Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Pendekatan Psikoanalisis Sigmund Freud

(1)

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA

DALAM NOVEL

SAMAN

KARYA AYU UTAMI

PENDEKATAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD

SKRIPSI

OLEH Joko Saputra

080701037

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA

DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI

PENDEKATAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD

OLEH JOKO SAPUTRA

080701037

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. Dra. Keristiana, M.Hum. NIP. 19620419 198703 2 001 NIP. 19610610 198601 2 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP. 19620925 198903 1 017


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Pendekatan Psikoanalisis Sigmund Freud” adalah benar hasil karya penulis. Judul yang dimaksud belum pernah dibuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain demi memeroleh gelar kesarjanaan. Semua sumber data yang diperoleh peneliti telah dinyatakan dengan jelas, benar sesuai data aslinya. Apabila dikemudian hari, pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Medan, Juni 2014 Penulis,

Joko Saputra


(4)

Abstrak

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL

SAMAN

KARYA AYU UTAMI

Oleh: Joko Saputra

Sastra Indonesia FIB USU

Psikologi dalam sastra mengandung kejadian-kejadian yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Melalui perilaku tokoh-tokohnya akan tampak konflik batin yang dialami oleh masing-masing tokoh dalam karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konflik batin tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialaminya dalam novel Saman Karya Ayu Utami. Untuk memperoleh hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud. Metode penelitian yang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang (hermeneutik). Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan konflik batin tokoh utama dalam novel Saman. Konflik batin yang dimaksud dalam hal ini adalah konflik yang dialami tokoh utama yang dipengaruhi oleh alam ketidaksadaran seperti, id, ego, superego. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis solusi yang digunakan tokoh utama untuk menyelesaikan konflik batin yang dialaminya. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama mengalami konflik batin yang didominasi oleh id, ego, dan super ego. Kepribadian tokoh yang didominasi oleh id biasanya mengalami kecemasan bawaan lahir, kepribadian tokoh yang didominasi oleh ego biasanya mengalami kecemasan sesuai kenyataan (kesadaran), dan kepribadian tokoh yang didominasi oleh super ego biasanya mengalami kecemasan moral. Kata-kata kunci:


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yangMaha Esa yang telah memberikan kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Saman

Karya Ayu Utami: Pendekatan Psikoanalisis Sigmund Freud” disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana dari Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, baik moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, umur yang panjang, dan juga kuasaNya sehingga penulis masih dalam keadaan sehat wal’afiat. 2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr.

M. Husnan Lubis, M.A. selaku Pembantu Dekan I, Drs. Samsul Tarigan selaku Pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen

Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis.


(6)

4. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dra. Keristiana, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga selaku dosen penasehat akademik, yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 6. Kedua orang tuaku yang terkasih dan tercinta, Ayahanda Wagiyo dan

Ibunda Kasmini, serta kakak kandung saya Sri Dewi Antika yang telah banyak memberikan kasih sayang, pelajaran hidup bagi penulis dan turut serta dalam mendidik, mendoakan dan mendukung baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

7. Terima kasih kepada Seluruh keluarga besar Unit Kegiatan Mahasiswa Teater ‘O’ USU yang menjadi keluarga kedua saya, terima kasih atas jasa-jasa dan pelajaran yang saya terima sejak menjadi bagian dari keluarga ini, serta mampu membentuk karakter dan prilaku saya menjadi pribadi yang kuat, cerdas, dan bijaksana.

8. Terima kasih kepada Alumni Fakultas Ilmu Budaya, senior, dan juga adik-adik yang masih dalam satu barisan untuk selalu menjaga almamater Fakultas Ilmu Budaya.

9. Terima kasih kepada kawan-kawan stambuk 2008 jurusan Sastra Indonesia yang tidak saya lupakan semua kenangan dan kerjasama selama ini.


(7)

10.Saudara-saudaraku, kakak, abang, dan adik, yang selalu mendukung, mendoakan dan menjadi inspirasi bagi penulis dalam keadaan apa pun untuk tetap bersemangat, sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan ini. 11.Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu saya

menyelesaikan skripsi ini, walaupun namanya tidak saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi perkembangan ilmu humaniora yang lebih bermanfaat.

Medan, Juni 2014 Penulis,

Joko Saputra


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... . 1

1.2Rumusan Masalah ... . 8

1.3Batasan Masalah ... . 8

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian ... . 9

1.4.2 Manfaat Penelitian ... . 9

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... . 10

2.1.1 Konflik Batin ...11

2.1.2 Tokoh Utama ... 11

2.2 Landasan Teori ... 11

2.3 Tinjauan Pustaka ... 24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data ... 29

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 29


(9)

BAB IV KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL SAMAN

4.1 Konflik Batin Yang Dialami Tokoh Utama ...32

4.1.1 Konflik Pendekatan ke Pendekatan...32

4.1.2 Konflik Pendekatan ke Menghindar...37

4.1.3 Konflik Menghindar ke Menghindar...52

4.2 Solusi Yang Digunakan Saman untuk Menyelesaikan Konflik ..77

4.3 Mekanisme Pertahanan Konflik Saman...77

4.3.1 Penggantian...77

4.3.2 Sublimasi...82

4.3.3 Melawan Diri Sendiri...83

4.3.4 Rasionalisasi...84

4.3.5 Proyeksi...88

4.3.6 Regresi...89

4.3.7 Pembentukan Reaksi...90

4.3.8 Represi...100

4.3.9 Keadaan Tertahan...102

4.3.10 Agresi dan Apatis...105

4.3.11 Fantasi dan Stereotype...112

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan...115

5.2 Saran ...117 DAFTAR PUSTAKA


(10)

Abstrak

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL

SAMAN

KARYA AYU UTAMI

Oleh: Joko Saputra

Sastra Indonesia FIB USU

Psikologi dalam sastra mengandung kejadian-kejadian yang tampak lewat perilaku tokoh-tokohnya. Melalui perilaku tokoh-tokohnya akan tampak konflik batin yang dialami oleh masing-masing tokoh dalam karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konflik batin tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialaminya dalam novel Saman Karya Ayu Utami. Untuk memperoleh hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud. Metode penelitian yang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang (hermeneutik). Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan konflik batin tokoh utama dalam novel Saman. Konflik batin yang dimaksud dalam hal ini adalah konflik yang dialami tokoh utama yang dipengaruhi oleh alam ketidaksadaran seperti, id, ego, superego. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis solusi yang digunakan tokoh utama untuk menyelesaikan konflik batin yang dialaminya. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama mengalami konflik batin yang didominasi oleh id, ego, dan super ego. Kepribadian tokoh yang didominasi oleh id biasanya mengalami kecemasan bawaan lahir, kepribadian tokoh yang didominasi oleh ego biasanya mengalami kecemasan sesuai kenyataan (kesadaran), dan kepribadian tokoh yang didominasi oleh super ego biasanya mengalami kecemasan moral. Kata-kata kunci:


(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Karya sastra pada hakekatnya merupakan gambaran peristiwa ataupun kejadian dalam masyarakat ketika karya itu dilahirkan oleh seorang pengarang. Gambaran peristiwa berasal dari pemikiran dan jiwa pengarang secara sadar maupun setengah sadar. Situasi tersebut selalu memengaruhi daya imajinasi pengarang dalam menghasilkan karya, sebab kekuatan karya sastra dapat dilihat berdasarkan kemampuan pengarang dalam mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu kedalam bentuk karyanya. Dalam novel Saman karya Ayu Utami, gambaran peristiwa yang dituangkan Ayu Utami dalam novelnya merupakan potret kondisi warga Desa Lubukrantau untuk mempertahankan lahan karet mereka agar tidak dijual ke pihak perkebunan Anugerah Lahan Makmur (ALM) menjadi perkebunan kelapa sawit. Ayu menampilkan peristiwa pembakaran pabrik kelapa sawit milik ALM yang dilakukan warga Desa Lubukrantau. Selain itu, Ayu Utami juga menggambarkan peristiwa peledakan di salah satu pertambangan kilang minyak di Palembang.

Kejadian masyarakat yang dituangkan dalam bentuk jalinan peristiwa, disampaikan dalam bentuk konflik (pertentangan). Konflik dapat terjadi dalam berbagai lingkungan, misalnya lingkungan sekolah, keluarga, rumah tangga, masyarakat, bahkan dalam diri seseorang yang dalam karya sastra disebut tokoh. Dalam karya sastra seperti novel, konflik-konflik yang dialami seorang tokoh dipengaruhi oleh kepribadiannya. Kepribadian seorang tokoh meliputi watak


(12)

(karakter), pengalaman, perasaan, serta pandangan yang berbeda dengan orang lain. Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor bawaan lahir maupun pengaruh lingkungan. Kepribadian yang dibawa manusia sejak dilahirkan sering mengalami konflik yang dipengaruhi oleh tingkah lakunya ketika berinteraksi dengan orang lain. Interaksi tersebut sering menimbulkan konflik, baik konflik dalam diri sendiri (batin), maupun antar kelompok masyarakat sosial yang disebabkan karena persoalan-persoalan hidup. Dalam menghadapi persoalan hidup, seseorang tidak terlepas dari jiwa manusia itu sendiri. Secara tidak langsung konflik individu (batin) juga sering dialami oleh setiap tokoh dalam cerita, baik tokoh protagonis, antagonis, maupun pendukung. Dalam novel Saman karya Ayu Utami, konflik batin dialami oleh beberapa tokoh yang mendukung cerita, termasuk konflik batin yang dialami tokoh utama. Tokoh utama dalam novel Saman karya Ayu Utami adalah Athanasius Wisanggeni dan diganti namanya menjadi Saman. Saman harus mengganti namanya agar ketika kembali ke Indonesia kasusnya dapat terselesaikan, sehingga terhindar dari teror dan tuduhan yang ditunjukkan pada dirinya, sebab ia dianggap menjadi salah satu tokoh yang melawan pihak perkebunan ALM yang memaksa warga agar tanahnya diubah menjadi tanaman kelapa sawit.

Karya sastra tidak dapat dipisahkan dari segala aspek kehidupan termasuk di dalamnya yaitu kejiwaan atau psikologi. Penelitian karya sastra melalui pendekatan psikologi sastra merupakan bentuk pemaknaan dan penafsiran sastra dari sisi kejiwaannya. Sebab, kejiwaan manusia adalah wujud penggambaran kepribadian seseorang. Untuk lebih mendalami kepribadian seorang tokoh dalam


(13)

sebuah novel dapat dipakai teori psikologi sastra, khususnya psikoanalisis. Dalam psikoanalisis yang menjadi objek penelitian adalah manusia itu sendiri, meliputi kepribadian (tingkah laku) maupun organisme (tubuhnya). Salah satu novel yang dapat dikaji dari segi psikoanalisis dengan mempertimbangkan dominasi konflik antar tokoh yaitu novel Saman karya Ayu Utami. Dalam menggunakan teori psikoanalisis, konflik batin tokoh utama yang berasal dari alam sadar dan taksadar dalam novel dapat terungkap. Melalui penggambaran pergolakan hidup yang dialami tokoh utama, pembaca novel Saman dipengaruhi untuk memahami sedalam mungkin apa yang dirasakan oleh tokoh dalam cerita sehingga penggambaran konflik yang dialami Saman seakan-akan nyata dan dapat dirasakan oleh pembaca secara sadar. Dalam penelitian ini, akan diungkapkan beberapa konflik yang dialami tokoh utama dalam novel Saman karya Ayu Utami.

