Latar Belakang Pengembangan indeks resiliensi ekosistem dalam pengelolaan terumbu karang

5 maupun komunitas biota lainnya. Semakin tinggi keanekaragaman komunitas yang tersisa akan semakin mirip struktur dan komposisi komunitas baru tersebut dengan komunitas sebelumnya. Struktur yang selamat dari terumbu karang memberikan dua fasilitas dalam suksesi terumbu karang. Pertama, struktur karang mati dapat menjadi tempat penempelan larva karang atau benthos yang lainnya. Jika struktur tersebut stabil, maka kolonisasi karang dan benthos lainnya dapat berjalan lebih cepat dan komunitas karang yang baru lebih cepat terbentuk. Kedua, struktur terumbu karang menyediakan habitat bagi ikan-ikan karang. Ikan- ikan herbivora dan invertivora merupakan komponen ekosistem yang penting dalam menentukan arah suksesi terumbu karang Bellwood et al. 2004. Memori eksternal ekosistem, yaitu organisme penghubung yang bergerak mobile link, dapat dibedakan sebagai kelompok yang bergerak pasif dan yang bergerak aktif Nystrom Folke 2001. Larva-larva karang, ikan, atau biota lainnya yang bergerak secara pasif dari satu terumbu ke terumbu lainnya merupakan komponen penghubung yang pasif. Komponen ini menyediakan suplai larva yang akan mengkolonisasi ruang terbuka akibat gangguan. Rekolonisasi terumbu karang melalui proses penyebaran larva ini sangat penting Pearson 1981, karena ekosistem terumbu karang bersifat terbuka. Rekolonisasi akan memperkaya keanekaragaman hayati dan meningkatkan kelimpahan populasi. Pemulihan suatu terumbu karang sangat tergantung pada terumbu karang di sekitarnya, terutama bagi terumbu karang hilir sink reef. Di dalam ekosistem yang bersifat terbuka, seperti terumbu karang, peranan organisme penghubung sangatlah besar. Hanya sebagian kecil larva karang yang diproduksi di suatu terumbu karang akan hidup menetap di habitat induknya. Larva karang mempunyai umur 23-244 hari Graham et al. 2008, sehingga sebagian besar dari larva tersebut berpotensi hanyut oleh arus air laut dan kemudian hidup menetap di suatu terumbu karang yang lain. Penelitian genetika pada karang Goniastrea aspera menunjukkan bahwa karang di Okinawa Islands menerima larva dari karang di Kerama Islands, yang berjarak sekitar 50 km Nishikawa Sakai 2005. Kehadiran ikan herbivora dari terumbu lain juga sangat penting dalam proses suksesi terumbu karang. Intensitas herbivori yang rendah menyebabkan dominansi makroalgae atas komunitas karang Hughes et al. 2007. 6 Ikan-ikan herbivora di terumbu karang terdiri atas empat famili, yaitu Achanthuridae, Scaridae, Siganidae dan Kyphosidae. Dari keempat famili tersebut, tiga famili yang pertama merupakan ikan herbivora utama. Russ 1984 yang melakukan survei herbivori pada sembilan terumbu karang di GBR, Australia, membatasi ikan herbivora pada famili Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Lizard Island, GBR, dan sekitarnya, kelimpahan ketiga ikan herbivora utama masing-masing adalah Achanthuridae 54, Scaridae 31 dan Siganidae 14 Meekan Choat 1997. Di San Blas Islands, Panama, Meekan Choat juga melaporkan pola yang serupa, walaupun ada satu lokasi dimana Kyphosidae menunjukkan proporsi kelimpahan yang sebanding dengan Achanthuridae, Scaridae dan Siganidae. Di Ambergris Caye, Belize, komposisi biomassa ikan herbivora berbeda dari Lizard Island dan San Blas Islands tersebut dengan Scaridae 65,4 paling dominan diikuti oleh Acanthuridae 30,1 dan Pomacentridae 4,5 Williams et al. 2001. Dalam skala puluhan atau ratusan kilometer, hewan herbivora yang berperan penting dalam herbivori dapat berbeda. Pada terumbu karang di Nymph Island dan Turtle Group, GBR, ikan Scarus rivulatus dilaporkan merupakan herbivora yang paling penting Hoey and Bellwood 2008, sedangkan ikan Siganus canaliculatus dilaporkan merupakan ikan herbivora penting pada terumbu karang di Pioneer Bay, Orphues Island Fox and Bellwood 2008. Jarak antara kedua lokasi tersebut ratusan kilometer. Sudah lama peneliti terumbu karang mencoba memahami resiliensi ekosistem terumbu karang. Pada saat ini pengetahuan tentang resiliensi terumbu karang seharusnya sudah cukup untuk melakukan sesuatu Nystrom et al. 2008, sehingga teori resiliensi dapat segera digunakan di dalam praktek pengelolan terumbu karang. Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan tingkat resiliensi terumbu karang tersebut dibutuhkan kemampuan untuk mengenali lebih awal tingkat resiliensi terumbu karang. Pengukuran resiliensi terumbu karang merupakan langkah awal dalam penggunaan teori resiliensi di dalam pengelolaan terumbu karang. Metode untuk mengukur tingkat resiliensi terumbu karang, sayangnya, masih dalam tahap awal pengembangannya. Pada saat ini, tersedia dua metode untuk menilai resiliensi terumbu karang, Obura dan Grimsditch 2009 telah 7 membuat panduan penilaian resiliensi terumbu karang, yang dipublikasikan oleh IUCN the International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources. Maynard et al. 2010 juga mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang. Kedua metode tersebut masih sulit diterapkan dalam skala besar di Indonesia, karena kurangnya dukungan financial dan kepakaran. Metode penilaian lain yang lebih mudah praktis dan murah sangat dibutuhkan agar dapat dilakukan oleh sebagian besar kabupaten di Indonesia. Di Indonesia, sebagian besar penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan metode transek garis, atau line intercept transect LIT. Metode ini dikembangkan oleh Loya 1972, 1978 dan dibakukan oleh para peneliti terumbu karang ASEAN dan Australia sejak awal dekade 1990-an, misalnya P2O Pusat Penelitian Oseanografi LIPI di Indonesia dan PMBC Phuket Marine Biological Center di Thailand. Di Australia, metode LIT sudah diganti dengan metode transek video, video transect VT. Metode LIT juga menjadi metode standar pada Proyek COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Program. Ribuan orang telah dilatih untuk menggunakan metode LIT tersebut, karena dapat digunakan baik untuk tujuan yang bersifat praktis manajemen maupun untuk tujuan publikasi ilmiah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang dengan menggunakan LIT. Banyak data yang sebenarnya dapat diinterpretasikan dari metode LIT Marsh et al. 1984 bahkan dalam bentuknya yang paling sederhana, tetapi jarang dilakukan oleh peneliti terumbu karang. Pada saat ini, data yang diinterpretasikan dari metode LIT pada umumnya hanya tutupan karang, tutupan makroalgae, dan kekayaan spesies karang. Tutupan karang yang tinggi menunjukkan kondisi terumbu karang yang baik. Kondisi sebaliknya diinterpretasikan pada tutupan makroalgae yang tinggi. Di dalam penelitian ini, data yang dikoleksi dari metode LIT dimanfaatkan secara maksimal untuk menilai resiliensi terumbu karang. Data tentang jumlah bentuk- tumbuh life form dan ukuran koloni karang, misalnya, selama ini sulit diinterpretasikan untuk keperluan pengelolaan terumbu karang. Demikian juga dengan data tentang tutupan karang massif dan submasif serta tutupan karang 8 Acroporidae. Keempat data tersebut akan terintegrasikan di dalam sebuah indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang. Penelitian ini menjadi yang pertama mengembangkan metode penilaian resiliensi terumbu karang dengan data dari transek garis. Belum ada penilaian resiliensi terumbu karang yang menggunakan data dari transek garis, suatu metode penilaian terumbu karang yang paling umum digunakan di Indonesia dan kawasan negara-negara ASEAN Association of South East Asian Nations.

