Disain Material Absorber Gelombang Mikro Senyawa Dasar (La,Ba)(Mn,Ti)O3 Melalui Proses Penghalusan Mekanik dan Sonikasi Daya Tinggi

(1)

(2)

LAPORAN PENELITIAN BERBASIS PUBLIKASI INTERNASIONAL

DISAIN MATERIAL ABSORBER GELOMBANG

MIKRO SENYAWA DASAR (La, Ba)(Mn, Ti)O

3

MELALUI PROSES PENGAHALUSAN MEKANIK

DAN SONIKASI DAYA TINGGI

SITTI AHMIATRI SAPTARI

19770416 2005 01 2 008

PROGRAM STUDI FISIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Azza Wa Jalla, Robb Alam Semesta. Yang tidak ada ilah yang pantas disembah kecuali Allah. Yang seluruh detail alam

semesta bersaksi bahwa pernyataan tersebut adalah benar adanya. Kemudian sholawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad bin Abdullah, satu-satunya manusia yang mendahului manusia dalam setiap kebaikan. Tidak ada satupun kebaikan kecuali kita telah diajarkan dan tidak ada satupun kebaikan kecuali kita telah dilampaui oleh Rosulullah saw.

Penulis bersyukur kepada Allah SWT karena hanya atas rahmat dan petunjuk-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana penelitian ini

Penulis sadar bahwa laporan hasil penelitian ini tidak luput dari kekurangan, namun penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.

Jakarta, Desember 2014


(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……… ii

Abstrak ……… iii

Daftar Isi ………. iv

Bab 1 Pendahuluan ……… 1

1.1. Latar Belakang ……….... 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 2

1.3. Tujuan Penelitian ……… 4

1.4.Batasan Penelitian ……… 4

1.5.Manfaat Penelitian ……… 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka ……….. 5

2.1. Struktur Kristal ……… 5

2.2. Teori Dasar Sinar X ……… 11

2.3. Metode Analisis Rietvield ……… 19

2.4. Magnetisasi Material ……… 23

2.5. Mechanical Alloying……… 27

2.6. Sonikasi ……… 30

2.7. Absorpsi Gelombang Elektromagnet ……….. 33

2.8. Gelombang Mikro ……… 40

2.9. Scanning Electron Microscope………. 41

2.10. Teori Double Exchange………. 44

2.11. Teori Interaksi Superexchange……… 47

2.12. Ligand Field Theory……… 48

2.13. Lantanum Manganat ……… 53

2.14. Mekanisme Serapan Gelombang Mikro ……….. 60

Bab 3 Metode Penelitian ………. 79

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ………. 79

3.2. Alat dan Bahan ………. 82

3.3. Preparasi Pembentukkan Fasa Tunggal ……… 83

3.4. Karakterisasi Sampel ……… 89


(5)

4.1. Karakterisasi TGA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ………. 103

4.2. Karakterisasi XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ……… 115

4.3. Karakterisasi Sifat Magnet Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ……… 125

4.4. Karakterisasi VNA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ……… 131

4.5. Pembuatan Nano Partikel Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 Melalui Prosese Sonikasi ………... 137

4.6. Diskusi ………. 142

Bab 5 Kesimpulan ……… 147


(6)

ABSTRAK

Judul : Disain Material Absorber Gelombang Mikro Senyawa Dasar (La, Ba)(Mn, Ti)O3 Melalui Proses Penghalusan Mekanik dan Sonikasi Daya Tinggi

Beberapa tahun terakhir ini, polusi interferensi gelombang elektromagnet cukup serius muncul akibat perkembangan yang pesat dari bisnis alat komunikasi, seperti telepon selular dan sistem radar. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya sistem peralatan berbasis elektronik dan sistem keamanan yang sangat vital. Material lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr, Ba, Ca) telah beberapa dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para peneliti. Hal ini disebabkan karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, sehingga lantanum manganat dapat menjadi kandidat yang potensial sebagai material penyerap gelombang mikro pada frekuensi tinggi.

Sintesa senyawa La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 (x = 0, 0,02, 0,04, dan 0,06) dengan metode reaksi padatan mekanisme penghalusan mekanik telah berhasil dilakukan. Karakterisasi XRD (X Ray Diffraction) menunjukkan bahwa seluruh

sampel adalah fasa tunggal dengan struktur krisatal monoklinik. Tahap berikutnya material disonikasi selama 5 jam, sehingga ukuran partikel rata-rata mengecil dari 5,02 µm menjadi 0,36 µm. Kurva histerisis sampel dari hasil karakterisasi permagraph menunjukkan bahwa sampel termasuk material magnet lunak. Ditemukan pula bahwa ketika ukuran partikel rata-rata mengecil maka harga saturasinya naik dan medan koersitifitasnya menurun. Sifat penyerapan gelombang mikro sampel diteliti dengan menggunakan VNA (Vector Network Analyzer) pada rentang frekuensi 8 – 12 GHz. Nilai Reflection Loss optimum

diperoleh pada frekuensi 11,4 GHz sebesar -13,6 dB untuk sampel dengan penghalusan mekanik saja, dan -24,4 dB untuk sampel dengan dua kali proses yakni penghalusan mekanik dan sonikasi daya tinggi.

Kata kunci: material absorber, lanthanum manganat, penghalusan mekanik, sonikasi, ukuran partikel


(7)

(8)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Material perovskite lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr. Ba. Ca) telah beberapa dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para ilmuwan. Hal ini disebabkan karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, serta adanya fenomena magnetoresistansi yakni perubahan resistansi listrik ketika ada medan magnet eksternal [1-8]. Sifat magnetoresistensi ini diaplikasikan untuk sensor magnetik dan juga penyimpanan data (data storage) [9]. Selain itu.

material lantanun manganat juga memiliki sifat serapan gelombang mikro sebagaimana hasil penelitian Zhou dkk [10-12]. Mereka merekayasa struktur LMO dengan menggantikan secara parsial La dengan Sr dan Mn dengan Fe. Rekayasa struktur senyawa tersebut telah melahirkan sifat baru disamping GMR atau CMR yaitu memiliki kemampuan menyerap gelombang elektromagnetik khususnya pada jangkauan frekuensi ultra tinggi (GHz).

Di sisi lain, perkembangan teknologi khususnya pada bidang elektronik, telekomunikasi, dan teknologi informasi (TI) telah dan sedang berjalan begitu pesat pada akhir-akhir ini dan telah ikut mempengaruhi kehidupan dan aktivitas manusia sehari-hari. Tidak dapat disangkal lagi, pengenalan teknologi komunikasi semakin canggih. Berbagai jenis perangkat teknologi media elektronik dan informasi dalam era globalisasi seperti saat ini maka penggunaan gelombang elektromagnetik (EM) berbagai frekuensi khususnya frekuensi tinggi semakin intensif. Dapat dipastikan sebagai implikasi langsung dari masuknya teknologi-teknologi canggih pada bidang elektronik, komunikasi, dan informasi tersebut, atmosfir sekitar aktivitas kehidupan manusia sudah dan akan terpolusi oleh pembawa gelombang elektromagnetik (EM) termasuk EM dengan frekuensi ultra tinggi (GHz). Implikasi negatif dari perkembangan pesat tersebut adalah berbagai sistem peralatan berbasis elektronik seperti sistem kontrol elektronik dan sistem keamanan peralatan yang sangat vital bahkan keselamatan dan kesehatan manusia


(9)

kini menghadapi suatu ancaman baru datang dari atmosfir sekitar yaitu interferensi gelombang elektromagnetik atau Electromagnetic Interferences (EMI)

[13-15].

Sebagai contoh, berbagai peralatan elektronik dan telekomunikasi seperti komunikasi nirkabel (wireless communication), jaringan area terbatas. maupun

aplikasi pada transportasi udara dan sistem pertahanan udara militer (deteksi RADAR) dapat terganggu berupa interupsi yang menyebabkan tidak berfungsinya atau terganggunya system [16]. Tidak terkecuali juga sistem kontrol elektronik baik itu pada kegiatan industri maupun kegiatan keselamatan dan kesehatan di rumah sakit ikut terancam oleh efek EMI. Jelaslah pada masa-masa mendatang penggunaan gelombang-gelombang elektromagnetik pada berbagai jangkau frekuensi akan makin intensif dan ancaman EMI pada kehidupan manusia semakin nyata.

Sejalan dengan perkembangan baru yang memberi dampak positif dan negatif pada kehidupan manusia tersebut maka diperlukan berbagai usaha untuk tetap bisa mengakomodir masuknya teknologi baru namun secara bersamaan juga diperlukan usaha-usaha penyeimbangan dan perbaikan untuk meminimalkan dampak negatifnya. Sebagai seorang peneliti dalam bidang Ilmu Material. pengusul ikut terpanggil untuk dapat berpartisipasi dan berkontribusi dalam mencari solusi terhadap dampak negatif dengan memperkenalkan material penyerap gelombang elektromagnetik. Dalam kegiatan ini pengusul mengusulkan suatu kegiatan penelitian dengan judul “Disain Material Absorber Gelombang Mikro Senyawa Dasar (La.Ba)(Mn.Ti)O3 Melalui Penghalusan Mekanik dan Sonikasi Daya Tinggi”, merupakan kegiatan sintesa material fokus pada rekayasa struktur LMO menjadi senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x = 0 – 1.0.

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [17] menemukan bahwa nanopartikel La0.6Sr0.4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai 12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41.1 dB pada frekuensi 8.2 GHz dengan


(10)

ketebalan 2.2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada daerah frekuensi 5.5-11.3 GHz. Dalam laporannya Cheng juga mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya semakin baik. Oleh karena itu pengusul mencoba membuat disain sintesa material penyerap gelombang mikro yang mampu menghasilkan material dengan ukuran partikel yang berskala nano.

Proses pemaduan mekanik atau mechanical alloying telah terbukti dapat

menjadi teknik alternatif dalam pembuatan alloy baik itu berbasis logam maupun berbasis oksida logam seperti senyawa-senyawa oksida dalam material keramik. Hasil penghalusan material dengan proses ini memerlukan perlakuan sintering untuk melangsungkan reaksi padat atau solid state reaction. Sebagai produk akhir

dari proses ini adalah material dengan ukuran partikel dalam orde beberapa mikron [18].

Prinsip dasar destruksi ultrasonik adalah terbentuknya gelembung vakum (cavity) oleh gelombang ultrasonik pada cairan. Cavity yang terbentuk kemudian collapse dengan kecepatan tinggi dan dapat menghasilkan tekanan dan temperatur

yang sangat tinggi. Jika terdapat partikel disekeliling cavity tersebut. maka saat

terjadi penghacuran cavity partikel-partikel akan bertumbukan dengan kecepatan

yang sangat tinggi dan memungkinkan terjadinya pengecilan ukuran karena energi yang dihasilkan lebih besar dari energ ikat antar grain pada material kristalin yang getas [19].