Novel Saman karya Ayu Utami menceritakan tentang pergolakan hidup yang dialami oleh tokoh Saman dari masih kecil hingga dewasa. Kehidupannya banyak dipengaruhi oleh peristiwa dan gejala alam khayalan (ketidaksadaran) sehingga menimbulkan konflik batin pada dirinya. Secara logika kejadian yang dialaminya merupakan sesuatu hal yang dianggap misterius dan mitos, serta secara akal sehat kejadian tersebut tidak mudah dipahami. Beberapa konflik yang dialami Saman berawal dari pengalaman masa kecilnya yang penuh dengan mistis, sebab ayah dan ibunya selalu melarang Saman untuk tidak bermain-main di hutan yang berada dibelakang rumahnya. Menurut cerita bapaknya, di dalam hutan ada yang lebih menakutkan daripada hantu, yaitu ular, iblis, lucifer, belzebul, leviatan, ular yang meluncur, dan ular yang melingkar. Ular tersebut dapat mencekik lehernya


(14)

dan merusak saraf atau membekuk darahnya yang mengakibatkan seseorang gila dan meninggal dunia. Bahkan, ada ular jenis phiton yang suatu saat dapat mengejar dan tidak takut untuk menelan hidup-hidup tubuhnya yang kecil. Oleh karena, Saman tidak pernah melanggar pagar pring apus yang sengaja dipasang bapaknya di kebun belakang. Seandainya dilanggar, maka sesuatu akan terjadi padanya. Lebih lanjut, menurut ibunya di dalam hutan tersebut terdapat beberapa iblis dan peri yang siap untuk memangsa siapa saja yang berada di sana. Ibunya sering menunjukkan Saman tentang kehidupan lutung betina dan anaknya yang tinggal di salah satu pohon yang jauh dari belakang rumahnya. Namun, Saman tidak pernah menemukan ataupun melihat setiap apa saja yang dijelaskan ibunya.

Ketika masih kecil, Saman sering mengalami guncangan jiwa yang luar biasa. Sebab ia harus kehilangan ketiga adiknya. ketika dua orang adiknya meninggal dunia dalam kandungan, dan satu adiknya meninggal dalam umur tiga hari setelah dilahirkan. Ketika itu sesuatu terjadi pada ibunya. Ketika kandungan ibu yang kedua berjalan tujuh bulan tiba-tiba perutnya mengecil dan tampak seperti orang yang tidak sedang mengandung. Padahal tidak ada pendarahan dan tanda-tanda keguguran. Lalu, pada kandungan ibunya yang ketiga, Saman mendengar suara orok yang jeritnya terpotong-potong seperti tangisan bayi dari jendela lantai dua kamar ibunya. Saman juga mendengar ibunya menembang lela lela ledhung yang biasa mendamaikan hatinya ketika ia tidur. Namun, ketika ia menemui ibunya ke lantai dua, kamar itu menjadi senyap begitu pintu menganga. Tidak ada suara bayi dan perut ibunya tidak lagi mengembung. Dan terakhir setelah tiga tahun berlalu, ibunya mengandung anak yang keempat. Adiknya sempat dilahirkan, namun


(15)

hanya bisa bernafas selama tiga hari, karena sesuatu kejadian aneh yang dialami ibunya. Hal itulah yang menyebabkan pikirannya tidak tenang dan selalu diganggu oleh sosok adik-adiknya dalam mimpi maupun pikirannya yang berasal dari dunia lain. Bahkan, ketika ia dewasa dan menjadi pastor di tanah kelahirannya, setiap waktu Saman sering mendengar suara anak-anak balita serta lelaki di belakang tengkuknya yang tidak pernah diketahui sosok maupun wajahnya.

Di dalam novel tersebut juga disinggung masalah akedah dan norma agama yang dilanggar oleh Saman. Dengan harapan besar, Saman rela mengabdi menjadi Bapak Uskup (Pastor) di daerah transmigrasi Sei Kumbang di Kota Palembang yaitu Desa Lubukrantau yang rentan dengan konflik daripada harus mengabdi di desa yang tidak pernah dikenalnya. Konflik bermula ketika PTP X perkebunan milik Cina menjual perkebunan ke pihak perkebunan ALM. Sejak perkebunan beralih ke pihak ALM, perkebunan memaksa rakyat Desa Lubukrantau untuk menjualkan tanah mereka ke pihak ALM perkebunan kelapa sawit, serta mengganti lahan karet milik warga desa menjadi lahan kelapa sawit. Bermodalkan keberanian dan rasa tanggung jawab, Saman memberikan motivasi dan arahan kepada masyarakat Desa Perabumulih untuk tetap tidak menjual tanah mereka. Akan tetapi, konflik antara warga desa dengan pihak ALM tidak dapat dihindarkan. Pembakaran pabrik, lahan sawit, gudang, rumah warga menambah kekacauan desa hingga akhirnya Saman dituduh menjadi dalang semua konflik yang terjadi di Perabumulih. Tidak hanya itu, Saman sempat disekap dan diintrogasi oleh beberapa karyawan ALM di dalam ruangan yang hanya


(16)

beralaskan celana dalam perempuan milik orang lain yang berwarna biru muda dengan renda. Kadang tubuhnya di sundut dengan bara rokok, jari-jarinya dijepit, dicambuk, disetrum, dipukul serta ditendang ke badannya. Bahkan, Saman dituduh membangun basis kekuatan di kalangan petani untuk mempertahankan tanah mereka. Dari sinilah konflik batinnya memuncak, ketika Saman harus berbohong dengan mengakui bahwa ia adalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor untuk meyebarkan agama dan mengkristenkan ribuan orang, serta ingin membangun kekuatan massa petani untuk sebuah revolusi demi negara sosialis Sumatera. Hal itu dilakukannya agar selamat dari siksaan dari pihak ALM. Konflik batin inilah yang akhirnya mengganggu pola pikir dan jiwanya.

Sebagai orang yang mengalami konflik, tokoh utama selalu berusaha melakukan sesuatu guna mengatasi konflik yang dirasakannya. Dalam contoh penelitian ini, akan diungkapkan solusi atau pertahanan konflik yang dilakukan tokoh utama atas konflik yang dialaminya untuk menghindari kasus yang menimpanya. Saman nekat melarikan diri ke luar negeri melalui Medan, Pekanbaru, hingga sampai di USA. untuk menghindar dari teror dan pencarian kembali atas tuduhan yang dilayangkan kepadanya, sehingga Saman harus kehilangan identitas diri sebagai seorang pastor muda. Tidak hanya itu, Saman juga harus jauh dari keluarga, sahabat, serta lingkungan masyarakat Desa Lubukrantau. Setelah dua tahun berlalu, ketika kembali ke Indonesia, Saman dengan terpaksa mengganti namanya yang semula Athanasius Wisanggeni diganti dengan Saman. Hal tersebut dilakukan agar Saman terbebas dari kasus yang menimpanya. Padahal dalam sisi keagamaan mengganti nama adalah hal yang


(17)

sakral. Setelah Saman tidak lagi menjadi seorang pastor, Di Desa Perabumulih ia mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Lebih lanjut, ia berkata berbohong kepada ALM ketika diinterogasi mengenai tujuannya dalam membantu para warga Desa Lubukrantau, agar penyiksaan yang dialaminya segera berakhir.

Novel Saman merupakan novel dwilogi karangan Ayu Utami diterbitkan pada tahun 1998. Novel yang muncul pada masa reformasi ini, dijadikan alat propoganda para sastrawan melalui karya sastra sebagai reaksi dan aksi terhadap sistem pemerintahan Indonesia ketika sedang mengalami krisis moneter. Selain itu, isi novel tersebut menyoroti kejadian konflik sosial yang terjadi di Kota Palembang, tepatnya di desa Lubukrantau yang merupakan gambaran rezim (kekuasaan) presiden Soeharto dengan kepemimpinan yang otoriter. Tahun 2000 terbit novel kedua Ayu Utami yang berjudul Larung sebagai lanjutan novel Saman.


(18)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, beberapa permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Konflik-konflik batin apa sajakah yang dialami tokoh utama dalam novel Saman karya Ayu Utami?

2. Solusi apa sajakah yang dilakukan tokoh utama untuk mengatasi konflik batin yang dialaminya dalam novel Saman karya Ayu Utami?

1.3Batasan Masalah

Batasan masalah dalam suatu penelitian sangatlah penting agar penelitian lebih terarah dan tujuan penelitian dapat tercapai. Dalam novel Saman karya Ayu Utami mencakup beberapa unsur yang mendukung cerita, tetapi dalam hal ini penulis memfokuskan penelitian pada konflik batin yang dialami oleh tokoh Saman dalam novel, serta bagaimana solusi yang digunakan tokoh tersebut dalam menghadapi konflik yang dialaminya itu.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan konflik batin apa saja yang dialami tokoh utama dalam novel Saman karya Ayu Utami.

2. Mendeskripsikan solusi yang digunakan tokoh utama untuk mengatasi konflik batin yang dialaminya dalam novel Saman karya Ayu Utami.


(19)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini yaitu: 1.4.2.1Manfaat Teoritis

Dapat menambah pengetahuan dalam khasanah ilmu kesusasteraan mengenai karakteristik, perwatakan, serta konflik batin yang dirasakan pemeran tokoh utama dalam sebuah novel secara jelas, dan mendeskripsikan dalam bentuk yang lebih mudah dipahami secara langsung oleh pembaca, dan khususnya dalam studi sastra dengan tinjauan psikoanalisis Sigmund Freud.

1.4.2.2Manfaat Praktis

a. Sebagai rujukan dalam pengembangan apresiasi sastra khususnya bidang novel. b. Memberi informasi tentang konflik batin yang terdapat dalam novel, khususnya


(20)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Alwi (2007:588) mengatakan “konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memenuhi hal-hal lain”.

2.1.1 Konflik Batin

2.1.1.1 Konflik

Konflik berasal dari kata kerja latin ‘configere’ yang berarti ‘saling memukul’. Konflik adalah pertentangan yang dialami seseorang maupun dengan orang lain yang ada disekelilingnya terhadap suatu masalah, baik di dalam maupun di luar. Wirawan (2010:5) mengatakan, “Konflik adalah proses pertentangan yang dideskrifsikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai suatu objek dengan menggunakan pola perilaku dan interaksi”.

2.1.1.2 Batin

Batin merupakan salah satu unsur pembentuk cerita yang dialami oleh tokoh. “Batin adalah sesuatu yang terdapat di dalam hati; sesuatu yang menyangkut jiwa (perasaan hati dsb), sesuatu yang tersembunyi (tidak kelihatan), dan semangat; hakikat”(Alwi, dkk, 2003: 588).


(21)

2.1.1.3 Konflik Batin

Hatikah (2006:70) mengatakan bahwa, konflik batin merupakan suatu pertentangan (problematika) yang dialami oleh individu melalui jiwanya terhadap sebuah objek disekelilingnya yang muncul karena adanya sesuatu yang tidak berterima oleh jiwanya dan memilih salah satu terhadap dua pertimbangan yang ada.

