Perumusan indeks Hasil-hasil Penelitian .1 Penentuan peubah indikator

33 negatif melainkan 0.000. Jika suatu traksek dipasang pada terumbu yang seluruhnya 100 tertutup pasir atau lumpur atau keduanya, maka seharusnya nilai indeks resiliensi sama dengan 0.000 karena tidak ada harapan karang akan tumbuh kembali di lokasi tersebut. Faktor koreksi yang memenuhi harapan tersebut adalah CF = 0.200. Masuknya CF ke dalam rumus membuat nilai indeks secara teoritis antara 0.000 sampai 2.130. Rumus dari indeks resiliensi terumbu karang tersebut secara lengkap menjadi rumus 5 berikut: 04B9C 1 2 3 4 3 4 3 DE 8 4BF2 1 2 94 4 94 4 94 8 4BF3 1 2 29 4 29 4 29 G 8 4B92 1 2 44 4 44 4 44 H 8 4B24 1 2 44 4 44 4 I 4 8 4B 4 1 2 44 4 44 4 HD 4 8 4B24A 5

2.3.3 Indeks resiliensi dan tutupan karang

Indeks yang dikembangkan di dalam penelitian ini perlu diuji penggunaannya untuk membandingkan resiliensi terumbu karang, baik secara spasial maupun temporal bab 3 dan 4. Terumbu karang yang memiliki nilai indeks resiliensi rendah mempunyai ciri-ciri: tutupan karang rendah, tutupan makroalgae dan fauna lain tinggi, tutupan pasir dan lumpur tinggi Gambar 3. Kondisi sebaliknya akan menghasilkan indeks resiliensi yang tinggi. Dari 5 lima indeks resiliensi yang paling rendah, empat transek diantaranya terdapat di Pulau Nyamuk tahun 1992, sedangkan pada 5 lima indeks tertinggi dua transek berasal dari Natuna dan dua transek lagi dari Batam tahun 2009. Tutupan karang yang tinggi bukan jaminan indeks resiliensinya akan 34 tinggi pula, karena masih ada faktor-faktor lain yang berpengaruh pada resiliensi terumbu karang. Tetapi, tutupan pasir dan lumpur USS yang tinggi menjadi jaminan bahwa indeks resiliensinya akan rendah. Gambar 3 Indeks resiliensi terumbu karang dan hubungannya dengan tutupan karang COC, tutupan makroalga dan fauna lain AOF, serta tutupan substrat yang tidak dapat ditempeli larva secara permanen USS. Secara teoritis nilai indeks resiliensi terumbu karang pada suatu transek berada di antara 0.000 sampai 2.130, tetapi data dari Indonesia menunjukkan nilai empiris indeks suatu transek maksimum 1.070 dan minimum 0.021. Jumlah transek yang memiliki indeks resiliensi lebih besar dari 1.000 sangat sedikit, yaitu 0.403. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya nilai acuan terumbu karang “super” yang dijadikan sebagai referensi rumus indeks bermanfaat untuk membuat nilai maksimum indeks secara empiris mendekati 1.000. Pengukuran indeks memang didasarkan pada satu transek, tetapi penilaian indeks resiliensi terumbu karang tidak dapat dilakukan dengan satu transek saja. Penilaian resiliensi terumbu karang dilakukan pada sejumlah stasiun atau lokasi pemantauan. Setiap lokasi pemantauan, yang datanya digunakan dalam penelitian ini, minimal terdiri atas tiga transek. Di Indonesia, tidak satupun lokasi pemantauan terumbu karang yang memiliki nilai indeks rata-rata 1.000. Tiga stasiun atau lokasi pemantauan dengan nilai rata-rata ±SD indeks tertinggi adalah 0.976±0.107 di Natuna, 0.927±0.145 di Batam, dan 0.901±0.114 di 35 Lingga. Sebuah stasiun pengamatan di Pulau Nyamuk, tahun 1992, memiliki rata- rata indeks terendah 0.067±0.032.

2.3.4 Klasifikasi indeks

Nilai indeks perlu diklasifikasikan untuk mempermudah komunikasi dan interpretasi. Dengan mengacu pada kurva distribusi normal, nilai indeks resiliensi dapat dibagi menjadi 5 lima kategori, yaitu sangat baik, baik, sedang, kurang, dan buruk Table 8. Klasifikasi indeks ini untuk mempermudah para pengelola terumbu karang dalam melaporkan perubahan dan mengambil keputusan pengelolaan. Di Indonesia, data indeks resiliensi terumbu karang menunjukkan distribusi yang normal rata-rata = 0.468, median = 0.469, N = 1240. Klasifikasi indeks dilakukan berdasarkan kurva distribusi normal dengan rata-rata indeks 0.468 dan simpangan baku SD 0.225. Tabel 8 Klasifikasi indeks resiliensi terumbu karang ke dalam lima kategori, dengan lebar kelas 1 SD. Kategori Batas kelas A. Baik sekali excellent 0.806 B. Baik good 0.581 – 0.805 C. Sedang fair 0.356– 0.580 D. Kurang poor 0.131 – 0.355 E. Buruk bad 0.130 Klasifikasi nilai indeks tersebut tidak berkaitan langsung dengan pergantian fase. Di perairan Indonesia, pergantian dominansi karang ke dominansi makroalgae merupakan kejadian yang langka. Dari 1240 transek, yang digunakan dalam formulasi indeks, hanya 10 transek 0.806 yang memiliki tutupan makroalgae di atas 50. Di antara kesepuluh transek tersebut, 6 enam mempunyai indeks resiliensi dalam kategori buruk dan 4 empat lainnya masuk kategori resiliensi kurang.