1.2 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan indeks resiliensi ekosistem dalam pengelolaan terumbu karang. Tujuan umum tersebut dicapai melalui 4 empat tahap penelitian, yaitu: a Penyusunan rumus formulasi indeks resiliensi ekosistem terumbu karang dengan menggunakan data dari transek garis LIT. b Uji coba penggunaan indeks untuk menilai resiliensi terumbu karang di Indonesia c Uji coba penggunaan indeks untuk mengukur laju perubahan temporal indeks resiliensi terumbu karang di Indonesia. d Uji coba penggunaan indeks resiliensi untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang dari gangguan yang bersifat akut dan berdampak langsung.

1.3. Manfaat Penelitian

Penilaian resiliensi terumbu karang merupakan langkah penting dalam pengelolaan pesisir terpadu ICZM, Integrated Coastal Zone Management; atau ICM, Integrated Coastal Management. Pengukuran resiliensi terumbu karang menjadi salah satu alat dalam analisis resiko lingkungan ERA, Environmental Risk Analysis untuk implementasi pengelolaan yang berbasis ekosistem EBM, Ecosystem-Based Management . Pendekatan EBM merupakan salah satu prinsip dasar di dalam penerapan ICM Chua 2006, 94. Penelitian ini memiliki posisi yang sangat penting karena sudah waktunya teori resiliensi digunakan dalam implementasi pengelolaan terumbu karang Nystrom et al. 2008. 9 Perencanaan pengelolaan terumbu karang seharusnya didasarkan pada 3 tiga kriteria Done 1995, yaitu: 1 penilaian kawasan yang memiliki resiko tinggi, 2 penilaian resiko kehilangan kerugian secara kuantitatif, dan 3 penilaian kemampuan terumbu untuk pulih dalam arti suksesi dan biokonstruksi. Terumbu karang yang mempunyai nilai tinggi dan resiko tinggi mendapatkan prioritas yang tinggi dalam pengelolaan. Terumbu karang yang kerusakannya sulit tergantikan juga lebih diprioritaskan. Terumbu karang yang peluang pemulihannya tinggi akan mendapat prioritas yang tinggi pula dalam pengelolaan. Jika terumbu karang memiliki peluang pemulihan rendah, maka sulit untuk memberikan jaminan bahwa upaya dan biaya yang dicurahkan di dalam pengelolaan akan membuahkan hasil yang sepadan. Penilaian tingkat resiliensi terumbu karang merupakan kriteria ketiga dari perencanaan pengelolaan terumbu karang, yaitu penilaian peluang pemulihan terumbu karang. Tingkat resiliensi terumbu karang hendaknya merupakan salah satu komponen yang penting dalam pemilihan kawasan konservasi terumbu karang. Terumbu karang yang memiliki tingkat resiliensi lebih tinggi lebih berharga untuk dikonservasi daripada yang resiliensinya rendah. Sayangnya hingga saat ini belum ditemukan bagaimana resiliensi ekologis terumbu karang dapat dikenali atau diukur secara praktis. Pemilihan kawasan konservasi terumbu karang sebagian besar masih dilakukan secara konvensional didasarkan pada kelimpahan dan keanekaragaman komunitas karang dan komunitas ikan. Tetapi terumbu karang yang tutupannya baik dan jumlah spesies karang tinggi belum tentu mencerminkan resiliensi yang tinggi. Manfaat dari penelitian ini secara umum sebagai berikut: a Indeks resiliensi terumbu karang sangat bermanfaat dalam pemilihan lokasi kawasan konservasi terumbu karang, dan penentuan zonasi dalam pengelolaan terumbu karang. Indeks resiliensi yang didapatkan dari penelitian ini akan menjadi salah satu indikator penentu di dalam perencanaan zonasi. b Indeks resiliensi terumbu karang juga bermanfaat di dalam memilih pendekatan pengelolaan yang diperlukan untuk memelihara atau meningkatkan resiliensi terumbu karang. Komponen-komponen ekosistem 10 yang memiliki kontribusi besar terhadap indeks merupakan faktor yang harus ditingkatkan dalam memelihara atau meningkatkan resiliensi terumbu karang. c Indeks resiliensi terumbu karang sangat penting untuk melakukan ERA Environmental Risk Assessment dalam kerangka ICM. Terumbu karang yang indeks resiliensinya rendah memiliki resiko yang lebih besar daripada yang resiliensinya tinggi. Terumbu karang di kawasan Asia Tenggara memiliki ancaman gangguan insani dan alami yang sangat besar Burke et al. 2002.

1.4 Hipotesis

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan metode penilaian terumbu karang, khususnya indeks resiliensi terumbu karang. Tidak ada hipotesis yang akan diuji secara khusus. Penggunaan sejumlah statistik dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengkonfirmasi adanya perbedaan antara dua atau lebih kondisi dari penerapan indeks resiliensi Tabel 1.