Oleh karena itu, dapat diduga kombinasi teknik pemaduan mekanik dan sonifikasi dengan frekuensi berdaya tinggi tersebut diharapkan dapat menghasilkan material yang berukuran nano partikel. Kedua teknik preparasi material tersebut akan diterapkan pada sintesa material sistem La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x = 0 – 0.06 untuk menghasilkan material elektrik-magnetik sistem nanokomposit sebagai senyawa utama material penyerap gelombang mikro. Karakterisasi material mencakup sifat sifat elektrik. magnetik dan absorpsi gelombang mikro.


(11)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut

a. Mensintesa senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–0.06 dengan ukuran nanopartikel.

b. Mengetahui struktur kristal senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0– 0.06.

c. Mengetahui karakteristik magnetik senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–0.06.

d. Mengetahui karakteristik absorpsi senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–0.06.

1.4. Batasan Penelitian

Kajian penelitian ini hanya dibatasi pada pembuatan sampel dengan variasi konsentrasi nilai x = 0 0.06. Selanjutnya sampel hanya dikarakterisasi dengan PSA, SEM, XRD, Permagraph, VSM dan VNA.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini di lakukan dengan harapan mendapatkan material nanopartikel La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 yang dapat diaplikasikan sebagai material penyerap gelombang mikro.


(12)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur Kristal

Zat padat yang terdapat di alam ini bila ditinjau secara mikrostruktur dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu zat padat yang memiliki susunan atom tidak teratur ( non kristal ) dan zat padat yang memiliki susunan atom yang teratur (kristal) [20].

Kristal didefinisikan sebagai material padat yang letak atom-atomnya membentuk barisan yang teratur rapih secara periodik dalam pola tiga dimensi, sehingga memiliki sifat fisika maupun kimia serba sama di seluruh bagiannya, adapun yang termasuk bahan-bahan kristal seperti: semua logam, sebagian besar keramik dan beberapa polimer.

2.1.1. Kisi kristal

Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan membayangkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik-titik mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dapat dibedakan walaupun dipandang dari segala arah. Bila tiap-tiap titik tersebut dihubungkan maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik memenuhi ruang. Gambar 2.1 adalah ilustrasi yang menunjukan kisi sebuah suatu sistem kristal [21].


(13)

Gambar 2.1. Sistem dan kisi kristal

2.1.2. Parameter Kisi

Panjang tiap-tiap ruang sel yang searah dengan sumbu kristalografi disebut dengan tetapan kisi (lattice constant), dan dinamakan dengan parameter kisi

sumbu a, b, dan c. Sudut yang dibentuk oleh garis bc, ac, dan ab berturut-turut


(14)

Gambar 2.2. Parameter kisi

2.1.3. Sistem kristal

Terdapat tujuh sistem kristal yang dikembangkan menjadi empat belas kisi bravais dalam pengelompokan struktur kristal. Pengelompokan ini berdasarkan pada karakteristik unit selnya, antara lain sifat-sifat vektor basis, sudut antar vektor basis dan karakteristik elemen simetrinya. Pada karakteristik unit sel terdapat sifat-sifat geometri kristal antara lain ; indeks Miller, bidang kristal (hkl) dan konstanta kisi. Pada Gambar 2.3 ditunjukkan tujuh system krsital berikut pengembangan empat belas kisi bravaisnya.


(15)

(16)

Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal [21] Sistem

Kristalografi

Panjang sumbu dan sudut

Kisi Bravais Simbol Kisi Triklinik a ≠ b ≠ c

α ≠ ≠ =λ0 0

Simple P

Monoklinik a ≠ b ≠ c

α = =λ0 0 ≠ ataua ≠

b ≠ c

α = = λ00

Simple

Base – centered

P C

Ortorombik a ≠ b ≠ c α = = =λ0 0

Simple Base centered Face centered Body centered P C F I Tetragonal a = b ≠ c

α = = =λ0 0

Simple Body centered P I Trigonal/ Rombohedral

a = b = c

α = = ≠ λ0 0 < 120 0

Simple P

Hexagonal a = b ≠ c

α = = λ0 0 =1β0 0

Simple P

Kubus a = b = c

α = = =λ0 0

Simple Face centered Body centered P F I 5


(17)

2.1.4. Indeks Miller

Misalkan x adalah fraksi perkalian dari vektor basis a, y adalah fraksi perkalian dari vektor b dan z adalah perkalian dari vektor basis c, maka invers dari ketiga fraksi dapat dikalikan dengan suatu bilangan sedemikian rupa sehingga ketiga fraksi (triplet) menghasilkan bilangan bulat terkecil. Triplet atau set bilangan bulat ini disebut indeks miller, diberi simbol (hkl). Hubungan ketiga indeks miller ini akan membentuk bidang yang disebut dengan bidang Bragg.


(18)

2.1.5. Jarak Bidang Kristal ( d )

Untuk mengetahui jarak antara bidang di dalam kristal adalah harus mengetahui indeks miller dari bidang-bidang tersebut. Misalkan jarak antar bilangan diberi symbol dhkl , maka secara matematis hubungan antara dhkl dengan indeks miller basis kostanta kisi untuk sistem orthorombik, dapat ditulis sebagai berikut:

(2.1)

dimana : h k l itu merupakan bidang kristalografi atau indeks miller.

2.2. Teori Dasar Sinar-X

Sinar-X adalah salah satu bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang antara 0,01 100 Ǻ. Karena berbentuk gelombang maka energi yang dimiliki oleh foton sinar-X ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan [22] berikut:

(2.2) Dengan h konstanta planck ( 6,626 x 10-34 [J.s] ), c kecepatan cahaya ( 3 x 108 m/s) dan sebagai panjang gelombang [m]. Sehingga untuk sinar-X dengan

panjang gelombang 1 Ǻ ( 10-10 m ) akan memiliki energi sebesar 1,9898 x 10-15 Joule atau 12400,8 eV. Dengan energi yang demikian besar, sinar-X dapat mengionisasi elektron terdalam dari beberapa unsur ringan seperti pada Tabel 2.2 [23]


(19)

Tabel 2.2 Energi ionisasi beberapa atom ringan

Atom Energi Ionisasi (eV)

I II III IV V VI VII

H 14 1

He 25 55 4

Li 5 76 123 9

Be 9 18 154 218 16

Be 8 25 38 260 341 25

C 11 24 48 64 393 492 36

N 14 30 48 78 98 523 668 49

Sinar-x ditemukan dengan tidak sengaja oleh seorang professor Fisika Wilhelm K. Rontgen 8 November 1895 ketika sedang melakukan percobaan dalam laboratorium yang berada di lantai dua apartemennya di Würzburg, Bavaria (sekarang bagian dari German). Dia melakukan percobaan dengan menggunakan tabung sinar katoda dengan sumber tegangan DC sebesar 20 Volt dan dengan menggunakan koil dia dapat menaikan tegangan sampai 35000 Volt dengan cara memutus secara periodik aliran arus ke rangkaian sebanyak 8 kali per detik. Dia menyimpulkan bahwa radiasi dengan kemampuan tembus yang besar dapat ditimbulkan jika elektron dengan energi kinetik yang besar menumbuk materi. Radiasi ini dapat menembus bahan dengan mudah, menyebabkan bahan fosforesen berkilau dan menghitamkan plat foto. Karena sifat-sifat dari radiasi ini belum diketahui maka pada saat itu dinamakan sinar-X. Daya tembus sinar-X akan bertambah dangan bertambahnya energi kinetik elektronnya, juga intensitas yang makin besar dengan bertambahnya jumlah elektron.


(20)

Pada Gambar 2.5 diperlihatkan skema dari produksi sinar-X didalam sebuah tabung katoda. Beda potensial Ua akan mempercepat gerakan elektron dari katoda ke target anoda, sedangkan Uh menentukan banyaknya elektron yang terlepas dari katoda. Elektron yang terlepas akan menumbuk target anoda sehingga akan kehilangan sebagian besar atau seluruh energi kinetiknya ketika mengalami tumbukan dengan dengan atom target; energi inilah yang berubah menjadi sinar-X.


(21)

2.2.1. Brehmsstrahlung

Elektron yang bergerak cepat dari katoda akan mengenai target anoda dan mengalami penghentian mendadak. Berdasarkan teori elektromagnetik, muatan listrik yang mengalami percepatan akan meradiasikan gelombang elektromagnetik dan elektron yang bergerak cepat yang tiba-tiba dihentikan jelas mengalami percepatan. Sinar-X brehmsstrahlung atau “breaking radiation” merupakan

produksi sinar-x yang dihasilkan dari penghentian elektron yang bergerak dengan kecepatan yang tinggi oleh inti atom target. Kekuatan sinar-x yang dihasilkan merupakan selisih energi kinetik elektron mula-mula dan energi elektron setelah mengalami penghentian. Gambar 2.6 menjelaskan bagaimana proses terjadinya sinar-X bremsstarhlung dan spektrum sinar-X tungsten pada berbagai potensial

pemercepat [23].


(22)

2.2.2 Sinar-X Karakteristik

Pada Gambar 2.7 terlihat dua puncak dengan intensitas yang tajam pada panjang gelombang tertentu dari target unsur molybdenum. Puncak-puncak ini timbul pada berbagai panjang gelombang tertentu untuk masing-masing bahan target dan asalnya adalah penataan kembali struktur elektron atom target setelah diganggu oleh tembakan elektron energi tinggi.

Gambar 2.7. Sinar-X karakteristik [23]

Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi, dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron tereksitasi dari atom, selanjutnya elektron lain yang berada pada sub kulit yang lebih tinggi akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh elektron tersebut dengan memancarkan sinar-X yang memiliki energi sebanding dengan selisih level energi elektronnya.


(23)

Mekanisme munculnya K dan K adalah ketika kekosongan terjadi pada

kulit kulit-K (n=1), elektron dari kulit di atasnya (L, M, N dst) akan turun mengisi kekosongan tersebut sambil memancarkan foton dengan energi yang merupakan selisih energi dari kulit elektron asal (L,M,N dst) dan kulit-K . Sinar-X yang dihasilkan oleh elektron dari L ke K dinamakan sinar-X Kα dan sinar-X K untuk dari M ke K. Sedangkan pada kulit-L akan menghasilkan sinar-X Lα untuk transisi M ke L dan L untuk transisi N ke L dan seterusnya. Sedangkan kekosongan pada kulit yang ditinggalkan elektron untuk mengisi level energi dibawahnya akan diisi oleh elektron dengan level energi yang ada diatasnya dan seterusnya sehingga dihasilkan sinar-X dengan berbagai panjang gelombang.