2.1.2 Tokoh Utama

Nurgiyantoro (2010: 176) mengatakan, “Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian”.

Jadi, tokoh utama adalah tokoh yang sering muncul dalam cerita serta mengalami berbagai macam peristiwa berupa konflik, sehingga menjadi perhatian utama pembaca dalam memahami sebuah karya sastra.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Psikologi Sastra

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menyelidiki aktivitas dan tingkah laku manusia. Aktivitas dan tingkah laku tersebut merupakan gambaran ungkapan kehidupan jiwanya. Sedangkan sastra merupakan hasil cipta manusia yang salah satunya dapat diperoleh melalui interaksi. Walgito (2004:1) menjelaskan bahwa, “Ditinjau dari segi bahasa, psikologi berasal dari kata psyche yang berarti 'Jiwa' dan logos berarti 'ilmu' atau 'ilmu pengetahuan', karena itu


(22)

psikologis sering diartikan dengan ilrnu pengetahuan tentang jiwa”. Jiwa manusia terdiri dari dua alam, yaitu alam sadar (kesadaran) dan alam taksadar (ketidaksadaran). Alam sadar menyesuaikan terhadap dunia luar, sedangkan alam taksadar menyesuaikan terhadap dunia dalam. Jadi, psikologi sastra dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa yang mencakup segala aktivitas dan tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh alam sadar dan taksadar melalui hasil cipta manusia melalui interaksi.

Psikologi dipelajari dalam berbagai bidang ilmu, seperti psikologi sosial, kesehatan, agama, politik, ekonomi, maupun dalam sastra yang disebut dengan psikologi sastra. Untuk psikologi sastra, bidang ini digunakan untuk mengungkapkan kejiwaan yang terkandung dalam karya. Ratna (2010: 342) menjelaskan bahwa, “secara defenitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya”.

Di dalam karya sastra, aspek-aspek kejiwaan dapat dipahami. Aspek-aspek kejiwaan dapat ditemukan dalam karya sastra, antara lain kejiwaan pengarang, tokoh dalam karya sastra, dan kejiwaan pembaca. Dapat disimpulkan bahwa tujuan psikologi sastra yaitu untuk mengungkapkan kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra melalui penggambaran masalah-masalah di dalam cerita.

2.2.2 Hubungan Psikologi dengan Karya Sastra.

Psikologi dan karya sastra adalah dua hal yang saling berhubungan. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari dan menyelidiki tentang tingkah laku manusia sebagai perwujudan kejiwaannya. Karya sastra merupakan hasil


(23)

cipta manusia berupa lisan maupun tulisan yang berasal dari pengalaman, interaksi, maupun perasaan seseorang. Aspek-aspek psikologi dalam karya sastra terdapat dalam teksnya. Begitu juga dalam menciptakan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari unsur kejiwaannya. Kejiwaan dalam karya sastra dapat berupa kejiwaan pengarang sebagai seorang penulis, kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra, dan kejiwaan pembaca sebagai penikmat karya sastra. Kejiwaan dalam karya sastra sering dipaparkan pengarang melalui karakter tokoh-tokoh dalam cerita.

Pengungkapan kejiwaan dalam karya sastra digambarkan melalui bahasa teks. Bahasa teks merupakan simbol ataupun ungkapan perasaan pengarang. Maka, bahasa yang digunakan dalam karya sastra merupakan cerminan kejiwaan yang lahir dari kehidupan seseorang. Lebih lanjut Endraswara, (2008:4) mengatakan, “Bahasa dalam sastra adalah simbol psikologis. Bahasa sastra adalah bingkisan makna psikis yang dalam”.

Karya sastra merupakan hasil ciptaan penulis yang dipengaruhi kejiwaaan pengarang dan dituangkan dalam bentuk cerita dan menampilkan beberapa aspek kejiwaan tokohnya, sehingga pembaca dapat memasuki alam jiwanya. Jadi, untuk mengetahui hubungan psikologi dengan karya sastra, dapat digunakan tiga cara, yaitu memahami unsur-unsur kejiwaan seorang pengarang, tokoh dalam karya sastra, dan pembaca. Lebih lanjut, untuk mengetahui hubungan psikologi dengan karya sastra, Ratna (2010: 343) mengatakan seperti berikut.

“Untuk memahami hubungan antara psikologi dengan karya sastra, dapat digunakan beberapa cara, yaitu: Memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, memahami unsur-unsur kejiwaan


(24)

tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca”.

Hubungan antara psikologi dengan karya sastra menurut Jatman dan Roekhan dalam Endraswara (2008:88) bahwa, antara sastra dan psikologi terdapat hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional (nilai guna). Hubungan lintas yang bersifat tak langsung antara psikolog (ahli psikologi) dan pengarang (pencipta karya sastra), harus mampu mengungkapkan kejiwaan manusia secara mendalam melalui proses pengolahan untuk menjadi sebuah karya. Jika pengarang mengungkapkan dalam bentuk karya sastra, psikolog mengungkapkannya dalam bentuk formulasi teori-teori psikologi untuk dijadikan acuan yang relevan untuk studi ilmu (ilmiah).

Dalam hubungan fungsional psikologi dengan sastra, kedua bidang bermanfaat untuk mempelajari kondisi kejiwaan seseorang. Dalam karya sastra kejiwaan seseorang yang dialami seorang tokoh berasal dari manusia yang bukan sebenarnya (khayal) atau tidak nyata dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan psikologi sastra merupakan keadaan jiwa manusia sesungguhnya (nyata). Namun, pada hakekatnya kedua bidang ilmu saling melengkapi. Artinya, gejala kejiwaan yang tidak dapat dibuktikan oleh psikolog dalam teorinya dapat dibantu oleh gejala kejiwaan yang dapat dibuktikan oleh seorang pengarang, atau sebaliknya.

2.2.3 Psikoanalisis Sigmund Freud

Psikoanalisis merupakan salah satu cabang psikologi yang mempelajari alam ketidaksadaran manusia terhadap alam batinnya sendiri. Lebih lanjut, Freud


(25)

dalam Endraswara (2008: 196) mengatakan bahwa, “Manusia banyak dikuasai oleh alam batinnya sendiri”.

Ada beberapa tokoh yang mencetuskan tentang teori psikoanalisis, diantaranya Lacan, Bloom, Cixous, Hartman, Mithchell, dan juga Sigmund Freud. Menurut Endaswara (2008: 47) mengatakan bahwa dari beberapa tokoh yang mencetuskan teori psikoanalisis, Freud menduduki peranan utama dibandingkan tokoh lainnya yang memiliki konsep yang bercabang-cabang. Freud (1856 – 1939) merupakan seorang sarjana kedokteran berbangsa Jerman yang mempelopori teori psikoanalisis. Psikoanalisis yang dikemukakan Freud tidak terbatas untuk menganalisis usul-usul proses penciptaan karya. Teori yang lahir dari penelitiannya mengenai penemuan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan, melainkan disebabkan oleh kelainan-kelainan kejiwaan daripada kelainan organik seorang pasien. Ia menyamakan dengan menghadapi seorang pasien. Untuk mengobati penyakit pasien, seorang psikolog tidak melakukannya dengan cara menguraikan asal-usul penyakit yang dialami pasiennya, melainkan dengan bercakap-cakap, berdialog, sehingga terungkap seluruh depresi mentalnya melalui pernyataan-pernyataan ketidaksadaran bahasanya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis terhadap karya sasta. Teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis dibalik gejala bahasa. Sehingga menurut Freud psikologi adalah alam bawah sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Lebih lanjut Freud dalam Atkinson, Rita.L dkk (2000:271) mengatakan:


(26)

“Freud menyamakan pikiran manusia dengan gunung es. Bagian kecil yang terlihat diatas permukaan air merupakan pengalaman sadar. Massa yang jauh lebih besar dipermukaan air merupakan bawah sadar, suatu gudang untuk inpuls, keinginan, dan kenangan yang tidak dapat diraih yang mempengaruhi pola pikir dan prilaku manusia”.

Dalam Alwisol (2009:26) Freud mengatakan bahwa berbagai kelainan tingkah laku seseorang disebabkan karena beberapa faktor yang terdapat dalam alam ketidaksadaran (unconsciousness), seperti mimpi, berkhayal, melamun, merenung, mite, maupun fantasi. Untuk mempelajari jiwa seseorang kita harus melihat keadaan alam ketidaksadarannya yang terletak jauh didalam diri seseorang. Faktor-faktor yang berada dalam ketidaksadaran bukan merupakan faktor yang statis, melainkan masing-masing mempunyai kekuatan yang membuatnya dinamis.

Psikoanalisis Freud dikenal adanya tiga aspek, yaitu teori kepribadian, teknik evaluasi kepribadian, dan sebagai teknik terapi. Pada penelitian ini penulis memfokuskan berdasarkan teori kepribadian. Teori kepribadian menurut Sigmund Freud terdiri atas 3 aspek, yaitu struktur kepribadian, perkembangan kepribadian, dan distribusi kepribadian. Maka, batasan penelitian ini menggunakan aspek struktur kepribadian.

2.2.3.1 Struktur Kepribadian

Struktur kepribadian merupakan tingkatan kepribadian dalam jiwa seseorang dalam suatu gejala peristiwa melalui tingkah lakunya di masyarakat. Freud dalam Minderop (2011:20), “Faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian adalah faktor historis masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faktor bawaan dan


(27)

faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu”. Oleh karena, menurutnya kehidupan jiwa seseorang memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious) dan tak sadar (unconscious). Lebih lanjut dalam Alwisol (2009:13) Freud menyatakan bahwa struktur kepribadian didukung oleh tiga elemen yaitu Id, ego, dan superego.

Struktur yang pertama adalah id. Id merupakan kepribadian seseorang berupa pola tingkah laku bersifat turun-temurun yang dibawa sejak lahir maupun dorongan hati dan berada di alam bawah sadar. Id tidak ada hubungan dengan kebenaran atau dilihat secara realita. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip ingin memperoleh kesenangan (kenikmatan), yakni dengan menghindari pertikaian atau sesuatu yang dianggap membahayakan dan berharap masalah dapat diselesaikan. Lebih lanjut dalam Alwisol (2009:13) Freud menyatakan:

“...id adalah sistem kepribadian yang dibawa sejak lahir yang berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, imfuls, dan drives. Dengan kata lain, Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan, yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit”.

Lebih lanjut, dalam Minderop (2011:21-22) Freud mengatakan bahwa id merupakan energi kejiwaan dan dorongan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan makan, seks menolak rasa sakit.

Struktur yang kedua adalah ego. Ego berada diantara dua kekuatan yang bertentangan (id dengan super ego) yang memiliki prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh kenyataan secara logika dan dapat dibuktikan secara tampak. Lebih lanjut Freud mengatakan, dalam


(28)

menolong manusia ego digunakan untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. Dalam Alwisol (2009:13) Freud menyatakan:

“The ego. Merupakan eksekutif pelaksana dari kepribadian yang memiliki dua tugas utama. Pertama, memilih stimuli yang hendak direspon atau insting yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal”.

Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan alasan ini, ego merupakan pimpinan utama dalam kepribadian.

Struktur yang ketiga adalah superego. Jika id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk, berbeda dengan super ego yang mengacu pada moralitas dan aturan yang harus dipatuhi dalam kepribadian seseorang terhadap suatu masalah yang dihadapi. Lebih lanjut, dalam Alwisol (2009:13) Freud menyatakan:

“The Super ego. Merupakan kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang beroperasi memakai prinsip idealistik sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego”.

Super ego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk tentang kepribadian seseorang (conscience). Sama halnya dengan id, super ego tidak mempertimbangkan kenyataan karena tidak bergelut dengan hal-hal realistik, kecuali ketika dorongan hati (impuls) seksual dan agresivitas id dapat terpuaskan dalam pertimbangan moral.


(29)

Dalam sebuah kasus misalnya, ego seseorang ingin melakukan seks secara teratur agar karirnya tidak terganggu oleh kehadiran anak; tetapi id orang tersebut menginginkan hubungan seks yang memuaskan karena seks adalah sesuatu yang dapat membuat seseorang merasa nikmat. Kemudian super ego timbul dan menengahi dengan anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan seks.

2.2.4 Konflik Batin

Menurut Wirawan dalam bukunya yang berjudul “Konflik dan manajemen konflik” (2000:55) konflik batin dibagai atas tiga jenis, antara lain:

Pertama, konflik pendekatan ke pendekatan. Konflik yang terjadi karena harus memilih dua pilihan yang berbeda, tetapi sama-sama memiliki nilai positif dan menguntungkan. Sebagai contoh seorang pemain sepakbola yang akan dibeli klub lain harus memilih klub yang sama kayanya. Kedua, konflik menghindar ke menghindar. Konflik yang terjadi karena harus memilih dua hal yang sebenarnya tidak menguntungkan dan harus dihindari. Sebagai contoh, seseorang harus memilih apakah harus menjual rumah untuk sekolah, atau tidak menjual rumah, tetapi tidak bisa melanjutkan sekolah. Ketiga, konflik pendekatan ke menghindar. Konflik yang terjadi karena seseorang mempunyai perasaan positif dan negatif terhadap sesuatu yang sama, sehingga Ia harus memilih dua pilihan yang dapat menyenangkan perasaannya untuk menghindari kesalahan. Sebagai contoh Umar ingin menekan tombol sebagai petanda menjawab pertanyaan kuis. Akan tetapi, Umar takut jawabannya salah. sehingga, Umar tidak jadi menekan tombol.


(30)

2.2.5 Mekanisme Pertahanan Konflik

Freud dalam Minderop (2011: 29) mengatakan bahwa mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang mempertahankannya terhadap anxitas; mekanisme ini melindunginya dari ancaman ancaman eksternal atau danya impuls-impuls yang timbul dari anxitas internal dengan mendistorsi realitas dengan berbagai cara. Ia juga menambahkan bahwa dalam teori kepribadian, mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Mekanisme pertahanan ini tidak mencerminkan kepribadian secara umum, tetapi juga dalam pengertian penting dapat memengaruhi perkembangan kepribadian. Namun, disatu sisi kegagalan mekanisme pertahanan memenuhi fungsi pertahanannya bisa berakibat pada kelainan mental. Selanjutnya, kualitas kelainan mental tersebut dapat mencerminkan mekanisme pertahanan karakteristik.

Dalam hal mempertahankan ego terdapat beberapa pokok yang harus diperhatikan. Pertama, bahwa mekanisme pertahanan merupakan konstruk psikologis. Berdasarkan observasi terhadap prilaku individu. Kedua, perilaku seseorang membutuhkan informasi deskriptif yang bukan penjelasan tentang perilaku. Ketiga, semua mekanisme pertahanan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari orang normal.


(31)

Sistem pertahanan konflik batin dapat dibedakan atas beebrapa macam, antara lain:

(a) Penggantian (pengalihan)

Mekanisme pertahanan ego dalam bentuk penggantian merupakan pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan.

(b) Sublimasi

Minderop (2011:34) mengatakan bahwa sublimasi terjadi apabila tindakan-tindakan yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial untuk menggantikan perasaan yang tidak nyaman dan merugikan orang yang mengalami konflik batin.

(c) Melawan Diri Sendiri

Mekanisme pertahanan dalam bentuk melawan diri sendiri adalah suatu bentuk penggantian paling khusus, dimana seseorang menjadikan dirinya sendiri sebagai target pengganti.

(d) Rasionalisasi

Menurut Hilgard, dalam Minderop (2011:35), rasionalisasi merupakan sistem pertahanan ego yang memiliki tujuan untuk mengurangi kekecewaan ketika gagal mencapai suatu tujuan dengan memberikan motif (alasan) yang dapat diterima atas perilakunya (sesuai kenyataan), dengan cara menyalahkan orang lain atau lingkungannya, rasa suka atau tidak suka, maupun demi kepentingan.


(32)

(e) Proyeksi (menutupi kesalahannya kepada orang lain)

Terkadang sesuatu yang tidak kita inginkan dan tidak kita terima sering melimpahkan masalah itu kepada orang lain. Misalnya, seseorang harus bersifat kritis dan bersikap kasar kepada orang lain.

(f) Regresi (sifat primitif)

Menurut Boeree (2004:53), regresi adalah salah satu mekanisme pertahanan ego dimana individu akan kembali ke masa-masa di mana dia mengalami tekanan psikologis.

(g) Pembentukan Reaksi

Pembentukan reaksi merupakan sistem pertahanan ego yang dilakukan seseorang dengan cara melakukan dan menentukan sikap berpura-pura terlihat meyakinkan, dan agar dihormati di lingkungannya untuk menghindari rasa takut dan ejekan dari orang lain karena adanya tekanan sehingga membuatnya merasa aman.

(h) Represi (dekat dan mengenang pengalaman masa kecil)

Menurut Freud, salah satu sistem pertahanan ego yang paling kuat untuk mengatasi konflik batin yang dialami oleh seorang individu adalah represi. Freud menjelaskan bahwa pengalaman masa kecil seseorang yang diyakini banyak pakar, bersumber dari dorongan seks, sangat mengancam dan konfliktual untuk diatasi secara sadar oleh manusia. Untuk mengatasi kecemasannya, seseorang harus mengambil keputusan yang dilatarbelakangi pengalaman traumatik.


(33)

(i) Keadaan Tertahan (menyembunyikan)

Keadaan tertahan merupakan proses mengatasi kecemasan seseorang dengan cara menyembunyikan sesuatu rahasia dari permasalahan yang melimpahnya, yang dapat membuatnya nyaman dan tidak menyakiti orang lain serta tanpa menyinggung perasaannya.

(j) Agresi dan Apatis

Menurut Hilgard dalam Minderop (2011: 39) agresi merupakan proses mekanisme pertahanan dengan penyerangan tertuju kepada orang-orang yang tidak bersalah dan mencari kambing hitam untuk proses pelampiasan terhadap seseorang karena mengalami frustasi. Sedangkan apatis adalah cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah terhadap keadaan guna meredam rasa kecemasan atas konflik yang dialami seseorang.

(k) Fantasi dan stereotype

Menurut Hilgard dalam Minderop (2011: 39) Fantasi adalah mekanisme pertahanan ego dengan cara masuk ke dunia khayal, daripada realitas untuk mendapatkan solusi terhadap masalah yang ada. Sedangkan Stereotype adalah prilaku pertahanan diri dengan memperlihatkan prilaku pengulangan terus menerus dengan mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak sangat aneh.


(34)

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap karya ilmiah dapat diperoleh melalui beberapa teknik dan metode untuk mengkaji. Termasuk mencari referensi bacaan dan bahan untuk memperoleh data dan hipotesa. Untuk memperkuat pengkajian, selain dipaparkan beberapa tinjauan pustaka yang telah dimuat dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi, akan dipaparkan pula beberapa kajian terhadap novel Saman karya Ayu Utami yang pernah diteliti oleh penulis dalam berbagai pendekatan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ririn Ambarini (UDS, 2008) dalam tesisnya yang berjudul Konflik Batin Dolour Darcy Dengan Pendekatan Psikoanalisis Freud Terhadap Tokoh Utama Novel Poor Man’s Orange Karya Ruth Park. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai konflik batin yang dialami oleh tokoh utama (Dolour Darcy), dan bagaimana solusi yang digunakan tokoh utama untuk menyelesaikan konflik yang dialaminya. Untuk mengetahui tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Poor Man’s Orange dengan menggunakan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik dengan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul, data tersebut dianalisis dengan menggunakan teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam novel Poor Man’s Orange terdapat konflik batin berupa ketragisan yang dialami Dolour Darcy dikarenakan adanya hubungan yang erat antara tokoh utama dengan struktur novel berupa alur dan latar sehingga konflik tokoh utama mendomisi setiap kejadian yang dialami dalam cerita.


(35)

Penelitian yang dilakukan oleh Annisa Imania Yunar (UDS, 2014) dalam skripsinya yang berjudul Konflik Batin Tokoh Cecile dalam Novel Bonjour Tristesse Karya Francoise Sagan: Pendekatan Psikoanalitis. Penelitian kali ini bertujuan menjawab rumusan masalah penelitian, yaitu berupa unsur-unsur intrinsik novel Bonjour Tristesse, dan problematika yang dialami tokoh Cécile dalam novel

Bonjour Tristesse yang memengaruhi mekanisme pertahanan tokoh utama. Untuk mengetahui tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Bonjour Tristesse dengan

metode deskriptif analisis yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang didapat dari sumber data yaitu novel Bonjour Tristesse dan terjemahannya,

kemudian menganalisisnya. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa di dalam novel Bonjour Tristesse struktur kepribadian tokoh Cécile mempengaruhi mekanisme pertahanan dirinya yang didominasi oleh represi dan pembentukan reaksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Yesca Marcelino (UDS, 2010) dalam skripsinya yang berjudul Konflik Batin yang Dialami Tokoh Utama Chris Taylor dalam Film Platoon. Penelitian kali ini bertujuan mengetahui bagaimana tekanan mental dan konflik batin Chris Taylor dalam menghadapi perang yang terjadi di lingkungannya. Untuk mengetahui tujuan penelitian akan dikumpulkan data dari film Platoon dengan dua sumber data yaitu dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data yang didapat dari data utama (film) dan data pembantu berupa buku dan internet, kemudian menganalisisnya dengan metode Pikoanalisis Sigmund Freud. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam film Platoon, konflik batin yang dialami tokoh Chris Taylor diakibatkan perang yang berkecamuk sehingga memengaruhi mental kepribadiannya.


(36)

Pada dasarnya, masih banyak penulis yang meneliti mengenai konflik batin tokoh utama melalui pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud dalam karya sastra. namun, penulis hanya memasukkan beberapa kajian guna mewakili sebuah hipotesa. Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, dapat diketahui bahwa ada beberapa penelitian terdahulu yang sama dengan penelitian ini yaitu dalam analisis psikoanalisis Sigmund Freud. Adapun yang membedakan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah judul buku yang dijadikan sebagai objek penelitian. Dengan demikian, orisinilitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.

