Prevalensi Dan Faktor – Faktor Resiko Overactive Bladder Pada Paramedis Perempuan Di Rsup H. Adam Malik Medan
Tesis
PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO
OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS
PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
OLEH :
UJANG RIDWAN PERMANA
PEMBIMBING :
1.
Dr. M. RHIZA Z. TALA, SpOG(K)
2. Dr. BINARWAN HALIM, SpOG
DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN – UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK / RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN
2008
(2)
PENELITIAN INI DI BAWAH BIMBINGAN TIM-5
Pembimbing : Dr. M. Rhiza Z. Tala, SpOG (K)
Dr. Binarwan Halim, SpOG
Penyanggah : Dr. Jenius L. Tobing, SpOG
Dr. Yostoto B. Kaban, SpOG
Dr. Deri Edianto, SpOG (K)
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai keahlian dalam
(3)
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Tuhan Yang Maha Kuasa, berkat Ridha dan Karunia-Nya penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh keahlian dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa tesis ini banyak kekurangannya dan masih jauh dari sempurna, namun demikian besar harapan saya kiranya tulisan sederhana ini dapat bermanfaat dalam menambah perbendaharaan bacaan khususnya tentang :
” PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN ”
Dengan selesainya laporan penelitian ini, perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran USU Medan.
2. Prof. Dr. Delfi Lutan, MSc, SpOG (K), Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; Dr. Einil Rizar, SpOG (K), Sekretaris Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; Prof. Dr. M. Fauzie Sahil, SpOG (K), Ketua Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, Dr. Deri Edianto, SpOG (K), Sekretaris Program Studi Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan; dan juga Prof. Dr. Djaffar Siddik, SpOG (K), Prof. Dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K), Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG (K), Prof. Dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG (K), Prof. Dr. T.M. Hanafiah, SpOG (K), Prof. Dr. Budi R. Hadibroto, SpOG (K), dan Prof. Dr. Daulat H. Sibuea, SpOG (K), yang telah bersama-sama berkenan menerima saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
(4)
3. Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG (K), selaku Kepala Sub Divisi Fertilitas Endokrinologi dan Reproduksi atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk melakukan penelitian tentang
” PREVALENSI DAN FAKTOR – FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER PADA PARAMEDIS PEREMPUAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN ”
4. Dr. M. Rhiza Z. Tala, SpOG (K) dan Dr. Binarwan Halim selaku pembimbing, Dr. Jenius L. Tobing, SpOG, Dr. Yostoto B. Kaban, SpOG, dan Dr. Deri Edianto, SpOG (K) selaku penyanggah , yang penuh dengan kesabaran telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk membimbing, memeriksa, dan melengkapi penulisan tesis ini hingga selesai.
5. Dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG (K), selaku Bapak Angkat saya selama menjalani masa pendidikan, yang telah banyak mengayomi, membimbing dan memberikan nasehat-nasehat yang bermanfaat kepada saya dalam menghadapi masa-masa sulit selama pendidikan.
6. Dr. Hotma Partogi Pasaribu, SpOG, selaku pembimbing mini referat FM saya yang berjudul ”KEHAMILAN DENGAN UROLITHIASIS”. Dr. M. Rhiza Z. Tala SpOG (K) pembimbing mini refarat FER saya yang berjudul ” SRESS INKONTINENSIA “. Dr. Deri Edianto SpOG (K) pembimbing mini refarat Onkologi saya yang berjudul “ INDEKS KEGANASAN TUMOR OVARIUM “.
7. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing saya dalam penyelesaian uji statistik tesis ini.
8. Dr. Zulkarnaini Z. Tala, SpOG dan Keluarga besarnya yang telah banyak memberikan nasihat dan bimbingannya kepada saya selama mengikuti pendidikan di Bagian Obstetri dan Ginekologi.
9. Seluruh Staf Pengajar di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU Medan, yang secara langsung telah banyak membimbing dan mendidik saya sejak awal hingga akhir pendidikan.
(5)
10. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana untuk bekerja sama selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
11. Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan dan Kepala SMF Obstetri dan Ginekologi RSU Dr. Pringadi Medan yang telah memberikan kesempatan dan sarana untuk bekerja selama mengikuti pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi.
12. Direktur RS. PTPN II Tembakau Deli, Dr. Sofian Abdul Ilah, SpOG, dan Dr. Nazaruddin Jaffar, SpOG (K) beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan sarana untuk bekerja selama bertugas di Rumah Sakit tersebut.
13. Direktur RSU BALIGE , beserta staf atas kesempatan kerja dan bantuan moril dan materil selama saya bertugas di rumah sakit tersebut.
14. Kepala Departemen Patologi Anatomi FK-USU beserta staf, atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan selama saya bertugas di Departemen tersebut.
15. Kepada Abang-Abang dan Kakak Saya,Dr. Adi Putra, SpOG, Dr. Harry C. Simanjuntak, SpOG, Dr. Cut Adeya Adella, SpOG, Dr. Riza Rivany, SpOG, Dr. Roy Yustin Simanjutak, SpOG, Dr. Johny Marpaung, SpOG, Dr. Melvin NG. Barus, SpOG, terima kasih banyak atas segala bimbingan, bantuan, dan dukungannya yang telah diberikan selama ini.
16. Khususnya kepada Teman-Teman Dr. M. Oky Prabudi, SpOG, Dr. Ronny Ajartha Tarigan,SpOG,Dr.Aswin,SpOG,Dr.Maria N.Pardede,SpOG.Dr Wahyudi SpOG,terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan yang diberikan kepada saya selama ini. Dan kepada tim jaga; Dr. Hayu Lestari Haryono, Dr. Dwi Faradina, Dr. Edwar, Dr.Made Kumara, Dr. Rizka Heriansyah, terima kasih banyak atas bantuan, kerjasama, dan kebersamaan kita selama ini.
(6)
Dr. Miranda Diza.Dr Tommy, Dr. Panuturi Gottlieb Sidabutar, Dr. T.M. Rizki, Dr. Mulda F. Situmorang,Dr. Silvy,Dr. M.Ikhwan, Dr. David Luther Lubis, Dr.Gorga,Dr. T. Jeffry Abdillah, Dr. Riza Hendrawan Nasution,Dr.M.Yaznil dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaan, bantuan, dan dukungannya selama ini.
18. Teman Sejawat, Asisten Ahli, Dokter Muda, Bidan, Paramedis, karyawan/karyawati, dan pasien-pasien yang telah ikut membantu dan bekerjasama dengan saya dalam menjalani pendidikan di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RSUP H. Adam Malik - RSU Dr. Pirngadi Medan. Terima kasih atas kerjasama dan saling pengertian selama ini.
Sembah sujud, hormat dan terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada kedua Orang Tua Saya yang terkasih, Alm. Letnan Kolonel Inf. Elan Warlan dan Siti Hamidah, yang telah membesarkan, membimbing, mendoakan, serta mendidik saya dengan penuh kasih sayang dari masa kanak-kanak hingga kini.
Kepada adik-adik saya, Marliyanti, Dewi cosalina, Alm. Cecep Junaidi,SH,Asep Sulaiman,Lilis Haryani serta saudara-saudara ipar saya, Ipda Pol Iwan Kurnianto, SH, Sugianto, saya ucapkan terima kasih atas dukungan dan doa yang diberikan kepada saya.
Akhirnya kepada seluruh keluarga handai tolan yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkah-Nya kepada kita semua.
Medan, Maret 2008
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………. i
DAFTAR ISI………... vii
DAFTAR SINGKATAN………... ix
DAFTAR GAMBAR……… x
DAFTAR TABEL……… xi
ABSTRAK………... xii
BAB 1 PENDAHULUAN……….. 1
1.1. LATAR BELAKANG………... 1
1.2. IDENTIFIKASI MASALAH……… 3
1.3. TUJUAN PENELITIAN……….. 3
1.3.1. TUJUAN UMUM PENELITIAN………. 3
1.3.2. TUJUAN KHUSUS PENELITIAN……… 3
1.4. MANFAAT PENELITIAN………... 4
1.5. HIPOTESA PENELITIAN……….. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5
2.1. ANATOMI FISIOLOGI KANDUNG KEMIH……… 5
2.1.1. KANDUNG KEMIH……… 5
2.1.2. SISTEM PERSARAFAN KANDUNG KEMIH……… 7
2.2. MEKANISME BERKEMIH……… 8
2.3. OVERACTIVE BLADDER……… 11
2.3.1. PATOFISIOLOGI OVERACTIVE BLADDER……… 13
2.3.2. GEJALA OVERACTIVE BLADDER……… 18
2.3.3. FAKTOR RESIKO OVERACTIVE BLADDER……….. 19
2.3.4. DIAGNOSIS OVERACTIVE BLADDER………. 22
2.3.5. TERAPI OVERACTIVE BLADDER……… 26
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN………. 31
3.1. RANCANGAN PENELITIAN……….. 31
3.2. TEMPAT DAN WAKTU……… 31
(8)
3.3.1. POPULASI PENELITIAN………. 31
3.3.2. BESAR SAMPEL………... 31
3.3.3. KRITERIA PENERIMAAN……… 32
3.3.4. KRITERIA PENGELUARAN……… 32
3.4. KERANGKA KONSEP PENELITIAN………. 33
3.5. VARIABEL PENELITIAN……….. 34
3.5.1. VARIABEL INDEPENDEN..………... 34
3.5.2. VARIABEL DEPENDEN….. ……… 34
3.6. BAHAN DAN CARA KERJA……… 34
3.7. KERANGKA PENELITIAN………... 36
3.8. BATASAN OPERASIONAL………... 38
3.9. PENGOLAHAN DATA……….. 38
BAB 4 HASIL PENELITIAN………... 39
4.1. KARAKTERISTIK SUBYEK PENELITIAN BERDASARKAN FAKTOR RESIKO OAB……….. 39
4.2. PREVALENSI GANGGUAN OAB……….………….. 42
4.3. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT USIA……….…………. 43
4.4. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT RIWAYAT PERSALINAN.. 44
4.5. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT PARITAS……….…………. 46
4.6. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT INDEKS MASSA TUBUH.. 47
4.7. SEBARAN GANGGUAN OAB MENURUT MENOPAUSE….…………. 48
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN………... 49
(9)
DAFTAR SINGKATAN
ACH : ACETIL CHOLINE
AMP : ADENOSINE MONO PHOSPHATASE ATP : ADENOSINE TRI PHOSPHATASE EMG : ELECTRO MYO GRAM
ICS : INTERNATIONAL CONTINENCE SOCIETY IMT : INDEKS MASSA TUBUH
M / m : MUSKARINIK
OAB : OVERACTIVE BLADDER DHB : DAFTAR HARIAN BERKEMIH
(10)
DAFTAR GAMBAR
HAL
GAMBAR 1. ANATOMI ORGAN PELVIS WANITA 4
GAMBAR 2. ANATOMI KANDUNG KEMIH 5
GAMBAR 3. SISTEM PERSARAFAN KANDUNG KEMIH 7 GAMBAR 4. FASE PENGISIAN DAN PENGOSONGAN KANDUNG KEMIH 8
GAMBAR 5. PROSES TERJADINYA MIKSI 10
GAMBAR 6.