2.2.3. X-Ray Diffractometer (XRD)

Pada tahun 1912, Max Von Laue menyatakan bahwa panjang gelombang sinar-X ternyata bersesuaian dengan jarak antar atom-atom dalam kristal. Dengan alasan itu dia mengusulkan untuk menggunakan kristal untuk mendifraksikan sinar-X dengan kisi kristal berlaku sebagai kisi tiga dimensi.

Sebuah kristal terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masing-masing atom dapat menghamburkan gelombang elektromagnetik yang mengenainya. Berkas sinar-X monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada arah tertentu gelombang hambur itu akan berineraksi konstruktif sedangkan yang lain berinteraksi destruktif. Atom-atom dalam kristal membentuk keluarga bidang datar dengan masing-masing keluarga mempunyai jarak tertentu untuk tiap komponen bidangnya. Analisis ini diusulkan oleh W. L. Bragg pada tahun 1913, yang kemudian bidang-bidang tersebut dinamai bidang Bragg.


(24)

Ketika suatu bidang kristal disinari, maka akan terjadi dua kemungkinan interferensi akibat difraksi atom-atom penyusun kristalnya; pertama interferensi konstruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling menguatkan karena mempunyai fasa yang sama dan kedua intrferensi destruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling melemahkan. Kedua jenis interferensi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8.


(25)

Gambar 2.9. Hamburan sinar-X pada kristal

Syarat yang diperlukan agar sinar-X membentuk interaksi konstruktif dapat dilihat pada Gambar 2.9 diatas. Suatu berkas sinar-X dengan panjang gelombang jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan bidang Bragg yang jarak diantaranya d. Berkas sinar mengenai atom Z pada bidang pertama dan atom B pada bidang berikutnya, dan masing-masing atom akan menghamburkan sebagian berkas tersebut pada arah rambang. Interferensi konstruktif hanya terjadi antara sinar yang terhambur sejajar dengan beda jarak jalannya tepat , β , γ dan seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus n , dengan n sebagai bilangan bulat.

Maka syarat Bragg untuk berkas hamburan konstruktif adalah - Sudut jatuh dan sudut hambur kedua berkas harus sama - βd sin θ = n ; n = 1, β, γ, ... dst

karena sinar II harus menempuh βd sin θ lebih jauh dari sinar I,

bilangan bulat n menyatakan orde berkas sinar yang dihamburkan.


(26)

Gambar 2.10 Skema XRD [23]

2.3. Metode Analisis Rietveld

Metode tradisional untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif pada teknik Difraksi sinar-X biasanya melibatkan pengukuran intensitas dari puncak yang terpilih dan membandingkannya dengan data standar seperti International Committee Difraction Data (ICDD). Bagaimanapun, metoda ini sangat

membosankan, disamping memerlukan data standar yang sangat bervariasi pada saat muncul keganjilan intensitas yang disebabkan oleh penyimpangan sudut. Sehingga terkadang hasil analisisnya sulit untuk dipertanggungjawabkan. Disamping itu pula metode ini tak dapat lagi memberikan hasil yang akurat jika


(27)

terdapat banyak puncak-puncak yang saling tumpang tindih (overlap) sehingga

akan menyebabkan hilangnya rincian informasi yang terkandung di dalam profil puncak difraksi tersebut. Dengan demikian diperkenalkan metode baru untuk menganalisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk.

Dasar untuk analisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk secara lengkap pertama kali diperkenalkan oleh Rietveld tahun 1969. Rietveld menunjukkan bahwa kemungkinan mereplika hasil sebuah pengukuran pola difraksi dengan pola hitungan/kalkulasi. Kelebihannya adalah di kala terjadi kesalahan yang disebabkan oleh penyimpangan intensitas dari preparasi cuplikan atau ketidaksempurnaan model struktur cenderung akan meninggalkan sisa intensitas baik negative maupun positif selama factor-faktor dari kalkulasi tersebut tidak diubah oleh Taylor tahun 1991. Kemudian para peneliti lain seperti Hewat tahun 1973, Wiles & Young tahun 1981, Will, Huang dan Parrish tahun 1983, Hill dan Howard tahun 1986, dan Taylor tahun 1991 melengkapi hasil refinement

program Rietveld ini dengan memberikan sebuah parameter kualitas.

Setiap titik pada pola difraksi dipandang sebagai satu pengamatan tunggal yang kemungkinan mengandung kontribusi dari sejumlah refleksi Bragg yang

berbeda. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah kontribusi intensitas akibat overlap dapat dihitung berdasarkan nilai

parameter-parameter yang didapat dengan asas perhitungan Siroquant. Siroquant adalah

suatu program analisis multi fasa jenis Rietveld yang dapat mereplika pola difraksi hasil pengukuran/observasi dengan memanfaatkan least-square fitting routine, yaitu melakukan penyesuaian faktor skala sampai pola yang dihitung

terbaik mendekati pola difraksi yang terukur. Sehingga perbedaan yang dihasilkan dari pola difraksi observasi dan kalkulasi ditandai dengan derajat tingkat replikasinya. Derajat tingkat replika (degree of fit) dilambangkan dengan sebuah

parameter statistik χ2 (

chi-squared). Idealnya nilai dari chi-squaredχ2 = 1. Namun

nilai ini sangat sulit dicapai, umumnya kurang dari 3. Namun program Rietveld versi Izumi (1994) memberikan parameter lain, dimana goodness of fit yang


(28)

2.3.1. Prinsip Dasar

Prinsip dasar analisis Rietveld adalah mencocokkan (fitting) profil puncak

perhitungan terhadap profil puncak pengamatan. Pencocokan profil tersebut dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear

yang diberi syarat batas. Jadi analisis Rietveld tidak lain adalah problem optimasi fungsi non linear dengan pembatas (constraints). Sehingga minimumkan fungsi

obyektif dapat dinyatakan sebagai berikut :

2

1

( ) N i i( ) i( )

i

f x w y o y c

 (2.3)

dengan wi( 1/ ( )) dan ( ) y oi y oi berturut-turut adalah faktor bobot (weighting factor) dan intensitas pengamatan (observation) pada posisi 2i. Sedangkan yi(c)

merupakan intensitas perhitungan (calculation).

2.3.2. Persamaan Profile Pola Difraksi

Fungsi intensitas secara fisis yang dinyatakan :

2

( )k k( ) ( )k

I  s F hkl ML (2.4)

dengan s, Fk(hkl), M, dan L berturut-turut adalah factor skala, factor struktur,

multiplisitas, dan faktor Lorentz-polarization. Persamaan tersebut menyatakan

bahwa banyaknya elektron akan didifraksikan hanya jika sudut hamburan () sama dengan sudut Bragg (k). Jadi fungsi intensitas tidak lain adalah persamaan intensitas garis. Namun pada kenyataannya bahwa pengukuran intensitas difraksi tersebut tidak terbentuk garis tetapi berupa puncak-puncak Bragg yang melebar.


(29)

Berdasarkan hasil pengembangan program analisis Rietveld ini bahwa fungsi bentuk puncak merupakan fungsi pseudo-voigt yang telah dimodifikasi,

yakni kombinasi linear dari fungsi Gauss dan fungsi Lorentz dengan tinggi puncak

dan lebar penuh setengah tinggi puncak maksimum (FWHM) tidak sama. Fungsi pseudo-Voigt yang telah dimodifikasi dituliskan sebagai berikut :

 

   

2

2 2

2 2

2 exp 4ln 2

( )

2 2

2 2

1 1 4 1

( ) tan

k k k k k k G C H G At H L                                                 (2.5) dengan 1 1

2 (1 ) ( )

( )

4ln 2 2

k k

H L C  H G  

             (2.6) 1 2 2

( ) (tan ) (tan )

k k s k s

H GU  CV  CW (2.7)

( )

( ) k

k

H G H L

 (2.8)

Pada persamaan-persamaan (2.5) hingga (2.8) di atas,  = fraksi komponen Gauss, H Gk( )= FWHM komponen Gauss, H Lk( )= FWHM

komponen Lorentz, Cs 0atau 0,6 dan

2

2 2

1 k tan

k

At  

 

= faktor koreksi bentuk puncak asimetris. Faktor koreksi bentuk asimetris perlu diberikan karena pada sudut hamburan yang sangat rendah dan sangat tinggi, puncak-puncak difraksi menjadi tidak simetris akibat terbatasnya divergensi vertikal berkas. A =


(30)

parameter asimetris dan t = konstanta yang diberi nilai +1, 0 atau -1 tergantung pada apakah selisih (22 )k berturut-turut positif, nol atau negatif.

Persamaan (2.8) menyatakan ketergantungan H Gk( ) pada k, U V dan W disebut parameter FWHM. Bila korelasi antara parameter-parameter FWHM

sangat tinggi, maka Cs sebaiknya diberi nilai 0,6. Dalam persamaan (2.6) terdapat lima buah parameter variabel yakni : U, V, W,  dan . Fungsi bentuk puncak dapat diubah-ubah tergantung pada berapa nilai parameter . Jika  = 1 bentuk puncak memenuhi fungsi Gauss dan bentuk puncak memenuhi fungsi Lorentz jika  diberi nilai 0. Parameter variabel  memiliki daerah nilai : 0 

1.

Untuk pola difraksi neutron, profile puncak difraksinya tepat memenuhi fungsi

Gauss ( = 1).

Dengan demikian nilai intensitas profile pola difraksi pada posisi 2i

dapat dihitung dengan mengalikan persamaan (2.3) dengan persamaan (2.5), setelah dikoreksi dengan fungsi latar belakang yib( )c dan fungsi orientasi

preferredPk, diperoleh : 2

( ) ( ) ( ) (2 ) ( )

i k k k k i ib

k

y c

s F hkl M P LG  y c (2.9)

k

 melambangkan penjumlahan jika terdapat puncak-puncak Bragg yang saling

tumpang tindih. Penjumlahan dilakukan terhadap semua refleksi yang dianggap masih dapat menyumbangkan intensitasnya pada ( )y ci [22].

2.4. Magnetisasi Material

Ketika suatu material ditempatkan pada medan magnet, maka material tersebut akan mengalami magnetisasi. Momen magnet persatuan volume yang terbentuk dalam material disebut magnetisasi M. Pada suatu material dengan n


(31)

magnetic dipole atomic elementer persatuan volume dengan masing-masing m

momen magnet, maka saat momen-momen ini tersusun secara paralel akan memiliki magnetisasi yang disebut magnetisasi saturasi M [25]. Parameter yang penting adalah suseptibilitas magnetic , yang menyatakan kualitas dari suatu

material magnetic, yang dirumuskan :

(2.10)

dimana H adalah kuat medan magnet eksternal.

