Agresi dan Apatis MEKANISME PERTAHANAN KONFLIK

“Wis merasa begitu galau. Ia ingin mencegah Anson, tetapi tiba-tiba ia tak punya nyali itu. Ia kehilangan keyakinan dirinya. Sebab ia bukan mereka. Salib mereka bukan salibku. Ia bukan perempuan sehingga tidak tahu bagaimana terhinanya diperkosa, dan ia tak punya istri sehingga tak yakin bisa sungguh mengerti kemarahan lelaki itu. Tiba-tiba ia merasa bukan siapa-siapa. Tiba-tiba ia merasa tak punya suara S, 2013:102.

4.2.10 Agresi dan Apatis

Menurut Hilgard dalam Minderop 2011: 39 agresi merupakan proses mekanisme pertahanan dengan penyerangan tertuju kepada orang-orang yang tidak bersalah dan mencari kambing hitam untuk proses pelampiasan terhadap seseorang karena mengalami frustasi. Sedangkan apatis adalah cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah terhadap keadaan guna meredam rasa kecemasan atas konflik yang dialami seseorang. Dalam novel Saman dapat ditemukan beberapa sistem pertahanan dengan cara agresi dan apatis untuk mengatasi konflik batin yang dialami Saman sebagai tokoh utama. Saman mengalami frustasi dan kemarahan yang luar biasa. Sebab Saman harus merelakan kepergian adiknya untuk kesekian kalinya. Untuk meredamkan rasa sakitnya lalu Saman membiarkan air mata keluar. Saman tidak tahu kepada siapa ia harus menyerang balik, sebab hal itu juga menyakitkan ayahnya. Tiba- tiba ia merasa kasihan kepada bapaknya. Awalnya rasa kemarahan kepada Tuhan yang memiliki kuasa atas kehendak kelahiran adiknya, kini Saman mengalihkan rasa frustasi tersebut dengan memukuli ibunya sebagai bentuk kekecewaan. Sistem pertahanan itu dilakukan agar batin Saman mengalami kepuasan, walaupun pada kenyataannya ibunya tidak bersalah. Superego tidak mampu Universitas Sumatera Utara menahan ego yang lebih dominan menentukan solusi yang dilakukan untuk memenuhi tuntutan id. “Wis tercenung, sebab ia tetap mendengar sedu bayi dari belakang tengkuknya. Dan ia menjadi begitu gelisah. Sebab adik masih hidup meskipun sudah mati. Sebab ibunya membiarkan itu terjadi ....tiba-tiba ia merasa begitu kasihan pada ayahnya. Dihampirinya ibunya. Dipukulnya wanita itu dengan tangis kemarahan, sampai bapak membopongnya dari belakang. Itulah tangis Wis yang paling keras sejak ia menjerit saat dilahirkan S, 2013:58. Saman mengalami ketakutan dan rasa kengerian pada batinnya. Sebab Upi, gadis yang dikejarnya tadi masuk ke dalam sumur tua. Hal itu membahayakan bagi keselamatan diri Upi. Saman semakin khawatir, ia takut dituduh telah membunuh dan dengan sengaja mendorong perempuan itu ke dalam sumur. Saman pun tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa. Hingga akhirnya dengan keadaan yang benar-benar lemas, Saman meminta bantuan kepada para tetangganya untuk ikut menolong perempuan dari dalam sumur. Pada kutipan di atas, ego melakukan agresi dengan menyuruh warga membantu daripada ia berusaha sendiri. “Wis melangkah menuju bunyi, dengan terpukau dan ngeri.....lelaki itu merasa lemas karena tidak tahu harus berbuat apa, bahkan untuk sejenak tak yakin dengan apa yang sedang terjadi. Akhirnya ia berteriak memanggil bantuan, sambil berlari ke pintu belakang tetangga terdekat. “tolong Seorang anak kecemplung sumur S, 2013:67. Saman hanya mampu bersikap pasrah atas keadaan itu. Ia hanya pasrah melihat penyiksaan terhadap Upi. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, tidak mungkin ia memenuhi kemauan birahi perempuan gila itu. Maka, ia mencoba Universitas Sumatera Utara menarik diri dengan membuang muka sebagai sistem pertahanan ego nya dalam memenuhi kemauan id. Sebab, ia ragu jika kemauan itu dituruti akan sangat membahayakan dirinya. Akhirnya ia berprilaku acuh tidak acuh terhadap situasi yang dialami Upi agar batinnya merasa lega. “Wis pun tercenung. Dia cuma bisa termenung mendengarnya. Ia menatap perempuan muda dalam kandang itu, namun segera membuang muka karena tak tahan melihat penyiksaan. Tapi dunia yang hadir mengepung mereka di sana membuatnya tersadar S, 2013:74. Saman hanya bersikap pasrah ketika ia untuk pertama kalinya seumur hidup ada perempuan yang berani mengelus jari-jari tangannya selain ibu kandungnya. Saman merasa bahwa seandainya ia