MEKANISME PERSARAFAN EFFEREN SECARA OTONOM DALAM PROSES KONTRAKSI DAN PENGISIAN KANDUNG KEMIH
13
GAMBAR 7. MEKANISME PERSARAFAN SENSORIS PADA KANDUNG
(11)
DAFTAR TABEL
HAL TABEL 1. SEBARAN KARAKTERISTIK SUBYEK PENELITIAN BERDASARKAN
FAKTOR RESIKO 33
TABEL 2. PREVALENSI GANGGUAN OAB 34
TABEL 3. PENGARUH USIA TERHADAP OAB 34
TABEL 4. PENGARUH RIWAYAT PERSALINAN TERHADAP OAB 35
TABEL 5. PENGARUH PARITAS TERHADAP OAB 36
TABEL 6. PENGARUH INDEKS MASSA TUBUH TERHADAP OAB 37
(12)
ABSTRAK
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan overactive bladder di kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. Adam Malik Medan.
Rancangan Penelitian : Penelitian ini merupakan studi observasional deskriptif untuk menilai penderita Overactive Bladder secara klinik dengan rancangan potong lintang (cross sectional). Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2007 dengan populasi paramedis wanita yang bekerja di RSHAM yang memenuhi kriteria penerimaan dan kriteria pengeluaran. Sampel diambil secara random sampling. Responden diberikan kuesioner, pemeriksaan fisik dan daftar harian berkemih untuk menegakkan diagnosa overactive bladder. Dilakukan penilaian terhadap faktor resiko seperti usia, paritas, cara persalinan, menopause, obesitas dan riwayat histerektomi.
Analisa Statistik : Seluruh data penelitian ini dicatat pada formulir penelitian yang meliputi data hasil anamnesis, hasil pemeriksan fisik dan hasil laboratorium. Data diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi sesuai tujuan penelitian. Dilakukan uji statistik Chi-square dan regresi logistik dengan menggunakan perangkat SPSS (Statistic Package for Social Science) versi 15.
Hasil : Pada penelitian dengan 100 orang responden didapatkan usia terbanyak adalah pada kelompok usia < 40 tahun yaitu sebanyak 53 orang (53%), riwayat persalinan terbanyak adalah persalinan spontan sebanyak 73 orang (73%). Sebanyak 78 orang (78%) adalah multipara, 12 orang (12%) adalah primipara dan sebanyak 10 orang (10%) adalah nullipara. Terdapat 93 orang (93%) yang belum menopause. Dari seluruh responden, didapatkan sebanyak 60 orang (60%) yang mempunyai IMT 18,5 – 24,9 ( normal ), 31 orang (31%) yang mempunyai IMT 25- 29,9 ( overweight ), dan 9 orang (9%) yang mempunyai IMT ≥ 30 ( obese ). Dari penelitian ini, tidak didapatkan satu orang pun yang mempunyai IMT < 18,5 ( kurus ). Sehingga kelompok ini tidak diikutsertakan dalam analisa statistik. Dan didapatkan 100 responden (100%) tidak mempunyai riwayat operasi histerektomi. Dengan demikian hubungan riwayat histerektomi dan gangguan OAB tidak dapat dianalisa secara statistik.
Didapatkan prevalensi OAB sebanyak 18 orang (18%) dengan kelompok usia 40 – 49 tahun paling banyak mengalami gangguan OAB, yaitu 9 orang (22,5%). Dengan
(13)
terjadinya OAB (p<0,05). Pada kelompok riwayat persalinan ekstrasi vakum didapatkan rasio prevalens sebesar 36. Secara uji Chi-square tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian OAB. Didapatkan hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh dengan terjadinya OAB (p<0,05). pada kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan 15 orang (37,5%) yang menderita OAB, dan pada kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus) dijumpai 3 orang (5%) yang menderita OAB. Pada uji statistik, didapatkan hubungan yang bermakna antara indeks masssa tubuh dengan terjadinya OAB (p<0,05). Pada kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan rasio prevalens sebesar 11,4, dimana pada kelompok ini resiko terjadinya OAB 11,4 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Terdapat hubungan yang bermakna antara menopause dengan kejadian OAB (p<0,05). Menopause mempunyai resiko untuk terjadinya gangguan OAB sebesar 7,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menopause.
KESIMPULAN : Prevalensi penderita OAB pada paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK MEDAN adalah 18% (18 orang). Terdapat hubungan yang bermakna antara usia,persalinan,IMT,menopause dengan terjadinya OAB. Persalinan dengan vakum mempunyai resiko 36 kali lebih besar terjadinya OAB dibandingkan wanita yang belum pernah melahirkan. IMT ≥ 25 (overweight dan obese) mempunyai resiko 11,4 kali lebih besar untuk terjadinya OAB dibandingkan IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Wanita menopause beresiko 7 kali lebih besar terjadinya OAB dibandingkan yang belum menopause. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan terjadinya OAB.
(14)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Overactive Bladder (OAB) adalah suatu simtom kompleks yang mencakup urgensi untuk berkemih dengan atau tanpa urge incontinence, frekuensi berkemih (keinginan untuk berkemih sebanyak 8 kali atau lebih dalam periode 24 jam), dan nokturia (bangun untuk berkemih sebanyak 2 atau lebih pada malam hari). The International Continence Society mendefenisikan OAB sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari urgensi, frekwensi, nokturia, yang dapat disertai dengan atau tanpa urge inkontinensia. 1,2
Angka kejadian secara umum dari overactive bladder ini ditemukan sekitar 20% hingga 40% dari seluruh inkontinensia urin dan dengan pemeriksaan urodinamik penderita inkontinensia urin ditemukan sekitar 24,4% dimana angka ini terus meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Prevalensi OAB di Eropa dari 16.776 responden yang berusia diatas 40 tahun adalah sebesar 16% pada pria dan 17% pada wanita. Prevalensinya adalah 3% pada pria yang berusia 40-44 tahun, 9% pada wanita yang berusia 40-44 tahun, 42% pada pria berusia 75 tahun atau lebih dan 31% pada wanita berusia 75 tahun atau lebih. Data prevalensi yang sama juga dilaporkan di Amerika Serikat. Sedangkan angka insidensi OAB diestimasikan 10-15% pada pria dan wanita yang berusia 10-50 tahun, meningkat 35% pada yang berusia lebih dari 75 tahun. Survei yang dilakukan di Poliklinik Usia Lanjut RSCM
(15)
Jakarta pada tahun 2002 didapatkan prevalensi OAB sebesar 21,2% (dimana sebanyak 45,5% adalah wanita dan 54,4%nya pria).1,2,3,4,5,6,7,8,9
Selain usia, yang menjadi faktor resiko terjadinya gangguan overactive bladder (OAB) adalah paritas, cara persalinan, menopause, obesitas, dan adanya riwayat operasi histerektomi atau operasi ginekologi sebelumnya.10
Gejala dari OAB adalah mencakup frekuensi berkemih sebanyak 8 kali atau lebih dalam 1 hari atau 2 kali atau lebih pada malam hari; urgensi berkemih yang terjadi secara tiba-tiba, keinginan yang kuat untuk segera berkemih; urge incontinence yakni ketidak-mampuan untuk menahan keinginan berkemih. Gejala – gejala tersebut dapat mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti gangguan aktivitas fisik dan pekerjaan, interaksi sosial, masalah psikologis (depresi), gangguan pola tidur, dan masalah seksual yang semuanya itu merupakan gangguan terhadap kualitas hidup seseorang. Overactive bladder (OAB) merupakan suatu keadaan yang dapat diobati dan tidak mematikan. Umumnya pengobatan OAB dilakukan secara konservatif dan tindakan operatif hanya dilakukan bila pengobatan konservatif tersebut gagal. Dengan pengobatan tersebut diharapkan kualitas hidup penderita OAB dapat ditingkatkan.1,2,3,4,6,7,8,9,10,11
OAB merupakan gangguan berkemih yang sangat mengganggu dimana gangguan ini dapat juga dialami oleh sebagian paramedis perempuan. Hingga saat ini belum ada data mengenai prevalensi OAB di Indonesia, maka kami ingin mengetahui prevalensi dan faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya OAB pada paramedis perempuan di lingkungan tempat kami bertugas yaitu di RSUP H.ADAM MALIK MEDAN. Dari data tersebut nantinya diharapkan dapat digunakan bukan saja
(16)
untuk kepentingan pengobatan maupun pelayanan tetapi juga untuk kepentingan penelitian selanjutnya.
1.2. Identifikasi Masalah
Dengan latar belakang tersebut diatas, dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Berapa besar prevalensi OAB di kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan.
2. Overactive Bladder mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti gangguan aktivitas fisik dan pekerjaan, interaksi sosial, masalah psikologis (depresi), gangguan pola tidur, dan masalah seksual yang semuanya itu merupakan gangguan terhadap kualitas hidup seseorang.
3. Bila paramedis perempuan mengalami Overactie Bladder, maka hal ini dapat mengganggu kinerja yang pada akhirnya menurunkan pelayanan terhadap pasien.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Penelitian
1. Mengetahui prevalensi OAB di kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan.
2. Mengetahui faktor – faktor resiko yang berhubungan dengan OAB di kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan.
(17)
Mengetahui prevalensi dan sebaran gangguan OAB menurut beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian OAB seperti usia, paritas, cara persalinan, status menopause, indeks massa tubuh (IMT), dan riwayat operasi histerektomi di kalangan paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan dasar untuk penelitian OAB selanjutnya misalnya penelitian mengenai epidemiologi lainnya, mengenai penatalaksanaan OAB atau mengenai kualitas hidup penderita OAB.
1.5. Hipotesa Penelitian
Adanya hubungan antara usia, paritas, cara persalinan, status menopause, indeks massa tubuh (IMT), dan riwayat histerektomi dengan kejadian overactive bladder (OAB).
