipe M. tipe M ini disebut juga

magnetoplumbite. Ion Fe tersusun secara tetrahedral (FeO4) secara trigonal

Bipiramida (FeO5) secara oktrahedral dengan orientasi spin paralel terhadap Fe

pada bidang 4f. Nilai space group p 63/mmc dengan parameter kisi adalah a= 0,58836 nm dimana a=b dan c= 2,306 nm pada temperature ruangan. Sedangankan densitas Kristal melalui pengukuran dengan X-Ray diperoleh 5,33 gr/cm3 (Wisnu, 2010).

STRUKTUR HEKSAGONAL

Gambar 2.1. Struktur Kristal BaO.6Fe2O3 (Wisnu, 2010)

a b


(28)

Sifat magnetik dari MFe12O19 meliputi magnetisasi saturasi (Ms) yaitu

magnetisasi jenuh dimana medan yang diberikan tidak akan mempengaruhi penambahan nilai magnetisasinya, Remanen (Mr) yaitu magnetisasi total dari bahan setelah medan dihilangkan dan koersivitas (Hc) yaitu energi yang diperlukan untuk mengorientasikan spin magnetik ke arah tertentu. Medan koersivitas menentukan suatu magnet apakah magnet tersebut hard magnetic atau soft magnetic. Ketiga sifat ini ditentukan dari loop histerisis. Kurva histerisis pada uji sebuah sampel merupakan bentuk disipasi energi yang terjadi selama proses pembentukan kurva B-H.

Gambar.2.2 Kurva Histerisis (Tri, 2014)

Heksaferit sangat menjanjikan untuk pengembangan material anti radar. Material Barium M-Heksaferit (BaFe

12O19) mempunyai polarisasi magnet saturasi tinggi

(78 emu/g), yang terdiri dari kristal uniaxial anisotropi yang kuat, temperatur Curie tinggi (450°C) dan medan koersivitas yang besar (6700 Oe), terkait dengan sangat baik dalam stabilitas kimia dan ketahanannya terhadap korosi (Findah, Zainuri, 2012).

Magnet pemanen BaFe12O19 sering digunakan dalam aplikasi sebagai

perekam magnetik dan absorber material. Subtitusi ion Fe dengan divalen kation seperti Co, Mn dan Ti banyak dilakukan untuk meningkatkan sifat magnetiknya. Subtitusi tersebut dapat mempengaruhi perubahan struktur dan sifat magnetik BaFe12O19 (widiyanto, 2010). Kombinasi sifat intrinsik antara sifat magnetik dan


(29)

penyanggah gelombang-gelombang mikro termasuk gelombang dengan frekuensi yang digunakan dalam RADAR. Material tersebut masuk ke dalam kelas ferrimagnetik dimana ion Fe menempati kisi yang berbeda. Ferrimagnetik ini memiliki saturasi magnetik total dan koersivitas magnetik yang paling tinggi diantara kelas ferit lainnya (priyono, 2010).

2.4. Alumina (Al2O3)

Alumina adalah penyangga yang paling banyak digunakan karena harganya yang tidak mahal, stabil secara struktur dan dapat dipreparasi dengan ukuran pori dan distribusi pori yang bervariasi. Disamping itu, alumina mempunyai sifat yang relatif stabil pada suhu tinggi, mudah dibentuk, memiliki titik leleh yang tinggi, struktur porinya yang besar dan relatif kuat secara fisik. Pada penelitian ini alumina digunakan untuk menghambat pertumbuhan grain dalam domain magnetik. Katalis dapat menurunkan energi aktivasi reaksi dan meningkatkan laju reaksi melalui peningkatan konstanta laju (Indah, dkk, 2012).

Alumina pada penggunaan sebagai penyangga adalah alumina transisi γ -Al2O3 adalah material yang paling banyak digunakan karena memiliki luas area

yang besar dan stabil pada interval temperatur pada sebagian besar reaksi katalitik (Ayuko, 2011). Penggunaan alumina sebagai penyangga dapat meningkatkan kinerja kitalis yang dimaksudkan untuk meningkatkan luas permukaan inti aktif dan untuk menambah fungsi katalis itu sendiri (Dora, 2010).

2.5. Nikel Oksida (NiO)

Nikel merupakan logam yang mempunyai sifat asam lewis sehingga logam ini cocok digunakan sebagai katalis asam seperti alkilasi friedel-craft (Akda, 2012). Kombinasi Fe2O3 dan NiO akan memiliki fase yang jenisnya tergantung pada

konsentrasi NiO sebagai aditif. Fase-fase yang terjadi pada keramik kombinasi Fe2O3 dan NiO hasil pembakaran dapat berbeda-beda sesuai konsentrasi NiO yang


(30)

matriks dan NiFe2O4 sebagai fase kedua. Kedua, NiO sebagai matriks dan

NiFe2O4 sebagai fase kedua dan ketiga, NiFe2O4 sebagai matriks utama tanpa fase

kedua atau dengan sedikit fase kedua Fe2O3 atau NiO (Suhendi,dkk, 2015). Pada

penelitian ini nikel digunakan untuk menaikkan momen dipol magnetik dalam bahan sehingga sifat magnetnya akan meningkat.

2.6. Sifat-Sifat Magnet

Sifat-sifat yang terdapat dalam benda magnetic antara lain adalah : • Induksi Remanen (Br)

Induksi magnetik yang tertinggal dalam sirkuit magnetik (besi lunak) menghilangkan pengaruh bidang magnetik. Ketika arus dialirkan pada sebuah kumparan yang melilit besi lunak maka terjadi orientasi pada partikel- partikel yang ada dalam besi. Orientasi ini mengubah/ mengarahkan pada kutub utara dan selatan.

• Gaya Koersif (Hc)

Medan daya yang diperlukan untuk menghilangkan induksi remanen setelah melalui proses induksi elektromagnetik. Pada besi lunak atau soft magnetic alloys besarnya gaya koersif yang diperlukan lebih kecil daripada magnet permanen.

• Gaya Gerak Magnetis (Θ)

Gaya gerak magnetis ialah jumlah dari semua arus dalam beberapa penghantar yang dilingkupi oleh medan magnet (atau oleh garis fluks magnet).

• Fluks Magnetik (Φ) Fluks magnetik total ialah jumlah dari semua garis fluks magnetik, ini berarti bahwa fluks sama besar disebelah dalam dalam dan di sebelah luar kumparan.

• Reluktansi Magnet (Rm)

Relukstansi magnet tergantung dari panjang jejak fluks magnetik, bidang penampang lintang A yang ditembus fluks magnetik dan sifat magnet bahan, tempat medan magnet.


(31)

Sifat dan karakterisis bahan magnetik erat kaitannya dengan suseptibilitas magnetik dan permeabilitas magnetik. Permeabilitas adalah kemampuan suatu bahan untuk dilewati garis gaya magnet. Suseptibilitas magnetik adalah ukuran dasar bagaimana sifat kemagnetan suatu bahan yang merupakan sifat magnet bahan yang ditunjukkan dengan adanya respon terhadap induksi medan magnet yang merupakan rasio antara magnetisasi dengan intensitas medan magnet. Permeabilitas dinyatakan dengan simbol µ. Benda yang mudah dilewati gaya garis magnet karena memiliki permeabilitas tinggi. Permeabilitas merupakan konstanta pembanding antara induksi magnet (B) dengan kuat medan (H) yang dihasilkan magnet.Untuk udara dan bahan non magnetik, permeabilitas dinyatakan sebagai permeabilitas ruang hampa µo = 4�.10-7 H/m, yang didefenisikan

sebagai :

B = µo H (2.2)

Untuk bahan lain maka permeabilitasnya sebanding dengan permeabilitas ruang hampa dikalikan dengan permeabilitas relative bahan µr sehingga

diperoleh : B = µo µr H

Dengan permeabilitas relatif didefinisikan sebagai :

µ

r = µ

µo

(2.3)

Pada ruang hampa µr = 1 dan

µ

o

µ

r = sering dikenal sebagai permeabilitas

absolut.