1.5 Kebaruan Novelty

a Rumus indeks resiliensi yang dikembangkan di dalam penelitian ini merupakan rumus yang baru untuk menilai resiliensi terumbu karang. Rumus yang dimodifikasi dari indeks resiliensi komunitas tanah dari Orwin dan Wardle 2004 tersebut memiliki karakteristik yang jauh berbeda dari rumus awalnya, misalnya perubahan nilai acuan peubah indikator indeks dari komunitas kontrol dengan komunitas super dan ditambahkannya faktor koreksi. b Penggunaan indeks resiliensi ekosistem untuk menilai dan memprediksi pemulihan terumbu karang juga belum pernah dilakukan sebelumnya. Baik Obura dan Grimsditch 2009 maupun Maynard et al. 2010 keduanya tidak merumuskan model persamaan regresi untuk memprediksi laju pemulihan terumbu karang. 11 Tabel 1 Daftar pengujian hipotesis nol dan satistik yang digunakan. Hipotesis nol yang diuji Statistik Bab 1 Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antara kawasan Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Uji t 3 2 Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-fisiografi laut. Anova satu faktor 3 3 Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. Anova satu faktor 3 4 Tidak ada perbedaan rata-rata indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat. Anova satu faktor 3 5 Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-fisiografi laut. Anosim 3 6 Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. Anosim 3 7 Tidak ada perbedaan komposisi peubah indikator indeks resiliensi antar-kabupaten di kawasan Indonesia Barat. Anosim 3 8 Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. Anova dua faktor 4 9 Tidak ada perbedaan rata-rata indeks antar-waktu dan antar-kabupaten di kawasan Indonesia Timur. Anova dua faktor 4 10 Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal indeks dengan dampak gangguan. Anova satu faktor 5 11 Tidak ada hubungan regresi antara nilai awal indeks dengan pemulihan indeks. Anova satu faktor 5 12 Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang awal dengan dampak gangguan. Anova satu faktor 5 13 Tidak ada hubungan regresi antara tutupan karang awal indeks dengan pemulihan tutupan karang. Anova satu faktor 5 c Peubah CHQ, USS, dan AOF yang digunakan di dalam indeks juga merupakan peubah baru yang belum pernah digunakan peneliti lain untuk tujuan penilaian indeks resiliensi maupun untuk tujuan penilaian kondisi terumbu karang lainnya. d Penggunaan data dari transek garis di dalam penilaian resiliensi terumbu karang juga belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian lain menggunakan penilaian pakar dan praktisi Maynard et al. 2010, atau menggabungkan metode foto kuadrat dan transek titik dengan lima metode lainnya Obura Grimsditch 2009. 12 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun indeks resiliensi terumbu karang yang menggunakan data transek garis. Penggunaan transek garis dalam penilaian resiliensi terumbu karang sangat penting karena metode transek garis merupakan metode penilaian kondisi terumbu karang yang paling populer di Indonesia dan Asia Tenggara. Untuk memvalidasi kegunaan indeks, tiga uji coba indeks dilakukan untuk membandingkan resiliensi terumbu karang secara spasial dan temporal. Hasil utama yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1 Rumus penilaian indeks resiliensi terumbu karang. 2 Protokol penilaian indeks resiliensi terumbu karang. 3 Persamaan regresi untuk memprediksi pemulihan terumbu karang.

1.7. Rancangan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 4 empat tahapan, yang masing-masing dibahas di dalam bab yang terpisah. Tahapan yang paling lama waktunya adalah tahapan pertama, yang dapat dibagi lagi dalam lima sub-tahapan, yaitu: a penyaringan data, b modifikasi rumus indeks, c penentuan calon peubah indikator, d pemilihan peubah indikator, serta e pembobotan peubah indikator dan f penentuan faktor koreksi dan konstanta. Tahapan kedua hingga keempat merupakan validasi dari kegunaan indeks di dalam pengelolaan terumbu karang. Secara umum rancangan penelitian ini disajikan dalam Gambar 1. Tahapan pertama adalah penyusunan rumus atau formulasi indeks resi- liensi, yang akan disajikan pada bab 2. Di dalam formulasi indeks tersebut digunakan data yang telah dikoleksi sebelumnya oleh P2O LIPI. Dalam tahapan ini digunakan data 1240 transek, yang berasal dari 540 transek di luar COREMAP dan 700 transek COREMAP tahun 2009.