Medan magnet dapat di deskripsikan sebagai dua vektor, yaitu induksi magnet B dan medan magnet H yang memiliki hubungan seperti pada persamaan dalam kondisi vakum berikut ini

(2.11)

Dimana adalah permeabilitas pada ruang vakum (4 x 10-7 Hz/m)

Ketika sebuah material diletakkan pada medan magnet, maka material tersebut akan mengalami magnetisasi. Magnetisasi ini dinyatakan dengan vektor M, yang menyatakan besaran momen magnet persatuan volume. Induksi magnetik didalam material dinyatakan dengan

(2.12)

Jika magnetisasi diinduksi oleh medan magnet H, maka magnetisasi yang ada akan berbanding lurus dengan medan magnet, yaitu :


(32)

(2.13)

Dimana koefisien disebut suseptibilitas magnetic material. Jadi persamaan B dan H dapat dinyatakan dengan

(2.14)

Pada bahan ferromagnetic, nilai dan tidak memiliki nilai yang konstan. Permeabilitas dan suseptibilitas sangat dipengaruhi oleh medan magnet luar. Kurva magnetisasi mempresentasikan densitas fluks induksi magnet B terhadap kekuatan medan magnet luar untuk bahan ferromagnetic dapat dilihat pada Gambar 2.11.


(33)

Kurva magnetisasi untuk bahan yang belum termagnetisasi disebut dengan

initial curve magnetization. Kurva diawali dengan permeabilitas awal, dengan

bertambahnya medan magnet H, induksi magnetic B dengan cepat naik (disebut dengan easy magnetization) dan selanjutnya menjadi menjadi lebih rendah hingga tercapai nilai maksimum tertentu atau disebut dengan saturasi magnetik. Jika medan magnet H diturunkan kembali, maka fluks induksi magnet B juga ikut turun, tetapi lebih pelan dari medan magnet H nya. Dengan kata lain, menurunnya kurva magnetisasi tidak mengikuti kurva ketika medan magnet dinaikkan pertama kali. Dengan demikian, terdapat sisa/residu induksi medan magnet B (remanen)

ketika medan magnet telah mencapai nol. Untuk mengembalikan B kembali ke nol, diperlukan medan magnet negative yang disebut dengan coercive force. Jika

medan magnet negative terus dinaikkan, maka material akan termagnetisasi dengan arah polaritas kearah negative. Ketika medan magnet dinaikkan hingga nol, maka juga akan didapati residu induksi medan magnet B yang membutuhkan medan magnet positif untuk membuat induksi medan magnet menjadi nol kembali. Kurva seperti ini yang disebut dengan kurva loop histerisis [25].

Berdasarkan koersivitasnya, bahan magnetik dapat dibedakan menjadi soft magnetic dan hard magnetic. Untuk bahan yang memiliki koersivitas yang besar

(di atas 10 kA/m) disebut hard magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki


(34)

Gambar 2.12. Kurva histerisis material hard magnetic dan soft magnetic [25]

2.5. Mechanical Alloying

Proses mechanical alloying dengan mekanisme mechanical milling atau pun

dengan menggunakan high energy ball milling (HEBM) pada prinsipnya adalah

pengurangan ukuran butir atau partikel dan proses substitusi yang diakibatkan oleh tumbukan yang terus menerus antar bola logam (ball mill) dan sampel di

dalam alat milling, seperti pada Gambar 2.13. Aplikasi metode mechanical alloying seperti pada Gambar 2.14 [27].


(35)

(36)

Gambar 2.14. Aplikasi metode mechanical alloying [27]

Parameter yang harus diperhatikan di dalam proses mechanical milling,

yang akan mempengaruhi kualitas produk akhir dari serbuk yang dicampur adalah seperti pada Gambar 2.15 [29].


(37)

Gambar 2.15. Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling [29]

Ball mill adalah alat yang baik untuk grinding banyak material menjadi

bubuk halus. Ball Mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis tambang dan

bahan lainnya. Ada dua jenis proses grinding yaitu proses kering dan proses

basah. Setelah bahan mengalami proses grinding maka bahan padat akan berubah:

ukuran, bentuk partikelnya, dan lain-lainnya.

2.6. Sonikasi

Prinsip kerja sonikasi adalah pemberian gelombang ultrasonik dengan frekuensi sekitar 20 kHz pada cairan sehingga menimbulkan propagasi gelombang dalam bentuk siklus compression (kompresi) - rarefaction (ekspansi) sesuai


(38)

dengan frekuensinya. Siklus ini menciptakan gelembung vakum (cavity).

Gelembung vakum yang dihasilkan memiliki kecepatan yang sangat tinggi (~400 km/h) dan saat gelombang vakum tersebut hancur (implode), akan dihasilkan

temperatur lokal yang sangat tinggi (~5000 oK), tekanan yang sangat tinggi (~1000 atm) serta cooling rate yang sangat cepat (109 K/sec) [30].

Gambar 2.16 memperlihatkan mekanisme pembentukan dan penghancuran gelembung vakum dalam satu siklus sonikasi. Terlihat bahwa gelembung vakum semakin membesar sejalan dengan waktu dengan kompresi dan ekspansi yang mengikuti amplitudo gelombang ultrasoniknya sampai pada saat gelembung tersebut hancur. Jika terdapat partikel atau ion di sekeliling gelembung tersebut maka akan terjadi tumbukan antar partikel dan ion yang akan menghasilkan dua keadaan yaitu pengecilan ukuran partikel atau proses ultrasonic destruction dan

perbeseran partikel atau proses sonochemistry.

Gambar 2.16. Proses terjadinya cavity oleh ultrasonik [19]

Ultrasonic destruction dimulai dari partikel dengan ukuran besar

kemudian diperkecil dengan bantuan sonikasi. Gambar 2.17 memperlihatkan proses pengecilan ukuran partikel dengan proses sonikasi pada TiO2 [31]. Ukuran partikel semakin kecil dengan bertambahnya waktu sonikasi. Ukuran partikel


(39)

berkisar diantara 200 - 250 nm sebelum proses sonikasi. Setelah proses sonikasi ukuran partikel mengalami pengecilan secara berturut-turut menjadi sekitar 50, 20 dan 10 nm dengan bertambahnya waktu sonikasi. Selain itu dimensi partikel semakin berbentuk bola dan distribusi ukuran yang semakin seragam dengan pengecilan ukuran partikel.

Hasil tersebut menunjukan bahwa sonikasi efektif untuk mengecilkan ukuran partikel sampai pada skala nano terutama pada top down synthesis.

Gambar 2. 17. Reduksi partikel dengan sonikasi [31]

Sonochemistry dimulai dari ion atau partikel yang bereaksi atau

beraglomerasi sehingga membentuk partikel yang lebih besar dengan bantuan sonikasi. Gambar 2.18 menunjukan proses untuk menghasilkan partikel dengan ukuran yang lebih besar dengan menggunakan sonikasi pada Zn [32]. Serbuk Zn yang berukuran sekitar 5 m diultrasonik 1.5 jam sehingga menghasilkan aglomerasi dengan ukuran partikel sekitar 50 m.


(40)

Gambar 2.18. Aglomerasi dengan bantuan sonikasi [32]

2.7. Absorpsi Gelombang Elektromagnet

Pada dasarnya suatu material jika dikenai gelombang electromagnet maka akan mengalami interaksi antara material dengan gelombang electromagnet. Misalkan suatu bahan memiliki ketebalan x dikenai gelombang electromagnet dengan intensitas maka gelombang electromagnet akan mengalami attenuasi sehingga intensitas yang keluar dari material menjadi

(2.15)

dengan µ adalah konstanta. Dari persamaan (2.15) terlihat semakin tebal bahan

maka energi gelombang electromagnet semakin banyak yang diserap.

x


(41)

Namun seiring dengan perkembangan zaman, material absorber yang dibutuhkan adalah bahan yang tipis tapi memiliki kemampuan absorpsi yang maksimal. Selain karena ketebalan suatu bahan, absorpsi gelombang elektomagnet juga terjadi akibat interaksi gelombang dengan material yang menghasilkan efek rugi-rugi energy yang umumnya didisipasikan dalam bentuk panas. Dalam hal ini material absorber dibagi menjadi dua yakni material dielektrik dan magnetic. Pada bahan dielektrik energy gelombang electromagnet diserap sehingga terjadi polarisasi yang mengikuti arah medan listrik. Ketika gelombang electromagnet berubah-ubah terhadap waktu maka arah polarisasi juga berubah-ubah sehingga terjadi gesekan antar molekul yang menimbulkan panas.

Gambar 2.20. Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik (telah diolah kembali)

Hal yang analog juga terjadi pada bahan ferromagnetik. Ketika medan magnet mengenai bahan ferromagnet maka energy gelombang electromagnet akan digunakan untuk menyearahkan momen magnet. Untuk material absorber yang baik dibutuhkan bahan magnetic yang memiliki koersifitas yang rendah.

Karakteristik dielektrik dan magnetik suatu bahan direpresentasikan oleh permitifitas kompleks dan permeabilitas kompleks [33]

(2.16)


(42)

Dimana , tanda ‘ dan ‘’ bagian real dan imaginer. Impedansi yang tiba pada material ditunjukkan

(2.18)

Dimana d adalah ketebalan sampel, adalah faktor propagasi kompleks

(2.19)

f adalah frekuensi dan c adalah kecepatan gelombang elektomagnet dalam ruang

vakum.

Reflektifitas radiasi electromagnet, Γ, dalam gelombang normal yang tiba pada permukaan material ditunjukkan

(2.20)

Dan reflection loss- nya, R (dB), didefinisikan sebagai

= (2.21)

Dimana adalah bilangan kompleks dan adalah modulus dari . Sedangkan adalah impedansi pada ruang hampa.


(43)

(2.22)

Nilai H/m dan F/m, sehingga diperoleh

. Kondisi impedansi yang cocok saat menunjukkan bahwa terjadi penyerapan yang sempurna.

Secara umum criteria material absorber yang baik haruslah memiliki permeabilitas dan permitifitas yang tinggi. Selain itu diperlukan resistifitas yang tinggi dan saturasi magnet tinggi.