Secara umum suseptibilitas magnetik dapat ditulis sebagai berikut :

χ

m = �

(2.4)

χ

m

adalah suseptibilitas magnet bahan, M adalah intensitas magnetik dan

H adalah kuat medan magnet. Berdasarkan nilai suseptibilitas ini dapat diketahui jenis bahan magnet yaitu : χm < 0 : bahan diamagnetik, χm : > 0 dan χm << 1 : bahan parmagnetik, χm > 0 dan χm >> 1 : bahan ferromagnetic.


(32)

2.7. Jenis Kemagnetan

Semua bahan dapat diklasifikasikan jenis kemagnetannya menjadi tiga kategori yaitu ferromagnetik, paramagnetik, diamagnetik, antiferromagnetik, dan ferrimagnetik. Semuanya dibedakan dari keteraturan arah domain pada bahan magnet tersebut.

2.7.1. Diamagnetik

Diamagnetik mempunyai suseptibilitas magnetik yang kecil dan bernilai negatif. Diamagnetik merupakan sifat magnet yang paling lemah, yang tidak permanen dan hanya muncul selama berada dalam medan magnet luar. Besarnya momen magnetic yang diinduksikan sangat kecil dan dengan arah yang berlawanan dengan arah medan luar.

2.7.2. Paramagnetik

Material paramagnetik mempunyai nilai suseptibilitas magnet yang kecil namun masih bernilai posif. Dengan adanya medan magnet luar yang diberikan pada material paramagnetik, mengakibatkan dwikutub atom yang bebas berotasi akan mensejajarkan arah sesuai dengan arah medan magnet. Kemudian memiliki permeabilitas relatif (>1) dan suseptibilitas magnetik akan sedikit naik. Oleh karena itu, magnetisasi bahan akan muncul jika ada medan dari luar serta dipol magnetik bertindak secara individual tanpa saling berinteraksi dengan dipol yang berdekatan. Dipol yang sejajar dengan medan magnet luar, akan memunculkan permeabilitas relatif yang lebih besar.

Gambar 2.3 Arah domain-domain dalam bahan paramagnetik sebelum diberi medan magnet luar (Tri, 2014)


(33)

Bahan ini jika diberi medan magnet luar, maka elektron-elektronnya akan berusaha sedemikian rupa sehingga resultan medan magnet atomisnya searah dengan medan magnet luar. Sifat paramagnetik ditimbulkan oleh momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Suseptibilitas magnet dari bahan paramagnetik adalah positif dan berada dalam rentang 10-5 sampai 10-3 m3/Kg, sedangkan permeabilitasnya adalah μ > μ0.

Gambar 2.4 Arah domain dalam bahan paramagnetik setelah diberi medan magnet luar

2.7.3. Ferromagnetik

Bahan ferromagnetik adalah bahan yang mempunyai resultan medan atomik besar. Hal ini terutama disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ferromagnetik banyak spin elektron yang tidak berpasangan, misalnya pada atom besi terdapat empat buah spin elektron yang tidak berpasangan. Masing-masing spin elektron yang tidak berpasangan ini akan memberikan medan magnetik, sehingga total medan magnetik yang dihasilkan oleh suatu atom lebih besar. Medan magnet dari masing-masing atom dalam bahan ferromagnetik sangat kuat, sehingga interaksi diantara atom-atom tetangganya menyebabkan sebagian besar atom akan mensejajarkan diri membentuk kelompok-kelompok, kelompok inilah yang dikenal dengan domain. Domain-domain dalam bahan ferromagnetik, akan mensejajarkan diri dengan medan eksternal pada titik saturasi, artinya bahwa setelah seluruh domain sudah terarahkan, penambahan medan magnet luar tidak memberi pengaruh karena tidak ada lagi domain yang perlu disearahkan, keadaan ini disebut dengan penjenuhan (saturasi). Bahan ini juga mempunyai sifat remanensi, artinya bahwa setelah medan magnet luar dihilangkan, akan tetap memiliki medan magnet, karena itu bahan ini sangat baik sebagai sumber magnet permanen (E.Afza, 2011).


(34)

Bahan ferromagnetik mula-mula memiliki magnetisasi nol pada daerah yang bebas medan magnetik, bila mendapat pengaruh medan magnetik yang lemah saja akan memperoleh magnetisasi yang besar. Jika diperbesar medan magnetnya, akan makin besar pula magnetisasinya. Bila medan magnetik ditiadakan, magnetisasi bahan tidak kembali menjadi nol. Jadi bahan ferromagnetik itu dapat mempunyai magnetisasi walaupun tidak ada medan, sehingga bahan dikatakan memiliki magnetisasi spontan. Di atas temperatur Curie, ferromagnetik berubah menjadi paramagnetik.

Histeresis adalah suatu sifat yang dimiliki oleh sistem dimana sistem tidak secara cepat mengikuti gaya yang diberikan kepadanya, tetapi memberikan reaksi secara perlahan, atau bahkan sistem tidak kembali lagi ke keadaan awalnya. Bahan feromagnetik memiliki momen magnetik spontan walaupun berada pada medan magnet eksternal nol. Keberadaan magnetisasi spontan ini menandakan bahwa spin elektron dan momen magnetik bahan ferromagnetik tersusun secara teratur (Ahmad Yani, 2002).

2.7.4. Antiferromagnetik

Jenis ini memiliki arah domain yang berlawanan arah dan sama pada kedua arah. Arah domain magnet tersebut berasal dari jenis atom sama pada suatu kristal. Contohnya MnO, MnS, dan FeS. Pada unsur dapat ditemui pada unsur Cromium, tipe ini memiliki arah domain yang menuju dua arah dan saling berkebalikan. Jenis ini memiliki temperature Curie yang rendah sekitar 37º C untuk menjadi paramagnetic.

2.7.5. Ferrimagnetik

Jenis tipe ini hanya dapat ditemukan pada campuran dua unsur antara paramagnetik dan ferromagnetik seperti magnet barium ferrite dimana barium adalah jenis paramagnetik dan Fe adalah jenis unsur yang masuk ferromagnetik.


(35)

Gambar 2.5. arah domain (a) paramagnetik (c) ferromagnetik (d) antiferromagnetik (e) ferrimagnetik (Dyah, Ratih, 2010)

2.8 Kurva Histerisis

Untuk bahan ferromagnetik magnetisasi bahan M tidaklah berbanding lurus dengan intensitas magnet H. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa harga suseptibilitas magnetik bergantung dari harga intensitas magnet H. Bentuk umum kurva medan magnet B sebagai fungsi intensitas magnet H terlihat pada Gambar 2.3 kurva B(H) seperti ini disebut kurva induksi normal.

Gambar 2.6 Kurva Induksi Normal

Pada Gambar 2.6 tampak bahwa setelah mencapai nol harga intensitas magnet H dibuat negatif (dengan membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B=0 atau menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut koersivitas bahan. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik untuk membuat magnet permanen (E.Afza, 2011).


(36)

2.9 Bahan Soft Magnetic

Bahan magnetik lunak harus memiliki permeabilitas yang tinggi dan koersivitas rendah. Bahan yang memiliki sifat-sifat ini dapat mencapai magnetisasi saturasi dengan bidang terapan yang relatif rendah dan masih memiliki energi yang hilang histeresis rendah. bidang saturasi atau magnetisasi hanya ditentukan oleh komposisi bahan. misalnya, dalam ferit kubik, penggantian ion logam divalen seperti Ni2 + untuk Fe2 + di FeO-Fe2O3 akan mengubah saturasi magnetisasi.

Penggolongan ini berdasarkan kekuatan medan koersifnya dimana soft magnetic atau material magnetik lemah memiliki medan koersif yang lemah sedangkan material magnetik kuat atau hard magnetic materials memiliki medan koersivitas yang kuat.