(18)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi fisiologi kandung kemih
2.1.1. Kandung kemih
Kandung kemih adalah suatu kantong yang berada pada regio pelvik. Ketika dalam keadaan kosong, ia terletak dibelakang simfisis pubis dan bila penuh akan keluar hingga melewati simfisis pubis dan sangat mudah untuk diraba. Ia dapat dengan mudah bergerak, kecuali pada dasarnya karena ia berhubungan langsung dengan uretra. Bagian dasar kandung kemih dibentuk oleh otot fibro-elastik yang berbentuk segitiga yang dikenal dengan trigone. Trigone dari kandung kemih ini mengandung serabut saraf sensorik yang bentuknya seperti segitiga terbalik. Bagian dasar dari segitiga ini terhubung ke ureter dari ginjal kanan dan ginjal kiri.8,12,13
(19)
Gambar 2. Anatomi kandung kemih12
Dinding kandung kemih terdiri dari 3 lapis : lapisan mukosa, lapisan otot dan lapisan lemak. Pada bagian tengah, lapisan muskular dibentuk oleh otot polos yang disebut detrusor. Detrusor akan meregang ketika kandung kemih diisi oleh urin dan kemudian berkontraksi untuk mengeluarkan urin tersebut. Otot polos tidak dibawah pengaruh kontrol volunter, namun ia berkontraksi akibat respon dari refleks-refleks tertentu. 12,13
Fungsi kandung kemih adalah untuk mengisi, menyimpan dan kemudian mengosongkan urin melalui uretra, Menjelang fase pengisian, otot detrusor mengalami relaksasi untuk mengakomodasikan peningkatan volume. Normalnya kandung kemih dapat menampung urin sebanyak 360-480 cc, yang kemudian disebut sebagai kapasitas fungsional dari kandung kemih. Kedudukan kandung kemih dipertahankan oleh kelompok otot – otot levator ani terutama otot pubokoksigeus.12,13
(20)
2.1.2. Sistem Persarafan Kandung Kemih
Fungsi dari sistem urinaria bagian bawah adalah bergantung dari fungsi sistem persarafan dari otak. Sistem persarafan dibagi menjadi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat mencakup otak dan medulla spinalis. Sistem saraf tepi mencakup saraf autonomik dan somatik. Sistem saraf autonomik tidak dibawah kontrol kesadaran dan disebut sistem saraf involunter.1,12,13,15,16,17
Sistem saraf involunter mencakup sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis mengatur pengisian kandung kemih melalui (1) merelaksasi otot kandung kemih sehingga dapat diisi oleh urin, dan (2) mengkontraksikan sfingter uretra internal dalam mencegah urin memasuki uretra. Sistem saraf parasimpatis menimbulkan keinginan untuk berkemih atau pengosongan kandung kemih melalui (1) stimulasi otot kandung kemih untuk berkontraksi sehingga menyebabkan sensasi berkemih dan (2) merelaksasikan sfingter uretra internal yang menyebabkan urin memasuki uretra. 1,12,13,15,16,17
Sistem saraf somatik mengirim signal ke sfingter uretra eksternal untuk mencegah kebocoran urin atau untuk berelaksasi sehingga urin dapat keluar. 1,12,13,15,16,17
Fungsi sistem persarafan bergantung pada pelepasan zat kimiawi yang kita kenal dengan neurotransmitter. Zat yang paling penting mempengaruhi kandung kemih adalah asetilkolin (ACH). Ketika ACH dilepaskan is akan menyebabkan otot-otot kandung kemih mengalami kontraksi. Pelepasan zat kimiawi ini mengatur respon dari sistem persarafan pada kandung kemih. 1,12,13,15,16,17
(21)
Gambar 3. Sistem persarafan kandung kemih12
2.2. Mekanisme berkemih
Dalam keadaan normal, kandung kemih dan uretra berhubungan secara simultan dalam penyimpanan dan pengeluaran urin. Selama penyimpanan, leher kandung kemih dan uretra proksimal menutup, dan tekanan intra uretral berkisar antara 20-50 cmH2O. Sementara itu otot detrusor berelaksasi sehingga tekanan dalam kandung
kemih (intravesikal) tetap rendah (5-10 H2O).12
Mekanisme berkemih, terdiri dari 2 fase yaitu fase pengisian dan fase pengosongan kandung kemih.12
(22)
Gambar 4. Fase pengisian dan pengosongan kandung kemih12
1. Fase pengisian (Filling Phase)
Untuk mempertahankan kontinensia urin, tekanan intra uretra selamanya harus melebihi tekanan intravesika kecuali pada saat miksi (void). Selama masa pengisian, ternyata hanya terjadi sedikit peningkatan tekanan intravesika, hal ini disebabkan oleh kelenturan dinding vesika dan mekanisme neural yang diaktifkan pada saat pengisian vesika urinaria. Mekanisme neural ini termasuk refleks simpatetik spinal yang mengaktifkan reseptor pada vesika urinaria dan menghambat aktifitas parasimpatis. Selama masa pengisian vesika urinaria tidak ada aktivitas kontraktil involunter pada detrusor.
Tekanan normal intravesika maksimal adalah 50 cm H2O sedangkan tekanan
(23)
Selama pengisian vesika urinaria, tekanan uretra perlahan meningkat, mekanismenya belum jelas tapi EMG (electromyogram) dari pelvis menunjukkan peningkatan aktivitas pada saat pengisian vesika urinaria, yang cenderung ke arah peningkatan aktifitas otot lurik spinchter. Refleks simpatis juga meningkatkan stimulasi reseptor pada otot polos uretra dan meningkatkan konstriksi uretra pada saat pengisian vesika urinaria.
2. Fase miksi (Voiding Phase)
Selama fase miksi terdapat penurunan aktifitas EMG dan penurunan tekanan uretra yang mendahului kontraksi detrusor. Terjadi peningkatan intravesika selama peningkatan sensasi distensi untuk miksi. Pusat miksi terletak pada batang otak, dan pengosongan vesika urinaria yang terkoordinasi bergantung pada jalur syaraf ascending maupun descending yang utuh. Refleks simpatis dihambat, aktifitas efferen somatik pada otot lurik spinchter dihambat, dan aktifitas parasimpatis pada detrusor ditingkatkan. Semua ini menghasilkan kontraksi yang terkoordinasi dari otot detrusor bersamaan dengan penurunan resistensi yang melibatkan otot lurik dan polos uretra. Terjadi penurunan leher vesika urinaria dan terjadi aliran urin. Ketika miksi berakhir secara volunter, dasar panggul berkontraksi untuk meninggikan leher vesika urinaria ke arah simfisis pubis, leher vesika tertutup dan tekanan detrusor menurun.12,18,19
(24)
Gambar.5 Proses terjadinya miksi12
2.3. Overactive Bladder
Tipe inkontinensia urinaria yang paling sering dijumpai pada usia lanjut adalah OAB, dimana proses keluarnya urin secara involunter yang terjadi secara mendadak dan keinginan yang kuat untuk berkemih.12
Overactive bladder (OAB) adalah suatu sindroma klinik yang merupakan salah satu bentuk dari kelainan overactive detrusor. Overactive detrusor adalah suatu keadaan dimana terjadi aktivitas atau kontraksi kandung kemih yang berlebihan, yang berdasarkan etiologinya dapat dibagi atas 2 jenis yaitu overactive detrusor hypereflexia dan overactive detrusor instability.20,21,22
(25)
Detrusor hypereflexia merupakan kontraksi detrusor yang involunter akibat gangguan neurologi, seperti lesi suprapontine (penyakit serebrovaskular, parkinson’s disease, Alzheimer’s) atau lesi spinal seperti multiple sclerosis, cervical atau lumbar stenosis. Sedangkan detrusor instability adalah suatu keadaan dimana terjadi aktifitas atau kontraksi kandung kemih yang berlebihan yang bukan disebabkan kelainan atau gangguan neurologi, dan penyebabnya sering tidak diketahui sehingga sering disebut overactive detrusor idiopatik. Overactive detrusor idiopatik inilah yang saat ini lebih dikenal dengan overactive bladder (OAB) dimana tidak terbukti adanya infeksi atau keadaan patologi lainnya yang menyebabkan timbulnya keluhan inkontinensia ini. The International Continence Society (ICS) tahun 2002 mendefinisikan overactive bladder (OAB) sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari urgensi, frekuensi, nokturia yang dapat disertai dengan atau tanpa urge inkontinensia.20
Pada dasarnya etiologi Overactive Bladder adalah gangguan atau kerusakan pada susunan saraf yang ikut mengontrol kandung kemih dan kelainan yang belum diketahui sebabnya sampai saat ini (idiopatik).Overactive Bladder dapat diakibatkan oleh adanya gangguan pada neurotransmitter, reseptor ataupun pada otot polos kandung kemih (detrusor) itu sendiri. Selama fase pengisian, kandung kemih dihambat oleh stimulasi saraf simpatis dan normalnya saraf parasimpatis disupresi. Norepinefrin dilepaskan dari sistem saraf simpatis, meningkatkan compliance kandung kemih melalui mediator -adrenoreceptor (reseptor subtipe 3) yang
menyebabkan relaksasi otot kandung kemih. Tetapi bila terdapat gangguan pada pelepasan neurotransmiter atau reseptor,maka akan terjadi gangguan pada fase pengisian urin tersebut. Menurut beberapa ahli, etiologi Overactive Bladder juga meliputi perubahan otot polos kandung kemih itu sendiri. Elbadwi dkk menggunakan mikroskop eletron untuk melihat hasil biopsi otot detrusor pada pasien – pasien usia
(26)
lanjut yang memiliki gangguan berkemih berdasarkan pemeriksaan urodinamik. Hasilnya adalah ditemukan ‘dysjunction pattern” pada penderita overactive bladder (OAB).Sedangkan kondisi psikosomatik sebagai etiologi Overactive Bladder telah lama diketahui, dimana pasien memiliki tingkat distres dan ansietas yang tinggi. Sulit untuk menetapkan apakah kondisi ini merupakan penyebab atau akibat dari Overactive Bladder. 1,12,13,15,16,17,20
2.3.1. Patofisiologi Overactive Bladder
Proses miksi melibatkan cortex cerebri,pons, medulla spinalis, sistem saraf tepi otonom dan somatik serta inervasi saraf afferen dari traktus urinaria bagian bawah dan komponen anatomi dari traktus urinaria bagian bawah itu sendiri. Kelainan dari salah satu dari struktur ini dapat menyebabkan OAB. Simtom dari OAB biasanya berhubungan dengan kontraksi involunter dari otot destrusor. Aktivitas yang berlebihan dari otot destrusor dapat menyebabkan urge inkontinensia, bergantung respon dari sfingter.1
Terjadinya overactive bladder (OAB) disebabkan adanya kontraksi yang berlebihan dari otot detrusor secara involunter selama fase pengisian, yang menyebabkan adanya urgensi ataupun urge inkontinensia, tergantung pada respon dari otot sfingter. Aktifitas yang berlebihan dapat disebabkan oleh faktor otot itu sendiri. Tes urodinamik memperlihatkan bahwa separuh dari penderita usia lanjut dengan kontraksi otot detrusor yang berlebihan dapat mengosongkan sepertiga isi kandung kemih melalui kontraksi otot tersebut secara involunter.1
(27)
Otot detrusor kandung kemih mengandung reseptor kolinergik, reseptor muskarinik dan reseptor adrenergik dan . Berdasarkan distribusi reseptor otonom, secara teoritis muskarinik agonist efektif untuk meningkatkan kontraksi otot polos dan pengosongan kandung kemih. -adrenergic agonist efektif meningkatkan tonus uretra dan mengurangi inkontinensia sedangkan -adrenergic agonist efektif dalam meningkatkan kapasitas kandung kemih. Sebaliknya antagonis muskarinik efektif dalam mengurangi hiperaktivitas kandung kemih dan antagonis efektif dalam mengurangi tekanan uretra.1
Secara farmakologis reseptor muskarinik telah dikenali sebagai M1, M2, M3, M4 dan
M5. Secara umum reseptor M1 terutama terdapat dalam ganglion dan glandula
sekretoris, reseptor M2, terdapat dalam miokardium dan otot polos, reseptor M3
