Penggunaan Indeks dalam Pengelolaan Terumbu Karang

111 ekologis ekosistem terumbu karang. Penggunaan indeks untuk pengelolaan membutuhkan juga faktor sosial, sehingga indeks ini perlu disinergikan dengan indeks yang lainnya. Indeks resiliensi ini mempunyai potensi atau kemungkinan untuk dapat digunakan di seluruh dunia. Indeks resiliensi tersebut dibuat dengan referensi kondisi ideal terumbu karang di Indonesia. Perairan laut Indonesia merupakan salah satu kawasan dengan terumbu karang terbaik di dunia. Kawasan Raja Ampat dan Wakatobi, misalnya, memiliki keanekaragaman spesies karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Papua New Guinea dan the Great Barrier Reef Pet-Soede Erdman 2003, 36. Veron 2002 juga memperkirakan bahwa seluruh wilayah Indonesia dan Filipina merupakan pusat keanekaragaman spesies karang tertinggi di dunia, dengan kisaran 500-564 spesies. Dengan asumsi bahwa referensi dari indeks resiliensi ini adalah terumbu karang yang terbaik di dunia, maka indeks tersebut semestinya dapat juga diaplikasikan di semua terumbu karang seluruh dunia. Walaupun demikian, spekulasi ini masih perlu dibuktikan dengan data dari negara-negara yang memiliki terumbu karang terbaik di wilayah tropis, terutama dari negara Filipina. Jika indeks tersebut digunakan utuk membandingkan terumbu karang di perairan Karibia dengan di perairan Indo-Pasifik, misalnya, maka indeks resiliensi terumbu karang di kawasan Karibia akan jauh lebih kecil daripada yang di Indo- Pasifik. Tutupan karang umumnya kecil di kawasan Karibia, pada tahun 2001- 2005 tutupan karang di bawah 30 kecuali Teluk Mexico 58 Schutte et al. 2010. Jumlah kelompok fungsional karang di kawasan ini juga lebih rendah daripada di Indo-Pasifik Bellwood et al. 2004. Perbedaan kondisi terumbu karang ini menimbulkan pertanyaan tentang perlunya setiap kawasan menggunakan referensi indeks tersendiri. Perbandingan tingkat resiliensi terumbu karang antar kawasan membutuhkan referensi yang sama. Dengan menggunakan indeks resiliensi ini, yang disusun dengan referensi kondisi terumbu karang Indonesia, perbandingan antara kedua kawasan dengan kondisi lingkungan yang berbeda tersebut dapat dilakukan. Jika ternyata kedua kawasan memiliki pola perubahan temporal indeks yang berbeda, maka perlu dilakukan perbedaan di 112 dalam interpretasi indeks, sedangkan nilai indeks tetap dihitung menggunakan rumus atau terumbu karang acuan yang sama. Penilaian resiliensi terumbu karang yang dilakukan dengan data transek garis, sebagaimana indeks resiliensi dalam disertasi ini, perlu dilengkapi dengan pengukuran faktor lingkungan. Kualitas perairan terumbu karang, misalnya, sudah dimasukkan ke dalam indeks melalui peubah kualitas habitat CHQ. Kelimpahan karang Acropora dianggap mencerminkan perairan yang jernih dan jauh dari tekanan polusi daratan. Meskipun demikian, pengukuran kecerahan air yang menjadi bagian dari kualitas air masih perlu dilakukan, misalnya dengan alat sederhana seperti cakram Sechi. Pengukuran tersebut telah menjadi bagian dari pengukuran faktor lingkungan yang baku dalam penilaian kondisi terumbu karang Engish et al. 1994. Pengukuran faktor lingkungan yang sama juga diperlukan dalam penilaian resiliensi terumbu karang.