Namun, kerentanan dan koersivitas (Hc) yang juga mempengaruhi bentuk kurva histerisis, sensitif terhadap variabel struktural lebih untuk komposisi. misalnya rendahnya nilai koersivitas sesuai dengan mudah pergerakan sebagai medan magnet perubahan besar atau arah. cacat struktural seperti partikel dari fase nonmagnetik atau void dalam bahan magnetik cenderung membatasi gerak domain dan dengan demikian meningkatkan koersivitas tersebut. Akibatnya, bahan magnetik lunak harus bebas dari cacat struktural tersebut. karakteristik histerisis bahan magnetik lunak dapat ditingkatkan untuk beberapa aplikasi oleh perlakuan panas yang tepat di hadapan medan magnet.

2.10 Bahan Hard Magnetic

Bahan Hard magnetik menggunakan magnet permanen yang harus memiliki resistensi yang tinggi terhadap demagnetisasi. Dalam hal ini perilaku histerisis bahan magnetik keras memiliki remanen tinggi, koersivitas dan saturasi fluks kepadatan, serta permeabilitas yang rendah dan tinggi akan merugikan energi histerisis. Diamagnetisme adalah bentuk magnet yang sangat lemah yang tidak tetap dan tetap hanya sementara pada bidang eksternal sedang diterapkan. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam gerakan orbital elektron melewati medan


(37)

magnet. Besarnya momen magnetik induksi sangat kecil, dan dalam arah yang

berlawanan dengan medan yang diterapkan. Dengan demikian, permeabilitas μr

relatif kurang dari kesatuan (namun hanya sangat sedikit) dan kerentanan magnet negatif yang besarnya bahan diamagnetik adalah di urutan 10-5. Ketika ditempatkan di antara kutub dari eletromagnet yang kuat, bahan diamagnetik tertarik ke daerah lemah. Diamagnetisme ditemukan di semua bahan, tetapi karena begitu lemah, dapat diamati hanya ketika jenis magnet sama sekali tidak ada (William D. C, 2011).

(a) Soft Magnetic (b) Hard Magnetic

Gambar 2.7 Skematik Kurva Magnetisasi Untuk Bahan Soft dan Hard Magnetic

Material lunak pada gambar (a) dan material magnetik keras pada gambar (b). H adalah medan magnetik yang diperlukan untuk menginduksi medan berkekuatan B dalam material. Setelah medan H ditiadakan, dalam specimen tersisa magnetisme residual Br, yang disebut residual remanen, dan diperlukan medan magnet Hc yang disebut gaya koersif, yang harus diterapkan dalam arah berlawanan untuk meniadakannya. Magnet lunak mudah dimagnetisasi serta mudah pula mengalami demagnetisasi, seperti tampak pada Gambar 2.7 Nilai H yang rendah sudah memadai untuk menginduksi medan B yang kuat dalam logam, dan diperlukan medan Hc yang kecil untuk menghilangkannya (E.Afza, 2011).


(38)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1. Tempat Penelitian

Pada proses penelitian, pembuatan sampel dan pengujian/ karakterisasi dilakukan di PSTBM (Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju) BATAN Serpong, Tangerang Selatan, LIPI Bandung (Karakterisasi VNA), dan P2F LIPI FISIKA Serpong, Tangerang Selatan.

3.1.2. Waktu Penelitian

Proses penelitian ini, dari pengujian sampel dan pengolahan data. Data hasil pengujian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2015.

3.2. Alat Dan Bahan

3.2.1 Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Furnance Advanced KL-600

2. Neraca digital OHAUSS nst 0,05 gr model ER-180A 3. Crusible (dluar =6,4 cm, ddalam = 2,5 cm, tebal= 4,5 cm

4. Kertas Timbang 5. Mortal

6. Magnet Permanen 6000 Gauss 7. Spatula


(39)

9. Tissue

10.Magnetic stirrer 11.PH indicator 12.Sendok pengaduk 13.Thermometer

14.Beaker Glass 1000 ml, 1800 ml, 2000 ml 15.Pompa peristaltik

16.Oven MAMMERT 17.Hot Plate

18.Magnetic Stirrer 19.Vial HEM

20.HEM (High Energy Milling)

21.XRD (X-Ray Diffraction PHILIPS Panalytical Empyrean PW1710 PTBIN-BATAN Serpong

22.VSM (Vibrating Sample Magnetometer) tipe OXFORD VSM 1,2 H, PSTBM-BATAN Serpong

23.VNA (Vector Network Analyzer) ADVANTEST R3770 300 kHz-20 GHz LIPI Bandung

24.SEM-EDX (Scanning Electron Microscope) SU3500 HITACHI LIPI Serpong

3.2.2 Bahan Penelitian 1. Larutan FeClx 2. Larutan NaOH 3. Fe2O3

4. Barium Carbonat (BaCO3)

5. Alumina (Al2O3)

6. Nikel Oxide (NiO) 7. Aquadest


(40)

3.3 Proses pengendapan Fe3O4

Membuat larutan NaOH 5M per 1000 ml menggunakan hot plate dan diletakkan magnetic stirrer. Setelah NaOH melarut kemudian didinginkan. Pasir besi dipanaskan diatas hot plate sambil terus diaduk dengan magnetic stirrer hingga suhunya 70˚C, kemudian diukur mengggunakan termometer. Setelah suhunya mencapai 70 ˚C ditambahkan larutan NaOH secara perlahan menggunakan pompa peristaltik kecepatan 5-9 tetes per menit.

Penggunaan NaOH sebagai zat pelarut karena zat tersebut terionisasi sempurna dalam larutan sehingga ion OH- terlepas dan mengikat ion logam yang menyebabkan terbentuknya endapan Fe3O4. Setelah semua larutan NaOH

tercampur dan identik dengan warna hitam kemudian diukur PH nya, didapatkan PH 12. Kemudian larutan tersebut didinginkan. Setelah dingin magnetic stirrer yang ada di dalam larutan tersebut diambil menggunakan magnet agar magnetic stirrer mudah terangkat dan mudah untuk diambil. Kemudian ditambahkan dengan aquadest sampai beaker glass terisi penuh. Campuran larutan tersebut dibiarkan mengendap dan didekatkan dengan magnet permanen agar pasir besi terpisah dengan aquadest. Kemudian aquadest tersebut dibuang. Usahakan ketika membuang aquadest, magnet permanen tetap dipegang sambil membuang air tersebut. Agar larutan Fe3O4 tidak ikut terbuang bersamaan dengan air. Kemudian

ditambahkan lagi dengan aquadest sampai beaker glass terisi penuh. Diulangi proses pencucian ini sampai PH 7 dengan menggunakan PH indicator.

Setelah PH mencapai 7 didapatkan, kemudian Fe3O4 yang masih basah di

masukkan ke dalam oven mammert dengan suhu 110˚C selama 10 jam hingga Fe3O4 benar-benar kering dan berwarna cokelat kehitaman. Kemudian dilakukan

penggerusan menggunakan mortal hingga halus dan hasilnya ditimbang. Setelah selesai, kemudian dimasukkan ke dalam furnance dengan suhu 750 ˚C selama 5 jam. Kemudian setelah difurnance terbentuklah Fe2O3 dari pasir besi yang


(41)

ditandai dengan warna cokelat. Setelah di furnance kemudian dilakukan penggerusan kembali hingga berbentuk serbuk halus.

(a) (b) (c)

Gambar 3.1 (a) Proses pengendapan Fe3O4 (b) Fe3O4 setelah di oven dan

dihaluskan (c) Hasil Furnance mineral magnetik (Fe3O4) yang diambil dari pasir besi menjadi mineral hematit (α-Fe2O3) melalui proses sintering

3.4 Annealing

Proses anneling adalah proses perlakuan panas dimana bahan mengalami pemanasan yang mendadak disusul dengan pendinginan secara pelan-pelan pula. Ada dua / Analisis Sifat Magnetik macam annealing, yakni: annealing isotermal dan annealing isokronal. Annealing isotermal jika anneling dilakukan pada temperatur yang sama sedangkan waktunya berubah-ubah. Annealing isokronal adalah annealing yang dilakukan pada temperatur yang berubah-ubah namun waktunya tetap (Istiyono, 2009). Fe3O4 diannealing di dalam furnance dengan

suhu 750˚C selama kurang lebih 5 jam. Hal ini dimaksudkan untuk mengubah Fe3O4 yang terkandung dalam pasir besi menjadi α-Fe2O3. Kemudian dilakukan

penggerusan agar Fe3O4 bebentuk serbuk halus.