terdapat dalam otot polos dan glandula sekretoris. Reseptor M4 dan M5 terdapat
dalam berbagai sel di tubuh. Berdasarkan distribusi tersebut, reseptor utama yang terdapat pada kandung kemih adalah reseptor M2 (60-80%) dan M3 (20-40%). Tehnik
kloning molekuler telah mengenal subtipe tambahan reseptor muskarinik lain yaitu m1, m2, m3, m4, dan m5 dimana lokasi dan spesifitasnya berhubungan dengan
(28)
Gambar 6. Mekanisme persarafan efferen secara otonom dalam proses kontraksi dan pengisian kandung kemih 1
Reseptor kandung kemih dan uretra terhadap stimulasi reseptor diperantarai oleh kegiatan sistim “massenger” yang spesifik. Aktivitas reseptor m1, m3 dan m5 akan
merangsang fosfolipase C dan akan menyebabkan pecahnya fosfatidil inositol polifosfat menjadi inositol polifosfat. Inositol-1,4,5-trifosfat (IP3) yang merupakan salah satu produk hidrolisis akan menyebabkan pelepasan kalsium intraseluler dari retikulum endoplasma dan mengakibatkan kontraksi otot polos. Diasil gliserol merupakan produk hidrolisis lain yang akan mengaktivasi kalsium – protein kinase yang mengakibatkan terjadinya fosforilasi. Stimulasi reseptor m2 dan m4 tidak lepas
(29)
mengakibatkan penghambat adenilsiklase dan penurunan siklik AMP intraseluler, aktivasi potassium channel dan menghambat voltase yang tergantung pada calcium channel. Stimulasi reseptor 2 seperti halnya terhadap reseptor M2, mengaktivasi protein G1 dan menyebabkan inhibisi adenilsiklase. Sebaliknya stimulasi reseptor 1 tidak berefek pada siklik AMP, tetapi menstimulasi hidrolisis fosfatidil inositol polifosfat (seperti halnya pada reseptor M1 dan M3). Aktivasi reseptor adrenergik
menghasilkan stimulasi adenil siklase dan peningkatan siklik AMP dari ATP. Peningkatan siklik AMP yang mengaktivasi siklik AMP – protein kinase menyebabkan terjadinya fosforilasi. Fosforilasi akan mengaktivasi atau menginaktivasi protein spesifik, tergantung respon karakteristik organ target. Berdasarkan basis-intraseluler, kontraksi detrusor, seperti umumnya semua otot polos tergantung pada interaksi aktin dan miosin melalui fosforilase rantai ringan miosin.1
Asetilkolin yang berinteraksi dengan reseptor muskarinik pada otot detrusor merupakan neurotransmiter saraf perifer utama yang bertanggung jawab atas kontraksi kandung kemih. Diantara kelima subtipe muskarinik yaitu M1 dan M5, pada
manusia secara klinis peranan M3 tampaknya yang paling relevan. Asetikolin
berinteraksi dengan reseptor M3 mengawali suatu kaskade yang menghasilkan
kontraksi otot polos. Data dari hasil penelitian yang dilakukan pada kandung kemih tikus memperlihatkan bahwa reseptor M2 kemungkinan juga dapat memfasilitasi
kontraksi kandung kemih.1
Serabut saraf sensoris A delta yang bermielin mengakibatkan distensi kandung kemih secara pasif dan kontraksi kandung kemih secara aktif.. Serabut saraf C adalah relatif tidak aktif selama berkemih normal. Beberapa tipe reseptor telah
(30)
dikenali pada aferen, termasuk reseptor vanilloid, yang diaktivasi oleh capsaicin dan mungkin oleh endogenous anandamide; reseptor purinergic (P2X); reseptor neurokinin, yang beraksi terhadap substansi P dan neurokinin A; dan reseptor – reseptor growth factor . Substansi lain termasuk nitric oxide, calcitonin gene-related protein, dan brain-derived neurotropic factor juga mempunyai peran penting dalam modulasi sensor aferen pada otot detrusor manusia.12 Pemahaman yang lebih baik
terhadap pengaruh atau peranan yang kompleks dari bermacam – macam neurotransmiter diatas dan substansi lain yang merupakan derivat dari ureopitelium, sel otot detrusor, serabut saraf aferen sendiri hendaknya memberikan suatu target terapi yang spesifik dan terbaru sebagai medikamentosa untuk keadaan Overactive Bladder.1
(31)
Gambar 7. Mekanisme persarafan sensoris pada kandung kemih.1
2.3.2. Gejala Overactive Bladder
Gejala klinis gangguan Overactive Bladder meliputi 1,2,20,21,22,24,25,26,27,28,29
1. Urgensi
Keinginan kuat dan tiba – tiba untuk berkemih sehingga penderita tidak memiliki cukup waktu untuk pergi ke toilet untuk berkemih
2. Frekuensi
Penderita dapat berkemih lebih dari 8 kali dalam 24 jam 3. Nokturia
Pada malam hari penderita akan lebih sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
(32)
2.3.3. Faktor Resiko Overactive Bladder10,20,22,30
Menurut kepustakaan yang merupakan faktor resiko OAB antara lain adalah a. Usia
b. Paritas
c. Cara persalinan d. Indeks Massa Tubuh e. Menopause
f. Riwayat operasi histerektomi.
Dari hasil penelitian OAB pada wanita di Asia (meliputi 11 negara Asia, yaitu Thailand, Philipina, Taiwan, India, Pakistan, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Cina) dilaporkan bahwa usia lanjut, riwayat sering melahirkan dan riwayat keluarga menderita OAB sering dihubungkan dengan peningkatan kejadian gangguan OAB.
a. Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia wanita sangat berhubungan erat dengan inkontinensia urin.Inkontinensia urin merupakan hal yang lazim ditemui pada wanita usia lanjut, maka sering dianggap normal dan merupakan hal yang tidak terlepaskan pada wanita tua. Prevalensinya meningkat secara progresif terhadap umur. Inkontionensia seharusnya dianggap normal dengan pertambahan usia, dimana terjadi perubahan pada struktur kandung kemih dan struktur pelvic yang disebabkan oleh pertambahan usia yang kemudian bermanifestasi menjadi inkontinensia urin.
(33)
b. Paritas
Persalinan dapat merubah elastisitas dasar panggul sebagai konsekuensi dari melemah dan meregangnya otot-otot serta jaringan ikat selama persalinan berlangsung. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat laserasi spontan atau episiotomi. Akibat dari kejadian ini, akan mengakibatkan gangguan kontraksi pada otot sfingter uretra dan kandung kemih.
c. Indeks Massa Tubuh
Dari penelitian yang dilakukan oleh Parazzini, Chiaffarino, Lavezzari dan Giambanco (2003) menemukan bahwa resiko inkontinensia urin meningkat dihubungkan dengan peningkatan massa indeks tubuh. Banyak penelitian melaporkan adanya hubungan antara peningkatan berat badan atau peningkatan massa indeks tubuh dengan inkontinensia. Menurut Doran dkk, 2001, setiap kilogram menambah tekanan terhadap kandung kemih, dimana hal ini menjadi kontribusi terhadap kejadian inkontinensia urin. Akibat obesitas dapat menyebabkan peregangan kronik dan melemahkan otot-otot dasar panggul, saraf serta struktur lainnya di dasar panggul. Hal ini menyebabkan inkontinensia urin. Obesitas merupakan faktor resiko independen terhadap kejadian inkontinensia urin. Kehilangan berat badan yang berlebihan secara signifikan menurunkan kejadian inkontinensia urin pada wanita obese. Namun, obesitas masih menjadi faktor resiko yang kontroversial.
(34)
d. Cara Persalinan
Menurut Rubin (2003), wanita yang menjalani operasi sesar akan lebih sedikit menderita inkontinensia urin dibandingkan dengan wanita yang melahirkan secara normal.
Proses kelahiran dapat mempengaruhi elastisitas pada rongga panggul dimana terjadi pereganggan otot-otot dan jaringan sewaktu melahirkan. Akibat peregangan tersebut dapat merusak saraf pudendal , saraf pelvik, otot serta jaringan pelvik sekitarnya yang dapat mempengaruhi kemampuan meregang dari sphincter uretra untuk berkontraksi dalam merespon peningkatan tekanan intra abdominal. (Morkved, Schei dan Asmund 2003; Viktrup & Lose 2001; Rubin, 2003).
e. Histerektomi
Dalam pemantauan secara sistematik terhadap bukti yang ada, penelitian menunjukkan bahwa histerektomi berhubungan dengan inkontinensia urin (Brown et al., 2000).Dilaporkan seorang wanita yang mengalami inkontinensia urin segera setelah histerektomi. Inkontinensia urin pasca histerektomi dapat disebabkan oleh kerusakan saraf sewaktu menjalani prosedur dan gangguan muskulofasial pada vesika urinaria di sekeliling dinding pelvik (Hunskaar et al., 2000)
f. Menopause
Gangguan berkemih sering dijumpai pada wanita menopause. Perubahan atrofi ( seperti lemak tubuh, kulit dan otot), penurunan kadar estrogen tubuh pada
(35)
menopause dapat menjadi kontribusi dalam peningkatan kejadian inkontinensia urin. Dengan menurunnya kadar estrogen, maka otot-otot detrusor kandung kemih menjadi lebih mudah berkontraksi.
2.3.4. Diagnosis Overactive Bladder
Diagnosis OAB dapat dibuat berdasarkan.8,12,16,20,30,31,32,33
1. Anamnesa, meliputi :
- Mengeksplorasi adanya gejala berupa urgensi, frekuensi & nokturia
- Gejala lain yang menyertai seperti stress inkontinensia dan prolaps organ pelvis.
- Mengetahui adanya riwayat histerektomi (abdominal maupun vaginal). - Mengetahui ada atau tidaknya penggunaan obat – obatan.
- Pola dari intake cairan penderita yang menggunakan catatan harian berkemih selama 3 hingga 7 hari.
- Jumlah pembalut/diapers yang digunakan. - Terapi sebelumnya dan keberhasilannya.
Dimana anamnesa ini terangkum dalam kuesioner standar yang dikeluarkan oleh ICS (Internatonal Continence Society), yang memiliki sensitifitas 80% dan spesifitas 75%.
2. Pemeriksaan fisik, meliputi :
- Pemeriksaan keadaan umum meliputi status vital, berat dan tinggi badan - Penilaian neurologi S2, 3, 4
(36)
Pemeriksaan dilakukan dengan rectal touche untuk menilai kontraksi sfingter ani. Bila sfingter ani tidak dapat berkontraksi, kemungkinan terdapat kelainan neurologi S2, 3, 4.
- Pemeriksaan abdomen untuk mengevaluasi adanya massa atau pengumpulan cairan.
- Pemeriksaan ginekologi. - Tes batuk (tes valsava).
3. Pemeriksaan urin.
Urinalisa dilakukan untuk menyingkirkan adanya hematuria, glukosuria, piuria, dan bakteriuria.
4. Daftar harian berkemih
Dibuat untuk mengetahui frekuensi berkemih, volume urin yang dikeluarkan, adanya nokturia atau tidak, dan adanya keinginan berkemih. Lamanya pencatatan daftar harian berkemih ini belum ada keseragaman, tetapi Abrams dkk menganjurkan untuk melakukan pencatatan selama 7 hari.17 Belakangan ini
para ahli menganjurkan pencatatan daftar harian berkemih selama 3 hingga 5 hari saja karena dianggap sudah cukup menggambarkan pola Overactive Bladder. Contoh daftar harian berkemih dapat dilihat dibawah ini.
(37)
Contoh Daftar Harian Berkemih2,20,34,35
Kartu catatan buang air kecil hari ke- Tanggal :
Minum Berkemih Interval waktu Jenis Jumlah Berapa kali Jumlah Keinginan kuat untuk berkemih Mengompol Kegiatan (batuk, bersin, aktivitas fisik, hubungan seks, dll) 00.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 07.00-08.00 Dst
(38)
5. Pemeriksaan urodinamik
Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis Overactive Bladder. Evaluasi urodinamik terdiri dari cystometri, urethral pressure profilometry dan video urodynamic. Wanita yang didiagnosa secara klinis melalui kuesioner, pemeriksaan fisik dan daftar harian berkemih memiliki nilai akurasi diagnosis 75-80 %. Tes urodinamik akan dilakukan bila diagnosis masih diragukan, terapi yang diberikan tidak memperlihatkan hasil yang baik atau bila ada rencana terapi operatif.