Selain penelitian yang membahas tentang konflik tokoh utama, saya juga memaparkan beberapa kajian terhadap novel Saman karya Ayu Utami yang pernah diteliti oleh penulis dalam berbagai pendekatan. Penelitian yang dilakukan Lina Puspita Yuniati (UNS, 2005) skripsinya “Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman Karya Ayu Utami” menyimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang yang terefleksi dalam novel Saman ini terlihat dari solusi yang diberikan oleh pengarang dari permasalahan yang dihadapi oleh tokoh problematik. Tokoh problematik dalam novel Saman yaitu tokoh yang bernama Saman. Berdasarkan solusi yang diberikan oleh pengarang pada tokoh problematik ini dapat disimpulkan bahwa pandangan dunia pengarang yaitu pengarang mempunyai rasa simpati pada nasib yang dialami oleh penduduk transmigrasi Sei Kumbang dan pengarang berusaha untuk menolak pandangan bahwa laki-laki selalu mendominasi perempuan.


(37)

Penelitian yang dilakukan Oktivita (UMS, 2009) skripsi yang berjudul “Perilaku Seksual dalam Novel Saman Karya Ayu Utami : Tinjauan Psikologi Sastra” disimpulkan bahwa perilaku seksualitas yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam cerita merupakan gambaran perilaku manusia sekarang yang sangat mengutamakan kesenangan duniawi daripadi memikirkan resiko serta pengaruhnya untuk masa sekarang dan yang akan datang. Kaitannya dengan penelitian kami ini yaitu teori yang digunakan dengan referensi tersebut juga menerapkan teori psikologi sastra tetapi analisis yang saya gunakan adalah pendekatan psikoanalisis Freud.

Skripsi Agustina Fridomi (USM 2005) yang berjudul “Perlawanan Perempuan Terhadap Hegemoni Laki-Laki dalam Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami: Sebuah Pendekatan Feminisme” menyimpulkan bahwa perkembangan zaman seperti saat ini, perempuan menuntut adanya persamaan hak. Tokoh perempuan modern dalam Saman dan Larung terbuka terhadap perubahan-perubahan yang dianggap dapat memperbaiki kondisi kaum perempuan. Karena itu mereka menolak hegemoni laki-laki yang merendahkan kaum perempuan dengan melakukan deskontruksi atau mempertanyakan kembali segala sesuatu yang menyangkut nasib perempuan dalam agama maupun budaya.

Penelitian yang dilakukan Hani Solikhah (USM 2011) yang berjudul “Potret Seksualitas dan Kritik Sosial dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Kajian Semiotika” menyimpulkan bahwa seksualitas yang dipaparkan oleh pengarang ternyata merupakan potret dan kritik terhadap realita. Tokoh Upi yang begitu menyedihkan ataupun tokoh-tokoh wanita lain yang menggambarkan


(38)

sebuah potret perilaku seksual yang di dalamnya mengkaji perilaku seks menyimpang, terutama adalah keterkaitan antara seksual dengan hak-hak perempuan.

Dari beberapa analisis yang mengkaji novel Saman Karya Ayu Utami, umumnya membahas persoalan tentang seksualitas dan hak-hak perempuan. Dengan demikian, dibutuhkan pembahasan baru terhadap novel Saman agar memperkaya dan membuka pesan dalam novel. Maka, penulis mencoba mengkaji novel tersebut dari segi konflik yang dialami oleh tokoh utamanya, terutama konflik batin. Jadi, sepengetahuan penulis belum ada yang membahas novel Saman menggunakan teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Maka penelitian ini berjudul “Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Saman Karya Ayu Utami Pendekatan Psikoanalisis Freud”.


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Sumber Data

Adapun yang menjadi sumber data yang akan dianalisis adalah :

Judul Saman

Pengarang Ayu Utami

Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal Buku 205 Halaman

Ukuran 13,5 cm x 20 cm

Cetakan 31

Tahun Mei 2013

Warna Sampul Ungu, Abu-abu, putih, kuning, cokelat

Gambar Sampul Lukisan kaca oleh Ayu Utami Desain Sampul Wendie Artswenda

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Noor (2013: 138) mengatakan, “Data merupakan informasi yang diterima tentang suatu kenyataan atau fenomena empiris berupa seperangkat ukuran (kuantitatif) dan berupa ungkapan kata-kata (kualitatif)”. Teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Secara umum cara mengumpulkan data dapat


(40)

menggunakan teknik: wawancara (interview), angket (questionnaire), pengamatan (observation), studi dokumentasi, dan Fokus Group Discussion (FGD). Dalam penelitian kali ini teknik yang digunakan berupa teknik hermeneutika (baca ulang) dan Dokumen (kepustakaan).

3.2.1 Hermeneutika

Hermeneutika merupakan teknik penelititan terhada suatu objek dengan cara membaca berulang- ulang. Pada penelitian kali ini yang menjadi objek penelitian adalah novel Saman karya Ayu Utami. Dengan membaca berulang-ulang maka akan ditemukan inti permasalahan sebuah penelitian yang menjadi tujuan objek itu diteliti.

3.2.2 Dokumen (Kepustakaan)

Teknik pengumpulan data melalui dokumen dapat ditemukan melalui data dan fakta yang tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi dan kepustakaan. Pada penelitian ini menggunakan teknik dokumen berupa buku, website, dan laporan-laporan berita dan tulisan yang berhubungan dengan penelitian di perpustakaan maupun media massa dan elektronika.

3.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan cara yang digunakan dalam mengkaji data penelitian. Secara umum teknik analisis data terdiri dari teknik kualitatif dan kuantitatif. Menurut Denzin dan Licoln (2009:13) mengatakan, “Penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia”. Pada


(41)

penelitian kali ini penulis menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang dan memusatkan perhatian pada masalah aktual.

Dalam analisis deskriptif, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Cara kerjanya adalah dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang (hermeneutika). Analisis tersebut didasari oleh teori-teori pendukung yang berhubungan dengan topik penelitian yaitu penerapan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Dengan mendeskripikan analisis secara benar dan terperinci maka akan dicapai kesimpulan yang akurat sebagai hasil penelitian.


(42)

BAB IV

KONFLIK BATIN YANG DIALAMI TOKOH UTAMA DALAM NOVEL SAMAN

4.1 Jenis-Jenis Konflik Batin yang Dialami Tokoh Utama Dalam Novel

Saman

Menurut Wirawan dalam bukunya yang berjudul “Konflik dan manajemen konflik” (2000:55) konflik batin dibagai atas tiga jenis, antara lain; konflik pendekatan ke pendekatan, pendekatan ke menghindar, dan menghindar ke menghindar. Dalam Novel Saman dapat ditemukan ketiga jenis konflik batin yang dirasakan oleh tokoh utama.

4.1.1 Konflik Pendekatan ke Pendekatan

Konflik pendekatan ke pendekatan merupakan konflik yang terjadi karena seseorang harus memilih dua pilihan yang berbeda, tetapi sama-sama memiliki nilai positif yang saling menguntungkan. Sebagai contoh seorang pemain sepakbola yang akan dikontrak klub internasional harus memilih satu klub diantara dua klub yang sama kayanya. Pada Novel Saman terdapat beberapa konflik batin yang dialami tokoh utama berdasarkan jenis konflik pendekatan ke pendekatan.

Saman menginginkan untuk ditugaskan menjadi seorang pastor di Desa Lubukrantau. Hal tersebut dilakukan karena Saman ingin ikut berbelas kasih atas kesusahan yang menimpa warga Lubukrantau terhadap ancaman dan tekanan dari pihak perkebunan Anugerah Lahan Makmur. Saman yang dikenal sebagai pastor


(43)

yang memiliki latar belakang kepribadian sosial yang tinggi, maka Saman harus menggunakan cara yang dianggap sopan. Oleh karena, demi mewujudkan keinginannya agar ditugaskan di Desa Lubukrantau, Saman harus meminta izin kepada Pater Westenberg agar diizinkan tinggal lebih lama di Lubukrantau. Akan tetapi, Pater Westenberg menyuruh Saman untuk menghubungi Romo Daru. Saman harus meminta persetujuan terlebih dahulu dari Romo Daru untuk bisa tinggal lama bersama keluarga Mak Argani di Lubukrantau. Akhirnya, Saman menelepon Romo Daru agar mengijinkanya untuk tinggal di Lubukrantau. Konflik batin yang dialami Saman adalah jenis konflik batin pendekatan ke pendekatan. Hal itu terlihat ketika Saman memiliki dua pilihan yang tidak merugikan bagi dirinya karena baik Pater Westenberg maupun Romo Daru selalu mengizinkan Saman untuk tetap tinggal di Gereja maupun di Lubukrantau. Superego mengatakan bahwa Saman harus meminta restu dari Romo Daru yang dianggap orang yang lebih tua dan dihormati di pastoran. Pada tahap ini ego mewujudkan keinginan superego dengan meminta izin Romo Daru sebagai orang yang lebih senior di gereja daripada Pater Westenberg.

“Wis menghela nafas, sebab itu berarti ia harus menghubungi Bapa Uskup dan meminta izinnya. Biasanya Uskup tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Apalagi untuk persoalan yang tak ada hubungannya dengan Gereja. Selain itu juga, berarti ia membutuhkan rekomendasi dari Pater Westenberg sendiri. Ditatapnya pria itu, dengan matanya ia memohon tolong pada Romo Daru untuk melobi agar ia ditempatkan di kota ini (S, 2013: 84).

Saman mengalami emosi dan amarah yang sangat tinggi sebagai petanda Saman mengalami kecemasan batin. Saman pun bertanya-tanya dalam hati kepada


(44)

perkebunan swasta Anugerah Lahan Makmur (yang telah membeli lahan sawit dari perkebunan PTP X) tentang tindakan jahat yang dilakukan pihak perkebunan ALM kepada warga Lubukrantau. Id menginginkan Saman agar memenangkan perseteruan sengketa lahan dengan cara melawan pihak perkebunan swasta ALM dengan menuntutnya ke jalur hukum. Saman mencela pihak perkebunan ALM dengan berburuk sangka dan berpandangan negatif kepada perkebunan Anugerah Lahan Makmur. Pada kenyataannya, dalam ajaran agama hal itu sangat dilarang karena telah melakukan tindakan fitnah sehingga siapa saja yang melakukan perbuatan tersebut akan merasa berdosa besar. Namun, superego menahan ego agar tidak cepat berburuk sangka sebab untuk mengurus surat perjanjian kepada ratusan warga membutuhkan waktu lebih lama dan mungkin saja memang ada maksud baik pihak perkebunan ALM agar sistem administrasi praktis dan cepat. Dalam hal ini ego tidak bekerja dalam batin Saman. Id Saman dalam keadaan tidak sadar hanya menerka-nerka dengan bertanya kesal dalam hatinya tentang tindakan pihak perkebunan ALM yang licik dengan memberikan blanko yang merugikan dan terkesan memanfaatkan kebodohan warga Lubukrantau. Konflik batin yang dialami Saman termasuk jenis konflik batin pendekatan ke pendekatan yang tidak merugikan pihak manapun.