3.5. Mixing (Pencampuran)

Proses pencampuran yang dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan dengan massa yang ditentukan wt%. Bahan-bahan yang diperlukan ditimbang sesuai dengan stokiometri fasa BaNixAl6-xFe6O19 dengan x = 0 ; 0,5 ; 1 ; 2 ; 3.

Pencampuran bahan dilakukan dengan menggunakan vial HEM. Pencampuran tersebut ditambah dengan etanol sampai semua campuran terendam merata.


(42)

Penambahan etanol dimaksudkan agar sampel yang akan di milling tidak terlalu menempel pada vial HEM ketika dikeluarkan.

Gambar 3.2 Mixing Bahan Pada Vial HEM

Masing-masing serbuk bahan dasar dengan komposisi tertentu dicampur melalui pencampuran padat menggunakan mechanical milling selama 5 jam dengan komposisi sebagai berikut :

1. BaAl6Fe6O19

2. BaNi0,5Al5,5Fe6O19

3. BaNiAl5Fe6O19

4. BaNi2Al4Fe6O19

5. BaNi3Al3Fe6O19

Berdasarkan perhitungan stokiometri dari masing-masing komposisi didapatkan wt% sebagai berikut :

Tabel 3.1 Stokiometri Komposisi BaNix Al6-x Fe6O19

Material Massa bahan (gram)

x=0 x=0,5 x=1 x=2 x=3

BaCO3 2,1031 2,0682 2,0343 1,9848 1,9094

NiO - 0,3817 0,7509 1,4543 2,1144

Al2O3 3,1785 2,8652 2,5621 1,96994 1,4429 Fe2O3 4,9783 4,8955 4,8155 4,6629 4,5198


(43)

3.6. High- Energy Milling (HEM)

Bahan yang telah tercampur pada vial, kemudian dimasukkan ke dalam milling. Proses milling berlangsung selama 5 jam dengan kecepatan 1000 rpm. Dengan running alat selama 60 menit dilanjutkan rest alat selama 30 menit. Vial HEM terdiri dari tempat sampel berukuran 2 inci dengan diameter 3 inci, isi maksimum 3-10 gram untuk pencampuran isi maksimum 25 gram, tutup o-ring yang memungkinkan pengahalusan basah atau kering, bola besi seberat 1,003 gram, pemberian bola besi pada sampel adalah 1:5. Setelah proses milling selesai sampel dibiarkan mendingin sekitar 30 menit. Akibat penambahan etanol hasil milling campuran bahannya basah. Untuk mengeringkan, campuran tersebut di oven dengan suhu 110˚C selama kurang lebih 5 jam. Setelah itu dilakukan penggerusan hingga berbentuk serbuk halus. Kemudian dimasukkan ke dalam crusible untuk dilakukan proses sintering.

Teknologi untuk mendapatkan suatu bahan dalam skala nanometer dapat dibagi mejadi 2 bagian yaitu :

1. Proses top down yakni bahan dasar awal yang pada mula berukuran beberapa millimeter dihaluskan dalam suatu proses milling yang panjang sehingga diperoleh bahan serbuk yang sangat halus. Proses milling ini dapat menyebabkan rusaknya sistem struktur bahan sehingga dapat menurunkan sifat fisis bahan, dalam hal ini sifat kemagnetikan bahan. Oleh sebab itu suatu pemrosesan lebih lanjut seperti perlakuan panas yang sistematis akan sangat menentukan agar diperoleh sifat magnetik bahan yang baik dengan ukuran kristalit yang kecil (berskala nanometer).

2. Proses bottom up, yakni proses pembentukan paduan dengan jalan mereaksikan beberapa bahan baik secara padatan maupun cairan. Namun untuk mendapatkan ukuran partikel yang sangat halus proses yang banyak digunakan adalah dengan melalui proses kimia basah (wet chemistry), seperti proses pengendapan, ataupun gel. Tinjauan mengenai proses rekristalisasi dikaitkan dengan sistematika perlakuan panas (annealing) terhadap serbuk magnet hasil milling, yang dapat memberikan gambaran


(44)

secara rinci hubungan antara sifat magnet dengan ukuran kristalitnya. Koersivitas magnet (Hc) bahan M-heksaferit sangat bergantung pada ukuran partikel. Semakin halus ukuran partikel bahan, maka koersivitas magnet yang diperoleh akan semakin tinggi. Berbagai teknik telah dilakukan untuk mendapatkan partikel halus M-heksaferit.

Pendekatan top-down untuk mendapatkan partikel dalam ukuran nanometer dengan metode high-energy milling, dipandang lebih praktis dibandingkan dengan metoda lainnya, dan mempunyai prospek untuk dikembangkan dalam skala besar. Problem utama yang sering dihadapi dalam proses milling ini adalah terjadinya kerusakan struktur kristal (crystallographic damage), serta adanya unsur pengotor yang berasal dari wadah yang digunakan pada waktu proses milling adapun kontaminasi dari vial ataupun bola-bola yang digunakan sangat kecil (Akmal Johan, 2010).

Kecepatan milling akan memberikan energi yang besar kepada serbuk, karena kecepatan yang tinggi akan menyebabkan temperatur pada vial akan meningkat sehingga akan terjadi difusi untuk menghasilkan homogenesis dari paduan serbuk. Namun pada kasus lain pertambahan temperatur akan memberikan kerugian karena dapat mempercepat proses transformasi dan menyebabkan dekomposisi larutan padat super jenuh dan juga dapat mengkontaminasi serbuk. Waktu milling adalah parameter yang sangat penting untuk mencapai keadaan yang tetap antar penghancuran dan pengelasan dingin dari partikel. Waktu milling yang lama dari waktu yang diperlukan akan meningkatkan kontaminasi dan beberapa fasa yang tidak diinginkan akan terbentuk sehingga ketika memilling serbuk gunakan waktu yang diperlukan saja dan jangan terlalu lama (Irfan, 2010).


(45)

Gambar 3.3. Alat HEM (High Energy Milling) TOSHIBA

3.7. Proses Sintering

Proses Sintering adalah pengikatan massa partikel pada serbuk oleh interaksi antar molekul atau atom melalui perlakuan panas dengan suhu sintering mendekati titik leburnya sehingga terjadi pemadatan. Semakin tinggi suhu sintering nilai densitas semakin menurun. selama proses reaksi dan densifikasi dapat terjadi proses sintering reaktif yang biasanya menghasilkan porositas tambahan. Berbagai reaksi yang mungkin terjadi pada saat sintering reaktif seperti reaksi oksidasi - reduksi dan tahap transisi. Dengan cara ini reaksi yang disebabkan oleh kotoran, aditif atau produk lainnya terbentuk selama proses sintering (Silviana, 2013). Berdasarkan hasil penelitian Agus Sukarto (2013) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu penahanan, kecepatan penyusutan juga semakin tinggi. kecepatan penyusutan dimungkinkan mempengaruhi karakteristik fisik dari produk hasil sintering, dimana distribusi suhu sinter yang kurang merata dapat menimbulkan tegangan residu yang menjadi sumber keretakan (Agus, 2013). Proses sintering dilakukan pada suhu 1000˚ C selama 5 jam dan dilanjutkan dengan proses pendinginan selama 4 jam. Setelah dingin sampel kemudian dihaluskan untuk dilakukan karakterisasi dalam bentuk serbuk.


(46)

Gambar 3.4. Alat Furnance Advanced KL-600

3.8 Karakterisasi

3.8.1 XRD (X-Ray Diffraction)

3.8.1.1 Sampel dan Preparasi

Sampel berupa serbuk ditempelkan pada sampel holder yang kemudian siap diuji coba sebagai sampel uji pada mesin XRD. Spesimen serbuk lebih menguntungkan karena berbagai arah difraksi dapat diwakili oleh partikel-partikel yang halus tersebut. Ukuran partikel harus lebih kecil dari 10 micron agar intensitas relatif sinar difraksi dapat dideteksi dengan teliti. Kalau ukuran partikelnya besar, maka akan timbul efek penyerapan linear seperti halnya permukaan yang kasar pada spesimen pelat.