melepas segera dari genggaman Upi, maka akan membuat hati Upi marah dan tersinggung. Namun, ketika Saman berpikir tingkah yang dilakukan Upi semakin aneh dan melihat sepertinya nafsu wanita itu semakin tinggi, Saman mencoba berteriak dan melompat untuk menarik diri dari perasaan dan perbuatan zina. Dan Saman harus meninggalkan tempat itu agar batinnya tidak merasa bersalah lagi. Hal ini berarti superego mampu meredam dan menuntut ego untuk melakukan perlawanan sesuai aturan dan norma. Dan keinginan id ditolak ego Saman, sebab sangat membahayakan bagi diri Saman dari tuduhan negatif dari masyarakat nantinya. “Wis terdiam sebab belum pernah ada perempuan yang mengelus jarinya, sehingga ia tak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia ingin menarik tangannya, tetapi khawatir itu menyinggung perasaan Upi. Dengan ragu dibiarkannya perempuan itu meraba, menjulurkan tangan keluar untuk menyentuh lengannya yang berlumur tanah dan peluh....pastor muda itu berteriak kaget dan melompat ke belakang. Wis meninggalkan tempat itu dan si gadis memanggil-manggil S, 2013:78. Universitas Sumatera Utara Saman mengalami frustasi yang luar biasa. Sebab, hanya dengan cara tersebut, Saman dapat meredam dan mempertahankan ego nya. Tanpa disadari Saman pun melampiaskan kemarahannya kepada pihak perkebunan Anugerah Lahan Makmur atas perbuatan curang yang dilakukan mereka dengan memberikan blanko kosong kepada masyarakat yang berpendidikan rendah. Hal itu membuat Saman semakin berburuk sangka secara terus-menerus. Sebab, tidak mungkin ia mengadu kepada Tuhan, lembaga hukum yang hingga sekarang Saman rasa belum memihak pada dirinya. Dengan sikap menuduh dan berprasangka buruk kepada perkebunan ALM, akhirnya Saman gunakan untuk melampiaskan kemarahannya. Dalam hal ini superego tidak mampu menahan kerja ego untuk memuaskan kemauan id. “Bagaimana orang-orang bersedia menandatangani blanko kosong? Sebab mereka mendapat pembagian bibit sawit. Lagi pula, alasan petugas supaya praktis saja karena perusahaan kerepotan jika harus menyertakan seluruh isi perjanjian. Apalagi tidak semua orang juga bisa membaca. Untuk apa menyerahkan kertas perjanjian kepada orang yang buta huruf? Wis pun terhenyak. Bagaimana jika otograf itu disertakan pada pernyataan penyerahan hak milik petani kepada perusahaan atau pada para petugas itu? S, 2013:94. Saman merasa kesedihan yang mendalam. Air matanya menetes dan mengalir. Ia sangat gentar melihat kondisi Desa Lubukrantau dalam kesusahan. Terlebih nasib Upi yang tidak tahu apa-apa. Hingga akhirnya Saman merasa pasrah dan mengadu kepada Tuhan. Saman tidak tahu bagaimana melampiaskan kemarahan dan rasa frustasinya. Superego juga tidak mampu melawan ego yang Universitas Sumatera Utara lebih memilih menuruti kemauan id. Saman tidak bisa berbuat lebih dalam membantu secara penuh kepada warga Desa Lubukrantau. Sebab ia bukanlah presiden, ataupun pemerintah yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap nasib rakyatnya. Namun ia hanyalah seorang Pastor yang hanya bisa mengadu kepada Tuhannya. Oleh karena untuk mengatasi konfliknya, sistem pertahanan yang dilakukan Saman yaitu dengan agresi mengadu kepada Tuhannya. “Wis menyadari airmatanya telah mencetak dua lingkaran di dada bajunya. Ia sungguh gentar pada nasib desa ini, yang juga berarti nasib Upi. Ia seperti kota gurun yang terkepung, mata airnya telah dikuasai musuh. Tuhan kau biarkan ini terjadi? S, 2013:96. Rasa kepasrahan akan kejadian yang terus menghinggapinya, menjadi pilihan Saman untuk meredam amarahnya. Sistem pertahanan apatis dilakukannya, sebab hanya dengan cara itu Saman dapat menenangkan emosi dan kemarahannya. Saman mencoba menarik diri dari rasa tanggungjawabnya sebagai orang yang dianggap berpengaruh besar untuk setiap keputusan yang diambil melalui musyawarah warga Lubukrantau. Namun, Saman merasa bingung, karena ia tiba-tiba saja mnyerah begitu saja. Akhirnya ia menarik diri untuk menghindari kejadian yang membahayakan dirinya. Dalam hal ini superego mampu meredam tingkah ego Saman. “Wis menolak. “kau sajalah Aku baru tiba, tak begitu tahu kejadian,” ia mencoba membangkitkan gairahnya. Yang kini hampir punah, ketika