“Bagaimana orang-orang bersedia menandatangani blanko kosong? Sebab mereka mendapat pembagian bibit sawit. Lagi pula, alasan petugas supaya praktis saja karena perusahaan kerepotan jika harus menyertakan seluruh isi perjanjian. Apalagi tidak semua orang juga bisa membaca. Untuk apa menyerahkan kertas perjanjian kepada orang yang buta huruf? Wis pun terhenyak. Bagaimana jika otograf itu disertakan pada pernyataan penyerahan hak milik petani kepada perusahaan atau pada para petugas itu? (S, 2013:94).


(45)

Tidak ada sebab maupun sesuatu hal yang mengakibatkan Saman tiba-tiba mengubah pikirannya. Awalnya Saman sangat semangat menolong dengan ikhlas warga Lubukrantau demi mengambil semua hak-hak mereka dan mempertahankan lahan karet mereka yang dipaksa oleh perkebunan ALM untuk menggantinya menjadi lahan kelapa sawit. Hal itulah yang mengakibatkan Saman mengalami kebimbangan ketika ia tiba-tiba berubah pikiran dan mengambil sikap dengan menuruti pihak perkebunan ALM daripada melawan dan meneror perkebunan dengan melakukan perlawanan. Saman beranggapan bahwa tidak akan bermasalah apabila lahan karet milik warga diganti dengan kelapa sawit sebab menurut Saman tanaman kelapa sawit dan karet dapat di panen pada umur yang sama, yaitu dalam jangka lima tahun. Konflik batin Saman memuncak ketika Saman merenungi perjuangan mempertahankan lahan karet bersama warga Lubukrantau sangat beresiko nantinya jika warga tidak sanggup mempertahankan lahan tersebut. Id menginginkan Saman untuk melakukan cara yang bisa mengambil jalan damai dan memeroleh keuntungan tanpa mengalami kerugian. Di sisi lain, Superego Saman menginginkan ego agar warga Lubukrantau menyetujui semua perjanjian pergantian tanaman karet menjadi kelapa sawit asalkan perjanjian jelas dan konkret. Menurut Saman kedua tanaman tersebut juga membawa berkah. Superego Saman mengajarkan bagaimana sebuah permasalahan harus diselesaikan dengan perjanjian yang saling menguntungkan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Superego menghindari perbuatan ego Saman agar tidak merasa cemas dalam menghadapi tekanan yang melanda


(46)

batinnya. Jenis konflik batin yang dialami Saman adalah pendekatan ke pendekatan. Jika benar lahan karet diganti dengan tanaman kelapa sawit maka hal itu juga menguntungkan warga Lubukrantau untuk lima tahun ke depan.

“Ia juga teringat pertemuannya dengan Upi. Sudah enam tahun lalu yang menyeretnya hingga begitu terlibat di perkebunan. Namun, kini sanggupkah mereka mempertahankan pohon-pohon itu dari kekuatan yang begitu besar? Haruskah kita bertahan? Dan mengundang teror lebih lama? Bukankah yang kita inginkan adalah sebuah desa yang makmur? Tidakkah sebaiknya kita setuju mengubah pohon karet dengan sawit, asalkan perjanjiannya tidak merugikan? Kelapa sawit juga sudah bisa di panen pada umur lima tahun (S, 2013:98).

Konflik antara warga Lubukrantau dengan perkebunan ALM tidak dapat dihindarkan. Saman mengalami kekhawatiran yang sangat tinggi ketika Saman hanya ditemani ibu-ibu di salah satu langgar Lubukrantau yang di tinggal oleh beberapa bapak yang pergi untuk membakar pabrik perkebunan ALM. Untuk menghindari rasa ketakutan Saman beserta para ibu yang berada di langgar Saman mencoba menenangkan para ibu untuk berdoa dan bersalawat sesuai kepercayaan agamanya. Dalam hal ini id menginginkan ego melakukan cara untuk mengatasi situasi menakutkan tersebut agar tetap menghadapi situasi dengan tenang walaupun keadaan sangat membahayakan bagi diri mereka. Akhirnya hal yang tidak diinginkan pun terjadi. Saman merasa bahwa kedatangan para lelaki dengan menggunakan jaket hitam membahayakan dirinya dan juga ibu-ibu. Ego mulai muncul ketika Saman mengatakan “Insya Allah” yang artinya “mudah-mudahan” dalam bahasa arab yang di dalamnya terdapat nama Tuhan agama Islam. Di satu sisi Saman menganut agama kristen Katolik. Superego Saman memuncak dengan menyuruh ibu-ibu untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan sebagai


(47)

pemilik kuasa dan keputusan terakhir dan berterima kasih kepadaNya. Superego Saman menginginkan agar sesama umat beragama harus saling menghormati dan menghargai walaupun agamanya berbeda. Jenis konflik batin yang dialami Saman pada kutipan di bawah adalah konflik pendekatan ke pendekatan. Dalam kehidupan sehari-hari dengan ada niat baik saja seseorang dapat memeroleh pahala yang besar bahkan jika niat tersebut disertai dengan doa dan diaplikasikan secara benar maka keinginannya akan terkabul.

“Mereka mengiya. Lalu Wis meminta wanita-wanita itu bersalawat. “berdoalah yang lantang. Selantang mungkin. Insya Allah, doa kita meredakan kemarahan orang-orang” Semoga Tuhan melembutkan hati orang-orang yang mungkin akan mengepung (S, 2010:102).

4.1.2 Konflik Pendekatan ke Menghindar

Konflik pendekatan ke menghindar merupakan konflik yang terjadi karena seseorang mempunyai perasaan positif dan negatif terhadap sesuatu yang sama, sehingga seseorang harus memilih dua pilihan yang dapat menyenangkan perasaannya untuk menghindari kesalahan yang ada. Sebagai contoh Umar ingin menekan tombol sebagai petanda untuk menjawab pertanyaan lomba cerdas-cermat. Akan tetapi, Umar takut jawabannya salah. Akhirnya, Umar tidak jadi menekan tombol. Dalam novel Saman dapat ditemukan beberapa jenis konflik pendekatan ke menghindar yang dialami Saman.

Saman mengalami konflik batin yang begitu cemas. Saman tiba-tiba mengalami mimpi buruk. Berulang kali Saman memanggil ibunya agar terbangun dari tidur namun tidak ada balasan maupun respon dari ibunya. Saman mencoba


(48)

meminta pertolongan dengan menjumpai ayahnya yang berada di lantai dasar rumah. Id menginginkan Saman agar memeroleh kelegahan hati karena sesuatu keanehan dan kengerian yang menimpa Saman ketika melihat keadaan ibunya yang mengalami sesuatu hal tidak sadar dalam tidurnya. Superego Saman mengatakan bahwa dengan memanggil orang yang sedang tidur adalah perlakuan tidak baik sebab seseorang yang sedang istirahat masih dalam keadaan lemah dan tidak sadar. Akan tetapi di satu sisi Saman membutuhkan ketenangan dan kenyamanan. Pada akhirnya superego menyuruh ego untuk memanggil ayahnya yang masih bekerja di lantai dasar. Jenis konflik batin yang dialami tokoh Saman merupakan jenis konflik pendekatan ke menghindar. Jika Saman memilih diam maka Saman akan mengalami rasa cemas secara terus menerus sehingga ia menghampiri ayahnya agar rasa kecemasannya dapat teratasi.

“Setelah berulang-ulang memanggil tanpa dijawab, Wis beranjak ke luar kamar. Ibunya tetap tak terusik, seperti arca batu di sebuah candi yang purba. Wis menuruni tangga kayu yang tanpa penerang, mencari ayah di ruang bawah dengan cemas (S, 2013:54).

Sikap ragu, terkejut, dan diam merupakan tindakan refleks dari tingkah laku Saman yang mengingatkan kembali ingatannya kepada kejadian masa lalu yang dialami keluarganya ketika masih kecil. Pengalaman semasa kecil yang dialami Saman dirumahnya dulu telah mengembalikan sesuatu yang ingin dicarinya selama ini. Superego Saman mengatakan agar lebih baik diam daripada langsung bercerita tentang kejadian buruk yang menimpa kehamilan ibunya di rumah tersebut kepada seorang wanita. Superego menahan kerja ego untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat berakibat patal sebab dengan cara diam tanpa


(49)

bercerita dapat menahan emosinya kembali muncul. Jenis konflik batin yang dialami Saman pada kutipan di bawah adalah pendekatan ke menghindar. Hal tersebut terlihat ketika keinginan Saman yang begitu tinggi untuk merasakan kembali kejadian masa lalu Saman di rumahnya terdahulu yang kini dihuni oleh keluarga lain. Saman sangat penasaran akan keadaan yang dialami wanita dengan kehamilannya. Namun, jika Saman tidak memberanikan kembali ke rumah itu, maka rasa kepuasan Saman untuk memenuhi penasarannya tidak dapat terpenuhi.

“Waktu ia akhirnya pergi ke sana dengan agak ragu, seorang perempuan muda yang tengah mengandung muncul membukakan pintu. Wis terkejut, tak siap menghadapi orang lain di rumah masa kecilnya, tak siap menjadi asing di bekas tempat tinggalnya. Dan wanita itu hamil tua, seperti ibu ketika hidup di situ. Untuk beberapa detik, Wis tak bisa berkata-kata (S, 2013:60).

Saman tidak ingin menyinggung perasaan Asti seorang wanita yang sedang hamil tua dan kini menetap dirumah tersebut. Saman merasa ketakutan apabila menceritakan tentang kejadian yang pernah dialaminya kepada wanita itu karena akan menyebabkan Asti tersinggung dan sakit hati yang dapat menyebabkan Asti takut dan cemas. Jadi, untuk menghindari hal tersebut Saman hanya berani menceritakan kepada suami Asti yaitu Ichwan yang dianggapnya dapat diajak bercerita dengan terbuka tentang pengalaman masa lalunya tersebut. Dua bulan menjelang persalinan kelahiran anak Asti, akhirnya Asti berangkat ke Jakarta. Sejak keberangkatan Asti ke Jakarta Saman mulai berani menceritakan kepada Ichwan tentang kejadian tersebut walaupun pada akhirnya Ichwan menyimpulkan bahwa kejadian itu hanya diakibatkan faktor kesehatan klinik atau persalinan di puskesmas. Id Saman menginginkan agar ia melakukan cara untuk


(50)

berbagi pengalaman kecilnya kepada orang lain. Ego Saman “bekerja” pada saat Saman menceritakan kepada Ichwan tentang bagaimana kejadian yang sesungguhnya, bahwa adiknya pernah dilahirkan di rumahnya dan meninggal pada hari ke tiga. Superego Saman bekerja dengan tidak menceritakan dan menyembunyikan cerita kepada Ichwan dan Asti mengenai kedua adik Saman yang meninggal di dalam kandungan ibunya. Hal tersebut dilakukan karena superego takut ego bekerja di luar kendali sehingga dapat menyakiti keluarga Ichwan. Konflik batin yang dialami tokoh utama pada kutipan di bawah adalah jenis konflik pendekatan ke menghindar. Jika Saman tidak menceritakan kejadian yang sesungguhnya maka Saman mengalami kecemasan dan Ichwan tidak berhati-hati dalam menjaga kehamilan istrinya. Namun dengan menceritakan kejadian tersebut kepada Ichwan menyebabkan Saman merasa lega dan tidak dibayang-bayangi rasa ketakutan.

