Kritik Perjuangan Kemerdekaan Tunku Abdul Rahman

50 Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Tunku bukanlah pejuang kemerdekaan seperti Mahatma Gandhi dan pejuang-pejuang kemerdekaan di negara- negara lain, dan mereka mengatakan bahwa Tunku hanyalah sebagai seorang perunding kemerdekaan. 27 Terserah kepada seseorang untuk menilainya, walaupun Tunku telah menggunakan pendekatan toleransi dan berkompromi dengan pihak Inggris, namun itulah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah politik pada waktu itu dalam merealisasikan kemerdekaan Malaya.

D. Perspektif Islam Tentang Perjuangan Kemerdekaan Tunku Abdul Rahman

a. Bentuk Pemerintahan Demokrasi dan Nasionalisme Di zaman sekarang, beberapa negara yang mayoritas penduduknya Muslim menganut sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahan di Malaysia dari zaman pemerintahan Tunku Abdul Rahman hingga sekarang. Pengaruh Islam dalam pemerintahan demokrasi masih begitu tampak dengan banyaknya perundang-undangan yang berbasis pada syariat Islam. Demokrasi di Malaysia tidak dijalankan secara sekuler seperti di negara-negara Barat, melainkan demokrasi yang mendapat pengaruh Islam. 28 Nasionalisme di Malaysia dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu nasionalisme, konservatif dan nasionalis meradikal. Nasionalisme konservatif ini adalah paham yang lebih cenderung mempertahankan dan mendukung 27 Yusof Harun, Idealisme Dalam Kenangan., h. 183. 28 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, h. 216. 51 kolonialisme. Sedangkan nasionalisme radikal ialah paham yang melawan kolonial. Tunku Abdul Rahman adalah salah seorang perjuang nasionalis konservatif. Ia berjuang memberikan kemerdekaan kepada Tanah Melayu. Tunku telah menaikkan semangat para nasionalis pada zamannya demi menuntut kemerdekaan dari jajahan Inggris. Penerapan semangat nasionalisme semangat Tunku dimulai ketika kekalutan UMNO setelah Dato’ Onn Jaafar meletakan jabatan sebagai presiden dan mendirikan Independent of Malayan Party IMP. Karismanya berhasil mengontrol situasi genting dalam politik orang Melayu. Selanjutnya, ia mempersatukan penduduk bangsa di Tanah Melayu melalui permuafakatan politik UMNO-MCA-MIC. Hasilnya membawa kepada terbentuknya Partai Perikatan yang mencapai kejayaan yang besar dalam perlembagaan Negara Malaysia. 29 b. Bentuk Negara Federasi Menurut fiqih siyasah terdapat banyak perbedaan antara negara faderasi dengan satu sama lain, tetapi ada satu prinsip yang sama, yaitu bahwa soal-soal yang menyangkut negara dalam keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan faderal. Dalam hal-hal tertentu, misalnya mengadakan perjanjian internasional atau mencetak uang, pemerintah faderal bebas dari bagian- bagian dan bidang itu pemerintah faderal mempunyai kekuasaan yang 29 Ahmad Athori Hussain, Dimensi Politik Melayu 1980-1990, Antara Kepentingan dan Wawasan Bangsa, Selangor: Dewan Bahasa Dan Pustaka, 1993, cet. 1, h. 4. 52 tertinggi. Tetapi untuk soal-soal yang menyangkut negara bagian dan tidak termasuk kepetingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara bagian. Dalam pemerintahan Tunku Abdul Rahman di Malaysia juga menerapkan konsep fiqih siyasah yang membagikan Malaysia menjadi 13 negara bagian. Dalam konstitusi setiap negara bagian negeri-negeri, konstitusi Malaysia harus dimuat terlebih dahulu sebelum konstitusi masing- masing negara bagian. Konstitusi negara bagian harus mengadopsi konstitusi federal. Ke-13 negara bagian Malaysia adalah: 1 Johor, 2 Kedah, 3 Kelantan, 4 Melaka, 5 Negeri Sembilan, 6 Pahang, 7 Perak, 8 Perlis, 9 Pulau Pinang, 10 Sabah, 11 Sarawak, 12 Selangor, dan 13 Terengganu. Selain itu terdapat 1 wilayah yang merupakan teritori federal yaitu Wilayah Persekutuan yang terdiri atas 2 wilayah pembentuk yaitu 1 Ibukota Kuala Lumpur, 2 Labuan. Bentuk negara yang digagas oleh Tunku Abdul Rahman adalah segaris dengan praktis politik Islam terdahulu, sejak mulai lahir di zaman Nabi sampai di zaman al-Khulafa al-Rasyidun, Dinasti Umayah dan permulaan Abbasiyah, negara Islam masih berbentuk negara kesatuan. Baik di masa pemerintahan daerah masih imarah khashah di zaman Nabi dan Khalifah Abu Bakar, maupun sesudah menjadi imarah amah yang dimulai oleh Khalifah Umar, negara Islam masih tetap merupakan negara kesatuan. 30 30 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Gaya Media Pratama, Jakarta: 2001, cet. I . h. 20.