2.4 Pembahasan

Modifikasi dari rumus indeks resiliensi komunitas tanah Orwin dan Wardle 2004 untuk mengukur resiliensi terumbu karang, menghasilkan indeks resiliensi 36 terumbu karang dengan acuan data nasional. Dengan acuan tersebut, mestinya dapat dibandingkan indeks resiliensi terumbu karang antar kabupaten, antar provinsi, dan antar wilayah di Indonesia, serta antar waktu. Hasil pengukuran indeks terhadap 1240 transek di Indonesia menunjukkan bahwa indeks resiliensi tersebut dapat memberikan hasil yang memuaskan Gambar 3. Indeks bertambah dengan bertambahnya tutupan karang, dan berkurang jika terjadi sebaliknya. Tutupan pasir dan lumpur USS yang tinggi bertepatan dengan nilai indeks yang rendah. Terumbu karang dengan tutupan karang yang sama dapat memiliki indeks resiliensi yang berbeda. Indeks resiliensi terumbu karang ini dirancang untuk mengukur indeks dari suatu transek. Setiap transek menghasilkan sebuah nilai indeks. Penilaian indeks resiliensi terumbu karang membutuhkan banyak transek. Kehandalan indeks dalam menilai tingkat resiliensi suatu terumbu karang sangat tergantung dari rancangan pengambilan cuplikan sampling design dan pengambilan data di dalam transek. Semakin banyak transek yang digunakan maka presisi indeks akan semakin baik, sebagaimana alat pengambilan cuplikan lainnya. Penggunaan indeks ini sebaiknya mengikuti protokol pengambilan cuplikan terumbu karang dengan transek garis, sebagaimana yang telah dikembangkan dan dibakukan pada English et al. 1994, 1997. Protokol penilaian indeks disajikan pada Lampiran 3. Rata-rata indeks resiliensi pada suatu terumbu karang pada umumnya lebih kecil daripada 1.000. Penilaian resiliensi terumbu karang membutuhkan sejumlah transek yang dapat dianggap mewakili terumbu karang tersebut. Di suatu terumbu karang atau pulau, penilaian kondisi terumbu karang dilakukan minimal pada dua lokasi, dan di masing-masing lokasi terdiri atas sejumlah transek, yang dapat tersebar di beberapa kedalaman. Pengukuran indeks resiliensi dari setiap transek dapat menguntungkan karena kita dapat melihat ragam dari resiliensi suatu terumbu karang. Keuntungan dari acuan yang tinggi sebagai referensi indeks adalah indeks resiliensi ini dapat digunakan pada kawasan yang lebih luas. Jika terumbu karang di kawasan Philippines atau GBR tidak melampaui acuan standar di dalam indeks, maka indeks ini dapat digunakan di kawasan tersebut. Hanya ada satu peubah indikator yang memiliki peluang dilampaui oleh data lapang, yaitu CSN jumlah 37 koloni ukuran kecil, walaupun peluang tersebut sangat kecil yaitu lebih kecil dari 0.00185 atau 0.185. Di masa depan indeks ini diharapkan dapat diujicoba penggunaannya di kawasan Indo-Pasifik oleh para peneliti terumbu karang di kawasan tersebut. Indeks resiliensi yang dikembangkan dalam penelitian ini merupakan indeks resiliensi ekologis yang sangat praktis dan dapat digunakan oleh pengelola terumbu karang hampir di seluruh kabupaten di Indonesia. Pengukuran indeks resiliensi dilakukan dengan metode transek garis atau LIT line intercept transect yang diperkenalkan oleh Loya 1972, 1978, dan dibakukan sebagai metode standar penilaian kondisi terumbu karang di kawasan ASEAN dan Australia English et al. 1994, 1997. Di Indonesia, terdapat 727 orang yang telah mendapat pelatihan Metode Penilaian Kondisi Terumbu Karang MPTK yang menggunakan metode transek garis melalui COREMAP Suharsono 2008. Ratusan atau ribuan mahasiswa juga diperkirakan telah mendapat pelatihan semacam MPTK di bangku kuliah. Dengan bekal ketrampilan tersebut ditambah ketrampilan dasar mengoperasikan perangkat lunak MS Excell atau Lotus untuk menghitung rumus indeks, setiap kabupaten wilayah COREMAP memiliki kemampuan melakukan penilaian indeks resiliensi terumbu karang di wilayahnya masing-masing. Protokol penggunaan indeks disajikan pada Lampiran 3. Penelitian ini juga menyediakan klasifikasi resiliensi terumbu karang yang diharapkan dapat membantu para pengelola terumbu karang. Pembagian indeks resiliensi ke dalam lima kategori tersebut masih belum memberikan makna penting di dalam pengelolaan, selain menyatakan bahwa terumbu ini lebih resiliens daripada terumbu yang lain. Klasifikasi indeks resiliensi membutuhkan interpretasi yang lebih kongkrit berkaitan dengan waktu pemulihan terumbu karang. Misalnya, jika suatu terumbu karang mempunyai indeks resiliensi baik 0.594 maka terumbu tersebut dapat pulih kembali ke tingkat resiliensi awal dalam waktu X tahun ketika terjadi penurunan indeks sebesar Y. Interpretasi semacam itu akan sangat penting bagi pengelola terumbu karang di dalam pengambilan keputusan. Interpretasi indeks tersebut membutuhkan data runut waktu yang lama sekitar 15 tahun yang di dalamnya terjadi kematian masal,