2.7.1. Permeabilitas

Permeabilitas (H·m−1) atau (N·A−2) adalah ukuran kemampuan suatu bahan untuk mensupport pembentukan medan magnet dalam dirinya. Dengan kata lain adalah tingkat magnetisasi bahan akibat respons terhadap medan magnet yang

diterapkan. Permeabilitas konstan ( 0), juga dikenal sebagai konstanta magnetik atau permeabilitas ruang bebas adalah ukuran jumlah hambatan yang ditemui ketika membentuk medan magnet dalam kondisi vakum (µ0 = 4π×10−7 ≈

1.β566γ70614… × 10−6 H·m−1 or N·A−2). Dalam elektromagnetisme, medan magnet H mempengaruhi sekumpulan dipol magnetik menghadirkan medan magnet B dalam media tertentu, termasuk migrasi dipole dan reorientasi dipole magnetik. Hubungannya dengan permeabilitas adalah

(2.23)

Dalam bahan feromagnetik, hubungan antara B dan H non-linearitas dan membentuk pola hysteresis. Dalam media nonlinear, permeabilitas dapat bergantung pada kekuatan medan magnet. Secara umum, permeabilitas tidak konstan, karena dapat bervariasi terhadap posisi dalam medium, frekuensi medan yang diterapkan, kelembaban, suhu, dan parameter-parameter lainnya.


(44)

Permeabilitas relatif, kadang-kadang dilambangkan dengan simbol r, adalah rasio

permeabilitas media terhadap permeabilitas ruang bebas, 0.

(2.24)

Permeabilitas sebagai fungsi frekuensi dapat berupa nilai-nilai riil atau kompleks. Dalam prakteknya, permeabilitas umumnya sebagai fungsi frekuensi. Pada frekuensi tinggi, medan magnet H dan B saling bertautan satu sama lainnya dengan beberapa jeda waktu sehingga terbentuk permeabilitas kompleks. Sedangkan pada frekuensi rendah, medan magnet H dan B linier dan sebanding satu sama lain melalui beberapa permeabilitas skalar. Sehingga medan magnet H dan B dapat didefinisikan sebagai :

(2.25) Dengan adalah penundaan fase B dari H. Permeabilitas merupakan rasio dari medan magnet B dengan medan magnet H, maka dapat ditulis sebagai

(2.26)

sehingga permeabilitas menjadi bilangan kompleks. Dengan rumus Euler, permeabilitas kompleks dapat diterjemahkan menjadi

(2.27)

Sedangkan rasio antara bagian imajiner terhadap riil dari permeabilitas komplek ini disebut dengan loss tangent permeabilitas.


(45)

2.7.2. Permitivitas

Permitivitas (F.m-1) adalah ukuran kemampuan suatu bahan ketika membentuk medan listrik dalam suatu media. Dengan kata lain, permitivitas adalah ukuran berapa besar medan listrik mempengaruhi dan dipengaruhi oleh media dielektrik. Permitivitas medium menggambarkan seberapa banyak fluks medan listrik yang dihasilkan per unit muatan dalam media itu. Fluks medan listrik berlebih yang ada dalam bahan dengan permitivitas tinggi (per unit muatan) dapat mengakibatkan efek polarisasi. Permitivitas secara langsung berkaitan dengan kerentanan medan listrik yang merupakan ukuran seberapa mudah polarisasi dielektrik terjadi dalam merespon medan listrik. Dengan demikian, permitivitas dapat didefinisikan sebagai :

(2.29)

dengan εr adalah permitivitas relatif bahan, dan ε0 = 8,854187817... × 10-12 F.m-1 adalah permitivitas vakum.

Sebuah spektrum permitivitas dielektrik umumnya sebagai fungsi frekuensi, sehingga permitivitas relatifnya menjadi permitivitas komplek yang dinotasikan

sebagai ε’ dan ε”. ε’ dan ε” berturut-turut menunjukkan permitivitas bagian riil dan imajiner. Dengan demikian permitivitas relatif dapat didefinisikan sebagai :

(2.30) Sedangkan rasio antara bagian imajiner terhadap riil dari permeabilitas komplek ini disebut juga dengan loss tangent permitivitas.

(2.31)

Loss tangent ini yang memberikan ukuran berapa besar daya yang hilang dalam bahan terhadap daya yang diserap.


(46)

2.7.3. Reflection Loss

Telah banyak diketahui bahwa parameter dielektrik dan magnetik meliputi vektor medan listrik E, medan magnet H, medan induksi B, diplacement D, polarisasi P, dan magnetisasi M. Interaksi medan listrik dalam bahan mengikuti pola yang mirip dengan interaksi magnetik dalam bahan. Salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk aplikasi praktis sebagai penyerap gelombang elektromagnetik adalah bahwa bahan ini harus memiliki nilai permeabilitas dan permitivitas setinggi mungkin dengan saturasi magnet yang tinggi. Permitivitas dalam farad per meter dan permeabilitas dalam henry per meter. Dalam hal penyerapan energi gelombang EM, keseluruhan interaksi dapat diwakili oleh impedance matching dari material (Zin) yang bersifat dielektrik dan magnetik dengan impedance udara sebagai fungsi frekuensi. Penyesuai impedansi adalah hal yang penting dalam rentang frekuensi gelombang mikro. Suatu saluran transmisi yang diberi beban yang sama dengan impedansi karakteristik mempunyai standing wave ratio (SWR) sama dengan satu, dan mentransmisikan sejumlah daya tanpa adanya refleksi gelombang. Juga efisiensi penyerapan menjadi optimum jika tidak ada daya yang direfleksikan. Matching mempunyai pengertian memberikan impedansi yang sama dengan impedansi karakteristik gelombang elektromagnetik.

(2.32)

(2.33) (2.34)

Dengan RL, Zin, Zo, o, o, r, r, f, c, dan d berturut-turut adalah reflection loss, impedance bahan absorber, impedance gelombang EM di udara, permeabilitas udara, permitivitas udara, permeabilitas relatif bahan, permitivitas relatif bahan,


(47)

frekuensi, kecepatan cahaya, dan ketebalan bidang absorp bahan. Jadi secara umum impedance bahan absorber dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik ditentukan oleh sifat permeabilitas dan permitivitas bahan absorber, sedangkan faktor ekstrinsik ditentukan oleh faktor ketebalan bidang bahan absorp.

2.8. Gelombang Mikro

Gelombang electromagnet ketika sampai pada material maka sebagian gelombang tersebut akan direfleksikan dan sebagian lagi diabsorpsi. Karakter ini bisa kita manfaatkan untuk mengurangi pantulan radiasi. Beberapa material memantulkan banyak radiasi namun ada juga yang hampir tidak memantulkan sama sekali. Sebagai contoh air, yang hampir tidak memantulkan radiasi sama sekali oleh karena itu air termasuk absorber yang bagus. Material magnetic misalnya ferit juga dapat menyerap gelombang electromagnet. Hal ini dikarenakan adanya perubahan arah momen magnetic ketika dikenai medan electromagnet [34].

Gelombang mikro adalah bagian dari gelombang electromagnet yang memiliki daerah frekuensi sekitar 0,3-300 GHz atau panjang gelombang 1m-1mm. Gelombang mikro digunakan pertama kali untuk teknologi RADAR pada awal perang dunia kedua. Saat ini gelombang mikro umum digunakan sebagai oven

microwave atau pun perangkat-perangkat komunikasi dan teknologi informasi.

Gelombang mikro dibagi dalam beberapa daerah jangkauan yang telah ditetapkan secara internasional (Tabel 2.3).


(48)

Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro [35].

Simbol Daerah Frekuensi (GHz)

L 1.22 - 1.70

R 1.70 - 2.60

S 2.60 - 3.95

H 3.95 - 5.85

C 5.85 - 8.20

X 8.20 - 12.4

Ku 12.4 - 18.0

K 18.0 - 26.5

Ka 26.5 - 40.0

U 40.0 - 60.0

E 60.0 - 90.0

F 90.0 - 140.0

G 140.0- 220.0

2.9. Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah suatu alat yang digunakan

untuk mengamati dan menganalisis karakteristik strukturmikro dari material baik yang konduktif maupun non konduktif. Dibandingkan dengan MO, SEM mempunyai daya pisah (resolusi) yang lebih tinggi yaitu 5nm, sehingga SEM dapat menghasilkan perbesaran hingga 500.000 kali. Perbedaan daya pisah ini


(49)

ditimbulkan dari sumber radiasi yang berbeda. Elektron sebagai sumber radiasi pada SEM mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada sinar foton pada MO.

Berkas elektron primer yang datang mengenai permukaan benda uji akan berinteraksi dan menghasilkan berbagai macam sinyal secara serentak, sinyal-sinyal tersebut diantaranya adalah elektron, sinar-X dan foton. Secara skematik ditunjukan pada Gambar 2.21. Interaksi elektron primer dengan benda uji tersebut mengakibatkan hamburan elektron (elastic scattering) dan hamburan

nonelastik (inelastic scattering).

Hamburan elastik ditimbulkan akibat adanya tumbukan berkas elektron primer dengan inti atom benda uji (sampel) tanpa perubahan energi. Pada saat terjadinya hamburan elastik, arah komponen kecepatan elektron, v, akan berubah, tetapi besarnya |v| relatif konstan, sehingga energi kinetik E = 1/2 mev2, dengan me adalah massa elektron, tidak berubah. Dalam hal ini energi sebesar <1eV


(50)

dipindahkan dari elektron [primer ke benda uji, perpindahan energi ini relatif kecil bila dibandingkan dengan energi elektron primer sebesar 10 keV, karenanya perpindahan enrgi tersebut dapat diabaikan. Hamburan elektron dari permukaan benda uji setelah berkas elektron primer masuk ke dalam benda uji dan melintasi

jarak beberapa nm dengan distribusi energi 0≤E≤Eo, dimana Eo adalah energi elektron p[rimer, disebut sebagai backscattered electron (elektron terhambur balik

– BSE).

Hamburan nonelastik (inelastic scattering) diakibatkan adanya tumbukan

elektron primer dengan elektron benda uji. Dalam proses tumbukan ini terjadi perpindahan energi dari elektron primer ke atom dan elektron benda uji, sehingga terjadi penurunan energi kinetik dari berkas elektron. Energi yang berada dalam benda uji tersebut akan didistribusikan dan menghasilkan sinyal-sinyal yang digunakan untuk analisis mikro. Sinyal-sinyal tersebut adalah secondary electron

(elektron sekunder SE), Auger electron, continuum X-ray atau bremsstrahlung, characteristic X-ray dan secondary fluorescence emission.

Secondary electron (elektron sekunder) adalah elektron yang dipancarkan

dari benda uji akibat dari interaksi antara berkas elektron primer dengan elektron-elektron pada pita penghantar benda uji. Interaksi ini hanya menghasilkan perpindahan energi yang relatif rendah (3-5 eV) ke elektron pita penghantar. Karena elektron sekunder ini mempunyai energi rendah, maka elektron-elektron ini mudah dibelokan pada sudut tertentu dan menimbulkan bayangan topografi, dengan kata lain elektron sekunder dari suatu area tertentu akan memberikan informasi benda uji pada area tersebut dalam bentuk image (citra) .