6.3 Kekurangan Indeks dan Arahan Pengembangannya

Kekurangan utama dari indeks resiliensi ini adalah disusun dengan asumsi, bahwa terumbu karang tetap mendapatkan suplai larva dengan kuantitas yang cukup setelah gangguan. Pada metode penilaian indeks resiliensi yang lain, data suplai larva diperoleh melalui pendapat pakar Maynard et al. 2010 dan penilaian pribadi Obura Grimsditch 2009. Suplai larva sulit untuk diprediksi, karena larva yang ada sekarang dapat berubah kelimpahannya jika terjadi gangguan pada terumbu karang sumber. Di Indonesia, terumbu karang sumber yang menyuplai larva juga sulit ditentukan karena pemahaman yang masih kurang tentang siklus reproduksi karang dan perilaku arus laut. Karena itu, kedua metode tersebut juga memiliki kelemahan. Penyebaran larva tergantung pada waktu pemijahan dan arus laut. Karang pemijah mempunyai siklus reproduksi setahun sekali. Di Indonesia, siklus reproduksi tersebut belum banyak dipahami. Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemijahan satu populasi karang di Indonesia terentang dalam beberapa bulan, dengan satu puncak pemijahan yang diikuti oleh separuh dari populasi tersebut. Di Selat Lombok bagian timur karang pemijah Acropora cytherea dan A. nobilis memiliki puncak pemijahan bulan Pebruari-Maret, sedangkan karang 113 pemijah Hydnophora rigida mempunyai puncak pemijahan bulan Oktober- Nopember Bachtiar 2001. Di perairan Karimun Jawa, karang Acropora aspera memijah pada bulan April Munasik Widjatmoko 2004, sedangkan 19 jenis karang lainnya memijah pada bulan Oktober-Nopember review in Bachtiar 2003b. Kurangnya data tentang reproduksi karang menyebabkan kesulitan memetakan secara makro antara arus larva karang, sehingga dapat diperkirakan terumbu sumber dan terumbu penerima larva. Kekurangan indeks resiliensi yang lain adalah nilai indeks resiliensi belum dapat diinterpretasikan ke dalam kebijakan pengelolaan. Interpretasi dari indeks resiliensi ini masih perlu dikembangkan lagi berdasarkan konsekuensi ekologis dari nilai suatu indeks. Walaupun demikian, kekurangan indeks dalam hal interpretasi bukan monopoli dari indeks resiliensi di dalam penelitian ini. Metode pengukuran resiliensi yang dikembangkan oleh Obura dan Grimsditch 2009 dan Maynard et al. 2010 juga tidak memberikan cara interpretasi indeks maupun cara memprediksi pemulihan terumbu karang, berdasarkan indeks atau nilai indikator yang ditemukan. Indeks resiliensi komunitas tanah, baik yang dikembangkan oleh Orwin dan Wardle 2004 maupun indeks resiliensi yang lain, juga tidak menyinggung masalah laju pemulihan dan penggunaan indeks untuk memprediksi laju pemulihan. Indeks resiliensi di dalam penelitian ini masih lebih maju karena dapat digunakan untuk memprediksi laju pemulihan dan dampak gangguan. Pengembangan indeks ini di masa mendatang juga membutuhkan peubah yang dapat menjadi indikator dari rekruitmen karang. Rekruitmen karang merupakan peubah yang sangat penting di dalam pemulihan terumbu karang. Di dalam indeks, rekruitmen diperkirakan berdasarkan jumlah koloni ukuran kecil CSN. Walaupun secara statistik ukuran panjang transek dapat digunakan untuk memprediksi ukuran koloni karang Marsh et al. 1984, sehingga jumlah koloni karang ukuran kecil dapat diperkirakan, penghitungan rekruitmen secara langsung akan lebih valid dan akurat. Pada terumbu karang yang sangat padat dengan makrobenthos, rekruitmen karang cenderung berkurang. Tidak ada ruang tersedia untuk penempelan larva. Karena itu, data rekruitmen karang yang penting dalam pemulihan karang adalah potensi rekruitmen, yang biasanya hanya diukur 114 menggunakan substrat penempelan settlement plate. Dibutuhkan metode lain yang lebih praktis untuk dapat menghitung potensi rekruitmen karang di suatu terumbu karang ketika peneliti sedang mengambil data di transek garis. Indeks resiliensi ini akan lebih berguna jika dampak gangguan dapat diperkirakan secara kuantitatif. Besar gangguan akut langsung, seperti pemutihan karang karena kenaikan suhu, sudah dapat didefinisikan dalam ukuran derajat minggu panas DHW, degree heating weeks. Jika terjadi gangguan sebesar 5 DHW, maka dapat diperkirakan akan terjadi pemutihan karang. Jika gangguan suhu tersebut meningkat menjadi sebesar 10 DHW, maka terjadi pemutihan karang yang menyebabkan kamatian masal. Dampak kuantitatif dari gangguan tersebut belum ada rumus penghitungannya. Dampak kuantitatif dapat dihitung menggunakan penurunan indeks resiliensi, atau secara konvensional menggunakan penurunan tutupan karang. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengembangkan penghitungan besar penurunan indeks jika terjadi pemutihan masal yang disebabkan oleh suatu gangguan suhu sebesar 10 DHW. Pemutihan karang merupakan ancaman kerusakan terumbu karang yang sangat penting Baker et al. 2008, sehingga merupakan tanggung-jawab para peneliti untuk berupaya menyelamatkan terumbu karang dari bencana tersebut. 115 7 KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasannya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1 Indeks resiliensi ekosistem yang dihasilkan di dalam penelitian ini dapat digunakan dalam pengelolaan terumbu karang, misalnya dalam penentuan prioritas pengelolaan, atau penentuan zona di wilayah konservasi. Secara teoritis indeks resiliensi terumbu karang per transek mempunyai nilai minimum 0.000 dan maksimum 2.130. Secara empiris, di perairan Indonesia rata-rata ±SD indeks per lokasi pengamatan antara 0.067±0.032 sampai 0.976±0.107. 2 Indeks ini juga terbukti dapat membandingkan tingkat resiliensi terumbu karang secara spasial. Terumbu karang di Paparan Sunda memiliki resiliensi lebih tinggi daripada di Paparan Sahul, Sulawesi-Flores, dan Samudra Hindia. Bintan dan Natuna memiliki terumbu karang dengan resiliensi tertinggi di wilayah barat, sedangkan Wakatobi dan Buton tertinggi di wilayah timur Indonesia. 3 Indeks resilensi ini juga dapat digunakan menilai dinamika tingkat resiliensi terumbu karang secara temporal. Pada masa pemulihan, pertambahan rata-rata indeks resiliensi sekitar 0.044-0.066 per tahun, di Indonesia Perubahan indeks yang fluktuatif sebesar 0.015-0.026 dapat terjadi dalam setahun. Di antara peubah yang digunakan di dalam indeks, peubah AOF merupakan peubah yang paling besar fluktuasinya. 4 Indeks resiliensi terumbu karang dapat menjadi alternatif dalam menilai pemulihan terumbu karang. Besarnya dampak gangguan dan laju pemulihan terumbu karang indeks per tahun dapat diprediksi dari nilai indeks resiliensi awal sebelum terjadinya gangguan. 5 Penilaian indeks resiliensi terumbu karang relatif mudah dan praktis karena didasarkan pada data transek garis atau yang kompatibel dengan metode tersebut. 116 6 Penilaian tingkat resiliensi suatu terumbu karang membutuhkan sejumlah transek yang dapat mewakili kondisi umum terumbu karang tersebut, sedangkan pengukuran indeks dilakukan pada setiap transek.