“Setiap kali ada waktu yang layak, Wis menyempatkan diri mampir, tanpa mengakui yang sebetulnya ia rindukan. Dua bulan sebelum saat melahirkan, Asti pulang ke Jakarta. Barulah Wis bercerita kepada Ichwan tentang adiknya yang terakhir, yang lahir dan mati pada hari ketiga. Barangkali, itu karena klinik di sini kurang steril, mereka menyimpulkan. Ia tetap menyimpan kisah dua adiknya yang hilang dalam kandungan (S, 2013:62).

Saman tidak tahu cara apa yang dilakukannya agar dapat lebih dekat dengan suara-suara yang membukakan jalan bagi ingatan Saman terhadap kejadian masa lalunya. Saman mengalami rasa penasaran yang tinggi sebab Saman ingin membuktikan pada dirinya sendiri, siapa sebenarnya suara-suara yang mengganggu dan mengikutinya hingga ia dewasa kini. Id Saman bekerja


(51)

ketika mengharapkan kedatangan suara-suara itu muncul kembali. Hal itu dilakukan Saman untuk menghindari rasa kecemasannya yang semakin tinggi. Ego sempat bekerja dengan melakukan doa sembari menggenggam koran sebagai media berdoa. Namun superego melarang ego untuk melakukan hal itu, dan memilih bekerja agar Saman berdoa ke pastoran saja daripada di rumah itu karena superego merasa berdoa di pastoran lebih baik dan tenang. Menurut superego berdoa di pastoran akan memeroleh petunjuk daripada berdoa dengan memegang koran dan mengharapkan sesuatu yang menjurus ke perbuatan syirik dengan menduakan Tuhan. Konflik batin yang dialami tokoh utama pada kutipan di bawah adalah jenis konflik pendekatan ke menghindar. Jika Saman tetap berdoa di rumah tersebut Saman akan mengalami kejadian yang aneh dan membuat hatinya kembali trauma.

“Namun, kata-kata dalam koran itu selalu saja membukakan jalan bagi memorinya tentang rumah itu. Sesekali ia melipatnya untuk berdoa, doa yang tak ia tahu bedanya dari sekadar harap-harap cemas, agar ia bisa berhubungan dengan suara-suara itu...apakah permintaan semacam pantas di sebut doa? Layaknya meminta Tuhan memuaskan penasaran pribadi? Ia membuka kembali bacaannya tetapi hanya mengulang-ulang paragraf yang sama. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke pastoran. (S, 2013:63).

Pada kutipan di bawah sangat terlihat jelas bahwa Saman mengalami konflik batin yang begitu berat ketika hatinya merasa khawatir akibat perasaan ambang inderawi yang mengatakan bahwa ada orang lain di ruangan tersebut selain dirinya. Saman adalah orang yang taat terhadap agama Katolik sehingga Saman tidak takut dengan bahaya datangnya sosok makhluk halus maupun iblis. Ketakutan Saman hanya tertuju kepada perampok yang datang tiba-tiba di rumah


(52)

itu. Menurut saman hal tersebut akan lebih berbahaya daripada kedatangan iblis karena perampok dianggap nyata. Id menginginkan bagaimana cara yang dilakukan ego Saman untuk tidak menghindari dirinya dari rasa khawatir karena kebiasaan manusia ketika melihat sesuatu di luar panca inderanya pasti akan mengalami ketegangan terutama pada indera perasa manusia yaitu saraf bulu kuduk di belakang tengkuk kepala. Id direspon oleh ego (kesadarannya) dengan menyalakan lampu ruangan untuk melihat sosok yang datang di ruangan kamarnya. Superego mengawasi kerja ego agar terhindar dari pikiran negatif dengan menggunakan sesuatu benda senjata untuk melawan. Akhirnya superego menginginkan ego untuk menyalakan lampu sebagai petanda mengecek tamu atau sesuatu yang datang ke rumah. Konflik batin yang dialami oleh Saman yaitu konflik pendekatan ke menghindar. Hal itu terbukti dari rasa nekat Saman dengan berani menyalakan lampu ruangan karena ia memiliki prasangka negatif atas kedatangan suara-suara seseorang yang ternyata bukan siapa-siapa.

Ketika bola dipadamkan, ia merasakan sesuatu. Bukan suara, bukan pula bunyi, tetapi perasaan ambang inderawi bahwa ada orang lain di ruang itu, di dekatnya. Saraf-saraf refleksnya mencuatkan cemas, jari-jarinya kembali menyalakan lampu. Tapi dalam terang ia tak melihat siapa-siapa. Syukurlah bukan rampok atau maling (S, 2013:63).

Konflik batin Saman memuncak ketika ia menyerah karena badannya terasa lemas sehingga Saman tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi suara-suara aneh yang selalu mengikutinya. Id menginginkan agar wanita yang kejebur ke dalam sumur untuk segera ditolong. Akan tetapi di satu sisi superego Saman mengatakan bahwa pekerjaannya tidak akan berhasil jika hanya dilakukan


(53)

seorang diri saja. Superego Saman mengatakan bahwa kepada sesama orang lain maupun tetangga harus menjalin kerjasama dan memiliki rasa kasih sayang serta tolong menolong. Keinginan id dan superego langsung direspon oleh ego Saman dengan melangkah yakin walaupun dengan rasa ngeri dan terpukau kemudian Saman berlari memanggil para tetangga untuk datang dan membantunya menolong wanita cacat yang kejebur ke dalam sumur. Ego Saman pun melakukan cara untuk menarik perhatian warga dan orang sekitar rumah dengan teriakan Saman yang begitu keras agar orang berlari dan membantunya menolong wanita itu dari dalam sumur. Jenis konflik batin yang dialami Saman yaitu pendekatan ke menghindar. Saman berharap dengan suara teriakan dan berlari memanggil tetangganya Saman dapat menolong nyawa wanita yang kejebur ke dalam sumur bersama mereka sebab jika itu tidak dilakukan maka Saman akan menyelamatkan wanita itu seorang diri dan kemungkinan wanita tersebut tidak akan tertolong sebab sumur itu sangat dalam.

“Wis melangkah menuju bunyi, dengan terpukau dan ngeri...lelaki itu merasa lemas karena tidak tahu harus berbuat apa, bahkan untuk sejenak tak yakin dengan apa yang sedang terjadi. Akhirnya ia berteriak memanggil bantuan, sambil berlari ke pintu belakang tetangga terdekat. “tolong! Seorang anak kecemplung sumur (S, 2013: 67).

Kepedulian dan perhatian Saman terhadap tokoh Upi sangatlah tinggi. Upi yang merupakan seorang wanita yang memiliki masalah kelainan cacat mental dan kejiwaan menyebabkan hati nurani Saman merasa terpanggil dan segera melakukan tindakan untuk membantu kesengsaraan yang dialami Upi selama di dalam kurungan bilik. Hal ini mengakibatkan konflik batin yang luar biasa


(54)

dialami Saman. Id Saman menuntut ego untuk menyenangkan Upi agar memeroleh tempat tinggal yang layak seperti manusia yang waras. Kehadiran Upi dalam kehidupan Saman menyebabkan Saman merasa iba terhadap penderitaan dan keadaan yang dialami Upi. Pada penggalan isi novel di bawah, keinginan superego dilanggar oleh Saman ketika Saman mengalami ketakutan atas hukuman yang ditujukan padanya akibat perbuatan yang dilakukan Saman dengan mengunci kandang Upi. Saman merasa bahwa mengurung seseorang tanpa kesalahan adalah melanggar norma hak azasi manusia. Tahap lamunan Saman sempat berpikir, seandainya Upi itu adalah laki-laki dan Saman adalah perempuan maka akan berbeda keadaannya. Ego yang muncul pada batinnya adalah Saman ingin mencoba membantu energi id secara rasional agar tidak mencapai tahap superego. Jenis konflik yang dialami Saman adalah konflik pendekatan ke menghindar. Saman terpaksa mengunci kandang Upi yang telah dibuatnya hampir seminggu lebih karena Upi tiba-tiba melakukan hal yang dianggap Saman sangat aneh. Sigale-gale yang diciptakannya tidak mampu menciptakan ketertarikan Upi selama Saman masih berada disamping Upi. Upi sempat menyentuh tangan Saman, namun Saman langsung mengunci kandang Upi agar terhindar dari kejadian yang negatif (perzinaan) antara keduanya. Dengan alasan tersebut, maka Saman menghindari perzinahan agar terhindar dari perbuatan maksiat. Walaupun di satu sisi Upi merasa kesakitan berhubungan seks dengan Sigale-gale yang dianggap Upi memiliki kenikmatan yang luar biasa. Solusi yang dilakukan Saman adalah dengan mengurung Upi agar mereka berdua terhindar dari perzinahan.


(55)

“....dengan galau ia meninggalkan kandang, serta perempuan yang berseru-seru di belakangnya. Ia merasa amat pedih ketika harus menggembok kembali pintu, memasung si gadis yang menatap matanya persis di hadapannya. Salahkah aku? Apakah aku tidak menghina dengan membikin patung tadi? Saya sungguh hanya ingin menyenangkan kamu, Upi, dalam penjaramu. Saya ingin kamu kecukupan. Sebab saya tak kuasa membebaskan kamu dari sana....” Ia menoleh dan melihat gadis itu telah membuka kancing bajunya. Andaikan aku ini perempuan, atau kamu yang laki-laki, barangkali kita lebih gampang bersahabat dan aku bisa meringankan kesepianmu....”Semakin aku terlibat dalam penderitaanmu, semakin aku ingin bersamamu. Dan Wis selalu kembali kesana. Kian ia mengenal perkebunan itu, kian ia cemas pada nasib si gadis (S, 2013:81).

Saman merupakan pastor yang memiliki kepribadian penyayang dan pengertian antara sesama umat manusia. Hal tersebut Saman lakukan pada tokoh Upi. Hal tersebut dilakukan dengan harapan dapat memberikan kelayakan dan kenyamanan tempat tinggal bagi Upi, dengan mendirikan bilik atau tempat tinggal yang baru dengan lokasi lebih luas dari sebelumnya. Namun, pada kutipan di bawah, Saman mengalami konflik batin yang luar biasa. Sebab, di satu sisi Saman sangat khawatir dengan kurungan yang dilakukan keluarga Mak Argani terhadap Upi yang memang memiliki keterbelakangan mental. Namun, jika hal itu tidak dilakukan Saman, maka akan membahayakan orang dan binatang milik warga jika Upi dilepas begitu saja. Hal itu juga terlihat ketika untuk kesekian kalinya Saman menemui Upi di bilik. Awalnya Saman merasa kasihan dengan kurungan itu, namun batin Saman mengatakan bahwa cara itu demi kepentingan dan keamanan semua orang. Untuk menghindari kejadian yang tidak menyenangkan, akhirnya superego menuntut ego Saman untuk mengendalikan batinnya dengan memberikan makanan kepada Upi dari luar bilik tersebut. Lalu Saman becakap-cakap dengan menyodorkan beberapa biskuit, sebab sudah lama Saman tinggal di


(56)

gereja dan tidak ke Lubukrantau. Id menginginkan agar Upi juga memeroleh perlakuan yang sama dari manusia lainnya. Namun, di satu sisi superego menekan ego agar tidak berbuat ceroboh, sebab dengan membiarkan Upi keluar dari kandang akan membahayakan orang lain yang berada di luar, dan ego akan mengalami kecemasan. Jenis konflik batin pada kutipan di atas adalah konflik pendekatan ke menghindar. Akhirnya Saman harus memilih untuk memberi makanan biskuit kepada Upi dari balik jeruji kayu. Bukan memperlakukannya seperti binatang, hanya saja untuk menghindari sesuatu yang melanggar aturan dan norma.