Mekanisme terbentuknya citra pada SEM meliputi beberapa hal penting diantaranya; sistem scanning untukpembentukan citra, mekanisme kontras sebagai hasil interaksi elektron dan benda uji, karakteristik detektor dan pengaruhnya terhadap kualitas citra, kualitas sinyal dan pengaruhnya terhadap kualitas citra dan proses pen-sinyal-an untuk tampilan pada layar monitor. Ilustrasi proses pembentukan citra pada SEM diilustrasikan pada Gambar 2.22.


(51)

2.10. Teori Double Exchange (DE)

Mekanisme Double Exchange (DE) merupakan tipe magnetik exchange

yang muncul diantara ion yang berdekatan dengan keadaan oksidasi yang berbeda [36]. Teori ini pertama kali diajukan oleh Zener (1951) dan mempunyai implikasi yang penting dari sifat magnetik dari suatu material. Energi sistem berada pada nilai terendah jika spin inti yang bertetangga saling sejajar atau parallel. Demikian juga dengan keadaan spin elektron, energi akan menjadi lebih rendah ketika spin elektron parallel dengan spin inti ion Mn [37]. Teori ini sesuai dengan aturan Hund untuk membuat energi sistem menjadi seminimal mungkin. Aturan pertama Hund menyatakan bahwa energi akan minimum bila susunan spin-spin elektron saling sejajar satu dengan yang lainnya.


(52)

Teori Double Exchange (DE) merupakan salah satu dari sekian banyak

teori pertukaran yang ada dalam material. Mekanisme Double Exchange (DE)

pada material perovskite manganites terjadi perpindahan spin elektron yang

parallel pada tetangga terdekat dengan melakukan dua kali hopping secara

bersamaan dari Mn3+ ke Mn4+ melalui O2-. Pada sistem sampel LaSrMnO3, yang berperan sebagai ion ialah atom Mn karena atom Mn telah menjadi ion Mn3+ dan Mn4+ akibat adanya doping unsur Sr pada site La.

Zener (1951) telah mendapatkan persamaan yang menggambarkan korelasi antara konduktivitas listrik terhadap sifat magnetiknya, yang dikaitkan terhadap temperatur Curie (Tc) ferromagnetik pada sistem sampel La1-xAxMnO3 (A = Ca atau Sr), tetapi hanya berlaku untuk variasi doping Berikut persamaan yang menyatakan hubungan tersebut

(2.35)

Dimana x adalah konsentrasi doping A (untuk ),

, h = konstanta Planck, e = muatan elektron, T adalah

temperature, dan Tc adalah temperature Curie. Berdasarkan persamaan (2.16)

dapat diketahui bahwa untuk sistem sampel La1-xAxMnO3 dimana membuka hubungan linier antara magnetoresistansi terhadap magnetisasi dari sampel, sehingga dapat disimpulkan konduktivitas listrik dan sifat magnetik sampel saling berhubungan.


(53)

Gambar 2.23. Skema Teori Double Exchange (DE) [38]

Gambar 2.23 mengilustrasikan mekanisme Double Exchange (DE) yang

terjadi pada Mn3+-O-Mn4+. Elektron dari orbital eg pada ion Mn3+ melompat ke orbital O2- dan secara bersamaan elektron pada orbital 2p O2- melompat ke orbital eg ion Mn4+ yang kosong. Kedua elektron yang terlibat dalam pertukaran harus memiliki spin yang sama (sesuai prinsip larangan pauli). Hal ini menyebabkan terjadinya sifat feromagnetik dari elektron eg [35].

Teori lebih lanjut telah dilakukan oleh Anderson & Hasegawa yang menyatakan bahwa sudut antara spin inti ion Mn tetangga terdekat turut mempengaruhi pada proses Double Exchange (DE) [39]. Hal ini diperkuat oleh

de Gennes [40] membahas tentang batas besarnya coupling Hund (JH), spin

elektron pada eg terikat pada inti spin t2g yang mengubah parameter hopping (t), yang dipenuhi oleh persamaan berikut :

(2.36)

Dimana θij adalah sudut antara spin inti pada t2g yang berdekatan dengan ion


(54)

kinetik pada elektron eg adalah sebanding terhadap t. Dengan demikian, jika spin

tersusun secara feromagnetik (spin parallel) maka nilai t akan maksimum

sehingga resistivitas sampel bernilai minimum [39].

2.11. Teori Interaksi Superexchange

Superexchange merupakan coupling kuat antara interaksi spin

antiferomagnetik terhadap tetangga terdekat kation melalui anion non magnetik [41]. Gagasan bahwa pertukaran dapat dimediasi oleh sebuah atom non magnetik telah diajukan pada tahun 1934, dan secara resmi dikembangkan oleh Anderson pada tahun 1950.

Pada superexchange, interaksi magnetik antara ion yang berdekatan di

mediasi oleh ion non-magnetik dengan spin elektron yang berpasangan. Hal ini merupakan interaksi yang lazim terjadi pada oksida manganiat terisolasi, dimana ion penghubungnya adalah O2-. Pada kasus manganat, orbital yang telibat adalah orbital eg yang kosong dari ion Mn dan orbital 2p pada O2- yang terisi. Jadi elektron pada orbital 2p pada O2- terbagi diantara dua ion Mn yang berdekatan yang mengisi orbital eg yang kosong. Ini merupakan transfer elektron secara tidak langsung yang menjadi ciri khas dari mekanisme interaksi superexchange [36].


(55)

Gambar 2.24. Mekanisme interaksi superexchange (a) sesama ion Mn3+

dan (b) sesama ion Mn4+ [41].

2.12. Ligand Field Theory (LFT)

Ligand Field Theory (LFT) merupakan salah satu teori yang digunakan

untuk menjelaskan struktur elektronik kompleks [42]. Awalnya teori ini adalah aplikasi dari Crystal Field Theory (CFT). Menurut LFT, interaksi antara metal

transisi dan ligand muncul karena adanya gaya tarik antara muatan positif pada metal sebagai kation bebas dengan muatan negatif pada elektron yang tidak berikatan pada ligand. Ketika ligand tertarik mendekati ion metal, elektron-elektron pada ligand juga akan semakin mendekati elektron-elektron-elektron-elektron yang ada pada orbital d, sehingga menghasilkan gaya tolak diantara kedua muatan yang sama tersebut. Elektron-elektron pada orbital d yang mempunyai jarak paling dekat dengan ligand akan memiliki energi yang lebih tinggi di bandingkan dengan yang lain, sehingga akan terjadi perbedaan energi. Perbedaan energi ini disebut d-orbital splitting energy.

Oktahedral kompleks merupakan bentuk paling umum yang membentuk ikatan dengan metal-metal transisi. Lima orbital d dalam kation logam transisi


(56)

terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, dimana probabilities density

elektron berbanding lurus dengan satuan level energi yang akan ditempati elektron pada orbital d tersebut, dan adanya ligand akan menimbulkan pemisahan level energi pada beberapa sub orbitalnya.

Gambar 2.25. Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan kompleks [42]

Gambar 2.25 di atas menyatakan bahwa medan listrik negatif sferik di sekitar kation logam akan menghasilkan tingkat energi total yang lebih rendah dari tingkat energi kation bebas yang disebabkan karena adanya interaksi elektrostatis. Interaksi repulsif antara elektron dalam orbital logam dan medan listrik mendestabilkan sistem dan sedikit banyak mengkompensasi stabilisasinya. Sekarang ion tidak berada dalam medan negatif yang seragam, tetapi dalam logam yang dihasilkan oleh enam ligand yang terkoordinasi secara octahedral pada atom logam. Medan negatif dari ligand disebut medan ligand. Level energi yang lebih rendah diberi simbol t2g (triply degenerate orbital) dan level energi

yang lebih tinggi diberi simbol eg (exited degenerate orbital).

Bila ligand ditempatkan di sumbu, reaksi repulsifnya lebih besar untuk orbital eg dari pada untuk t2g , dan orbital eg di stabilkan dan orbital t2g distabilkan dengan penstabilan yang sama. Perbedaan


(57)

energi antara orbital t2g dan eg sangat penting dan energi rata-rata orbital-obital ini dianggap sebagai skala nol. Bila perbedaan energi dua orbital eg dan tiga orbital t2gdianggap Δo, tingkat energi eg adalah dan energi total t2g adalah .

Gambar 2.26. Splitting octahedral pada level d5 [42]

Ion logam transisi memiliki 0 sampai 10 elektron d dan bila orbital d yang terbelah diisi dari tingkat energi rendah, konfigurasi elektron yang berkaitan dengan masing-masing ion didapatkan. Jika tingkat energi nol ditentukan sebagai tingkat energi rata-rata, energi konfigurasi elektron relatif terhadap energi nol adalah

(2.37)

Nilai ini disebut energi penstabilan medan ligand (Ligand Field Stabilization Energy LFSE). Konfigurasi elektron dengan nilai LFSE lebih kecil (dengan


(58)

memperhitungkan tanda minusnya). LFSE merupakan parameter penting untuk menjelaskan kompleks medan transisi.

Syarat lain selain tingkat energi yang diperlukan untuk menjelaskan pengisian elektron dalam orbital t2g dan eg adalah energi pemasangan (pairing energy Pe), yaitu energi yang diperlukan untuk memasangkan dua elektron dalam level energi yang sama namun dengan syarat spin berlawanan. Ada dua kemungkinan yang muncul bila ada 4 jumlah elektron di orbital d. orbital yang energinya lebih rendah t2g lebih disukai, tetapi pengisian orbital ini akan memerlukan energi pemasangan (Pe). Energi totalnya menjadi

(2.38)

Bila elektron mengisi orbital yang energinya lebih tinggi eg, maka energi totalnya menjadi

(2.39)

Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material

perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)

karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [42].

Pada keadaan high-spin state ∆O > Pe, konfigurasi t2g4 lebih disukai dan

konfigurasinya disebut medan kuat (strong field) karena gaya tolakan yang terjadi

lebih besar dibandingkan pada kasus low-spin state. Sedangkan pada keadaan low-spin state ∆O < Pe yaitu konfigurasi t2g3 eg1 lebih disukai dan disebut konfigurasi


(59)

Gambar 2.27. Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk

d4 sistem [42]

Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material

perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)

karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [42].