Spesimen serbuk dapat dipasang pada pemegangnya dengan memadatkannya terlebih dahulu atau dicampur dengan pengikat kemudian dipasang ke dalam pemegang spesimen.


(47)

3.8.1.2 Cara Penggunaan dan Prinsip Kerja XRD

Sinar-X merupakan gelombang elektromagnetik bertenaga tinggi berkisar antara sekitar 200eV sampai dengan 1 MeV, terletak antara ultra-ungu dan sinar-γ. Sinar ini dihasilkan ketika partikel bermuatan listrik, misalnya elektron, yang bergerak dengan kecepatan tinggi ditumbukkan pada logam berat. Komponen utama XRD yaitu terdiri dari tabung katoda (tempat terbentuknya sinar-X), sampel holder dan detektor. Pada XRD yang berada di lab PTBIN-BATAN Serpong ini menggunakan sumber Cu dengan λ = 1,5406 Å, dan daerah pengukuran 2� : 10°- 100° dengan komponen lain berupa cooler yang digunakan untuk mendinginkan,

karena ketika proses pembentukan sinar-X dikeluarkan energi yang tinggi dan menghasilkan panas. Kemudian seperangkat komputer dan CPU.

X-Ray Diffractometer adalah alat yang dapat memberikan data-data difraksi dan kuantitas intensitas difraksi pada sudut-sudut difraksi dari suatu bahan. Tujuan dilakukannya pengujian analisis struktur kristal adalah untuk mengetahui perubahan fase struktur bahan dan mengetahui fase-fase apa saja yang terbentuk selama proses pembuatan sampel uji

XRD memberikan data-data difraksi dan kuantisasi intensitas difraksi pada sudut-sudut dari suatu bahan. Data yang diperoleh dari XRD berupa intensitas difraksi sinar-X yang terdifraksi dan sudut-sudut 2θ. Suatu kristal yang dikenai oleh sinar-X tersebut berupa material (sampel), sehingga intensitas sinar yang ditransmisikan akan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Berkas sinar-X yang dihamburkan ada yang saling menghilangkan (interferensi destruktif) dan ada juga yang saling menguatkan (interferensi konstruktif) (Riana, 2012). Dasar dari penggunaan difraksi sinar-X untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg:


(48)

n.λ = 2.d.sin θ ; n = 1,2,… (3.1)

Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X di jatuhkan pada sampel kristal,maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi (Dina, dkk, 2009). Metode difraktometri serbuk ialah untuk mencatat difraksi sampel polikristal. Pada analisis struktur material berbasis bahan alam ini, digunakan alat difraktometer, yang prinsip kerjanya yaitu ketika sampel serbuk dengan permukaan rata dan mempunyai ketebalan yang cukup untuk menyerap alur sinar-X yang menuju keatasnya. Alat monitor dijajarkan supaya sumbunya senantiasa melalui dan bersudut tepat dengan sumbu putaran sampel. Intensitas sinar-X yang terdifraksi sebagai fungsi sudut 2฀฀฀ Munasir,

dkk, 2012).

Gbr 3.5 Alat XRD (X-Ray Diffraction) PHILIPS Panalytical Empyrean PW1710

3.8.2 SEM-EDX (Scanning Electron Microscope)

3.8.2.1 Sampel dan Preparasi

Sample diambil secukupnya menggunakan spatula kemudian dilakukan dehidrasi pada sample yang bertujuan untuk memperkecil kadar air sehingga tidak


(49)

mengganggu proses pengamatan. Sampel ditempatkan pada hand blower. Banyaknya sample yang dapat dianalisa maksimum adalah empat sampel. Kemudian sampel diberi tanda agar pada saat dimasukkan ke dalam SEM sampel tidak tertukar dan mempermudah ketika melakukan pengamatan.

(a) (b)

Gambar 3.6 (a) Preparasi Sampel Pada Hand Blower (b) Sampel Diletakkan Pada Sample Chamber

3.8.2.2 Cara Penggunaan dan Prinsip Kerja SEM-EDX

SEM (Scanning Electron Microscopy) adalah analisis untuk penggambaran sampel dengan perbesaran hingga puluhan ribu kali. Dengan analisis SEM dapat melihat ukuran partikel yang tersebar pada sampel. SEM bekerja dengan memanfaatkan elektron sebagai sumber cahaya untuk menembak sampel. Sampel yang ditembak akan menghasilkan penggambaran dengan ukuran hingga ribuan kali lebih besar (Yosmarina, 2012). Analisis SEM juga bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk porositas dan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar elektron dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut elektron gun. Sebuah ruang vakum diperlukan untuk preparasi cuplikan (Budi, Citra, 2010).

SEM dapat menghasilkan karakteristik bentuk 3 dimensi yang berguna untuk memahami struktur permukaan dari suatu sampel. Data yang diperoleh dari SEM-EDX antara lain dapat diketahui jenis atau unsur-unsur mineral yang terkandung dalam sampel yang diperoleh dari analisis SEM dan grafik antara nilai energi dengan cacahan yang diperoleh dari analisis EDX (Findah, Zainuri, 2012).


(50)

Magnetit [Fe3O4] adalah salah satu mineral magnetik yang paling dominan

ditinjau dari sifat-sifat magnetik dan kelimpahannya di alam. Dalam persamaan kimia sederhana, jika magnetit [Fe3O4] dioksidasi, maka akan menjadi hematit

[Fe2O3]. Menarik untuk diamati adalah proses oksidasi magnetit menjadi hematit.

Untuk menganalisa proses oksidasi magnetit menjadi hematit, maka digunakan serangkaian metoda non-magnetik. Metoda non-magnetik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda SEM (scanning electron microscopy) dan EDS (energy dispersive spectroscopy). Melalui metoda SEM ini, dapat diketahui komposisi bahan dan morfologi dari proses transisi magnetit menjadi hematit.

Sewaktu berkas elektron menumbuk permukaan sampel sejumlah elektron direfleksikan sebagai backscattered electron (BSE) dan yang lain membebaskan energi rendah secondary electron (SE). Emisi radiasi elektromagnetik dari sampel timbul pada panjang gelombang yang bervariasi tapi pada dasarnya panjang gelombang yang lebih menarik untuk digunakan adalah daerah panjang gelombang cahaya tampak dan sinar-X. Elektron-elektron BSE dan SE yang direfleksikan dan dipancarkan sampel dikumpulkan oleh sebuah sintillator yang memancarkan sebuah pulsa cahaya pada elektron yang datang. Cahaya yang dipancarkan kemudian diubah menjadi sinyal listrik dan diperbesar oleh photomultiplier. Setelah melalui proses pembesaran sinyal tersebut dikirim ke bagian grid tabung sinar katoda.

Penentuan komposisi dilakukan dengan menggunakan Energy Dispersive Spectrometry (EDS) yang tergabung pada SEM dengan menggunakan tegangan akselerasi 25 KeV dan ukuran berkas electron 100, dan 200 nm. Prinsip kerja EDS adalah jika ada satu elektron berinteraksi dengan bahan, maka elektron tersebut dihamburkan oleh elektron lain yang mengelilingi inti atom bahan. Elektron yang terhambur disebut elektron primer dan elektron yang berada di orbit akan terpantul keluar dari sistem, sehingga terjadi kekosongan yang akan diisi oleh elektron dari kulit yang diluarnya. Karena elektron yang diluar mempunyai energi yang lebih besar, maka pada waktu berpindah orbit ke energi yang lebih rendah akan melepaskan energi dalam bentuk foton, yang dikenal sebagai sinar-X.


(51)

Spektrum enegi sinar-X yang dipancarkan tersebut mempunyai energy spesifik yang tegantung dari nomor atom bahan. Dengan mengetahui energy sinar-X yang dipancarkan, dapat diketahui nomor atom bahan yang memancarkan sinar-X tersebut, dan juga kandungan relatif masing-masing bahan di dalam paduannya berdasarkan sinar-X yang dipantulkan (Nuha, 2008).