dilihatnya orang-orang yang berharap. Dalam remang kekuningan, amta- mata itu nampak hitam seperti relung yang dalam. Semakin jauh orang dari bohlam, semakin gelap relung matanya S, 2013:97. Universitas Sumatera Utara Saman menyerah. Ia tidak berani mengeluarkan keputusan akhir. Ia merasa pasrah akan keadaan yang dialami warga Lubukrantau. Padahal Saman adalah seorang pastor yang memiliki pribadi pekerja keras, dan pennuh dengan keyakinan, namun kini ia merasa bahwa tidak siap menghadapi masalah dan resiko uang terjadi kemudian hari. Hingga akhirnya ia mencoba menarik diri dan pasrah dengan menahan keputusan yang ditunggu-tunggu warga demi kemajuan Lubukrantau. Saman juga merasa sedih atas perasaan yang menganggap dirinya buka bagian dari mereka. Dalam hal ini superego mampu menjaga ego dari perbuatan yang dapat merugikan dirinya dan juga warga Lubukrantau. Namun, secara tidak langsung ia dianggap apatis karena tidak konsisten terhadap kesepakatan semula. Hanya dengan cara itulah ia dapat menenangkan pikirannya. “Untuk pertamakalinya Wis tidak ingin mengambil keputusan bagi perkebunan itu. Betapa berbeda. Dulu ia begitu keras dan yakin, ia rintis harapan yang hampir habis, ia tak pernah lelah. Tapi kini ia sungguh- sungguh tidak pasti dengan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi pada orang-orang itu. Ia menjadi begitu sedih sebab untuk pertamakalinya ia merasa bukan merupakan bagian dari orang-orang didekatnya S, 2013:99. Sikap menarik diri Saman yang sekan-akan tidak bertanggungjawab atas keputusan mereka bersama, menjadi sistem pertahanannya untuk menghindari kesalahan dalam menentukan jawaban dari pertanyaan warga kepada dirinya. Hal itu ia lakukan karena Saman takut jika keputusan yang ia berikan kepada mereka nantinya merupakan cara yang salah. Sebab keputusan ini merupaka pertaruhan bagi maju mundurnya perjuangan mereka dengan melawan perkebunan ALM. Universitas Sumatera Utara Pada kutipan di atas terlihat bahwa superego mampu menahan ego dari perlakuan yang labil. “Wis menjadi teramat takut untuk mengambil keputusan yang bukan menjadi taruhannya. Sementara orang-orang itu tetap menunggu jawabannya. Ia pun mendongak dan menjawab dengan amat letih: Kalian rapatkanlah Aku akan dukung apapun keputusan kalian.” Sebab pertaruhan ini bukanlah pertaruhanku S, 2013:99. Saman hanya merasa pasrah diri dengan membiarkan orang-orang itu menginterogasi dan menyiksanya sambil menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya terkadang merasa takut dan cemas. Hal itu dilakukan Saman agar ia mengetahui dengan cara yang dilakukan mereka untuk menyiksanya. Ia menerima kenyataan dan hanya bisa pasrah, walau rasa gemetar dan kesakitan harus ia terima. Pada tahap ini, superego mampu menahan ego nya untuk tetap diam daripada menuruti id Saman untuk melawan. “Tapi bagaimanapun penyiksaan yang kemudian ia terima membikin tubuhnya gemetar. Kegentaran itu tetap muncul setiap kali ia digiring ke ruang interogasi, didudukkan, atau dibiarkan berdiri, sementara ia menduga-duga cara apa yang digunakan orang-orang kali ini, sebab matanya selalu ditutup S, 2013:106. Kepasrahan dan berserah diri adalah cara Saman untuk mempertahankan ego untuk menyelesaikan konflik batinnya. Dengan posisi mata yang masih ditutup dan tubuh yang lemas serta sakit ia berada di ruangan itu seorang diri. Namun, kejadian yang tidak diharapkan muncul. Rumah itu dikerumuni asap dan ia mencium bau karbondioksida. Ia masih sadar bahwa keadaan ini sangat membahayakan bagi dirinya. namun, Saman memilih diam dan pasrah Universitas Sumatera Utara menyerahkan diri pada Tuhan. Sebab, hanya dengan cara itu sajalah Saman mampu meredam kecemasan dan ke khawatirannya. Walaupun akan berbahaya bagi keselamatan hidupnya. Dalam hal ini ego lebih dominan daripada superego. “Dengan matanya yang lelah terbiasa pada kegelapan, ia melihat asap kehitaman menyusup dari sela-sela pintu. Makin lama makin tebal. Tercium bau karbondioksida. Setengah sadar ia menduga ada kebakaran. Ia terjaga sesaat, tapi tubuhnya begitu lemah dan sakit. Dan ia berkata pada dirinya sendiri: Biar saja. Aku mau tidur. Mungkin selamanya S, 2013:111.

4.2.11 Fantasi dan stereotype