Perlu diingat bahwa gejala – gejala yang ditemukan pada OAB dapat juga ditemukan pada jenis inkontinensia urin terutama pada stres inkontinensia urin (SIU) tipe campuran sehingga anamnesis yang teliti perlu dilakukan, karena pengobatan antara OAB dan SIU sangat berbeda. Secara klinis perbedaan gejalanya dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Perbedaan overactive bladder (OAB) dengan stres inkontinensia urin (SIU). 36
Gejala OAB SIU
1. Urgensi + -
2. Frekuensi berkemih (≥ 8x) + -
3.Keluarnya urin berhubungan dengan aktifitas (batuk, bersin)
- +
4. Jumlah urin yang keluar > banyak Sedikit 5. Berkemih malam hari (nokturia) ≥ 2 kali Jarang 6. Dapat menahan urin sampai ke toilet Tidak Bisa
(39)
2.3.5. Terapi Overactive Bladder
Sekitar 15% saja dari penderita OAB yang datang berobat oleh karena berbagai alasan. Sebagian besar penderita menganggap bawah keluhan atau gangguan berkemih tersebut adalah hal yang wajar yang dialami oleh orang usia lanjut. Alasan lain yang juga membuat mereka enggan datang berobat adalah karena rasa malu.Penderita OAB biasanya mengatasi masalah tersebut dengan cara sering berkemih, mencari dan menghafal lokasi – lokasi kamar kecil, membatasi minum, menggunakan pakaian yang berwarna gelap, serta menggunakan bantalan atau pembalut.12
Ada 2 macam pilihan terapi diberikan pada penderita OAB yaitu 12
1. Konservatif 2. Operatif
Terapi Konservatif 1. Farmakoterapi.
Beberapa obat – obatan yang dapat digunakan untuk menghambat kontraksi kandung kemih antara lain dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Belakangan ini obat yang banyak digunakan adalah tolterodine tartrate (antimuscarinic agent) karena dianggap lebih baik dibandingkan oxybutynin (nonselective antimuscarinic agent), khususnya dalam hubungannya dengan frekuensi dan keparahan dari efek samping obatnya yaitu mulut dan mata kering serta efek with drawalnya yang lebih rendah.
(40)
Medikamentosa untuk Overactive Bladder.37,38,39,40,41,42,43,44,45,46,47,48,49,50,51,52,53,54,55
Jenis obat Kemasan Dosis
Hyocyamine (Levsin) antikolinergik
Tablet (0,125mg), kapsul (0,375)
0,375 mg, 2 kali sehari
Oxybutinin (Ditropan:Ditropan XL) antikolinergik + antimuskarinik
Tablet (5,10mg), sirup (5mg/5ml),kapsul (5,10, 15mg)
2,5-5,0mg, 3 kali
sehari(short-acting),5-30mg perhari(long acting) Oxybutinin patch (Oxytrol)
antikolinergik + antimuskarinik
Transdermal patch 36mg (1 patch)
3-4 hari sekali
Propantheline (Pro-Banthine) antikolinergik
Tablet (7,5 & 15 mg) 15-30mg, 4 kali sehari
Trospium (Sanctura)
nonselektif antikolinergik
Tablet (20mg) 2 kali sehari
Solifenacin (Vesicare) Tablet (5mg,10mg) 5-10mg per hari Darifenacin (enablex)
antimuskrinik
Tablet (7,5 mg, 15mg) 7,5 -15 mg per hari
Tolterodine tartrate (Dertrol, Detrol LA)
antimuskarinik
Tablet (1,2mg) , kapsul (2,4mg)
1-2mg, 2 kali sehari(short
acting),4mg perhari(long acting)
(41)
Imipramin (Toframil) antidepresan trisiklik
Tablet (10,25,50mg) 10-25mg, 3 kali sehari
Botulinum toxin (BOTOX®, Dysport®) Vial (100 IU, 500 IU) 200-300 IU
transuretral
(disuntikkan pada 10-50 tempat)
2. Terapi perubahan perilaku.
Mencakup pengaturan asupan cairan, pembatasan konsumsi makanan dan minuman yang mengandung kafein dan bladder training.Bladder drill atau bladder training merupakan salah satu modifikasi perilaku yang dapat dilakukan dalam menangani Overactive Bladder, baik dengan atau tanpa kombinasi terapi farmakologis. Tetapi biasanya pemberian pengobatan dan latihan dilakukan bersamaan. 3,6,7 Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal
dengan tehnik distraksi atau tehnik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6 hingga 7 kali perhari atau 3 hingga 4 jam sekali dan dilakukan minimal selama 6 minggu.10,56
3. Akupunktur
Dengan menggunakan jarum akupunktur ditempatkan secara bilateral pada kedua betis bagian dalam, lipatan lutut bagian luar dan punggung belakang serta pada pertengahan perut bagian bawah. Kemudian jarum tersebut diputar searah jarum jam, sehingga penderita merasakan sensasi panas dan sensasi meregang, kemudian jarum dipertahankan selama 20 menit. Hal ini diulangi setiap minggu selama 1 bulan.10,57
(42)
4. Stimulasi elektrik (electrostimulation) 5,10,11
Dengan menggunakan suatu alat yang kecil dimasukkan ke dalam vagina, melalui gelombang elektrik yang dihantarkan menyebabkan otot-otot pelvik berkontraksi.
5. Mempergunakan inkontinens pads (diaper)
Diharapkan penderita menggunakan pembalut ketika ingin beraktivitas luar.10,58
6. Latihan otot dasar panggul (kegal exercise)10,11,12
Bayangkan bila anda ingin flatus dan bayangkan seolah-olah anda menahan agar tidak terjadi flatus. Akan terasa otot dasar panggul bergerak sedangkan otot dan paha tidak bergerak,kulit sekitar anus berkontraksi dan seolah-olah anus masuk kedalam.
Terapi operatif
Terapi operatif untuk mengatasi keadaan OAB antara lain :8,10,11,12,59,60,61,62
1. Sacral nerve stimulation
Prinsip dari tindakan ini adalah dengan menghantarkan stimulasi elektrik sehingga dapat menginhibisi refleks pada kandung kemih.Alat ini diimplankan secara permanen pada serabut saraf S3. Pada awalnya penderita menjalani evaluasi serabut saraf perkutaneus, dimana jarum dimasukkan melalui foramen sacral dibawah anastesi lokal. Alat ini kemudian terhubungkan dengan stimulator eksternal. Bagi penderita yang puas dengan teknik ini dapat dipertahankan secara permanen.
(43)
2. Diversi urin
Metode ini bertujuan untuk mengalihkan drainase urin dari uretra. Hal ini dilakukan dengan cara mengalihkan ureter ke segmen ileum yang kemudian dibuat stoma permanen ke kulit.Urin yang terkumpul dialirkan ke kantong urin yang berada di kulit.
3. Detrusor myectomy
Metode ini bertujuan untuk memperbaiki fungsi kapasitas kandung kemih dengan cara meng-eksisi otot kandung kemih dari fundus kandung kemih sehingga meninggalkan divertikel yang lebar secara permanen.Kemudian omentum mayor ditarik keluar kemudian dijahitkan pada dinding anterior vesika urinaria.
(44)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasional deskriptif untuk menilai penderita Overactive Bladder secara klinik dengan rancangan potong lintang (cross sectional).
3.2. Tempat dan Waktu
1. Tempat penelitian dilakukan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.
2. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober sampai bulan Desember 2007.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah paramedis perempuan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.
3.3.2 Besar Sampel
Untuk memperkirakan jumlah kasus penderita Overactive Bladder di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK Medan, besarnya sampel didapat dengan rumus :
n = Z 2PQ
d2
Prevalensi = 40% P = 0,40 Q = 1 – P = 1 – 0,40 = 0,60 Penyimpangan = d = 10% = 0,1
(45)
984 . 92 1 , 0 60 , 0 40 , 0 96 , 1 2 2 =
= x x
n
untuk memudahkan sampel dibulatkan menjadi 100.
Tehnik pengambilan sampel adalah simple random sampling.
Populasi sampel berdasarkan atas catatan dari bagian kepegawaian RSHAM Medan lalu dipilih secara komputerisasi
3.3.3 Kriteria Penerimaan
1. Paramedis perempuan di RS. H. ADAM MALIK Medan. 2. Tidak menderita gangguan neurologi maupun diabetes 3. Tidak dalam keadaan hamil
4. Tidak dalam terapi overactive bladder
3.3.4 Kriteria Pengeluaran
1. Terdapat kelainan organ ginekologi. 2. Ada riwayat operasi kandung kemih 3. Tidak bersedia mengikuti penelitian. 4. Terdapat infeksi saluran kemih
(46)
3.4. Kerangka Konsep Penelitian
Overactive Bladder (OAB)
Menopause Cara
Persalinan
BMI Paritas
Riwayat Histerektomi Usia
Kualitas hidup penderita OAB
Penatalaksanaan OAB
Diteliti
(47)
3.5. Variabel Penelitian
3.5.1. Variabel Independen
Variabel independen dalam penelitian ini meliputi:
a. Usia
b. Paritas c. Cara persalinan d. Indeks massa tubuh e. Menopause
f. Riwayat histerektomi
3.5.2. Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Overactive bladder (OAB)
3.6. Bahan dan Cara Kerja
1. Paramedis perempuan yang bekerja di RSUP H. ADAM MALIK Medan yang memenuhi kriteria, yang dipilih secara acak diberikan lembaran kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan dan dilakukan pengukuran tinggi dan berat badan untuk menentukan besarnya nilai indeks massa tubuh (IMT) responden tersebut.
2. Bagi responden yang menunjukkan gejala – gejala Overactive Bladder berdasarkan hasil kuesioner dilakukan pemeriksaan urinalisa untuk menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih maupun glukosuria.
3. Kemudian diberikan lembaran daftar harian kemih (DHB) selama 7 hari untuk membuktikan adanya gejala atau pola Overactive Bladder kepada responden yang memiliki hasil pemeriksaan urinalisa dalam batas normal (tidak ada
(48)
4. Setelah hari ketujuh, dilakukan pemeriksaan urinalisa ulangan.
5. Responden yang terbukti mengalami gangguan Overactive Bladder selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik untuk menyingkirkan adanya kelainan organ.
(49)
3.7. KERANGKA PENELITIAN
RESPONDEN
KRITERIA PENERIMAAN
CURIGA OAB BUKAN OAB
(NORMAL, SIU)
KRITERIA PENGELUARAN KUESIONER
URINALISA
NORMAL TIDAK NORMAL
DAFTAR HARIAN BERKEMIH
(SELAMA 7 HARI) ISK, GLUKOSURIA
PEMERIKSAAN FISIK
DALAM BATAS
NORMAL TERDAPAT KELAINAN NEUROLOGIS ATAU KELAINAN ANATOMIS YANG LAIN
OVERACTIVE DETRUSOR
IDIOPATIK
(OAB) a.l. : OVERACTIVE DETRUSOR
HYPEREFLEXIA, SIU YANG DISEBABKAN PENINGKATAN
TEKANAN INTRAABDOMEN ATAU PENEKANAN MASSA
RONGGA PELVIK URINALISA
FAKTOR RESIKO : USIA, IMT, MENOPAUSE, HISTEREKTOMI, PARITAS,
(50)
3.8. Batasan Operasional
1. OAB adalah suatu sindroma klinik yang ditandai dengan adanya gejala berupa urgensi, frekwensi, nokturia, dengan atau tanpa urge inkontinensia dimana tidak ditemukan adanya kelainan patologis maupun infeksi saluran kemih.
2. OAB merupakan salah satu bentuk dari overactive detrusor yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik).
3. Penegakan diagnosa OAB dilakukan dengan anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik yang cermat dan pemeriksaan penunjang seperti urinalisa serta pengisian lembar daftar harian berkemih (DHB).
4. Daftar harian berkemih (DHB) merupakan alat konfirmasi pola gangguan OAB yang diisi selama 7 hari oleh seseorang yang mempunyai keluhan gangguan berkemih.