“Sudah lama ia tidak masuk ke dalam. Ia ingin, tetapi gadis itu nampak masih birahi padanya. Pemuda itu lalu berdiri di luar saja, dekat bilik, dan memanggil namanya. Perempuan itu muncul dari balik korden kumal yang menutup pintu, senyumnya lebar. Wis menyodorkan sekardus biskuit. Mereka bercakap-cakap, seperti biasa, masing-masing dengan bahasanya sendiri. Ia menjadi amat muram sebab gadis itu sama sekali tidak mengerti bahwa keluarganya sedang tersuruk semakin jauh dalam kemiskinan. Apa yang bisa kulakukan, Upi, supaya kamu tidak pergi ke tempat yang lebih jelek daripada penjaramu ini (S, 2013:82)?

Pilihan yang sulit antara berada di pastoran untuk mengembangkan agama atau membantu orang dalam keadaan kesusahan. Saman mengalami pilihan yang sulit untuk memilih antara Gereja atau Lubukrantau. Saman akhirnya memohon dengan rasa iba, agar diberi izin untuk tetap berada di pastoran dan juga Lubukrantau. Id menginginkan ego agar Saman diberi izin untuk tinggal lebih lama di Lubukrantau dan tetap bertugas di gereja yang berada di Kota Perabumulih. Akan tetapi, di lain sisi superego menginginkan Saman untuk tidak


(57)

bersifat rakus dan tamak. Saman harus memilih kepentingan yang utama, antara gereja atau Lubukrantau. Namun ego menghiraukan keinginan superego yang menginginkan dua-duanya dengan menyodorkan proposal untuk membantu beban masyarakat Lubukrantau dari ancaman Perkebunan Anugerah Lahan Makmur. Hal itu juga didukung oleh ego Saman yang merasa amat berdosa hanya melihat dan diam tanpa bekerja apapun untuk meringankan beban warga Lubukrantau, sedangkan di pastoran Saman mendapat perhatian khusus dan mewah dari para suster gereja. Jenis konflik batin yang dialami Saman pada kutipan di bawah yaitu pendekatan ke menghindar.

“Wis terdiam. Lalu ia meminta maaf. “saya sama sekali tidak bermaksud menyepelekan pekerjaan gereja. Saya cuma tak bisa tidur setelah pergi ke dusun itu. Ia ingin mengatakan rasanya berdosa berbaring di kasur yang nyaman dan makan rantangan lezat yang di masak ibu-ibu umat secara bergiliran. Bahkan rasanya berdosa jika hanya berdoa. Ia tak tahan melihat kemunduran yang menurut dia dapat diatasi dengan beberapa proposalnya. Dengan agak memelas ia memohon diberi kesempatan melakukan itu (S, 2013:84).

Perasaan Saman begitu hancur. Saman difitnah dan dituduh menyebarkan agama Katolik yang tidak diyakini secara penuh oleh warga Lubukrantau. Saman juga dituduh mengkristenkan seluruh warga Lubukrantau secara paksa agar masuk ke agama Katolik. Tidak hanya itu, Saman juga dituduh mengajari keluarga Mak Argani berburu dan makan hewan babi, sebab dalam agama Islam mengkonsumsi daging babi hukumnya haram dan dilarang Tuhan. Jika hal tersebut dilakukan maka sama halnya orang tersebut telah memakan bangkai makanan yang haram untuk di konsumsi. Akhirnya, tuduhan tersebut membuat Saman semakin takut dan berhati-hati terhadap warga yang mungkin percaya dengan omongan mereka


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelititan Psikologi Sastra. Jakarta: Media Pressindo.

Freud, Sigmund. 2006. Pengantar Umum Psikoanalisis Sigmund Freud. Terjemahan Haris Setiowati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Guntur Tarigan, Henry. 2004. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa. Hatikah, Tika, dkk. 2006. Membina kompetensi Berbahasa dan Bersastra

Indonesia. Jakarta: Grafindo Media Pratama.

Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta:s Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Noor, Juliansyah. 2013. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Penelitian Sasta, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologi Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Tantawi, Isma. 2013. Terampil Berbahasa Indonesia. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Utami, Ayu. 2013. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


(2)

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Terjemahan Melani Budianto. Jakarta: Gramedia.


(3)

Sinopsis

Wisanggeni lahir di Muntilan Yogyakarta. Ia termasuk anak yang beruntung karena dia adalah satu-satunya anak yang lahir dari rahim ibunya dan hidup hingga dewasa. Dua adiknya tidak pernah lahir, dan satu adiknya meningggal walau sempat menghembuskan nafas selama dua hari. Mereka mengalami suatu peristiwa aneh yang hanya diketahui oleh Wis dan pengalaman ini terjadi pada masa kecilnya. Ayahnya bernama Sudoyo, bekerja sebagai pegawai Bank Rakyat Indonesia dan sebagai mantri kesehatan di Yogyakarta. Ibunya masih keturunan Raden Ayu. Sekeluarga Saman adalah keluarga yang sangat taat beribadah dan memegang teguh ajaran agama Katolik.

Pada waktu Wis berumur empat tahun, ayahnya dipindahkan ke Kota Prabumulih yaitu sebuah kota minyak di tengah Sumatra Selatan yang sunyi pada masa itu, hanya ada satu bioskop dan bank yang usianya belum panjang. Di Prabumulih ayah Saman bekerja sebagai kepala cabang Bank Rakyat Indonesia. Setelah Wis menamatkan pendidikannya, maka diadakan upacara pengangkatan Wis sebagai pastor dan ia mendapatkan julukan Pastor Wisanggeni atau Romo Wis. Dalam sebuah acara misa, Wis bertemu dengan Romo Daru dan Wis meminta kepada Romo Daru agar dirinya ditugaskan di Prabumulih. Permintaannya itu dikabulkan. Akhirnya setelah ia berada di Prabumulih, Wis mendatangi rumahnya yang dulu dan berkenalan dengan penghuni rumahnya yang sekarang. Ketika di sana Wis mengalami kejadian-kejadian aneh lagi seperti yang pernah ia alami pada waktu kecil.


(4)

Di Prabumulih Wis bertemu dengan seorang gadis yang cacat dan mempunyai keterbelakangan mental. Gadis itu bernama Upi. Upi adalah anak seorang transmigrasi Sei Kumbang yang tinggal di Desa Lubukrantau. Desa Lubukrantau adalah sebuah desa perkebunan karet yang berada kira-kira tiga jam dari Kota Perabumulih. Karena perlakuannya dianggap membahayakan orang lain, maka keluarganya memutuskan untuk mengurung dan mengrangkeng Upi di sebuah bilik yang terbuat dari kayu dan bambu yang kondisinya sudah tidak sehat. Wis tidak berdaya melihat gadis di dalam kerangkeng itu. Akhirnya Wis memutuskan untuk membangun tempat yang lebih sehat dan menyenangkan Upi.

Wis merasa semakin ia mengetahui penderitaan rakyat Lubukrantau semakin ia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari mereka, yang membuatnya ingin lebih lama tinggal dan ingin memperbaiki penderitaan yang dialami oleh petani di sana. Berkat izin dari Bapak Uskup dan modal dari ayahnya, maka ia mengadakan rapat dengan keluarga Mak Argani dan membicarakan tentang rencananya untuk membangun pengolahan sederhana atau rumah asap di dusun. Suatu ketika Wis kembali ke Prabumulih selama dua minggu. Ketika Wis kembali ke Lubukrantau, Wis dikejutkan oleh kejadian yang telah menimpa Upi gadis cacat dan gila itu telah diperkosa oleh orang-orang yang hendak merebut lahan mereka dengan cara menjebol rumah baru Upi.

Selanjutnya, diceritakan ada empat orang datang Sei Kumbang yang mengaku bahwa mereka menjalankan tugas dari Gubernur tentang lokasi transmigrasi Sei Kumbang yang semula perkebunan karet akan diganti dengan perkebunan kelapa sawit. Para penduduk tidak sepakat untuk menganti kebunya dengan kelapa sawit.


(5)

Melihat keadaan ini Wis dan penduduk mengadakan rapat yang bertempat di rumah asap. Pada rapat ini menghasilkan kesepakatan supaya penduduk jangan sesekali mau menandatangani pada lembaran kosong yang diberikan oleh pihak perusahaan PT Anugrah Lahan Makmur (ALM). Ini menghasilkan sebuah pertentangan yang akhirnya melahirkan sebuah bencana di Sei Kumbang yaitu penggusuran, pemaksaan, pemerkosaan terhadap kaum perempuan, dan lain-lain. Wis sebenarnya sangat ingin menyelamatkan Upi ketika itu, orang-orang itu menangkap Wis dan dimasukkan ke dalam penjara.

Selama di dalam penjara Wis selalu disiksa. Pada saat Wis mulai putus asa dengan keadaan yang menimpanya, Anson dan pemuda Lubukrantau menyelamatkan Wis dan membawa kabur Wis dari penjara. Wis keluar dari penjara dalam keadaan yang tidak berdaya. Wis tidak mau dipulangkan ke Prabumulih, ia meminta diantar ke rumah suster-suster Boronous yang berada di Lahat. Di sana Wis dirawat oleh suster Marietta selama kurang lebih tiga bulan. Dalam masa penyembuhan Wis membaca tuduhan-tuduhan terhadap dirinya melalui surat kabar. Setelah sembuh Wis pergi ke sebuah tempat yang hanya diketahui oleh lima orang suster dan satu dokter. Dalam persembunyiannya, tak lama setelah peristiwa itu, Wis mengganti kartu identitasnya dengan mengganti namanya menjadi Saman.

Setelah kejadian itu, Saman menulis surat untuk ayahnya. Ia menyatakan bahwa ia menyesal karena tidak bisa memberi ayah keturunan karena dirinya menjadi seorang pastor. Ia bercerita tentang rumah asap yang dibangunnya dengan modal awal dari ayahnya, memohon restu kepada ayahnya untuk tetap tinggal di


(6)

Prabumulih, dan Saman memohon maaf karena dirinya memutuskan untuk keluar dari kepastoran. Saman dan beberapa temannya ingin mendirikan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengurusi perkebunan guna membantu orang Lubukrantau yang tidak lagi mempunyai tanah dan tidak mempunyai pekerjaan. Akhirnya berkat bantuan Cok dan Yasmin, Saman dapat melarikan diri ke New York. Kini Saman telah mengganti penampilannya dan muncul sebagai aktivis perburuhan dan mengelola LSM bersama Yasmin dan teman-temannya.