Gambar 3.7 Alat SEM-EDS (Scanning Electron Microscopy) SU3500 HITACHI

3.8.3 VSM (Vibrating Sample Magnetometer)

3.8.3.1 Sampel dan Preparasi

Sampel yang digunakan dalam bentuk serbuk. Dipersiapkan peralatan yang digunakan untuk preparasi. Kemudian tatakan mikro tube dan mikro tube ditimbang menggunakan neraca digital. Jika nilai yang tertera pada neraca digital sudah konstan kemudian ditare. Dikeluarkan micro tube kemudian dimasukkan sampel menggunakan pipet kapiler sedikit demi sedikit sampai micro tube terisi setengahnya. Pada saat memasukkan sampel ke dalam micro tube tidak boleh ada udara yang masuk agar hasil yang ditampilkan pada VSM akan maksimal. Setelah sampel terisi padat kemudian sampel yang ada di dalam micro tube ditutup dengan lilin. Kemudian ditimbang dengan neraca digital dan diukur sebanyak 5 (lima) kali pengukuran untuk setiap sampel. Kemudian micro tube diletakkan pada sampel holder untuk dimasukkan ke dalam uniform magnetic field.


(52)

Gambar 3.8 Preparasi Sampel VSM

3.8.3.2 Cara Penggunaan dan Prinsip Kerja VSM

Semua bahan mempunyai momen magnetik jika ditempatkan dalam medan magnetik. Momen magnetik per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi. Secara prinsip ada dua metode untuk mengukur besar magnetisasi, yaitu metode induksi (induction method) dan metode gaya (force method). Pada metode induksi, magnetisasi diukur dari sinyal yang ditimbulkan/ diinduksikan oleh cuplikan yang bergetar dalam lingkungan medan magnet pada sepasang kumparan. Sedangkan pada metode gaya pengukuran dilakukan pada besarnya gaya yang ditimbulkan pada cuplikan yang berada dalam dalam gradien medan magnet. VSM (Vibrating Sample Magnetometer) adalah merupakan salah satu alat ukur magnetisasi yang bekerja pada metode induksi. Pada metode ini, cuplikan yang akan diukur magnetisasinya dipasang pada ujung bawah batang kaku yang bergetar secara vertical dalam lingkungan medan magnet luar H. Jika cuplikan termagnetisasi, secara permanen ataupun sebagai respon dari adanya medan magnet luar, getaran ini akan mengakibatkan perubahan garis gaya magnetik. Perubahan ini akan menginduksikan/ menimbulkan suatu sinyal tegangan AC pada kumparan pengambil (pick up coil atau sense coil) yang ditempatkan secara tepat dalam sistem medan magnet ini. Dalam proses pengukuran, medan magnet luar yang diberikan, suhu cuplikan, sudut dan interval waktu pengukuran dapat divariasikan melalui kendali komputer. Komputer akan merekam data tegangan kumparan sebagai fungsi medan magnet luar, suhu, sudut ataupun waktu (Mujamilah, 2000).


(53)

Sifat kemagnetan Barium M-Heksaferit dapat diindentifikasi dengan pengujian VSM (Vibrating Sample Magnetometer). Besarnya sifat magnet suatu bahan dapat diketahui melalui kurva histeris. Dari kurva histeris tersebut dapat diketahui magnetisasi remanansi (Mr) dan medan koersivitas (Hc). Pada pengujian ini menggunakan besar magnetisasi sebesar 1 gauss saturasi (Ms) sampel. Pada kurva histeris berikut juga dapat diketahui magnetisasi tertinggi (Ariza, Zainuri, 2012).

Gambar 3.9 Alat VSM (Vibrating Sample Magnotemeter)

3.8.4 VNA (Vector Network Analyzer)

VNA (Vector Network Analyzer) digunakan untuk mengetahui besarnya penyerapan gelombang mikro (Dessy, dkk, 2012). Dari uji VNA akan dihasilkan nilai reflection loss (dB) seberapa besar daya serap spesimen terhadap gelombang elektromagnetik. Kurva reflection loss akan semakin turun seiring dengan semakin besarnya nilai reflection loss. Semakin besar nilai reflection loss maka akan semakin besar nilai penyerapan yang dapat dilakukan oleh spesimen tersebut. RAM (Radar Absorbern Material) bekerja dengan dengan beberapa cara yaitu mengubah gelombang elektromagnetik yang masuk (medan listrik) menjadi panas oleh bahan dielektrik dan dengan menyerap (medan magnet) oleh material magnetik. Ketebalan lapisan juga berpengaruh terhadap reflection loss. Dengan semakin tebalnya spesimen maka gelombang elektromagnetik akan semakin


(54)

terserap (Adelia, dkk, 2011). Impedansi karakteristik merupakan konsekuensi dari

permeabilitas relatif (µr) dan permitivitas relatif (εr) yang mempunyai nilai kompleks pada suatu bahan. Sehingga diperlukan bahan yang memiliki µr dan εr yang sesuai dengan µ dan ε udara atau vakum agar terjadi resonansi impedansi

sehingga dihasilkan reflektansi loss yang cukup besar. Untuk mendapatkan nilai µ

dan ε dapat diketahui dengan cara mengukur besarnya Reflektansi dan

Transmitansi yang terjadi bila sampel diberikan gelombang elektromagnetik.

Menurut metode pengukuran sifat dielektrik material pada proses konversi Nicholson-Ross-Weir parameter yang didapat dari pengukuran adalah :

S11* = S11’ + S11’ (3.2)

S21* = S21’ + S21’ (3.3)

dimana S11* dan S21* merupakan bilangan kompleks dari parameter hamburan

(Scattering parameter) yaitu parameter reflektansi dan parameter transmitansi. Dengan S11’ dan S21’ sebagai bilangan riilnya, serta S11” dan S21” sebagai bilangan

imajinernya. Dari parameter-parameter tersebut, dapat diperoleh koefisien refleksi

( Γ ) sebagai berikut :

Γ = �112− �212

2�11 ±�� �

112−�212+1 2�11 �

2 __ 1, | Γ| < 1 (3.4)

Setelah mendapatkan koefisien refleksi ( Γ ), koefisien transmisi (T) bias didapat dengan cara :

Γ = �11+�21+1−Γ

1−��11−�21�Γ (3.5)

Dengan menggunakan bantuan :

1

˄2 = � 1 2��ln�

1 ���

2

(3.6) Dari persamaan (3.5) dimana L adalah tebal sampel.

Permeabilitas suatu bahan dapat dihitung :

2 2 0 1 r

1

1

)

1

(

1

C

r

r

λ

λ

µ

+

=

(3.7)


(55)

Dengan λ0 adalah panjang gelombang elektromagnetik pada udara dan

λc adalah panjang gelombang cutoff, sehingga diperoleh permitivitas relatif suatu bahan adalah :

r c c r r

r

r

µ

λ

λ

λ

λ

µ

ε

1

1

1

1

2 2 2 2 0 0 2

+

+

=

(3.8)

dengan rumus tersebut akan didapatkan kurva permitivitas dan permeabilitas suatu bahan sehingga mendapatkan impedansi bahan dengan menggunakan rumus





=

r r

r in

L

i

h

z

Z

µ

ε

λ

π

µ

µ

0 0 0

2

tan

(3.9)

dimana Zin adalah impedansi masukan ketika gelombang elektromagnetik yang

datang tegak lurus terhadap bahan dan Z0 adalah impedansi udara (free space)

~367,73031346177�. Setelah mendapatkan nilai-nilai impedansi bahan, selanjutnya digunakan untuk menghitung Reflektansi loss terhadap frekuensi penyerapan gelombang mikro dengan menggunakan rumus berikut :

    + − = 0 0 log 20 z z z z RL in in

(3.10) (Subiyanto, 2011).