5. Urgensi adalah dimana penderita mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk berkemih, yang datangnya secara tiba – tiba dan sulit untuk ditahan. 6. Frekuensi berkemih penderita OAB adalah lebih dari 8 kali dalam waktu 24
jam dan pada malam hari (nokturia) sebanyak 2 kali atau lebih.
7. Urge inkontinensia adalah adanya dorongan yang sangat kuat untuk berkemih dan penderita tidak dapat menahannya sehingga kadang –kadang sebelum sampai ke toilet urin sudah keluar lebih dulu.
8. Faktor yang berhubungan dengan timbulnya gangguan OAB antara lain adalah usia, paritas, cara persalinan, menopause, indeks massa tubuh, dan riwayat operasi histerektomi (total abdominal histerektomi dan subtotal abdominal histerektomi).
(51)
9. Nulipara adalah seseorang yang belum pernah melahirkan, primipara adalah bila pernah melahirkan satu kali, multipara adalah bila riwayat melahirkan lebih dari satu kali.
10. Menopause adalah berhentinya haid secara menetap setelah satu tahun
11. Indeks massa tubuh (IMT) adalah perbandingan antara berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Berat badan normal adalah bila IMT antara 18,5 – 24,9; berat kurang (kurus) bila IMT < 18,5 ; berat badan lebih (overweight) bila IMT 25 – 29,9; sedangkan obesitas bila IMT ≥ 30.
3.9. Pengolahan Data
Seluruh data penelitian ini dicatat pada formulir penelitian yang meliputi data hasil anamnesis, hasil pemeriksan fisik dan hasil laboratorium. Data yang telah teruji keabsahannya ini diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi sesuai tujuan penelitian. Uji statistik Chi-square dan regresi logistik dengan menggunakan perangkat SPSS (Statistic Package for Social Science) versi 15 dengan tingkat kemaknaan 5%.
(52)
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu tiga bulan yaitu berlangsung sejak bulan Oktober hingga Desember 2007. Didapatkan 100 orang responden atau subyek penelitian, yang memenuhi kriteria penerimaan, yang terdiri dari paramedis perempuan di RSUP H. ADAM MALIK Medan.
4.1. Karakteristik subyek penelitian berdasarkan faktor resiko OAB
Karakteristik responden atau subyek penelitian OAB dapat dilihat pada tabel 1 . Karakteristik subyek tersebut adalah variabel yang merupakan faktor risiko atau faktor yang berhubungan dengan kejadian OAB yaitu antara lain kelompok usia, riwayat persalinan, paritas, status menopause, indeks massa tubuh (IMT), dan riwayat operasi histerektomi.
Pada penelitian dengan 100 orang responden ini didapatkan usia terbanyak adalah pada kelompok usia dibawah 40 tahun yaitu sebanyak 53 orang (53%).
Sebagian besar responden pada penelitian OAB ini mempunyai riwayat persalinan spontan yaitu sebanyak 73 orang (73%). Yang melahirkan secara seksio sesarea adalah sebanyak 12 orang (12%).Persalinan dengan ekstraksi vacum sebanyak 5 orang (5%). Hanya 10 orang (10%) responden yang belum pernah melahirkan.
Sebanyak 78 orang (78%) adalah multipara dan responden primipara sebanyak 12 orang (12%). Responden nullipara sebanyak 10 orang (10%).
(53)
Dari 100 responden penelitian ini terdapat 93 orang (93%) yang belum menopause. Hanya 7 orang (7%) yang mengalami menopause.
Dari seluruh responden, didapatkan sebanyak 60 orang (60%) yang mempunyai IMT 18,5 – 24,9 ( normal ), 31 orang (31%) yang mempunyai IMT 25 – 29,9 (overweight ), dan 9 orang (9%) yang mempunyai IMT ≥ 30 ( obese ) Dari penelitian ini, tidak didapatkan satu orang pun yang mempunyai IMT < 18,5 ( kurus ). Untuk selanjutnya pada analisis regresi logistik, IMT ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus) dan kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese)
Pada penelitian ini, didapatkan 100 responden (100%) tidak mempunyai riwayat operasi histerektomi. Dengan demikian hubungan riwayat histerektomi dan gangguan OAB tidak dapat dianalisa secara statistik.
(54)
Tabel 1. Sebaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan faktor resiko
Karakteristik subjek n % Kelompok usia
< 40 tahun 40 – 49 tahun 50 – 55 tahun
53 40 7 53 40 7 Riwayat persalinan Belum pernah Seksio sesarea Spontan Ekstraksi vakum 10 12 73 5 10 12 73 5
Jumlah anak (paritas)
Nullipara Primipara Multipara 10 12 78 10 12 78 Status menopause Ya Tidak 7 93 7 93
Indeks massa tubuh (IMT)
< 18,5 (kurus) 18,5 – 24,9 (normal) 25,0 – 29,9 (overweight)
≥ 30 (obese)
0 60 31 9 0 60 31 9 Riwayat Histerektomi Ya Tidak 0 100 0 100
(55)
4.2. Prevalensi gangguan OAB
Tabel 2. Prevalensi gangguan OAB
OAB n %
Positif Negatif
18 82
18 82
Sampel penelitian adalah petugas paramedis yang bekerja di lingkungan RSHAM yang dipilih secara acak dan didapatkan jumlah sampel atau responden sebanyak 100 orang. Penegakan diagnosis OAB dilakukan dengan anamnesa(angket standart ICS), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan urinalisa serta pengisian daftar harian berkemih (DHB) selama 7 hari. Didapatkan sebanyak 18 orang yang menderita OAB (18%).
Angka kejadian secara umum dari overactive bladder ini ditemukan sekitar 20% hingga 40% dari seluruh inkontinensia urin. Prevalensi OAB pada wanita di Eropa dengan 16.776 responden yang berusia diatas 40 tahun sebesar 17%.
(56)
4.3. Sebaran gangguan OAB menurut usia
Tabel 3. Pengaruh usia terhadap OAB
OAB
Ya Tidak Total Usia
(tahun)
n % n % n %
p RP 95% CI
< 40 40 – 49 50 – 55
5 9 4 9,4 22,5 57,1 48 31 3 90,6 77,5 42,9 53 40 7 100 100 100
0,005 2,787 12,8
0,854-9,096 2,207-74,221 Chi-square
Regresi logistik
Pada tabel 3 diatas, kelompok usia 40 – 49 tahun paling banyak mengalami gangguan OAB, yaitu 9 orang (22,5%). kelompok usia < 40 tahun, lima orang (9,4%) diantaranya menderita OAB. Sedangkan pada kelompok 50 – 55 tahun yang menderita OAB sebanyak 4 orang (57,2%). Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara pengaruh usia terhadap kejadian OAB (p<0,05). Rasio prevalen kelompok usia 50 – 55 tahun sebesar 12,8, artinya pada kelompok usia ini resiko untuk terjadinya OAB sebesar 12,8 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia < 40 tahun.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor usia berhubungan erat dengan inkontinensia urin. DuBeau dkk (2003) melaporkan bahwa resiko OAB meningkat
dengan bertambahnya usia dengan nilai OR 1,3. Louw (2003) mendapatkan bahwa
usia yang makin lanjut, semakin tinggi resiko terjadinya OAB, dengan OR 1,59 pada umur lebih dari 45 tahun.63,64
(57)
Pada penelitian ini, kelompok usia 50 – 55 tahun yang mengalami gangguan OAB lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok usia 40 – 49 tahun. Hal ini disebabkan karena jumlah responden pada kelompok usia 50 – 55 tahun jauh lebih sedikit.
4.4. Sebaran gangguan OAB menurut riwayat persalinan
Tabel 4. Pengaruh riwayat persalinan terhadap OAB
OAB
Ya Tidak Total Riwayat
persalinan
n % n % n %
p RP 95% CI
Belum pernah SC Spontan EV 1 2 11 4 10 11,1 16,4 80 9 16 56 1 90 88,9 83,6 20 10 18 67 5 100 100 100 100 0,003 1,768 1,125 36,0 0,203-15,403 0,089-14,202 1,772-731,562 Chi-square Regresi logistik
Pada tabel 4. diatas didapatkan riwayat persalinan spontan paling banyak menderita OAB sebanyak 11 orang (16,4%), riwayat ekstraksi vakum yang menderita OAB sebanyak 4 orang (80%) , riwayat seksio sesarea yang menderita OAB sebanyak 2 orang (11,1%), dan pada kelompok belum pernah melahirkan yang menderita OAB sebanyak 1 orang (10%). Dengan uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara riwayat persalinan dengan terjadinya OAB (p<0,05). Pada kelompok riwayat persalinan ekstrasi vakum didapatkan rasio prevalens sebesar 36. Artinya persalinan dengan ekstraksi vakum, mempunyai resiko terjadinya OAB sebesar 36 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang belum pernah melahirkan.
(58)
Millard (2001) menyatakan bahwa wanita yang mempunyai riwayat persalinan
pervaginam mempunyai resiko mengalami gangguan berkemih sebesar 2,5 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak pernah mengalami persalinan.65
Louw (2004) melaporkan bahwa partus pervaginam mempunyai resiko yang lebih
besar (OR=1) untuk terjadinya OAB dibandingkan dengan seksio sesarea (OR=0,2).64
Pada penelitian ini, resiko untuk terjadinya OAB pada persalinan seksio sesarea (RP = 1,768) lebih besar dibandingkan dengan persalinan spontan (RP = 1,125), dimana seharusnya persalinan spontan memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita OAB dibanding seksio sesarea. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini indikasi seksio sesarea terbanyak karena persalinan tidak maju.
(59)
4.5. Sebaran gangguan OAB menurut paritas
Tabel 5. Pengaruh paritas terhadap OAB
OAB
Ya Tidak Total Paritas
n % n % n %
p RP 95% CI
Nullipara Primipara Multipara 1 2 15 10 16,7 19,2 9 10 63 90 83,3 80,8 10 12 78 100 100 100
0,768 1,8 2,143
0,139-23,374 0,252-18,28 Chi-square
Regresi logistik
Pada tabel 5, didapatkan multipara 15 orang (19,2%) yang mengalami OAB.Primipara 2 orang ( 16,7 % ) yang mengalami OAB dan Nullipara 1 orang ( 10 % ) yang mengalami OAB. Secara uji Chi-square tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian OAB.
Hording dkk (1986) menyatakan bahwa paritas tidak berhubungan dengan
terjadinya inkontinensia urin pada wanita dengan usia 45 tahun. Burgio dkk (1991)
mendapatkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian OAB.66,67
Namun, Millard (2001) menyebutkan bahwa paritas dapat mempengaruhi terjadinya
gangguan OAB secara signifikan. Goldberg (2003) mendapatkan wanita multipara
mempunyai resiko 1,46 kali untuk terjadi inkontinensia urin dibandingkan dengan primipara. Eason dkk (2004) menyebutkan bahwa multipara jika dibandingkan
(60)
4.6 Sebaran gangguan OAB menurut indeks massa tubuh
Tabel 6. Pengaruh indeks massa tubuh terhadap OAB
OAB
Ya Tidak Total IMT
n % n % n %
p RP 95% CI
≤ 24,9 ≥ 25
3 15 5 37,5 57 25 95 62,5 60 40 100 100 0,0001
11,4 3,028-42,921 Chi-square
Regresi logistik
Dari tabel 6. diatas, pada kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan 15 orang (37,5%) yang menderita OAB, dan pada kelompok IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus) dijumpai 3 orang (5%) yang menderita OAB. Pada uji statistik, didapatkan hubungan yang bermakna antara indeks masssa tubuh dengan terjadinya OAB (p<0,05). Pada kelompok IMT ≥ 25 (overweight dan obese) didapatkan rasio prevalens sebesar 11,4, dimana pada kelompok ini resiko terjadinya OAB 11,4 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok IMT ≤ 24,9(normal dan kurus).