7.2 Saran-saran

1 Kabupaten Natuna dan Wakatobi perlu mendapatkan prioritas di dalam program pengelolaan terumbu karang nasional, karena memiliki terumbu karang dengan indeks resiliensi yang tinggi dan batas kedalaman pertumbuhan karang yang dalam.. 2 Penggunaan indeks resiliensi di dalam pengelolaan terumbu karang perlu dilengkapi dengan penilaian faktor batas kedalaman maksimal pertumbuhan karang. Faktor batas kedalaman tersebut untuk melengkapi penilaian kondisi terumbu karang, sehingga dapat dibedakan terumbu karang yang memiliki nilai konservasi tinggi dan rendah. 3 Pemantauan terumbu karang yang menggunakan metode selain transek garis perlu menyediakan data tentang ukuran setiap koloni karang, tutupan pasir dan lumpur, selain data yang sudah baku yaitu data tutupan karang dalam 13 kategori bentuk tumbuh kelompok fungsional, tutupan total algae, dan fauna lain. Dengan penyesuaian data tersebut, maka resiliensi terumbu karang dapat dinilai dengan menggunakan indeks resiliensi terumbu karang. 4 Pengukuran potensi rekruitmen karang CSN yang lebih akurat tetapi praktis diperlukan di dalam penggunaan indeks resiliensi terumbu karang. 5 Penggunaan indeks ini secara global masih perlu diuji, terutama dengan data dari terumbu karang Filipina yang memiliki keanekaragaman hayati sama tingginya dengan Indonesia. 6 Penggunaan indeks resiliensi untuk memprediksi pemulihan terumbu karang perlu dikembangkan lebih lanjut dengan jumlah cuplikan yang lebih banyak.