(56)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Karakterisasi Fasa Sampel Sistem BaNixAl6-xFe6O19 (x = 0; 0,5; 1; 2; 3) Dengan Menggunakan Difraksi Sinar-X

Sintesis sampel sistem BaNixAl6-xFe6O19 (x = 0; 0,5; 1; 2, dan 3) dilakukan

dengan menggunakan reaksi padatan (solid state reaction) dari prekusor bahan oksida-oksida : Barium carbonat (BaCO3), Nikel oksida (NiO), Alumunium

oksida (Al2O3), dan Besi oksida (Fe2O3). Adapun hasil sintesis dari

masing-masing komposisi adalah sebagai berikut :

4.1.1 Sampel BaAl6Fe6O19 (x = 0)

Komposisi stokiometri dari sampel BaAl6Fe6O19 disintesis berdasarkan persamaan

reaksi sebagai berikut :

3Al2O3 + BaCO3 + 3Fe2O3 ---> BaAl6Fe6O19 + CO2

Sedangkan hasil dari sintesis sampel BaAl6Fe6O19 diperlihatkan seperti pada

Gambar 4.1.

Gambar 4.1 BaAl6Fe6O19

Hasil identifikasi fasa sampel BaAl6Fe6O19 menunjukkan bahwa sampel memiliki

fasa tunggal berdasarkan pencocokan pola difraksi sinar-X menurut hasil penelitian BaAl6Fe6O19 seperti diperlihatkan pada Gambar 4.2.


(57)

Gambar 4.2 Identifikasi Fasa Pola Difraksi Sinar-X Sampel BaAl6Fe6O19

Dari hasil database ICDD 96-100-6003 pada MATCH, bahan absorber berbasis barium heksaferit yang telah dibuat memiliki fasa tunggal dengan struktur kristal hexagonal. Setelah proses pendopingan terlihat bahwa unsur Al berhasil disubsitusikan dengan barium beksaferit secara optimum.

4.1.2 Sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 (x = 0,5)

Komposisi stokiometri dari sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 disintesis berdasarkan

persamaan reaksi sebagai berikut :

5.5Al2O3 + 2BaCO3 + 6Fe2O3 + NiO + 0.25O2 ---->2BaNi0.5Al5.5Fe6O19 + 2CO2

Sedangkan hasil dari sintesis sampel BaAl6Fe6O19 diperlihatkan seperti pada

Gambar 4.3.

Gambar 4.3 BaNi0,5Al5,5Fe6O19

Hasil identifikasi fasa sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 menunjukkan bahwa

sampel memiliki fasa tunggal berdasarkan pencocokan pola difraksi sinar-X menurut hasil penelitian BaNi0,5Al5,5Fe6O19 seperti diperlihatkan pada Gambar


(58)

Gambar 4.4 Identifikasi Fasa Pola Difraksi Sinar-X Sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19

Dari hasil database ICDD 96-100-6003 pada MATCH, bahan absorber berbasis barium heksaferit yang telah dibuat memiliki fasa tunggal dengan struktur kristal hexagonal. Setelah proses pendopingan terlihat bahwa unsur Al dan Ni berhasil disubsitusikan dengan barium heksaferit secara optimum.

4.1.3 Sampel BaNiAl5Fe6O19 (x = 1)

Komposisi stokiometri dari sampel BaNiAl5Fe6O19 disintesis berdasarkan

persamaan reaksi sebagai berikut :

5Al2O3 + 2BaCO3 + 6Fe2O3 + 2NiO + 0.5O2 --->2 BaNiAl5Fe6O19 + 2CO2

Sedangkan hasil dari sintesis sampel BaAl6Fe6O19 diperlihatkan seperti pada

Gambar 4.5.

Gambar 4.5 BaNiAl5Fe6O19

Hasil identifikasi fasa sampel BaNiAl5Fe6O19 menunjukkan bahwa sampel

memiliki fasa tunggal berdasarkan pencocokan pola difraksi sinar-X menurut hasil penelitian BaNiAl5Fe6O19 seperti diperlihatkan pada Gambar 4.6.


(59)

Gambar 4.6 Identifikasi Fasa Pola Difraksi Sinar-X Sampel BaNiAl5Fe6O19

Dari hasil database ICDD 96-100-6003 pada MATCH, bahan absorber berbasis Barium Heksaferit yang telah dibuat memiliki fasa tunggal dengan struktur Kristal hexagonal. Setelah proses pendopingan terlihat bahwa unsur Al dan Ni berhasil disubsitusikan dengan Barium Heksaferit secara optimum.

4.1.4 Sampel BaNi2Al4Fe6O19 (x = 2)

Komposisi stokiometri dari sampel BaNi2Al4Fe6O19 disintesis berdasarkan

persamaan reaksi sebagai berikut :

4Al2O3 + 2BaCO3 + 6Fe2O3 + 4NiO + O2 ---> 2BaNi2Al4Fe6O19 + 2CO2

Sedangkan hasil dari sintesis sampel BaNI2Al4Fe6O19 diperlihatkan seperti pada

Gambar 4.7.

Hasil identifikasi fasa sampel BaNi2Al4Fe6O19 menunjukkan bahwa

sampel tidak lagi memiliki fasa tunggal karena sudah terdapat puncak asing akibat Gambar 4.7 BaNi2Al4Fe6O19


(60)

penambahan variasi pada Al dan Ni berdasarkan pencocokan pola difraksi sinar-X menurut hasil penelitian BaNi2Al4Fe6O19 seperti diperlihatkan pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8 Identifikasi Fasa Pola Difraksi Sinar-X Sampel BaNi2Al4Fe6O19

Dari hasil ICDD pada 96-100-6003 pada MATCH, bahan absorber berbasis barium heksaferit yang telah dibuat memiliki struktur kristal hexagonal. Setelah proses pendopingan dengan menaikkan variasi Al dan Ni (x=2) terlihat bahwa unsur Al dan Ni sudah terjadi kerusakan ketika disubsitusikan dengan barium heksaferit . Berdasarkan database ICDD 96-591-0065 tesebut sudah kelihatan fasa nikel ferit dan berdasarkan ICDD 96-591-0031 juga terdapat barium oksida yang bercampur.

4.1.5 Sampel BaNi3Al3Fe6O19 (x = 3)

Komposisi stokiometri dari sampel BaNi3Al3Fe6O19 disintesis berdasarkan

persamaan reaksi sebagai berikut :

3Al2O3 + 2BaCO3 + 6Fe2O3 + 6NiO + 1.5O2 ---> 2BaNi3Al3Fe6O19 + 2CO2

Sedangkan hasil dari sintesis sampel BaNI2Al4Fe6O19 diperlihatkan seperti pada

Gambar 4.9.


(61)

Hasil identifikasi fasa sampel BaNi3Al3Fe6O19 menunjukkan bahwa

sampel memiliki fasa tunggal berdasarkan pencocokan pola difraksi sinar-X menurut hasil penelitian BaNi3Al3Fe6O19 seperti diperlihatkan pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Identifikasi Fasa Pola Difraksi Sinar-X Sampel BaNi3Al3Fe6O19

Dari hasil ICDD pada 96-100-6003 pada MATCH, bahan absorber berbasis Barium Heksaferit yang telah dibuat memiliki struktur kristal hexagonal. Setelah proses pendopingan dengan menaikkan variasi Al dan Ni (x=3) terlihat bahwa unsur Al dan Ni sudah terjadi kerusakan ketika disubsitusikan dengan barium heksaferit . Berdasarkan database ICDD 96-591-0065 tesebut sudah kelihatan fasa nikel ferit dan berdasarkan ICDD 96-591-0031 juga terdapat barium oksida yang bercampur.

4.2 Hasil Analisa Magnetik Dengan Menggunakan Vibrating Sample Magnetometer (VSM)

Karakterisasi menggunakan VSM menghasilkan kurva histerisis yang memberikan informasi besar nilai magnetic remanen (Mr), magnetisasi saturasi (Ms) dan medan koersifitas (Hc). Informasi kurva histerisis yang diperoleh menggambarkan karakteristik dari berbagai parameter dalam pembuatan material magnet. Remanansi menunjukkan nilai yang tersisa akibat reduksi medan magnet menjadi nol. Pada persamaan H = 0 maka pada persamaan tersebut hanya terdapat magnetisasi M. Hal ini berarti induksi remanen merupakan medan yang timbul


(62)

akibat magnetisasi spontan pada suatu material (Athesia, 2014). Dibawah ini adalah hasil dari karakterisasi kelima sampel dengan menggunakan VSM :

4.2.1 Sampel BaAl6Fe6O19 (x = 0)

Pada Gambar 4.11 diperlihatkan hasil kurva histeresis sampel BaAl6Fe6O19

dengan menggunakan VSM pada range medan magnet -1 Tesla sampai 1 Tesla.