DuBeau dkk (2003) menyatakan bahwa prevalensi OAB meningkat dengan
meningkatnya indeks massa tubuh, dengan nilai OR 1,5. Salvig dkk (1999)
mendapatkan bahwa IMT > 35 mempunyai resiko OAB dengan nilai OR 2,5. Dywer
dkk (1988) melaporkan bahwa obesitas secara signifikan berhubungan dengan
(61)
4.7 Sebaran gangguan OAB menurut menopause
Tabel 7. Pengaruh menopause terhadap OAB
OAB
Ya Tidak Total Menopause
n % n % n %
p RP 95% CI
Tidak Ya
14 4
15 57,1
79 3
85 42,9
93 7
100 100
0,005
7,524 1,517-37,311 Chi-square
Regresi logistik
Pada tabel 7. diatas, dari 7 orang yang menopause, 4 diantaranya (57,1%) mengalami gangguan OAB. Dari uji statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara menopause dengan kejadian OAB (p<0,05). Menopause mempunyai resiko untuk terjadinya gangguan OAB sebesar 7,5 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menopause.
Rekers dkk (1992) melaporkan wanita menopause mengalami OAB lebih banyak
(62)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Prevalensi penderita OAB pada paramedis perempuan yang bekerja di lingkungan RSUP H. ADAM MALIK adalah 18% (18 orang).
2. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia,persalinan,IMT,menopause dengan terjadinya OAB.
3. Semakin tua umur seorang wanita semakin besar resiko terjadinya OAB, persalinan dengan vakum mempunyai resiko 36 kali lebih besar terjadinya OAB dibandingkan wanita yang belum pernah melahirkan. IMT ≥ 25 (overweight dan obese) mempunyai resiko 11,4 kali lebih besar untuk terjadinya OAB dibandingkan IMT ≤ 24,9 (normal dan kurus). Wanita menopause beresiko 7 kali lebih besar terjadinya OAB dibandingkan yang belum menopause.
4. Tidak terdapat yang bermakna antara paritas dengan terjadinya OAB.
SARAN
1. Sebaiknya disediakan alat untuk pemeriksaan urodinamik di poliklinik uroginekologi RSHAM.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan OAB yang efektif serta bagaimana kualitas hidup penderita OAB.
3. Bagi wanita overweight dan obese disarankan untuk mengurangi berat badan hingga indeks massa tubuh mencapai normoweight untuk mengurangi resiko terjadinya OAB.
(63)
KEPUSTAKAAN
1. Ouslander JG. Management of Overactive Bladder. The New England Journal of Medicine 350, Massachuchet Medical Society, 2004 : 786-99.
2. Junizaf. Overactive baldder. Dalam makalah yang disampaikan pada Simposiun “Uroginekologi” acara KOGI XI pada tanggal 3 Juli 2000, di The Grand Bali Beach Hotel, Denpasar – Bali.
3. Wagg A, Cohen M. Medical therapy for the overactive bladder in the elderly. Age and Ageing 31, British Geriatrics Society, 2002 : 241-46.
4. Irwin DE, Milsom I, Kopp Z, Abrams P, Cardozo L. Impact of overactive bladder symptoms on employment, social interactions and emotional well – being in six European countries. BJU International 97, 2005 : 96 – 100.
5. Van Der Pal F, et al. Implant-Driven Tibial Nerve Stimulation in the Treatment of Refractory Overactive Bladder Syndrome: 12-Month Follow-up. Neuromodulation, Vol.9, Number 2. International Neuromodulation Society, 2006 : 163 – 71.
6. Patel AK, Patterson JM, Chapple CR. The emerging role of intravesical botulinum toxin therapy in idiopathic detrusor overactivity. International Journal Clin Prac 60, Suppl. 151, Blackwell Publishing Ltd, December 2006 : 27 – 32. 7. Kirby M, et al. Overactive bladder : the importance of new guidance.
International Journal Clin Pract 60, Blackwell Publishing Ltd, October 2006 : 1263 – 71.
(64)
8. Rackley R, et al. Incontinence, Urinary : Surgical Therapies. Available at : http://www.emedicine.com/med/topic3084.htm
9. Rackley R, et al. Incontinence, Urinary : Nonsurgical Therapies. Available at : http://www.emedicine.com/med/topic3085.htm
10. Welsh A. Urinary incontinence, the management of urinary incontinence in women.RCOG Press, London, 2006 : 46 – 124.
11. Treatments for Urinary Incontinence in Women. Available at : http://kidney.niddk.nih.gov/kudiseases/pubs/treatmentsuiwomen/index.htm
12. Newman DK. Program of Excellence in Extended Care, Understanding Bladder Conditions. Diagnostic Ultrasound Corporation, 2006 : 59 – 81.
13. Maneefee SA et al. Incontinence, Proplapse, and Disorders of the Pelvic Floor. Novak’s Gynecology, 13th ed, Lippincott William & Wilkins,
Philadelphia-USA 2002 : 645 – 702.
14. Cunningham FG. Williams Obstetrics 21st Edition.
15. Andersson KE. New roles for muscarinic receptors in the pathophysiology of lower urinary tract symptoms. BJU International 86, Suppl.2, 2000 : 36 – 43. 16. Rackley R, et al. Neurogenic Bladder. Available at :
http://www.emedicine.com/med/topic3176.htm
17. Messelink EJ. The overactive bladder and the role of the pelvic floor muscles. BJU International 83, Suppl.2, 1999 : 31-35.
18. The Overactive Bladder. OAB Info. Available at : http://www.overactivebladder.ca/
(65)
19. Gillespie JI. The autonomous bladder : a view of the origin of bladder overactivity and sensory urge. BJU International 93, 2004 : 478 – 83.
20. University of Texas at Austin, School of Nursing, Family Nurse Practitioner Program. Recommendations For Management of Stress and Urge Urinary Incontinence in Women. May, 2002.
21. Drake NL, et al. Nocturnal polyuria in women with overactive bladder symptoms and nocturia. American Journal of Obstetrics and Gynecology 192, Elsevier Inc., 2005 : 1682 – 6.
22. Overactive Bladder – Urgency / urge incontinence. The American Urogynecologic Society. Available at :
http://www.augs.org/i4a/pages/index.cfm?pageid=207
23. Mansfield KJ, et al. Lower Urinary Tract : Molecular characterization of M2 and
M3 muscarinic receptor expression in bladder from women with refractory
idiopathic detrusor overactivity. BJU International 99, 2007 : 1433 – 38.
24. Van Der Pal F, et al. Percutaneous tibial nerve stimulation in the treatment of refractory overactive bladder syndrome : is maintenance treatment necessary?. BJU International 97, 2006 : 547 – 50.
25. Kelleher CJ, et al. Improved quality of life in patients with overactive bladder symptoms treated with solifenacin. BJU International 95, 2005 : 81-5.
26. Fingerman JS, Finkelstein LH. The Overactive Bladder in Multiple Sclerosis. JAOA, vol. 100, No. 3, Supplement to March, 2000.
(66)
27. Artibani W, Cerruto MA. The Role of imaging in urinary incontinence. BJU International 95, 2005 : 699 – 703.
28. Nitti V, Taneja S. Overactive bladder : achieving a differential diagnosis from other lower urinary tract conditions. Int J Clin Pract 59, Blackwell Publishing Ltd, Juli 2005 : 825 – 30.
29. Yamaguchi O. Defining Clinical Assessment in Overactive Bladder. Int J Clin Pract 58, Suppl. 140, Blackwell Publishing Ltd, July 2004 : 4 - 5.
30. Abrams P, et al. Factors involved in the success of antimuscarinic treatment. BJU International 83, Suppl. 2, 1999: 42 – 47.
31. Hunskaar S, Burgio K, Clark A, et al. Epidemiology of urinary (ui) and faecal (fi) incontinence and pelvic organ prolapse (pop). 2003:255-312
32. Netti VW, et al. Efficacy and tolerability of Tolterodine extended – release in continent patient with overactive bladder and nocturia. BJU International 97, 2006 : 1262 – 63.
33. Kato K, et al. Managing patients with an overactive bladder and glaucoma : a questionnaire survey of Japanese urologist on the use of anticholinergics. BJU Internatonal 95, 2005 : 98 – 101.
34. Quinn P, Goka J, Richardson H. Assesment of an electronic daily diary in patients with overactive bladder. BJU International 91, 2003 : 647 – 652.
35. Cardozo L. The overactive bladder syndrome : treating patients on an individual basis. BJU International 99, supplement 3, 2007 : 1 – 7.
(67)
36. Weiss BD. Selecting Medications for the Treatment of Urinary Incontinence. American Academy of Family Physician. Available at : http://www.aafp.org/afp/20050115/315.pdf
37. Finney SM. Antimuscarinic drugs in detrusor overactivity and the overactive bladder syndrome: motor or sensory actions?. BJU International 98, 2006 : 503 – 7.
38. Wein AJ, et al. Achieving continience with antimuscarinic therapy for overactive bladder: effects of baseline incontinence severity and bladder diary duration. BJU international 99, 2006 : 360 – 3.
39. Herbison P, er al. Effectiveness of anticholinergic drugs compared with placebo in the treatment of overactive bladder: systematic review. BMJ 326, 2003: 841 – 4. Available at : http://bmj.com/cgi/content/full/326/7394/841 40. Best Buy DrugsTM. Evaluating Prescription Drugs Used to Treat : Overactive
Bladder, Comparing Effectiveness, Safety and Price. Available at : www.crbestbuydrugs.org/PDFs/OveractiveBladder-2pager-FINAL.pdf
41. Dmochowski RR, Starkman JS, Davila GW. Transdermal Drug Delivery Treatment for Overactive Bladder. Int Braz J Uro, vol.32(5), 2006 : 513 – 20. 42. Odeyemi IAO, et al. Epidemiology, prescribing patterns and resource use
associated with overactive bladder in UK primary care. Int J Clin Pract, Blackwell Publishing Ltd, Vol. 60, 2006 : 949 – 58.
43. Wagg AS, et al. Overactive bladder syndrome in older people. BJU International 99, 2007 : 502 – 9.
(68)
44. Chapple CR, Gormley EA. Developments in pharmacological therapy for the overactive bladder. BJU International 98, suppl.1, 2006 : 78 – 87.
45. Castro-Diaz D. Definig clinical success in overactive bladder. J Clin Pract 48, Suppl.140, Blackwell Publishing Ltd, 2004 : 6 – 7.
46. Payne CK, Kelleher C. Redefining response in overactive bladder syndrome. BJU International 99, 2007 : 101 – 106.
47. Haab F, Castro-Diaz D. Persistence with antimuscarinic therapy in patients with overactive bladder. J Clin Pract, 59, 2005 : 931 – 37.
48. Chapple CR, et al. Solifenacinsignificantly improves all symptoms of overactive bladder syndrome. J Clin Pract, 60, 2006 : 959 – 966.
49. Overactive bladder. Available at :
http://www.mayoclinic.com/health/overactive-bladder/DS00827/DSECTION=8 50. Parsons M, Robinson D, Cardozo L. Darifenacin in the treatment of overactive
bladder. J Clin Pract, 59, 2005 : 831 – 38.