Pada sifat elektrik dari lantanum manganat La1-xSrxMnO3 sangat terkait dengan adanya ion manganese dengan valensi yang berbeda. Untuk x = 0 dan 1 ion manganese hanya memiliki satu jenis valensi dan biasanya bersifat

antiferromagnetic-insulator (AF-I). Untuk konsentrasi doping intermediate, ion

manganese muncul dengan valensi yang berbeda, dan mengubah sifatnya menjadi

ferromagnetic- metallic (F-M). Orbital yang aktif secara elektronik adalah orbital d manganese, dimana konfigurasi keadaan dasar dari trivalent dan quadrivalent

Mn adalah 3d4 dan 3d3.

Kelima orbital d masing-masing dapat mengakomodasi elektron dengan satu spin up dan satu spin down akan terpecah (splitting) akibat adanya medan

kristal octahedral yang berasal dari 6 atom oksigen yang berada disekeliling ion

Mn. Pemisahan energi ini membagi orbital d menjadi tiga orbital pada energi rendah t2g dan dua orbital pada level energi yang lebih tinggi eg


(60)

. Terjadinya pemisahan orbital ini berada pada orde 1,5 eV, sehingga elektron mengisi pada keadaan orbital dengan spin maksimum sesuai dengan aturan Hund. Oleh karena itu, konfigurasi elektronik pada Mn3+ adalah

, dan Mn4+ adalah

[3].

Gambar 2.28. Struktur elektronik dari Mn3+ dan Mn4+ sebelum dan

setelah adanya distorsi Jahn-Teller [3]

Gambar 2.28 mengilustrasikan splitting Jahn-Teller, energi dari Mn3+

menjadi lebih rendah sekitar 0,6 eV, sedangkan Mn4+ tidak mengalami apapun akibat distorsi octahedron oksigen [42].

2.13. Lantanum Manganat

Lantanum manganat, La1-xAxMnO3, dapat dianggap sebagai sistem biner yang terdiri dari larutan padat LaMnO3 dan AMnO3, untuk x = 0 dan x = 1. G.H Jonker dan J.H Van Saten [43] adalah pelopor penelitian bahan perovskite pada


(61)

tahun 1950, dengan menerbitkan kilasan dari sistem biner bahan perovskite

seperti LaMnO3 – CaMnO3, LaMnO3 – SrMnO3, dan LaMnO3 – BaMnO3.

2.13.1. Struktur Kristal Lantanum Manganat

Struktur kristal lantanum manganat merupakan turunan dari struktur

perovskite, yang memiliki formula umum ABO3. Gambar 2.29 menunjukkan

struktur perovskite kubik yang ideal. Dalam lantanum manganat kedudukan A

diisi oleh ion La3+ dan jika x>0 maka disubstitusi kation Ca2+, Sr2+, Ba2+, dan lain-lain. Sedangkan kedudukan B diisi oleh ion Mn.

Gambar 2.29. Struktur perovskite ideal [3]

Kestabilan struktur perovskite tergantung pada ukuran ion kedudukan A

dan B. Jika ada ketidakcocokan antara ukuran ion kedudukan A dan B dalam kisi dimana mereka berada maka stuktur perovskite akan mengalami distorsi. Goldschmidt[4] mendefinisikan faktor toleransi sebagai berikut


(62)

Dengan rA dan rB adalah jari-jari ion kedudukan A dan kedudukan B, secara

bertuturut-turut., dan rO adalah jari-jari ion oksigen. Struktur perovskite kubik

yang ideal didapatkan jika harga t*=1.

.Norby dkk [5] melaporkan bahwa material dasar dari lantanum manganat, LaMnO3, memiliki struktur ortorombik pada suhu ruang. Berbeda halnya dengan lanthanum manganat yang telah didoping oleh ion lain, strukturnya tergantung dari ion dopingnya, variasi konsentrasi ion doping, temperatur, dan lain-lain. Untuk La1-xSrxMnO3 ketika harga x sekitar 0,1 memiki struktur ortorombik namun saat x=0,175 memiliki struktur rombohedral [6]. Ju dkk [7]memperoleh struktur La0,62Ba0,38MnO3 adalah kubik dengan parameter kisinya 3,906 Å. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sergei [44] La1-xBaxMnO3, saat 0≤x≤0,05 memiliki

struktur ortorombik, saat 0,1≤x≤0,β5 strukturnya rombohedral sedangkan saat 0,β7≤x≤0,5 strukturnya kubik. Transformasi fasa struktur ini biasanya disertai

dengan perubahan fasa magnetik dan elektriknya.

2.13.2. Sifat Magnetik Lantanum Manganat

Karakteristik mendasar dari manganat dengan valensi campuran adalah hubungan yang dekat antara transport elektronik dan kemagnetan. Ciri utamanya adalah transisi simultan dari antiferomagnetik dengan sifat isolator ke feromagnetik dengan sifat konduktor akibat adanya substitusi pada kedudukan A. Teori dasar dari fenomena ini telah dikemukan oleh Zener tahun 1951 [36] , yang memperkenalkan konsep double exchange, yaitu terjadi karena transfer elektron

yang bergantung pada spin dari ion Mn3+ ke Mn4+ pada tetangga terdekat melalui ion O2-. Teori ini selanjutnya diperbarui oleh Anderson dan Hasegawa tahun 1953 [39] dan de Gennes tahun 1960 [40] yang melibatkan distorsi Jahn-Taller. Schiffer dan Ramirez [45] pada tahun 1995 melakukan penelitian tentang diagram fase magnetik dari La1-x CaxMnO3 dengan variasi konsentrasi 0≤x≤1 (Gambar 2.30). Ketika x=0 dan x=0,1 bahan bersifat feromagneti isolator pada temperature rendah dengan temperature Currie sekitar 160K. Diantara x=0,2 dan x=0,45 bahan bersifat feromagnetik logam dan menunjukkan fenomena colossal


(63)

magnetoresistance (CMR). Untuk x lebih besar dari 0,45 bahan bersifat

antiferomanetik isolator.

Gambar 2.30. Diagram fase La1-x CaxMnO3 [45]

Penelitian diagram fase magnetik La1-xBaxMnO3 (Gambar 2.31) dilakukan oleh Ju dkk[46]. Sampel keramik padatan La1-xBaxMnO3 (x=0; 0,06; 0,13; 0,19; 0,25; 0,31; 0,38; 0,44; 0,5; 0,63; 0,75; 0,88; 1,0) dibuat dengan metode solid state reaction. Bahan La2O3, BaCO3, dan MnCO3 dicampur selanjutnya dipanaskan pada suhu 1100oC-1300oC kemudian dikalsinasi pada suhu 1400oC-1550oC. Sifat magnetic dikarakterisasi dengan menggunakan SQUID (superconducting quantum interference device). Ditemukan bahwa bahan bersifat feromagnetik untuk seluruh harga x, namun terdapat tiga fase. Untuk wilayah konsentrasi doping yang rendah

bahan bersifat feromagnetik isolator, wilayah 0,β≤x≤0,5 bahan bersifat

feromagnetik logam, sedangkan untuk konsentrasi doping yang tinggi bahan bersifat feromagnetik dengan multiphase.


(64)

Gambar 2.31. Diagram fase La1-xBaxMnO3 [46]

Urushibara dkk [6] pada tahun 1995 melakukan pendopingan Sr terhadap LaMnO3, ketika doping Sr kecil bahan bersifat isolator. Saat x mencapai titik kritis yakni sekitar 0,17 bahan bersifat metalik diserta dengan munculnya sifat feromagnetik. Digram fase dari La1-xSrxMnO3 dapat dilihat pada Gambar 2.32.


(65)

Gambar 2.32. Diagram fase La1-xSrxMnO3 [6]

2.13.3. Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [17] menemukan bahwa nanopartikel La0,6Sr0,4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai 12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41,1 dB pada frekuensi 8,2 GHz dengan ketebalan 2,2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada daerah frekuensi 5,5-11,3 GHz (Gambar 2.33). Dalam laporannya Cheng juga mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya semakin baik.


(66)

Gambar 2.33. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang mikro

pada La0,6Sr0,4MnO3 [17]

Zhou dkk pada tahun 2007 [12] melaporkan bahwa nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3 memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18 GHz, dengan puncak 13 dB pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing

diatas 10 dB pada frekuensi 1,8 GHz. Nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3 dibuat dengan metode sol-gel dari bahan dasar La2O3, Mn(C2H4O2)2, dan Ba(OH)2 dengan berat fraksi mol 2:5:1. Bahan dasar tersebut dicampur bersama pada suhu 70oC selama 6 jam dan selanjutnya dikalsinasi pada suhu 800oC selama 2 jam. Kurva hubungan antara frekuensi dan flection lossnya dapat dilihat pada Gambar 2.34.


(67)

Gambar 2.34. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro

pada La0,8Ba0,2MnO3 [12]

2.14. Mekanisme serapan gelombang mikro

Gelombang mikro adalah gelombang EM yang berada pada jangkauan 300 MHz – 300 GHz dengan panjang gelombang antara 1m – 1mm [47]. Gelombang mikro mematuhi hukum-hukum optik seperti transmisi, absorpsi dan refleksi yang tergantung pada karakteristik material.

Ilustrasi skematis pada Gambar 2.35 memperlihatkan bahwa material-material yang bersifat transparan akan meneruskan gelombang mikro secara sempurna tanpa ada yang diserap dan didisipasikan dalam bentuk panas. Hal yang sama terjadi pada konduktor namun tidak ada gelombang mikro yang diteruskan maupun diserap, melainkan dipantulkan kembali dengan sempurna, sehingga material yang bersifat konduktif seperti logam merupakan reflektor yang baik.


(68)

Gambar 2. 35 Jenis interaksi gelombang pada material [48]

Idealnya material penyerap gelombang mikro harus memiliki komponen magnetik dan dielektrik yang sesuai dengan jangkauan frekuensi gelombang mikro yang akan berinteraksi dengan material tersebut.

Mekanisme serapan yang terjadi pada material penyerap gelombang mikro akan lebih mudah dipahami jika membagi interaksi gelombang mikro dan material penyerap ke dalam komponen elektrik dan magnetik.

2.14.1 Rugi-rugi akibat osilasi medan elektrik

Terdapat dua mekanisme yang terjadi pada rugi-rugi material non-magnetik, yaitu: rugi-rugi dielektrik dan rugi-rugi konduksi. Rugi-rugi konduksi mendominasi bahan dengan nilai konduktifitas tinggi seperti logam, sedangkan rugi-rugi dipolar mendominasi bahan dielektrik seperti isolator.

Jika gelombang mikro berinteraksi dengan material dielektrik, maka medan internal yang ditimbulkan akan menginduksi gerak translasi dari muatan bebas atau berikatan seperti elektron atau ion, dan membuat muatan kompleks seperti dipol berotasi. Momen inersia, tahanan elastis dan gaya gesek di dalam material akan melawan efek yang dihasilkan oleh medan induksi tersebut dan menghasilkan efek rugi-rugi elektrik.