Gambar 4.11 Kurva histerisis BaAl6Fe6O19

Sedangkan data parameter intrinsik dari sifat magnetik sampel BaAl6Fe6O19

ditunjukkan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.1 Parameter intrinsik sifat magnetik BaAl6Fe6O19

Komposisi

(x) Sampel

Sifat intrinsik magnet Hc (Oe) Mr

(emu/gr)

Ms (emu/gr)

0 BaAl6Fe6O19 4860 4,9 8,3

4.2.2 Sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 (x = 0,5)

Pada Gambar 4.12 diperlihatkan hasil kurva histeresis sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19


(63)

Gambar 4.12 Kurva Histerisis BaNi0,5Al5,5Fe6O19

Sedangkan data parameter intrinsik dari sifat magnetik sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19

ditunjukkan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaNi0,5Al5,5Fe6O19

Komposisi

(x) Sampel

Sifat intrinsik magnet Hc (Oe) Mr

(emu/gr)

Ms (emu/gr) 0,5 BaNi0,5Al5,5Fe6O19 1860 5,6 11,4

4.2.3 Sampel BaNiAl5Fe6O19 (x = 1)

Pada Gambar 4.13 diperlihatkan hasil kurva histeresis sampel BaNiAl5Fe6O19

dengan menggunakan VSM pada range medan magnet -1 Tesla sampai 1 Tesla.


(64)

Sedangkan data parameter intrinsik dari sifat magnetik sampel BaNiAl6Fe6O19

ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaNiAl5Fe6O19

Komposisi

(x) Sampel

Sifat intrinsik magnet Hc (Oe) Mr

(emu/gr)

Ms (emu/gr)

1 BaNiAl5Fe6O19 473 4,4 15,7

4.2.4 Sampel BaNi2Al4Fe6O19 (x = 2)

Pada Gambar 4.14 diperlihatkan hasil kurva histeresis sampel BaNi2Al4Fe6O19

dengan menggunakan VSM pada range medan magnet -1 Tesla sampai 1 Tesla.

Gambar 4.14 Kurva Histerisis BaNi2Al4Fe6O19

Sedangkan data parameter intrinsik dari sifat magnetik sampel BaNi2Al4Fe6O19

ditunjukkan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaNi2Al4Fe6O19

Komposisi

(x) Sampel

Sifat intrinsik magnet Hc (Oe) Mr

(emu/gr)

Ms (emu/gr) 2 BaNi2Al4Fe6O19 259 1,65 4,0


(65)

4.2.5 Sampel BaNi3Al3Fe6O19 (x = 3)

Pada Gambar 4.15 diperlihatkan hasil kurva histeresis sampel BaNi3Al3Fe6O19

dengan menggunakan VSM pada range medan magnet -1 Tesla sampai 1 Tesla.

Gambar 4.15 Kurva Histerisis BaNi3Al3Fe6O19

Sedangkan data parameter intrinsik dari sifat magnetik sampel BaNi3Al3Fe6O19

ditunjukkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Parameter Intrinsik Sifat Magnetik BaNi3Al3Fe6O19

Komposisi

(x) Sampel

Sifat intrinsik magnet Hc (Oe) Mr

(emu/gr)

Ms (emu/gr) 3 BaNi3Al3Fe6O19 120 1,21 6,6

4.3 Hasil Analisa Absorpsi Gelombang Elektromagnetik Dengan Menggunakan Vector Network Analyzer (VNA)

Kelima sampel tersebut dengan konsentrasi yang berbeda telah dikarakterisasi absorpsi ataupun serapan gelombang elektromagnetiknya. Karakterisasi absorpsi sampel diukur dengan menggunakan alat Vector Network Analyzer (VNA) pada frekuensi 7-15 GHz. Data yang diperoleh dari VNA merupakan data scattering parameter (s parameter). S parameter terdiri dari nilai S11, S12, S21 dan S22,


(66)

tetapi nilai yang digunakan untuk menghitung Reflection loss (RL) yaitu S11 terukur sebagai koefisien refleksi (Γ) dan nilai S21 terukur sebagai koefisien transmitasi (T). Nilai S12 dan S22 tidak digunakan karena dianggap sama dengan

nilai terukur S11 dan S22. Setelah nilai koefisien refleksi (Γ) dan koefisien

transmitasi (T) diketahui kemudian didapatkan juga nilai permeabilitas dan permitivitasnya sehingga nilai reflection loss (RL) dapat ditemukan dengan mensubsitusi nilai-nilai tersebut.

Prinsip pengukuran serapan gelombang mikro yaitu mengukur interaksi antara material dengan gelombang yang diberikan. Penyerapan gelombang elektromagnetik terhadap material bergantung pada kepadatan material, jumlah material (ketebalan). Semakin padat material yang dibuat kemungkinan daya serapnya semakin besar karena jarak antara butir pada material semakin dekat atau rapat. Begitu juga dengan ketebalan material yang mempengaruhi daya serapnya sehingga kemungkinan daya yang akan terpantul lebih lama di dalam material sehingga daya yang ditransmisikan akan semakin kecil (Athesia, 2014).

4.3.1 Sampel BaAl6Fe6O19 (x=0)

Pada Gambar 4.16 diperlihatkan hasil analisis seerapan gelombang elektromagnetik yang ditandai sebagai reflection loss (kerugian refleksi) pada sampel BaAl6Fe6O19 dengan menggunakan VNA pada range frekuensi 8 – 12

GHz.


(67)

4.3.2 Sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 (x=0,5)

Pada Gambar 4.17 diperlihatkan hasil analisis seerapan gelombang elektromagnetik yang ditandai sebagai reflection loss (kerugian refleksi) pada sampel BaNi0,5Al5,5Fe6O19 dengan menggunakan VNA pada range frekuensi 8 –

12 GHz.

Gambar 4.17 Reflection Loss BaNi0,5Al5,5Fe6O19

4.3.3 Sampel BaNiAl5Fe6O19 (x=1)

Pada Gambar 4.18 diperlihatkan hasil analisis seerapan gelombang elektromagnetik yang ditandai sebagai reflection loss (kerugian refleksi) pada sampel BaNiAl5Fe6O19 dengan menggunakan VNA pada range frekuensi 8 – 12

GHz.


(68)

4.3.4 Sampel BaNi2Al4Fe6O19 (x=2)

Pada Gambar 4.19 diperlihatkan hasil analisis seerapan gelombang elektromagnetik yang diandai sebagai reflection loss (kerugian refleksi) pada sampel BaNi2Al4Fe6O19 dengan menggunakan VNA pada range frekuensi 8 – 12

GHz.

Gambar 4.19 Reflection Loss BaNi2Al4Fe6O19

4.3.5 Sampel BaNi3Al3Fe6O19 (x=3)

Pada Gambar 4.20 diperlihatkan hasil analisis seerapan gelombang elektromagnetik yang ditandai sebagai reflection loss (kerugian refleksi) pada sampel BaNi3Al3Fe6O19 dengan menggunakan VNA pada range frekuensi 8 – 12

GHz.


(1)

9. Nikel Ni 5.91 2.39

10. Barium Ba 19.01 3.29

LAMPIRAN E

Hasil VSM Kurva HIsterisis Sampel BaNixAl6-xFe6O19


(2)

BaNiAl5Fe6O19 BaNi2Al4Fe6O19

BaNi3Al3Fe6O19

LAMPIRAN F


(3)


(4)

BaNi0,5Al5,5Fe6O19


(5)

BaNi2Al4Fe6O19


(6)