51. Hjälmås K, et al. The Overactive bladder in children : a potential future indications for tolterodine. BJU International 87, 2001 : 569 – 74.
52. Robinson D, et al. A randomized double-blind placebo-controlled multicentre study to explore the efficacy and safety of tamsulosin and tolterodine in women with overactive bladder syndrome. BJU International, 2007 : 1 – 6. 53. Wagg AS, et al. Overactive bladder syndrome in older people. BJU
(69)
54. Cruz F, Silva C. Refractory neurogenic detrusor overactivity. J Clin Pract, 60, suppl. 151, Blackwell Publishing Ltd, 2006 : 22 – 26.
55. Dmochowski R, Sand PK. Botulinum toxin A in the overactive bladder: current status and future directions. BJU International, 99, 2007 : 247 – 62.
56. Overactive bladder. Available at :
http://www.urologyhealth.org/search/index.cfm?topic=450&search=Overactive %20AND%20bladder&searchtype=and
57. Emmons SL, Otto L. Acupuncture for overactive bladder : a randomized controlled trial. Obstet Gynecol 2005;106:138–43
58. Overactive bladder. Available at :
http://www.medicinenet.com/overactive_bladder/article.htm
59. Foster RT, et al. A prospective assessment of overactive bladder symptoms in a cohort of elderly women who underwent transvaginal surgery for advanced pelvic organ prolapse. American Journal of Obstetrics & Gynecology, July 2007 : 82e1 – 82e4.
60. Bradshaw HD, et al. The acute effect of magnetic stimulation of the pelvic floor on involuntary detrusor activity during natural filling and overactive bladder symptoms. BJU International 91, 2003 : 810 -13.
61. Swami KS, et al. Detrusor myectomyfor detrusor overactivity: a minimum 1-year follow-up. British Journal of Urology, 98, 1998 : 68 – 72.
62. Croen J, Bosch JLHR. Neuromodulation techniques in the treatment of the overactive bladder. BJU International 87, 2001 : 723 – 31.
(70)
63. Dubeau CE et al Ddetessing the Ynmet Needs of Geratiatric Patients with overactive bladder : chalenggger and controversise. Clinical Gariatrics 2003; 11 : 16-26.
64. Louw Q. Prevalence and impact of urinary incontinence on quality of life among adult kigali women. 2004:1-102
65. Miliard RJ. Epidemiology. In Textbook of Female Urology and Urogynaecology, Martin Dunitz Ltd, lodon, 2002 : 36 – 46
66. Hording U, Pederson KH, Sidenius K, et al. Urinary incontinence in 45-year-old women. An epidemiological survey. Scand J Urol Nephrol, 1986, 20:183 67. Burgio KL, Matthew KA, Engel BT. Prevalence, incidence and correlates of
urinary incontinence in healty, middle-aged women. J Urol, 1991, 146:1255 68. Goldberg RP, Kwon C, Gandhi S, et al. Urinary incontinence among mothers
of multiples: the protective effect of cesarean delivery. AJOG, 2003, 1447-52
69. Eason E, Labrecoue M, Marcoux S, et al. Effect of carrying pregnancy and methods of urinary incontinence: a prospective cohort study. BMC Pregnancy and Childbirth, 2004. Available at: http://www.biomedcentral.com/1471-2393/4/4
70. Salvig JD, Lose G, Secher NJ, et al. Urinary incontinence: prevalence and risk factors at 16 weeks of gestation. Br J. Obstet Gynecol, 1999, 106:842
71. Dwyer PL, Lee ET, Hay DM. Obesity and urinary incontinence in women. Br J Obstet Gynaecol, 1988, 95:91
(71)
72. Rekers H, Drogendijk AC, Valkenburg H, et al. Urinary incontinence in women from 35 to 79 years of age: prevalence and consequences. Eur J Obstet Gynecol Repro Biol, 1992, 43: 229
(1)
27. Artibani W, Cerruto MA. The Role of imaging in urinary incontinence. BJU International 95, 2005 : 699 – 703.
28. Nitti V, Taneja S. Overactive bladder : achieving a differential diagnosis from other lower urinary tract conditions. Int J Clin Pract 59, Blackwell Publishing Ltd, Juli 2005 : 825 – 30.
29. Yamaguchi O. Defining Clinical Assessment in Overactive Bladder. Int J Clin Pract 58, Suppl. 140, Blackwell Publishing Ltd, July 2004 : 4 - 5.
30. Abrams P, et al. Factors involved in the success of antimuscarinic treatment. BJU International 83, Suppl. 2, 1999: 42 – 47.
31. Hunskaar S, Burgio K, Clark A, et al. Epidemiology of urinary (ui) and faecal (fi) incontinence and pelvic organ prolapse (pop). 2003:255-312
32. Netti VW, et al. Efficacy and tolerability of Tolterodine extended – release in continent patient with overactive bladder and nocturia. BJU International 97, 2006 : 1262 – 63.
33. Kato K, et al. Managing patients with an overactive bladder and glaucoma : a questionnaire survey of Japanese urologist on the use of anticholinergics. BJU Internatonal 95, 2005 : 98 – 101.
34. Quinn P, Goka J, Richardson H. Assesment of an electronic daily diary in patients with overactive bladder. BJU International 91, 2003 : 647 – 652.
35. Cardozo L. The overactive bladder syndrome : treating patients on an
(2)
36. Weiss BD. Selecting Medications for the Treatment of Urinary Incontinence. American Academy of Family Physician. Available at : http://www.aafp.org/afp/20050115/315.pdf
37. Finney SM. Antimuscarinic drugs in detrusor overactivity and the overactive bladder syndrome: motor or sensory actions?. BJU International 98, 2006 : 503 – 7.
38. Wein AJ, et al. Achieving continience with antimuscarinic therapy for overactive bladder: effects of baseline incontinence severity and bladder diary duration. BJU international 99, 2006 : 360 – 3.
39. Herbison P, er al. Effectiveness of anticholinergic drugs compared with placebo in the treatment of overactive bladder: systematic review. BMJ 326, 2003: 841 – 4. Available at : http://bmj.com/cgi/content/full/326/7394/841 40. Best Buy DrugsTM. Evaluating Prescription Drugs Used to Treat : Overactive
Bladder, Comparing Effectiveness, Safety and Price. Available at : www.crbestbuydrugs.org/PDFs/OveractiveBladder-2pager-FINAL.pdf
41. Dmochowski RR, Starkman JS, Davila GW. Transdermal Drug Delivery
Treatment for Overactive Bladder. Int Braz J Uro, vol.32(5), 2006 : 513 – 20. 42. Odeyemi IAO, et al. Epidemiology, prescribing patterns and resource use
associated with overactive bladder in UK primary care. Int J Clin Pract, Blackwell Publishing Ltd, Vol. 60, 2006 : 949 – 58.
43. Wagg AS, et al. Overactive bladder syndrome in older people. BJU
(3)
44. Chapple CR, Gormley EA. Developments in pharmacological therapy for the overactive bladder. BJU International 98, suppl.1, 2006 : 78 – 87.
45. Castro-Diaz D. Definig clinical success in overactive bladder. J Clin Pract 48, Suppl.140, Blackwell Publishing Ltd, 2004 : 6 – 7.
46. Payne CK, Kelleher C. Redefining response in overactive bladder syndrome. BJU International 99, 2007 : 101 – 106.
47. Haab F, Castro-Diaz D. Persistence with antimuscarinic therapy in patients with overactive bladder. J Clin Pract, 59, 2005 : 931 – 37.
48. Chapple CR, et al. Solifenacinsignificantly improves all symptoms of
overactive bladder syndrome. J Clin Pract, 60, 2006 : 959 – 966.
49. Overactive bladder. Available at :
http://www.mayoclinic.com/health/overactive-bladder/DS00827/DSECTION=8 50. Parsons M, Robinson D, Cardozo L. Darifenacin in the treatment of overactive
bladder. J Clin Pract, 59, 2005 : 831 – 38.
51. Hjälmås K, et al. The Overactive bladder in children : a potential future indications for tolterodine. BJU International 87, 2001 : 569 – 74.
52. Robinson D, et al. A randomized double-blind placebo-controlled multicentre study to explore the efficacy and safety of tamsulosin and tolterodine in women with overactive bladder syndrome. BJU International, 2007 : 1 – 6.
53. Wagg AS, et al. Overactive bladder syndrome in older people. BJU
(4)
54. Cruz F, Silva C. Refractory neurogenic detrusor overactivity. J Clin Pract, 60, suppl. 151, Blackwell Publishing Ltd, 2006 : 22 – 26.
55. Dmochowski R, Sand PK. Botulinum toxin A in the overactive bladder: current status and future directions. BJU International, 99, 2007 : 247 – 62.
56. Overactive bladder. Available at :
http://www.urologyhealth.org/search/index.cfm?topic=450&search=Overactive %20AND%20bladder&searchtype=and
57. Emmons SL, Otto L. Acupuncture for overactive bladder : a randomized
controlled trial. Obstet Gynecol 2005;106:138–43 58. Overactive bladder. Available at :
http://www.medicinenet.com/overactive_bladder/article.htm
59. Foster RT, et al. A prospective assessment of overactive bladder symptoms in a cohort of elderly women who underwent transvaginal surgery for advanced pelvic organ prolapse. American Journal of Obstetrics & Gynecology, July 2007 : 82e1 – 82e4.
60. Bradshaw HD, et al. The acute effect of magnetic stimulation of the pelvic floor on involuntary detrusor activity during natural filling and overactive bladder symptoms. BJU International 91, 2003 : 810 -13.
61. Swami KS, et al. Detrusor myectomyfor detrusor overactivity: a minimum 1-year follow-up. British Journal of Urology, 98, 1998 : 68 – 72.
(5)
63. Dubeau CE et al Ddetessing the Ynmet Needs of Geratiatric Patients with overactive bladder : chalenggger and controversise. Clinical Gariatrics 2003; 11 : 16-26.
64. Louw Q. Prevalence and impact of urinary incontinence on quality of life among adult kigali women. 2004:1-102
65. Miliard RJ. Epidemiology. In Textbook of Female Urology and
Urogynaecology, Martin Dunitz Ltd, lodon, 2002 : 36 – 46
66. Hording U, Pederson KH, Sidenius K, et al. Urinary incontinence in 45-year-old women. An epidemiological survey. Scand J Urol Nephrol, 1986, 20:183 67. Burgio KL, Matthew KA, Engel BT. Prevalence, incidence and correlates of
urinary incontinence in healty, middle-aged women. J Urol, 1991, 146:1255 68. Goldberg RP, Kwon C, Gandhi S, et al. Urinary incontinence among mothers
of multiples: the protective effect of cesarean delivery. AJOG, 2003, 1447-52
69. Eason E, Labrecoue M, Marcoux S, et al. Effect of carrying pregnancy and methods of urinary incontinence: a prospective cohort study. BMC Pregnancy and Childbirth, 2004. Available at: http://www.biomedcentral.com/1471-2393/4/4
70. Salvig JD, Lose G, Secher NJ, et al. Urinary incontinence: prevalence and risk factors at 16 weeks of gestation. Br J. Obstet Gynecol, 1999, 106:842
71. Dwyer PL, Lee ET, Hay DM. Obesity and urinary incontinence in women. Br J Obstet Gynaecol, 1988, 95:91
(6)
72. Rekers H, Drogendijk AC, Valkenburg H, et al. Urinary incontinence in women from 35 to 79 years of age: prevalence and consequences. Eur J Obstet Gynecol Repro Biol, 1992, 43: 229