Ilustrasi pada Gambar 2.36 memperlihatkan polarisasi medan litrik terhadap sebuah dipol. Pada frekuensi rendah, arah medan listrik berubah dengan

Material Type Penetration

Transparent (no Heat) Conductor (no Heat) Absorber

(material are heated)

Total Transmission

None

Partial to total absorption


(1)

148

REFERENSI

[1] J. Zhang, F. Wang, P. Zhang, and Q. Yan, “Effect of Fe doping on magnetic properties and magnetoresistance in La1.2Sr1.8Mn2O7,” J. Appl. Phys. 86, pp. 1604-1606, 1999.

[2] A. Tiwari and K. P. Rajeev, “Metal-insulator in La0.67Sr0.33Mn1-xFexO3,” J. Appl. Phys. 86 , pp. 5175-5178, 1999.

[3] A. R. Dinesen, “Magnetocaloric and magnetoresistive properties La0.67Ca0.33-xSrxMnO3,” Disertasi: Technical University of Denmark, 2004. [4] V. Goldschmidt, Geochemistry, Oxford University Press, 1958.

[5] P. Norby, I. G. Krogh Andersen, E. K. Andersen, and N. H. Andersen,

“The crystal structure of lanthanum manganate (III), LaMnO3, at room temperature and at 1273K under N2,” J. Solid State Chem. 119 , pp. 191-196, 1995.

[6] A. Urushibara, Y. Moritomo, T. Arima, A. Asamitsu, and Y. Tokura,

“Insulator-metal transition and giant magnetoresistance in La1-xSrxMnO3,” Physical Review B 51, pp. 14103–14109, 1995

[7] H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, and H. S. Shin, “Anomalous magnetic

properties and magnetic phase diagram of La1-xBaxMnO3,” J. Magnetism & Mag. Mat. 219 , pp. 1-8, 2000.

[8] I. A. Serrano, M. L. Lopez, C. Pico, and M. L. Veiga, “CMR in a manganite with 50% of Ti in the Mn sites,” Solid State Sciences 8, pp. 37-43, 2006.

[9] H. Jifan and H. Qin, “Enhancement of room temperature

megnetoresistance in La0.67Sr0.33Mn1-xTixO3 manganites," J. Mat. Sci. Eng. B 90, pp. 146-148, 2002.


(2)

149

[10] K. S. Zhou, D. Wang, L. S. Yin, D. M. Kong, and K. L. Huang, The Chinese Journal of Nonferrous Metals 16 , pp. 754-757, 2006.

[11] K. S. Zhou, D. Wang, K. L. Huang, L. S Yin, Y. P. Zhou, and S. H. Gao,

“Characteristics of permittivity and permeability spectra in range of 2-18 GHz microwave frequency for La1-xSrxMn1-yByO3 (B = Fe, Co, Ni),” Trans. Nonferrous Met. Soc. China 17 , pp. 1294-1299, 2007.

[12] K. S. Zhou, J. Deng, L. S. Yin, S. H. Mao, and S. H. Gao, “Microwave

absorbing properties of La0.8Ba0.2MnO3 nanoparticles,” Trans.

Nonferrous Met. Soc. China 17 , pp. 947-950, 2007.

[13] Y. L. Cheng, J. M. Dai, D. J. Wu, and Y. P. Sun, “Electomagnetic and

microwave absorption properties of carbonyl iron/La0.6Sr0.4MnO3

composites,” J. Magnetism and Magnet Mat. 322, pp. 97-101, 2010. [14] D. I. Kim, S. J. Kim, and J. M. Song, “Dependence on preparation

temperature of the microwave absorption properties in absorbers for

mobile phones,” J. Korean Phys. Soc 43, pp. 269-272, 2003.

[15] L. W. Deng, J. J. Jiang, S. C. Fan, Z. K. Feng, W. Y. Xie, X. C. Zhang, and H. H. He, “GHz microwave permeability of CoFeZr amorphous materials synthesized by two-step mechanical alloying,” J. Magnetism and Magnet Mat. 264, pp 50-54, 2003.

[16] M. R, Meshram, N. K. Agrawal, B. Sinha, and P. S. Misra, “A syudy on the behavior of M-type barium hexagonal ferrite based microwave

absorbing paints,” Bull. Mater. Sci. 25, pp. 207-214, 2001.

[17] Y. L. Cheng, J. M. Dai, X. B. Zhu, D. J. Wu, Z. R. Yang, and Y. P. Sun,

“Enhanced microwave absorption properties of intrinsically core/shell

structured La0,6Sr0,4MnO3 nanoparticles,” Nanoscale Res. Lett. 4, pp. 1153-1158, 2009.


(3)

150

[19] D. A. Cobley and P. T. Mason, (den 23 March 2010). I-Connect007. Hämtat från I-Connect007: http://www.pcbdesign007.com den 10 June 2013

[20] C. Kittle, Introduction Solid State Physic, Addison Wesley, 1994

[21] M. Hikam, Kristalografi dan Teknik Difraksi, Universitas Indonesia ,2007. [22] A. Beiser, Modern Physics, 1987.

[23] B. D..Cullity, Element of XRD, Addison Wesley, 1956. [24] GSAS Manual

[25] W. D. Callister, Material Science and Engineering, Wiley and Son ,2000. [26] G. Bertotti, Hysteresis in Magnetism for Physicists, Materials Scientists,

and Engineers, 1998.

[27] P. R. Soni, Mechanical Alloying Fundamentals and Applications, 2001. [28] Suryanarayana, Mechanical Alloying and Milling, 2004.

[29] M. S. El-Eskandarany, Mechanical Alloying for Fabrication of Advanced Engineering , 2001.

[30] T. Heielscher, ”Ultrasonic Production of Nano-Size Dispersions and Emulsions, Dans European Nano Systems Workshop, 2005.

[31] A. Primo, A. Corma, and H. Garcia, Titania supported gold nanoparticles as photocatalyst,” Physical Chemistry Chemical Physics 13, pp. 886-910, 2011.

[32] T. Prozorov, R. Prozoro, and K. S. Suslick, ”High Velocity Interparticle

Collisions Driven by Ultrasound, American Chemical Society 126, pp. 13890-13891, 2004.


(4)

151

[33] Y. C. Qing, W. C. Zhou, S. Jia, F. Luo, and D. M. Zhu, “Electromagnetic

and microwave absorption properties of carbonyl iron and carbon fiber

filled epoxy/silicone resin coatings,” Appl. Phys. A 100, pp. 1177-1181, 2010

[34] N. Andersson, R. Andersson, V. Bergman, M. Ek, and K. Mamberg, Royal Institute of Technology Stockholm Sweden, 2006.

[35] Y. Liu, D.J. Sellmyer, and D. Shindo, Handbook of Advance Magnetic Materials, Springer , 2006.

[36] C. Zener, “Interaction between the d-shells in the transition metal. II.

Ferromagnetic compound of manganese with perovskite structure,” J. Phys. Rev. 82 , pp. 403-405, 1951.

[37] M. B. Salamon, “The physics of manganites: structure and transport,”

Review of Modern Physics 73 ,2001.

[38] J.C. Chapman, Phase Coexistence in Manganites, University of Cambridge, 2005.

[39] P. W. Anderson and H. Hasegawa, “Consideration on double exchange,’ Physical Review 100 , pp. 675681, 1955

[40] P. G. de Gennes, “Effect of double exchange in magnetic crystals,” Physical Review 118 , pp. 141-154, 1960.

[41] P. W. Anderson, “ Antiferromagnetism, Theory of superexchange,” Phys. Rev. 75 ,1950.

[42] Ismunandar, Kimia Anorganik, 2004

[43] G. H. Jonker and J. H. van Santen, “Ferromagnetic compound of manganese with perovskite structure,” Physica XVI , pp. 337-349, 1950.


(5)

152

[44] S. V. Trukhanov, “Magnetic and magnetotransport properties of La1-xBaxMnO3-x/2 perovskite manganites,” J. Mat. Chem. 13 , pp. 347-352, 2003.

[45] P. Schiffer, A. P. Ramirez, W. Bao, and S. W. Cheong, “Low temperature

magnetoresistance and the magnetic phase diagram of La1-xCaxMnO3,” Phys. Rev. Lett. 75 , pp. 3336-3339, 1995

[46] H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, H. S. Shin, “Anomalous magnetic

properties and magnetic phase diagram of La1-xBaxMnO3,” J. Magnetism & Mag. Mat. 219 , pp 1-8, 2000.

[47] ITU International Telecommunications Union. Hämtat från International Telecommunications Union: http://www.itu.int, den 20 November 2013. [48] K. E. Haque, ”Microwave energy for mineral treatment processes—a brief

review,” International Journal of Mineral Processing 57, pp. 1-24, 1999. [49] Agilent Technology, Basic of measuring dielectric properties of materials.

Agilent, 2006.

[50] A. J. Moulson and J. M. Herbert, Electroceramics 2nd Edition: Materials. Properties. Application. England: John Wiley and Sons, 2003.

[51] Y. Liu, , D. J. Sellmyer, and D. Shindo, Handbook of advance magnetic material Vol 1: Nanostructural effects. New York: Springer, 2006.

[52] NDT Education. About Us: Nondestructive Testing (NDT) Education Resource Center. Hämtat från Nondestructive Testing (NDT) Education Resource Center: http://www.ndt-ed.org, den 9 May 2013

[53] J. R. Truedson, K. D. McKinstry, P. Kabos, and C. E. Patton, ”High-field effective linewidth and eddy current losses in moderate conductive single-crystal M-type barium hexagonal ferrite disks at 10-60 GHz,” Journal Applied Physics 74, pp 1-8, 1993.


(6)

153

[54] E. P. Wohlfart, Handbook of magnetic material Vol.3. Netherlands: North-Holland, 1982.

[55] U. Ozgur, Y. Alivov, and H. Morkoc, ”Microwave ferrites, part 1: fundamental properties,” Journal of Matererial Sciences: Material and Electronic 20, pp.789–834, 2009.

[56] E.F. Schloemann, ”Intrinsic low-field loss in microwave ferrites,”

Magnetics, IEEE Transactions, 34, pp.3830-3836,2008.

[57] M. V. Akhterov, Microwave Absorption in Nanostructures. Santa Cruz: University of California, 2010.

[58] A. M. Nicolson and G. F. Ross, ”Measurement of the intrinsic properties

of materials by time-domain techniques,” IEEE Transaction on Intrumentation and Measurement 19, pp. 377-382, 1970